Sabtu, 14 September 2013

ALUMNI HMI DALAM PUSARAN KORUPSI

Korupsi di mana pun terjadi, di negara mana pun termaktub, korupsi selalu diamini sebagai kejahatan luar biasa. Betapa tidak, korupsi dapat merusak kehidupan umat manusia di tempat mana pun mereka bernaung. Bahkan korupsi mampu menghancurkan kemanusiaan. Maka benar ungkapan beberapa tokoh dunia. Mantan Presiden Nigeria, Olusegun Obasanjo menyatakan, “Korupsi merupakan sumber kehancuran masyarakat saat ini.” Sementara, Jurnalis sekaligus penulis Austria Karl Kraus (1874-1936) sampai menyebut, “Korupsi lebih buruk dari prostitusi. Prostitusi membahayakan moral individu, tetapi korupsi akan membahayakan moral seluruh negeri.”

Pasca era reformasi bergulir di Indonesia, kasus korupsi terus bersahutan. Hampir setiap hari, aktor-aktor kejahatan kerah putih ini bermunculan di ruang publik tanpa bisa dihitung seberapa banyak intensitas ekploitasi pemberitaannya. Ibarat air yang mengalir, para pelaku korupsi tidak bisa dihentikan. Satu terungkap, satu lain tertangkap. Satu dijerat, satu juga ikut terseret. Satu divonis, oknum lain tak mampu lolos.

Korupsi, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 secara gamblang dijelaskan dalam 13 pasal. Dari pasal-pasal tersebut korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Yang jika dikelompokkan menjadi 7 bagian yakni, kerugian negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan (barang dan jasa), dan gratifikasi.

Selain itu masih ada 6 jenis tindak pidana lain yang juga berkaitan dengan tidak pidana korupsi. Yakni, merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar, bank yang tidak memberikan keterangan rekening terangka, saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu, orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu, dan saksi yang membuka identitas pelapor.

Para pelalu korupsi itu bukanlah orang sembarangan. Sebagian besar bisa dibilang merupakan tokoh publik yang paham betul akan tanggangjawab mereka dan perbuatan korupsi itu sendiri. Di antara para koruptor itu, tampak tokoh-tokoh yang pernah menjadi ‘pejuang’ di beberapa organisasi kemahasiswaan/kepemudaan. Salah satunya tentu saja Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Karena itu, dalam tulisan yang penulis anggap sebagai napak tilas ini dikonsentrasikan pada Korps Alumni HMI (Kahmi) yang tenggelam dalam lautan korupsi. Tulisan ini bukan sebagai jutstifikasi, tapi sebagai sebuah pelajaran yang tak perlu diulang.

Korupsi Alumni HMI
Dari data yang berhasil dihimpun  penulis, terdapat sejumlah alumni HMI tergerus arus liar korupsi sebegai tersangka/terdakwa/terpidana. Mereka di antaranya yakni, Abdullah Puteh (mantan Ketua Umum HMI Cabang Bandung), Wa Ode Nurhayati (alumni HMI Papua), Zulkarnaen Djabar (mantan Ketua Umum HMI Cabang Ciputat), Haris Andi Surrahman (alumni HMI Makassar), Andi Alfian Mallarangeng (alumni HMI Yogyakarta), dan Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum PB HMI).

Abdullah Puteh dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai Gubernur Aceh periode 2000-2005 terbukti melakukan korupsi terkait pengadaan 1 (satu) unit pesawat helikopter type MI-2, VIP Cabin, versi sipil tahun 2000-2001 dari pabrik Mil Moscow Helicopter Plant Rusia, senilai USD 1,250,000 atau setara Rp. 12,5 Miliar.[1] Politisi Partai Golkar ini sudah dijatuhi hukuman 10 tahun penjara pada 11 April 2005. Mantan Anggota Majelis Pekerja Kongres PB HMI (1973-1975) ini akhirnya diputuskan bebas bersyarat pada 18 November 2009 setelah membayar uang ganti kasus senilai Rp 500 juta.

Wa Ode Nurhayati merupakan terdakwa kasus dugaan suap pengurusan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) tahun 2011 dan tidak pidana pencucian uang (TPPU). Kasus ini ditangani KPK. Dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis 18 Oktober 2012 politisi mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR dari fraksi PAN ini divonis divonis 6 tahun karena terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap sebesar Rp 6,25 miliar dari tiga pengusaha dan pidana pencucian uang. Saat ini, kasus alumni STIA Karya Dharma, Merauke ini tengah masuk tahapan banding di pengadilan tingkat II.

