Rabu, 18 Maret 2015

Hakim Tatik Hadiyanti, Srikandi Galak Pemberantas Koruptor

Hakim Praperadilan Suryadharma Ali

Sabir Laluhu

Gelombang praperadilan para tersangka khususnya kasus korupsi pasca putusan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan sudah tak terelakan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merasakan efeknya.

Tiga tersangka yang mereka tetapkan, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana, dan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak sekaligus mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo menapaki langkah Budi Gunawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Titik pijak gugatan, dua di antaranya ada pada penetapan tersangka dan lamanya penanganan kasus oleh KPK.

Keputusan sudah bulat. Ketua PN Jaksel Haswandi menunjuk Tatik Hadiyanti selaku hakim tunggal gugatan praperadilan Suryadharma Ali. Padahal sebelumnya PN Jaksel menunjuk hakim Martin Ponto Bidara. Meski begitu jadwal sidang perdananya masih belum diketahui.

"Untuk SDA (Suryadharma Ali) belum ada data saya (jadwal sidang perdana). Penunjukan hakim kewenangan ketua PN," kata Humas PN Jaksel I Made Sutrisna, Rabu (11/3/2015).

Made Sutrisna menambahkan, selain Suryadharma dan Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana, ada gugatan praperadilan dari tersangka KPK lainnya. Senin (16/3/2015), Hadi Poernomo sudah memasukan gugatan. Sidang perdana Sutan bakal digelar Senin (23/3/2015).

"Benar (Hadi Poernomo sudah mengajukan gugatan praperadilan), tapi belum ditunjuk hakimnya jadi belum tahu kapan sidangnya," ujar Sutrisna, Senin (16/3/2015).

Sementara Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha menuturkan, pihaknya sudah menerima panggilan dari PN Jaksel untuk sidang praperadilan Sutan dan Suryadharma. Untuk Hadi belum ada.

"Informasi yang masuk ke Biro Hukum ada panggilan untuk mengikuti sidang praperadilan atas nama SDA tanggal 30 maret," ujar Priharsa, Selasa (17/3/2015).

Lalu, siapa sebenarnya Tatik Hadiyanti? Bagaimana kiprahnya di dunia peradilan Indonesia? Sedikit gambaran, Tatik adalah mantan hakim PN Jakarta Barat sekaligus mantan Ketua PN Klaten, Jawa Tengah. Made Sutrisna yang dikonfirmasi membenarkan hal tersebut. "Betul."

Nama Tatik Hadiyanti mulai menyita perhatian kala bertugas lebih dari tiga tahun sebagai hakim, Wakil Ketua PN Temanggung, dan Ketua PN Temanggung. Menangani kasus korupsi dana bantuan pendidikan sebesar Rp1,72 miliar untuk putra-putri anggota DPRD Temanggung tahun 2014, Tatik tak ragu memvonis Wakil Ketua DPRD Kabupaten Temanggung periode 1999-2004, Fatahilah Azzainy.

Rabu, 26 November 2009, Tatik Hadiyanti yang memimpin sidang menghukum Fatahilah 1 tahun 4 bulan, denda sebesar Rp50 juta subsider satu bulan kurungan penjara, dan membayar uang pengganti dana pendidikan APBD sebesar Rp37 juta.

Tatik memang patut diperhitungkan. Namanya kian dibicarakan publik kala memimpin sidang kasus pidana terorisme jaringan Nurdin M Top, Aris Makruf, warga Dusun Lembujati, Desa Banaran, Kecamatan Gemawang Kabupaten Temanggung. Tatik selaku ketua majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara selama tiga tahun kepada Aris Ma'ruf, di PN Temanggung, 15 Juli 2010.

