Rabu, 04 Februari 2015

Janji Pudar Pemberantasan Korupsi Jokowi

Sabir Laluhu

Pria kelahiran Solo, 21 Juni 1961 itu melempar senyum dan terus melambaikan tangan saat tiba di Kavling C1, Jln. H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan. Pimpinan dan jajaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sumringah pada pagi, Kamis, 26 Juni 2014 itu. Para jurnalis menyapa Wong Solo itu, "Pak Jokowi, sehat?". Sapaan berbalas senyum dari sang empunya nama, Joko Widodo. Di hari yang sama pasangannya, calon wakil presiden nomor urut 2, M Jusuf Kalla (JK) juga hadir di KPK pada waktu berbeda.

Meski kepentingannya untuk verifikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai calon presiden, Jokowi turut melakukan sejumlah hal. Pertama, membahas agenda pemberantasan korupsi yang dituangkan KPK dalam 8 Agenda di Buku Putih. Kedua, Jokowi-JK menegaskan janji dan komitmennya, memperkuat KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.

Ketiga, upaya pelaporan LHKPN seluruh jajaran pembantu presiden nanti dan menciptapkan aparat pembantu presiden yang bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Keempat, makan siang bersama pimpinan dan jajaran KPK. Bahkan saat makan siang itu, Jokowi rela hanya menggunakan tangan tanpa sendok sebagi wujud kesederhanaannya.

Verifikasi LHKPN dan perbincangan disertai makan siang di meja bundar itu sangat hangat. Pimpinan KPK seperti Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, Zulkarnain, dan Bambang Widjojanto bahkan melempar canda. Tawa mereka begitu lepas. Apalagi KPK sudah mendengar dan mencatat janji Jokowi yang begitu meyakinkan. Selepas verifikasi dan makan siang, Abraham rela mendampingi Jokowi menyampaikan konferensi pers terbuka di depan tangga Gedung KPK.

"Sedikit menyinggung, tadi sebelum keluar kami menyampaikan hal-hal berkaitan dengan KPK. Yang pertama, kami Jokowi-JK sangat mengapresiasi kerja KPK selama ini. Yang kedua, kami ingin menyampaikan mengenai dukungan kami kepada KPK ke depan. Ke depan KPK ini perlu diperkuat. Anggaran (KPK) perlu ditambah, kalau ekonomi kita bagus bisa sampai meloncatnya mungkin perkiraan saya kurang lebih bisa 10 kali," kata Jokowi saat itu.

Abraham yang berada tepat di samping kanan Jokowi tersenyum. Seolah memberikan tanda akan munculnya harapan KPK akan makin kuat di tangan Jokowi-JK. Jokowi, mantan Gubernur DKI Jakarta, bahkan menyinggung masalah sumber daya manusia (SDM) KPK. Terutama penyidik lembaga antikorupsi tersebut. Janjinya lumayan muluk.

"Kemudian memperbanyak penyidik yang ada. Saya kira ribuan-lah perlu ditambahkan agar kekuatan KPK betul-betul sebagai institusi yang betul-betul begitu kuat. Karena di depan kami sudah menyampaikan kami sangat menghargai dan apresiasi apa yang sudah dikerjakan KPK selama ini," imbuhnya.

Politikus PDIP ini sempat dengan santai mengutarakan kebocoran anggaran. Bahkan, kata "bocor" dia ungkap berkali-kali untuk menyinggung pernyataan lawannya, Prabowo Subianto. Jokowi menegaskan, antisipasi kebocoran anggaran itu salah satunya dengan cara penguatan KPK.

"Ya tentu. Penguatan (KPK) itu untuk mengantisipasi yang bocor, yang bocor, yang bocor itu," tandas Jokowi.

Apa yang disampaikan Jokowi di KPK mengingatkan publik atas visi-misi pasangan Jokowi-JK, Nawa Cita. Pasangan ini sejak kampanye, pelantikan, dan usai pelantikan menegaskan visi yang mereka usung adalah "Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong". Visi itu pun ditegaskan sebagai sebuah Jalan Perubahan.

Janji penguatan KPK dan pemberantasan korupsi digulirkan untuk menarik simpati rakyat. Betapa tidak, KPK seolah menjadi daya tarik. Apalagi track record lembaga yang kini berusia 11 tahun itu sangat mentereng. Para tersangka yang sudah ditetapkan statusnya tidak mungkin dicabut dengan SP3. 100 % kasus yang dibawa ke pengadilan terbukti secara sah dan meyakinkan, para terdakwanya berhasil masuk jeruji besi.

Dalam paparan visi dan misi yang diajukan saat pendaftaran calon presiden dan wakil presiden ke KPU, Senin, 19 Mei 2014, pasangan Jokowi-JK menyebutkan, ada sembilan agenda prioritas dalam Nawa Cita.

Dua di antaranya, pertama, membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Kedua, menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

28 Januari 2014, lonceng 100 hari pemerintahan Jokowi-JK dalam balutan Kabinet Kerja berbunyi. Pertanyaan besarnya, bagaimana aplikasi janji mereka? Dalam bidang hukum, khusus pemberantasan narkoba, publik patut mengacungkan jempol. Melalui Kejaksaan Agung (Kejagung), pemerintah mengeksekusi enam terpidana mati kasus narkoba pada Minggu, 18 Januari 2014.

Janji membangun tata kelola pemerintahan yang bersih Jokowi kian terang saat dia melibatkan KPK dan PPATK dalam penelusuran rekam jejak calon menterinya. Sejumlah nama yang diberi catatan merah dan kuning oleh KPK langsung disingkarkan Jokowi.