Haris Andi Surrahman ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Kamis 22 November 2012. Kader Partai Golkar ini diduga melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau pasal 13 UU tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukuk Pidana (KUHP). Haris merupakan perantara bagi Wa Ode Nurhayati dan pemberi suap. Kasusnya saat ini masih dalam tahapan penyidikan untuk melengkapi berkas agar secepatnya bisa disidangkan di Pengadilan Tipikor.

Menariknya dalam kasus DPID ini, saat sidang Wa Ode Nurhayati di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Nurhayati dan Haris dalam pemberian kesaksian saling bersahutan, perkenalan mereka karena sama-sama dari HMI. Apalagi saksi lain yakni Syarif Achmad juga membenarkan perkenalan karena HMI itu. Penulis yang hadir dalam persidangan kasus DPID Nurhayati, ibarat mendapat siraman cairan besi panas. Apalagi ada sejumlah uang yang diduga merupakan hasil TPPU Nurhayati turut mengalir ke beberapa kader HMI. Kehmian penulis benar-benar diuji dalam ‘meliput’ kasus ini secara objektif.

Zulkarnaen Djabar lebih mengerikan lagi. Alumni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN Jakarta) ini bahkan melakukan korupsi yang menjadi unsur penting dalam kehidupan umat muslim di manapun mereka berada, Al-Quran. Setelah melalui reli panjang dari Jumat 29 Juni 2012 (penetapan tersangka oleh KPK), proses kasus yang juga menjerat anaknya, Dendy Prasetya Putra Zulkarnaen ini akhirnya divonis hakim pada Kamis 30 Mei 2013 di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Hakim menilai, mantan anggota Komisi VIII DPR ini dan anaknya telah mencidersi umat Islam dan dapat menghambat umat Islam dalam memenuhi kebutuhan beribadah dengan pemenuhan Al-Quran. Zulkarnaen 15 tahun penjara dan anaknya divonis divonis 8 tahun terkait pengadaan Al-Quran 2011-2012 dan laboratorium MTs tahun 2011 pada Kementerian Agama (Kemenag).

Selain vonis penjara, dua terdakwa itu masing-masing dikenakan denda Rp300 juta subsider satu bulan kurungan penjara. Majelis juga menjatuhkan pidana uang pengganti sebesar Rp 5,740 miliar untuk masing-masing. Dengan ketentuan apabila Terdakwa I dan Terdakwa II tidak membayar dalam kurun waktu bulan setelah putusan ini berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dilelang untuk dikembalikan ke negara. Apabila harta itu tidak mencukupi maka ayah anak itu dipidina penjara masing-masaing penjara selama dua tahun. Zulkarnaen yang merupakan mantan Bendahara Umum Partai Golkar ini sudah menyampaikan keinginan bandingnya.

Sandi komunikasi kasus suap Alquran ini bahkan cukup mencenggangkan. Karena menggunakan kata-kata yang lekat dengan telinga umat Islam Indonesia. Sandi-sandi yang digunakan yakni, santri (utusan/perantara), murtad (penyimpangan dari kesepkatan), imam (pejabat Kemenag), kiai (pejabat Kemenag), bahkan pengajian (pelelangan proyek).[2]

Andi Alfian Mallarangeng, Alumni FISIPOL Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta tahun 1986 ini, dijerat KPK dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Sport Center pada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Penetepannya sebagai tersangka saat ia masih menjabat Menpora pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Selaku pengguna anggaran (PA) Kemenpora diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi terkait pembangunan/pengadaan/peningkatan sarana dan prasarana olah raga di Hambalang tahun anggaran 2010-2012. Penetapan disampaikan KPK secara resmi Jumat 7 Desember 2012. Kasusnya masih dalam tahapan penyidikan dan melengkapi berkas agar segera disidangkan.

Terakhir yang cukup fenomenal dan menyita perhatian publik tentu saja Anas Urbaningrum. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini diduga menerima hadiah atau janji (suap) terkait pengurusan anggaran proyek Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya. dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR 2009-2014. Sebagai mantan anggota DPR, Mantan Ketua Umum PB HMI ini disangka melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b dan atau pasal 11 UU tentang Pemberantasan Tipikor.