Semasa di PN Temanggung, Tatik tercatat mengikuti seleksi pelatihan hakim dalam perkara korupi Angkatan IX, 2010 untuk hakim tingkat pertama. Dia dinyatakan lulus. Tak bertahan lama di Jawa Tengah, Tatik ditarik ke Ibu Kota. Berdasarkan hasil rapat Tim Promosi Mutasi (TPM) Hakim Mahkamah Agung (MA) 19 Oktober 2010, Tatik menuju PN Jakarta Barat.

Berkarir di PN Jakbar, kiprahnya kian cemerlang. Pasalnya acapkali Tatik dipercaya menangani perkara-perkara korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta. Di luar kasus korupsi, Tatik juga menangani beberapa kasus di PN Jakbar mulai dari pengguna narkoba hingga penganiayaan.

Ada tiga kasus di PN Jakbar yang coba penulis hadirkan kepada sidang pembaca. Pertama, perkara penyaluran sekaligus penjualan 13 paket kecil heroin Rusni alias Oni, warga Tomang, Jakbar yang dihukum penjara selama 5 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 2 bulan. Amar putusan dibacakan Rabu, 22 Juni 2011 oleh Ketua Majelis Brahma bersama anggota Tatik dan Rifandaru E Setiawan.

Kedua, Tatik sebagai Ketua Majelis Hakim bersama anggota Brahmana dan Rifandaru E Setiawan menangani perkara penganiayaan terdakwa Muhammad Budiatin bin Entong Jiran, warga Pesing, Jakbar. Tatik memvonis Budiatin dengan pidana penjara 10 bulan pada Senin, 15 Agustus 2011.

Ketiga, selaku Ketua majelis hakim, Tatik bersama anggota Brahmana dan Rifandaru E Setiawan menghukum Zaky Syamlan, kondektur, warga negara Indonesia, pemakai shabu-shabu dengan pidana penjara selama 1 tahun, di PN Jakbar, Senin, 20 Februari 2012.

Dalam perkara-perkara korupsi, Tatik mengadili para pelakon mulai dari anggota DPR, mantan direktur jenderal (dirjen), aktor film, bupati, hingga pengusaha penyuap mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, di Pengadilan Tipikor, Jakarta.

Jangan tanya kemampuannya memimpin sidang. Selama meliput di Pengadilan Tipikor, Jakarta, penulis menyaksikan, Tatik terlihat lugas, tegas, dan cerdas menggali fakta. Jangan juga tanya soal saksi yang mencoba berbohong kala dipimpin Tatik. Dia jago membaca psikologi saksi dan terdakwa. Mendapati saksi berbohong, Tatik tak segan-segan memerintahkan jaksa mentersangkakan saksi tersebut.

Mari kita mulai dari suap Rp1 miliar yang diterima mantan anggota DPR dari Fraksi PPP Sofyan Usman dari pemerintah Otorita Batam yang kala itu dipimpin Ismeth Abdullah terkait pembahasan anggaran untuk Otorita Batam dalam APBN-Perubahan 2004 dan 2005.

Duduk sebagai Ketua Majelis Hakim, Tatik memvonis Sofyan dengan pidana 1 tahun 2 bulan penjara disertai denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan. Amar putusan Sofyan dibacakan di Pengadilan Tipikor, Kamis, 5 Januari 2012.

Tatik selaku hakim anggota turut menangani sidang perkara korupsi pengadaan mesin jahit dan impor sapi dari Australia, Departemen Sosial (Depsos), 2004 dengan terdakwa mantan Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Demokrat dan mantan Dirjen Bantuan Jaminan Sosial Depsos Amrun Daulay. Dalam perkara ini, majelis menghukum Amrun dengan 17 bulan penjara dan denda Rp50juta subsidair tiga bulan kurungan di Pengadilan Tipikor, Kamis, 12 Januari 2012.

Selaku Ketua majelis hakim, Tatik menghukum aktor era tahun 1980-an, Herman Felani dengan pidana penjara selama 4 tahun, denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan, dan ditambah uang pengganti senilai Rp1,3 miliar atau penjara selama 1 tahun, di Pengadilan Tipikor, Selasa, 17 April 2012.