Sayangnya, janji menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya, malah menjadi samar saat Jokowi secara mendadak menujuk Kalemdikpol Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri tunggal. Padahal Jokowi mengetahui jenderal polisi bintang tiga itu mendapat catatan merah dari KPK dan potensi kasusnya besar.

"Langkah pemerintahan baru mesti dilhat terutama berkaitan dengan penguatan KPK dan pemberantasan korupsi," tegas mantan Wakil Ketua KPK M Busyro Muqoddas.

Dua pimpinan KPK, Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain menyatakan, selama ini KPK hanya dijadikan komoditas janji dalam pemilu presiden. Tapi, janji itu sering kali terlupakan saat pemerintahan, digawangi presiden-wakil presiden hasil pemenang pemilu, berjalan. Termasuk pemerintahan Jokowi-JK.

Menurut Zulkarnain, integritas presiden dan wapres harus menjadi integritas lembaga dan para pembantunya. Perkataan dan perbuatan harus menjadi satu kesatuan untuk membangun kekuatan dan nafaf mencegah terjadinya korupsi. Zulkarnain mencatat, janji Jokowi untuk memperkuat KPK termasuk mengatasi kekurangan penyidik dan kekurangan anggaran.
 

"Yang penting adalah keinginan untuk memperkuat KPK. (Tapi) jangan sekedar janji," imbuh Zulkarnain.

Jejak janji samar, kalau tak ingin disebut pudar, yang disampaikan Jokowi-JK dan partai pengusungnya kian menganga saat Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Kian pudar saat Jokowi lebih memilih menunda pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri bukan membantalkan pencalonannya. Pun juga dalam menyikapi penangkapan dan penetapan Bambang Widjojanto sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat memberikan rekomendasi kepada Presiden Jokowi untuk menyikapi kisruh KPK-Polri. Pertama, Presiden sesungguhnya lebih mudah membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Di sisi lain, Komjen Pol Badrodin Haiti yang ditunjuk sebagai plt Kapolri tidak punya kewenangan yang besar sebagai plt.

Kisruh KPK-Polri akan menimbulkan semangat kerja yang tidak efektif bagi jajaran Polri sendiri. Dengan pembatalan Budi Gunawan sebagai Kapolri maka Jokowi juga harus memerintahkan yang bersangkutan untuk melanjutkan proses hukum di KPK. Karena bagi Komaruddin, Presiden harus tegas demi kepentingan bangsa yang lebih besar dibanding pribadi-pribadi. Apalagi menurut dia, Budi Gunawan sendiri bukan urusan institusi Polri.

"BG itu tersangka yang korup dan korup itu urusan pribadi. Makanya lembaga Polri harus diselamatkan dan pemerintah harus didorong lemabaga KPK diselamatkan," kata Komaruddin.

Poin kedua, lanjut Komaruddin, publik akan menunggu kerja Tim Independen yang dibentuk Presiden Jokowi. Ketiga, Jokowi selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan harusnya mengambil tindakan tegas dan berani. Karena publik menunggu Jokowi menjalankan amanat rakyat begitu besar dan terganjal oleh anak buahnya yakni aparat kepolisian.

Langkah berani Jokowi juga perlu dikaitkan dengan sejumlah saksi perwira Polri yang tidak hadir sebagai saksi Budi Gunawan saat dipanggil KPK. Jokowi harus memerintahkan para perwira polisi hadir memenuhi panggilan KPK.

"Paling tidak Jokowi itu kan punya kewenangan sebagai Presiden. Dia hasil pemilu maka dia harus memihak kepada rakyat. Bangsa jangan terganjal masalah pribadi. Sebab, jangan-jangan masalah pribadi ini kan," tandas Mantan Anggota Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah (Tim 8) ini.

Rekam janji Jokowi juga dicatat Direktur Eksekutif Pukat UGM Yogyakarta Zainal Arifin Muchtar. Dia menyatakan, kalau dibuka kembali janji-janji yang disampaikan Jokowi ketika kampanye maka janji tersebut di antaranya Jokowi akan memilih orang baik di kepolisian dan kejaksaan, serta menguatkan KPK. Tapi janji Jokowi itu sudah berada entah di mana. Publik pasti akan menagih peran serta Jokowi dalam penegakan hukum terutama penguatan KPK dan pemberantasan korupsi. Khusunya untuk menyelesaikan dengan tegas kisruh KPK-Polri.
   
"Kalau kita bandingkan dengan kasus yang hampir sama, maka SBY lebih baik dari jokowi. Mumpung masih ada waktu, Jokowi bisa insaf, selamatkan KPK, pemberantasan korupsi, selamatkan Indonesia," ucap Zainal.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menilai, apa yang disampaikan Jokowi dalam menyelesaikan kisruh KPK-Polri tidaklah memberikan solusi kongkrit. Jokowi tidak berani berdiri paling depan dalam pemberantasan korupsi dan sengaja membuat konflik berlangsung lama. Menurutnya, yang dibutuhkan rakyat adalah seorag presiden bukan petugas partai.

"Pernyataan Jokowi tidak lebih tegas dari sekedar Ketua RT. Jokowi tidak berani mengambil sikap tegas berdiri paling depan dalam pemberantasan korupsi," tutur Anis yang juga bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil.

Benarkah negara-bangsa ini akan menuju jalan perubahan atau publik sedang menyaksikan janji pudar Jokowi yang terus berubah-ubah tanpa arah? Publik tentu masih menunggu janji Jokowi itu kembali bersinar. Karena, kepemimpinan Jokowi-JK bukan sekedar 100 hari, tapi 5 tahun.