Banyak manuver yang terjadi pasca penetapan ini. Kebocoran draft surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) yang menyeret Ketua KPK Abraham Samad dan sekretarisnya (sudah dipecat karena terbukti sebagai pembocor) Wiwin Suwandi. Kasus Anas ini bahkan menjadi perhatian publik terutama di kalangan HMI dan Kahmi. Sebagian di antaranya bahkan mendukung Anas dan menganggapnya hanya menjadi ‘korban’ dalam kontalasi politik di Partai Demokrat. Ada juga yang memperkirakan Anas dapat lolos dari jeratan hukum seperti mantan Ketua DPR fraksi Partai Golkar Akbar Tandjung.

Selain itu alumni di atas, tahun 2002 mantan Ketua Umum PB HMI Akbar Tanjung yang saat itu menjabat ketua umum Partai Golkar menjadi tersangka di Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus korupsi dana Bulog senilai Rp  40 miliar. Kasus ini diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Tapi, Mahkamah Agung (MA) memutus Akbar tidak bersalah dalam kasus yang populer disebut Buloggate II itu.

Di era reformasi dan kehadiran KPK, ada juga alumni lain yang ‘baru disebut-sebut terlibat’ dalam kasus dugaan korupsi. Mereka yakni; Tamsil Linrung (Pimpinan Kolektif Nasional KAHMI periode 2009-2012 dan Anggota Banggar DPR fraksi PKS) yang disebut-sebut terlibat kasus DPID, Bambang Soesatyo (Presidium Nasional KAHMI 2012-2017 dan anggota Komisi III DPR fraksi Golkar)  dan Azis Syamsuddin (alumni HMI Jakarta dan dan anggota Komisi III DPR fraksi Golkar) yang disebut-sebut terlibat kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM di Korlantas Mabes Polri.

Berikutnya, M Johar Firdaus (Ketua Umum Pengurus Majelis Wilayah KAHMI Riau dan Ketua DPRD Provinsi Riau) disebut-sebut dalam kasus dugaan suap revisi Perda PON Riau 2012, Priyo Budi Santoso (alumni HMI Yogyakarta dan Wakil Ketua DPR fraksi Golkar), yang disebut-sebut terlibat kasus dugaan korupsi Al-Quran. dan M Fachruddin (Ketua Umum PB HMI 1999-2002 dan mantan Staf Ahli Menpora) yang disebut-sebut ikut serta dengan tersangka Hambalang Deddy Kusdinar (mantan Pejabat Pembuat Komitmen/Pimpro Hambalang) mengantarkan uang miliaran rupiah kepada Andi Zulkarnain Mallarangeng (Choel Mallarangeng).

Para alumni yang baru disebut-sebut ini sudah membantah keterlibatan mereka dalam berbagai kesempatan. Artinya, sampai saat ini tidak boleh ada justifikasi apapun terhadap keterlibatan mereka, sebelum ada bukti-bukti dan fakta-fakta hukum yang ditemukan penegak hukum dan pengadilan.

Menariknya, Koordinator Presidium Kahmi Mahfud MD dalam berbagai kesempatan menegaskan Kahmi tidak akan mendukung koruptor. Sekalipun orang itu adalah alumni HMI. Karena dukungan itu merupakan pengkhianatan. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini bahkan menyatakan akan mendukung penegakan hukum yang dilakukan KPK, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Polri. Khusunya dalam pemberantasan korupsi.

Patut juga kiranya kita mendudukan kasus para alumni ini tidak dikaitkan-kaitkan dengan ‘korupsi karena mereka pernah ber-HMI sebagai kader’. Karena penilaian itu adalah sangat prematur. Dalam konteks hukum, para alumni ini disangka penegak hukum dalam konteks jabatan mereka saat kasus itu terjadi. Jika kita melihat secara jernih, dari kasus yang ditangani KPK khususnya, tentu yang melekat pada mereka adalah sebagai ‘penyelenggara negara/pegawai negeri’.

Konteks penyelenggara negara ini jelas jabatannya seperti anggota dewan/menteri/gubernur/wali kota/bupati. Sedangkan dalam konteks swasta yakni Haris Andi Surrahman disangkakan KPK sebagai pihak swasta ‘pemberi suap kepada penyelenggara negara (Wa Ode Nurhayati)’. Sekali lagi tulisan ini hanyalah refleksi bagi kita bagi ke-HMI-an kita nantinya.