Herman dinilai terbukti melakukan korupsi dalam tiga proyek pengadaan di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2007. Pertama, pengadaan jasa filler hukum pada Biro Hukum Setda Provinsi DKI Jakarta yang bersumber APBD tahun 2007.

Kedua, proyek pemeliharaan dan operasional sarana dan prasarana serta penatausahaan berkaitan dengan sosialisasi lingkungan hidup pada Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta yang bersumber dari APBD tahun 2007.

Ketiga, proyek terkait produksi dan Penayangan Iklan Layanan Masyarakat (PSA) dalam rangka sosialisasi urbanisasi melalui media elektronik pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta yang bersumber dari APBD 2007.

Berikutnya, suap pengurusan Dana Penyesuaian Infrasturktur Daerah (DPID) 2011 dan TPPU mantan anggota Banggar DPR Fraksi PAN Wa Ode Nurhayati. Tatik menjadi anggota majelis hakim dalam sidang yang dipimpin Suhartoyo. Wa Ode dikenakan pidana 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Putusan ini lebih rendah dari tuntutan JPU, penjara selama 14 tahun untuk dua perbuatan pidana. Amar putusan dibacakan  di Pengadilan Tipikor, Kamis, 18 Oktober 2012.



TPPU Wa Ode merupakan kasus TPPU pertama yang ditangani KPK yang divonis di pengadilan. Meski menjadi hakim anggota, Tatik mampu menggali fakta dari keterangan saksi dan bukti-bukti tanpa celah. Hasilnya, uang TPPU Wa Ode berjumlah Rp50,5 miliar disita untuk negara.

Dalam sidang Wa Ode, majelis memerintahkan JPU pada KPK mentersangkakan Wakil Sekjen Bidang Organisasi MKGR (organisasi sayap Partai Golkar) Haris Andi Surrahman yang kerap berbohong dalam kesaksiannya. Haris selaku perantara suap sudah divonis dua tahun penjara.

Publik pasti masih ingat kasus suap pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantations/PT Cipta Cakra Mandiri (CCM) - perusahaan milik Siti Haratati Murdaya - di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Dalam perkara ini dengan terdakwa Amran Batalipu selaku Bupati Buol saat itu, Tatik berposisi sebagai hakim anggota dalam sidang yang dipimpin Gusrizal Lubis.

Majelis memutus Amran terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap Rp3 miliar dari Siti Hartati Murdaya. Amran dihukum penjara selama 7 tahun 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp300 juta subsider kurungan selama 6 bulan, Senin, 11 Februari 2013.

Pada sidang dengan terdakwa Hartati, Tatik juga didapuk sebagai hakim anggota bersama ketua Gusrizal. Dalam persidangannya, Hartati mengaku sebagai korban dari anak buahnya, Totok Lestiyo dan Arim. Hartati berkilah uang Rp3 miliar bukan suap untuk pengurusan HGU tapi sumbangan pilkada yang diminta Amran.

Saat sidang Hartati, tim penasihat hukumnya menghadirkan Yusril Ihza Mahendra sebagai ahli. Tatik tanpa canggung mengutarakan pertanyaan kepada Yusril yang bergelar profesor apakah sumbangan pilkada bisa dibawa ke ranah pidana. Yusril menjawab uang yang diterima Amran jika dinyatakan sebagai sumbangan dalam pilkada maka itu harus diselesaikan dalam ranah pemilu, bukan ranah pidana.

Toh pada akhirnya, Hartati - pemilik PT Jakarta International Expo (JIExpo) sekaligus istri dari Murdaya Poo - dijatuhi vonis 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp150 juta subsider kurungan 3 bulan penjara, Senin, 4 Februari 2013. Hartati kini sudah menghirup udara segar setelah menerima pembebasan bersyarat pada September 2014.

