Minggu, 09 Oktober 2011

MENGGUGAT POLITIK DINASTI

Oleh : Sabir Laluhu (Ketua Bidang Pemberdayaan Umat HMI Cabang Ciputat 2011-2012)

Semenjak reformasi 1998 hingga hari ini, ruang publik terbuka untuk siapa saja. Arus dan aliran keterbukaan informasi, komunikasi, dan demokrasi-politik menguntungkan masing-masing warga negara untuk mengekspresikan diri. Reformasi ini terjadi dengan sangat menginginkan terjadinya empat perubahan mendasar yaitu: penyelenggaraan negara lebih demokratis, transparan, akuntabilitas tinggi, dan good governance-clean government; terjadinya perubahan mental bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, dan persaudaraan; penyelenggaraan otonomi daerah; dan penyelenggaraan Pemilu yang lebih baik.

Selain empat perubahan itu, amanah reformasi juga menghendaki tercapainya tujuh tuntutan reformasi: amandemen UUD 1945; penghapusan dwi fungsi ABRI; penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM; pemberantasan KKN; desentralisasi dan hubungan adil pusat-daerah; mewujudkan kebebasan pers; dan mewujudkan kehidupan demokrasi.

Pada tahap inilah ruang demokrasi Indonesia mengakibatkan terjadinya demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan, sehingga melahirkan banyak partai politik yang berjibaku guna mendapatkan simpati, suara, dan massa yang lebih banyak demi mencapai kekuasaan baik dalam tataran legislatif maupun eksekutif. Contoh paling jelas dengan adanya dua kali pemilihan umum (Pemilu), tahun 1999 dan 2004. Keterbukaan akses dan keran demokrasi juga menguntungkan masyarakat baik sebagai individu, kelompok, organisasi, maupun keluarga untuk masuk sebagai anggota atau kader partai politik dan calon eksekutif-legislatif.

Keterlibatan Keluarga dan Politik Dinasti
Tentang keterlibatan masyarakat dalam politik, masyarakat tidak boleh alergi terhadap politik, artinya umat harus paham politik. Tetapi kita juga harus memahami the limit of politics. Dalam politik ada batas-batas yang harus dipahami. Jika pengertian dan batas-batas politik tidak dipahami akan menimbulkan kerugian, pengurangan sumber daya manusia, dan pembiayaan pada bidang-bidang lain yang bersifat nonpolitik dalam kehidupan umat (Azyumardi Azra, 2000).

Keluarga merupakan sebuah awal dari kehidupan dan partisipasi dalam masyarakat. Faktor keluarga adalah sebuah fakta penting yang sangat mempengaruhi keterlibatan dalam ranah politik. Keterlibatan ini bisa dimulai untuk memberikan pengertian dan saran, hingga menjadi keluarga besar sebagai aktor politik. Keterlibatan keluarga besar dalam politik menciptakan iklim politik kerajaan – politik dinasti - dengan memasukan, mengikutsertakan, dan melanggengkan anggota keluarga (murni ataupun besan) sebagai aktor politik, kader, dan pemimpin dari tingkatan RT hingga Presiden.

Secara sepintas hampir tidak ada hubungannya antara politik dan dinasti. Politik terlahir dari sisitem demokrasi dengan kekuasaan di tangan rakyat, sedangkan dinasti lebih banyak disematkan dalam sistem imperial kerajaan/monarki yang kekuasaannya di tangan garis keturunan keluarga. Meski demikian, jika kita bercermin dengan implementasi proses demokratisasi Indonesia, politik dinasti ini sudah terjadi. Tidak heran kita mengenal ‘Dinasti Kayu’, ‘Dinasti Jalan’, ‘Dinasti Kelurahan’, ‘Dinasti Jawara’, hingga ‘Dinasti Pengusaha’ yang berakar hampir di seluruh garis struktur kekuasaan baik partai politik maupun pemerintahan.

Politik dinasti (keluarga) terwujud sebagai akibat dari hadirnya anggota-anggota keluarga dalam ranah politik (dinasti-dinasti politik). Keterlibatana anggota-anggota keluarga dalam politik memang tidak perlu dipersalahkan sepenuhnya. Namun, jika dinasti-dinasti politik ini masuk atau menjadi kader partai dan difasilitasi sebagai pemangku kebijakan dalam struktur kekuasaan-pemerintahan tanpa skil dan kemampuan yang mumpuni atau keilmuan yang sesuai dengan bidangnya, maka hal ini tidaklah dibenarkan. Bukankankah akan hancur suatu urusan (bangsa) jika urusan itu tidak diserahkan kepada ahlinya?.