Reposisi Ke-HMI-an dalam Pemberantasan Korupsi
Lalu kenapa para alumni HMI (konteksnya sebagai tersangka/terdakwa/terpidana khusunya yang dijerat KPK) ini bisa melakukan tindak pidana korupsi? Kalau dengan hati bersih kita melihat, tentu para alumni itu bukanlah orang-orang yang tak ‘berpunya’. Mereka merupakan orang-orang yang berkecupan. Artinya korupsi bukan karena seseorang itu miskin. Siapapun bisa melakukan korupsi karena memang kesempatan dan jabatannya memungkinkannya. Korupsi dilakukan karena mereka mementingkan diri sendiri dan juga bisa saja untuk memenuhi ‘dapur’ lembaga berasal (partai politik/organisasi).

Padahal Mohandas Gandhi sudah sejak lama mengingatkan kita bahwa orang besar adalah orang yang berbuat untuk kepentingan masyarakat luas. “Manusia menjadi besar ketika ia bekerja untuk kesejahteraan sesamanya.”

Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Busyro Muqoddas menilai birokrasi kontemporer di Indonesia saat ini tidaklah mencermiRnkan tiga hal. Pertama, representasi kepentingan publik, good governance, dan  meritokrasi yang menghormati kepakaran. Alumni HMI Yogyakarta ini menyatakan, birokrasi kita baru mencermikan empat hal yakni, budaya patrimonial (rakyat sebagai faktor produksi), birokrasi abdi dalem, kepentingan parpol penguasa, dan rekrutmen CPNS dan promosi intranparansi.[3]

Sebagai extra ordinary crime, korupsi hampir menghancurkan seluruh sendi kehidupan masyarakat dan bernegara. Para pejabat publik baik di level eksekutif yakni lembaga pemerintahan atau pun kementerian dan legislatif (DPR) lebih cenderung mementingkan diri sendiri dan kelompoknya dalam setiap kebijakan.

Sebenarnya jika secara jernih para pejabat dan pemimpin di ‘negeri kelautan yang ditaburi pulau-pulau’ ini menempatkan rakyat sebagai dasar perjuangan untuk mencapai kesejahteraan umum sesuai amanah UUD 1945, tentu tidak ada satu pun yang akan melakukan korupsi. Karena korupsilah infrastruktur daerah-daerah, desa-desa pelosok terbengkalai, pendidikan dan kesehatan masyarakat miskin belum terpenuhi. Bahkan sumber daya alam negara-bangsa ini dikeruk bukan untuk kebutuhan perut rakyat.

Ketua KPK Abraham Samad pernah menyatakan dalam satu kesempatan, setiap harinya kita bisa menemukan di pelosok-pelosok daerah ada anak-anak yang tidak bisa bersekolah dengan baik. Warga miskin dibiarkan terlantar dan tidak bisa berobat di rumah sakit-rumah sakit. Alumni HMI Makassar ini bahkan menyatakan, korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan aparat penegak hukum menunjukkan pertanggungjawaban mereka terhadap hukum dan hajat hidup orang banyak tak berbekas. Abraham mengajak setiap individu untuk mengiklaskan dan mewakafkan dirinya untuk memberantas korupsi yang terjadi di negeri ini. “Saya sudah mewakafkan diri saya untuk melawan dan memberantas korupsi.”

Korupsi tidaklah tumbuh dalam ruang yang hampa. Sistem yang bobrok membuat para pelaku selalu bermunculan dari hari ke hari. Salah satu yang membuat laku korup itu masih terjaga hingga hari ini jelas adalah sistem sosial yang korup. Stuktur dalam setiap sistem sosial bahkan menjadi medium di mana korupsi tumbuh dan berkembang.  Bisa dibilang, sistem sosial yang korup merupakan sebuah pelembagaan dari struktur dan praktik sosial korupsi. Sebagai bagian dalam sistem sosial, individu tidak akan mampu melepaskan diri jika sistem itu masih terlapisi, teraliri, dan terjangkiti korupsi.

