Minggu, 22 Juli 2012

Fahd Sebut Tamsil dan Mirwan Urus Proyek DPID

Jakarta, Selasa, 17 Juli 2012

JAKARTA - Saksi persidangan perkara suap alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) atas tersangka Wa Ode Nurhayati, Fahd El Fouz menyebutkan dua nama pimpinan Badan Anggaran DPR yakni Tamsil Linrung (frkasi PKS) dan Mirwan Amir (Fraksi Partai Demokrat) yang mengurusi DPID Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Bener Meriah, dan Kabupaten Pidie Jaya di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

“Orang daerah yang utusan Bupati (penerima DPID) telepon saya, karena dana yang diajukan di proposal  tidak masuk. (Nah orang itu bilang bahwa) Kalau untuk Aceh Besar dan Bener Meriah yang urus orang Demokrat Mirwan Amir. Kalau untuk Pidie Jaya yang urus PKS, Tamsil Linrung," kata Fahd saat menyampaikan kesaksiannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Selasa, 17 Juli 2012.

Dia menuturkan, pejabat daerah yang menyampaikan hal tersebut adalah Kepala  Dinas Pekerjaan Umum (Kadis PU) Kabupaten Bener Meriah Armaida. Namun, dia tidak memperjelas berapa jumlah dana dan peran signifikan dari dua pimpinan Badan Anggaran DPR itu. Dia melanjutkan, proposal pengajuan DPID tersebut dibuat langsung oleh pejabat tiga daerah dengan masing-masing anggaran Rp40 miliar. yang diserahkan kepadanya untuk diteruskan Haris Surahman kepada ’pihak dalam’ atau DPR yang mengurusi anggaran tersebut. ”Saya ngga tahu (yang urus itu Tamsil dan Mirwan). Nah, dikasih tau kalau katanya itu bukan punya saya. Saya bilang itu punya saya,” paparnya.

Fahd menambahkan, Politisi Partai Golkar Haris Surahman mendatangi dirinya untuk menawarkan pengurusan alokasi DPID untuk tiga daerah tersebut. Dia melanjutkan, Haris pernah menawarkan nama politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Irgan Chairul Mahfiz untuk mengurusi alokasi DPID milik 3 Kabupaten NAD itu dengan komitmen fee senilai 5% dari total. Namun, kata dia, akhirnya Haris memilih Wa Ode Nurhayati untuk membantu meloloskan alokasi DPID Tahun Anggaran 2011. " Pertama kata Haris, itu (5%) untuk Pak Irgan PPP. Dia (Haris) bilang ini sakti bos. "Oh ternyata Kata Haris slotnya (Irgan) sudah penuh. Terus dia (Haris) bilang ada yang lebih sakti. Saya tanya Haris siapa itu, dia bilang Ibu Wa Ode Nurhayati," beber Fahd seperti perkataan Haris saat berkomunikasi dengannya.

Dalam kesaksiannya, Fahd juga mencabut seluruh keterangannya dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang pernah disampaikannya kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap yang sama. Pasalnya kata dia, penyidik tidak pernah  mengambil sumpah saat pemeriksaan dirinya. ”Saya Cabut Pak semua BAP saya. Yang benar adalah keterangan saya di sini. saya mohon dijadikan kesaksian,” tandasnya.

Dia membeberkan, untuk memuluskan alokasi DPID tiga kabupaten NAD itu, dia menyerahkan uang senilai Rp6 miliar lebih kepada Haris. Menurutnya, dari Haris uang itu diberikan kepada  sekretaris pribadi Wa Ode, Sefa Yolanda.  Fahd memaparkan, karena alokasi DPID Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Bener Meriah, dan Kabupaten Pidie Jaya tak kunjung tercapai, dia kemudian meminta Haris untuk mempertemukannya dengan Wa Ode untuk mengembalikan uang tersebut. "Uang itu sudah dikembalikan terdakwa sebagian, saya cuma terima 5 miliar. Pengembalian itu melalui Sefa ke Haris, Haris ke saya. Kalau tidak salah tinggal Rp1 miliar yang belum dibayar ibu Wa Ode," pungkasnya.

Saksi lain yang dihadirkan Majelis atas permintaan Jaksa Penuntut Umum KPK yakni, Sefa Yolanda dan Syarif Ahmad. Sefa dalam kesaksiannya sering mengaku lupa terkait pertemuannya dengan Haris Surahman untuk menerima uang senilai Rp6,25 miliar. Bahkan dia mengaku turut mencabut BAP saat pemeriksaan dirinya di KPK beberapa kali. ”Saya ngga pernah berpikir bahwa akan seperti ini. Saya diberikan bungkusan seperti amplop di body bag oleh saudara Haris. Saya bawa ke apatemen Ibu (WON). Saya bilang, Ka, ini ada titipan dari Haris. Saya tidak tahu isinya karena ngga lihat. Ibu pernah ketemu dengan Haris di kantor, saya ngga dengar. Karna sdang siapkan buka puasa. Saya ngga ingat berapa kali titipan diterima,” kata Sefa saat menyampaikan kesaksiannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Selasa, 17 Juli 2012.

”Silahkan saja anda tidak jujur. Yang penting Anda sudah disumpah. Karena bisa saja dikenakan secara hukum,” kata Ketua Majelis Hakim Suhartoyo.  ”Uang itu 6 miliar lebih loh. Kalau uang itu pecahan seribu, gedung ini bisa penuh loh,” sambungnya.

Ketua DPP PKS Nasir Djamil menyatakan, sebagai pimpinan Banggar Tamsil memang memfasilitasi permintaan-permintaan anggota Banggar yang berasal dari berbagai daerah termasuk aspirasi tiga kabupaten di NAD itu. Namun, dia meyakini koleganya tersebut tidak menerima uang sepeserpun dari suap DPID yang menjerat Wa Ode Nurhayati dan Fahd El Fouz.  ”Selama (tindakan Tamsil) itu benar dan tidak ada politik uang, selama tidak ada transaksional, menurut saya tidak ada masalah. Kecuali memang ada hal-hal yang berbau transaksional. Pak Tamsil sendirikan sering bilang, tolong dibuktikan saja kalau apa yang dia lakukan itu ada nilai transkasinya,” kata Nasir saat dihubungi harian SINDO di Jakarta, Selasa, 17 Juli 2012. 

Maka, kata dia, pernyataan ataupun kesaksian Fahd tersebut harus dibuktikan kebenarannya oleh tim penyidik KPK. Dalam pandangannya, jika tidak terdapat bukti yang menguatkan, maka kesaksian itu dapat gugur demi hukum. ”Tidak bisa dibenarkan begitu saja.Ya kalau ada, tinggal dibuktikanlah. Saya pikir harus ada bukti-bukti (kesaksian Fahd) tentang bantuan Pak Tamsil itu,” pungkasnya.

Juru Bicara KPK Johan Budi SP menilai, pencabutan BAP sebagai mana yang dilakukan Fahd dan Sefa merupakan hak mereka. Menurutnya, hal tersebut lumrah terjadi. Apalagi bagi Fahd yang berstatus tersangka dalam kasus yang sama. Meski demikian lanjut dia, segala fakta persidangan yang muncul, akan digunakan jika bermanfaat bagi pengembangan penyidikan. ” Silahkan saja. Tapi seorang saksi tidak boleh memberikan kesaksian palsu. KPK tidak hanya mengejar perkataan. Tapi bukti- bukti yang kita kejar,” kata Johan saat konfrensi pers di Gedung  KPK, Jakarta, Selasa, 17 Juli 2012.