Menurut Mohammad Hatta, azas liberalisme Barat yang diadopsi - hingga hari ini - dalam pelaksanaan proses demokratisasi di Indonesia membangunkan kapitalisme modern dan imperialisme perekonomian dan politik. Hatta melanjutkan, demokrasi politik bersifat manipulatif atau memutarbalikkan azas yang baik seperti kedaulatan rakyat menjadi alat untuk menindas rakyat (Zulkifli Suleman, 2010). Manipulatisasi demokrasi politik pada prinsipnya akan mengakibatkan no trust society.

Sebagai contoh, menjelang Era Reformasi bergejolak, telah terjadi gelombang no trust society kepada Dinasti Cendana. Seluruh masyarakat Indonesia meyakini bahwa keluarga Cendana telah menciptakan dan menjalankan politik dinasti dengan memasukan anggota keluarga pada struktur kekuasaan dan kepemilikan terhadap aset-aset negara. No trust society akhirnya menggulingkan politik dinasti ini pada gelombang aksi reformasi 21 Mei 1998.

Penyelewengan Orientasi
Meski kepercayaan masyarakat kepada politik dinasti telah berkurang dengan tumbangnya status quo Dinasti Cendana, kelanggengan politik dinasti kembali terjadi mulai Pemilu (1999 dan 2004), pemilihan gubernur, pemilihan bupati/walikota hingga pemilihan ketua rukun tetangga (RT).

Politik dinasti yang mengambil ruang dalam euphoria reformasi lebih mementingkan kepentingan keluarga dan atau kelompok - anggota keluaga, besan, menantu, teman, kolega - kepentingan masyarakat dan bangsa dikesampingkan. Kondisi ini memang sangatlah memprihatinkan, betapa tidak beberapa praktik politik dinasti yang dijalankan oleh dinasti politik saat ini mengakibatkan pengangguran meningkat, perilaku KKN dan penyakit sosial kian marak, eksploitasi sumber daya alam tak terkendali, penyelewengan aset negara-daerah semakin marak, kepatuhan kepada hukum rendah, sendi-sendi demokrasi kurang dihargai, dan pudarnya etika kehidupan berbangsa.

Nilai etis (etnical values) merupakan sebuah nilai yang terkandung dalam perilaku yang didasarkan kepada rasionalitas, nilai kemanusiaan, dan kesadaran moral. Sebagai pemegang amanah rakyat, hakikatnya orientasi kebijakan diarahkan pada pemenuhan hak kesejahteraan rakyat secara menyeluruh tanpa membeda-bedakan nasab kekeluargaan, kolega, dan patronase. Nilai etis politik diharapkan mampu menggabungkan antara teologi rasional dan teologi tradisional dalam tindakan politik. Indikasinya adalah intuisi (intuitif) kepada akhlak, etika, dan moral tanpa menafikan rasionalitas dalam manjalankan perbuatan politik.

Namun pada sisi berbeda, saat ini orientasi kebijakan yang terlahir dari kekuasaan politik dinasti dan dinasti politik menciptakan imperium yang sangat berakar dan menggurita dalam struktur kekuasaan yang susah disentuh oleh hukum apalagi masyarakat awam. Kondisi yang hampir sama seperti sebelum Era Reformasi.

Pada praktiknya politik yang dilakukan oleh para elit politik dan pelaksana kebijakan publik tidak mencerminkan tanggungjawab kepada publik atau masyarakat luas. Kebijakan yang diambil, diputuskan, ditetapkan, dan dijalankan dan atau beberapa kasus yang terjadi segala sesuatu ukuran yang dipakai adalah kebenaran politik berdasarkan penilaian rasionalitas untung rugi di antara kelompok dan keluarga mereka. Sedangkan publik terkadang harus bingung dan tidak mendapatkan efek positif dari kebijakan, kasus yang terselesaikan, dan even demokrasi politik – pusat dan daerah – pada pemilihan eksekutif dan legislatif.

Penyelewengan orientasi oleh pelaksana politik dinasti terlihat jelas pada keinginan – meski terselubung – tercapainya kekuasaan, kekayaan, eksistensi, dan kelanjutan hidup dinasti tersebut. Orientasi keinginan ini menjadikan para aktor politik dinasti sebagai pelacur politik dan kekuasaan.

Sehingga guna menyikapi penyelewengan, setiap anggota masyarakat hendaknya mampu menjadi pengawas, pemantau, dan pengontrol perilaku-perilaku politik dinasti yang menyimpang dari etnical values kesejahteraan rakyat. Pun demikian, jika sebuah pesta demokrasi seperti pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah (gubernur dan walikota/bupati) akan dilaksanakan, maka perlu kiranya masyarakat menjadi pemilih cerdas dan cerdas memilih agar tidak terjadi penyelewengan orientasi.