Kader HMI dan alumni HMI yang menjadi bagian dari sistem sosial itu tidaklah perlu apatis melihat korupsi terus terjadi. Apalagi dilakukan oleh alumni. Pada dasarnya, sistem sosial yang bersifat dinamis ini bisa diperbaiki. Jika sistem sosial itu diciptakan sebagai sistem sosial yang baru tanpa sedikitpun cara-cara korup. Paling tidak, mengilangkan sifat pragmatisme dalam menjalankan roda organisasi HMI dapat dicerminkan dalam setiap aktivitasnya yang bisa jadi keseluruhannya berorientasi pada kekuasaan, politik, keuntungan dan mementingkan kebenaran individu (kader dan HMI tanpa melihat kebenaran orang/organisasi sekitarnya). Serta menghilangkan dan memusnahkan money politic dalam setiap pesta organisasi (seperti Rapat Anggota Komisariat, Konferensi Cabang, Musyawarah Daerah, dan Kongres).

Bahkan kader tidak melakukan laku korupsi seperti tertuang dalam UU Pemberantasan Tipikor. Tentu saja jalan pemberantasan korupsi sebagai bagian pengabdian HMI dapat tercapai. Sistem sosial yang bersih itu membantu masyarakat dalam mencapai hak-hak mereka yang tergerus. Apalagi HMI sebagai organisasi perkaderan tertua di negeri merupakan salah satu unsur yang tidak bisa dipungkiri kontribusinya.

Ketua Majelis Etik KAHMI, M Jusuf Kalla (JK), bahkan menganjurkan HMI di mana pun ia berada, kader-kader, dan alumni berpijak harus terus ikut serta menyelesaikan berbagai masalah bangsa. Selain menyumbangkan gagasan jalan keluar, Wakil Presiden RI periode 2004–2009 ini menegaskan HMI perlu terus melakukan kaderisasi demi melahirkan pemimpin bangsa masa datang. Termasuk, kader pemimpin yang memerangi korupsi. Dengan bijak JK menyatakan, alumni HMI yang tersebar di mana-mana seperti di KPK dan pengadilan membuat mereka tetap menegakan hukum meskipun sang koruptor itu berasal dari tubuh ‘sang hijau hitam.’

Karena itu, HMI dan para kadernya tidak boleh lupa akan nilai kesalehan sosial yaitu berbuat baik bagi seluruh masyarakat di sekitarnya tanpa pamrih. Karenaya setiap kita mesti menterjemahkan lima kualitas insan cita Kualitas Insan Akademis; Kualitas Insan Pencipta;  Kualitas Insan Pengabdi; Kualitas Insan yang Bernafaskan Islam dan Kualitas Insan Yang Bertanggungjawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur Diridhoi Allah SWT, dengan memberi dukungan terhadap penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Karena dari kita lah, generasi bersih cinta masyarakat sepenuhnya akan tercapai.

Dukungan yang kita berikan kepada alumni yang terjerat hukum, hanyalah sebagai dukungan moril dan empati. Apalagi kita pernah berada dalam rumah yang sama. Selebihnya, serahkan pada proses hukum yang berjalan. Dengan tetap bersama mengedepankan asas praduga tak bersalah. Sekali lagi tulisan ini tidak memiliki tendensi apapun dan siapapun, termasuk untuk menjelekkan HMI. Tulisan ini hanya sebagai refleksi terkait kanda-yunda kita yang terjerat dalam kasus korupsi.

Saya akan menutup tulisan ini dengan pernyataan KH Hasyim Muzadi yang patut direnungkan, “Ketika seseorang melakukan korupsi, sesungguhnya dia telah meninggalkan agamanya.” []

*Tulisan ini dengan judul yang sama pernah terbit (sebagiannya) di Tabloid Ruang LAPMI Cabang Ciputat Edisi VI/Juli 2013.

-----------------

[1] Abdullah Puteh, http://acch.kpk.go.id/abdullah-puteh.
[2] Sabir Laluhu, Sandi Komunikasi Kasus Alquran: Santri Murtad, Imam, Kiai, hingga Pengajian, Harian Seputar Indonesia (KORAN SINDO), Rabu 30 Januari 2013, hal. 8.
[3] M. Busyro Muqoddas, Konsep dan Kerangka Kerja Sistem Integritas Nasional (SIN), materi disampaikan pada Lokakarya Jurnalis Anti Korupsi di Caldera Resort, Sukabumi, Jawa Barat, 24 Mei 2013, hal. 6.