Tatik adalah pembuat sejarah selama kasus korupsi disidangkan di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Saat menangani kasus korupsi pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) tahun anggaran 2008 dengan terdakwa Neneng Sri Wahyuni, Tatik menjatuhkan putusan tanpa kehadiran Neneng. Ini pertama kalinya seorang terdakwa divonis in absentia.

Duduk sebagai Ketua Majelis Hakim, Tatik menghukum Neneng dengan 6 tahun penjara, denda Rp300 juta subsider kurungan 6 bulan, dan mengembalikan uang kerugian negara Rp800 juta subsider 1 tahun kurungan, Kamis, 14 Maret 2013. Neneng merupakan Direktur Keuangan Permai Group sekaligus istri M Nazaruddin.

Selama memimpin sidang Neneng, Tatik tegas tanpa kompromi. Tatik tak segan memperingatkan saksi-saksi agar jujur dan terbuka. Direktur PT Mahkota Negara Marisi Matondang kena batunya. Dalam sidang Kamis, 6 Desember 2012, Tatik memerintahkan JPU pada KPK segera menetapkan Marisi yang acap kali berbohong, untuk dijadikan tersangka. Marisi kini tersangka di KPK terkait kasus dugaan korupsi alkes Universitas Udayana tahun anggaran 2009.

Masih duduk sebagai ketua majelis hakim, Tatik memegang perkara Jaksa Sultoni, sang pemalsu vonis terdakwa Sugianto yang terlibat kasus narkoba dari hukuman 10 tahun penjara menjadi 3 tahun penjara. Tatik menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan didenda Rp50 juta subsider kurungan dua bulan kepada Sultoni. Vonis yang dibacakan Kamis, 2 Mei 2013 ini lebih ringan dari tuntutan jaksa, pidana penjara 2 tahun dan denda Rp50 juta subsider dua bulan kurungan.

Publik pun tentu masih ingat sepakterjang Tatik waktu menangani kasus suap pengurusan tender minyak mentah, kondesat, dan gas di SKK Migas. Tatik diamanahkan sebagai Ketua Majelis Hakim untuk perkara Komisaris PT Kernel Oil Private Limited (KOPL) Indonesia Simon Gunawan Tanjaya penyuap Rudi Rubiandini. Patut menjadi catatan adalah, di sidang ini turut bersaksi Rudi dan Deviardi alias Ardi (perantara Rudi). Dengan telaten Tatik bersama majelis hakim lainnya dan JPU mengurai kasus Simon.



 Sebagai contoh. Saat Ardi bersaksi, Tatik menanyakan kepada Ardi soal kedekatan Direktur KOPL Singapura Widodo Ratanachaitong (penyuap Rudi) dengan sejumlah pihak termasuk Istana, Edhi Baskoro Yudhoyono alias Ibas, dan Sekretaris Kabinet saat itu Dipo Alam. "Saudara saksi Deviardi, dalam BAP saudara menyebutkan bahwa benar berhubungan dengan Widodo Cumlaude di Australia dan punya tujuh perusahaan itu punya kedekatan dan jaringan ke Istana, Ibas, DPR, dan ke Dipo Alam. Apa benar demikian. Itu disampaikan Widodo kapan dan di mana?," tanya Tatik.

Ardi membenarkan bahwa Widodo pernah menyatakan hal tersebut. Dalam BAP itu Ardi menyebutkan Widodo pernah menelponnya dan menyampaikan soal kedekatan dan jaringannya itu seperti dalam rekaman sadapan KPK tertanggal 24 Juni 2013 pada pukul 21.03 WIB dengan durasi pembicaraan selama sekitar 15 menit. Tapi kata dia bukan hanya saat menghubungi melalui telpon. Widodo bahkan pernah menyampaikan langsung saat pertemuannya di Singapura pada April 2013.

Simon akhirnya divonis 3 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan. Simon terbukti menyuap Rudi Rubiandini sebesar USD700.000 atas perintah Widodo Ratanachaitong, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 19 Desember 2013. Widodo juga disebutkan memberi suap kepada Rudi sebesar SGD200.000 dan USD200.000 tanpa melalui Simon.

Kasus Simon Gunawan Tanjaya menjadi kasus korupsi terakhir yang ditangani Tatik di Pengadilan Tipikor, Jakarta kala berkarir sebagai hakim PN Jakbar. Usai malang melintang di PN Jakbar, nasib mutasi berkata lain. Berdasarkan hasil rapat TPM MA tertanggal 4 Desember 2013, Tatik dipromosikan menjadi Ketua PN Klaten, Jawa Tengah. Belum genap setahun, pada 28 November 2014, Tatik dimutasi lagi menjadi hakim PN Jaksel.

Potret penangan kasus-kasus oleh Tatik tadi perlu diungkapkan kepada publik guna melihat potensi penanganan gugatan praperadilan Suryadharma Ali. Goresan tersebut pada ghalibnya menjadi gambaran bagaimana Tatik menilai penetapan tersangka, proses penyidikan KPK, status seseorang masuk kualifikasi penyelenggara negara atau tidak, subtansi perkara, dan pembuktiannya. Karena sebagian besar kasus korupsi yang ditangani Tatik di Pengadilan Tipikor, Jakarta merupakan hasil pengusutan KPK.

Sebagai seorang hakim kiprah Tatik tak perlu diragukan. Namun pada sisi berbeda, perlu juga menjadi catatan yakni soal penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Tatik ke KPK. Dari lembaran LHKPN yang dilansir KPK dalam Anti Corruption Clearing House (ACCH) KPK http://acch.kpk.go.id/aplikasi-lhkpn, tertuang Tatik dua kali melapor. Penulis mengaksesnya Rabu (11/3/2015).

Terakhir kali laporan disampaikan Tatik kala berstatus sebagai hakim/Wakil Ketua PN Temanggung. Dalam laporan tertanggal 27 Maret 2009, total harta kekayaannya Rp360.490.951. Ini meningkat tiga kali lipat dari laporan enam tahun sebelumnya (2003) sebesar Rp95,6 juta. Dari laporan terakhir tadi bisa disimpulkan, Tatik absen melaporkan LHKPN selama 6 tahun.

Lebih dari itu, penulis tak ingin mendahului pengadilan menyimpulkan bagaimana keberlangsungan persidangan dan putusan praperadilan Suryadharma. Karena, di tangan setiap hakim kebenaran atas keadilan yang diyakini tentu diputus berdasarkan kewenangan dan independensinya. Semoga!

Senin, 16 Maret 2015

Narasi Perceraian, Tanah, Perbudakan, hingga Gembong Narkoba Hakim Asiadi Sembiring

Hakim Praperadilan Sutan Bhatoegana

Sabir Laluhu 

Ranah pengadilan adalah kanvas suci bagi setiap para pencari keadilan dalam setiap objek. Ia bukan ajang penghakiman. Di tangan setiap hakim, narasi keadilan diharuskan untuk ditegakan. Pun begitu dalam gugatan praperadilan.

Hal itulah yang juga dilakukan Komjen Pol Budi Gunawan dengan menggugat praperadilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas penetapannya sebagai tersangka dalam kapasitas jabatan Kepala Biro Pembinaan Karir (Karo Binkar) Mabes Polri 2003-2006, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Hasilnya hakim tunggal Sarpin Rizaldi membatalkan penetapan KPK terhadap Budi Gunawan sebagai tersangka, pada Senin 16 Februari 2015.

Banyak pihak menilai, gelombang gugatan praperadilan akan dilakukan berbagai tersangka korupsi baik yang ditangani KPK maupun penegak hukum lain. Dua tersangka KPK sudah menyusul memasukan gugatan praperadilan ke PN Jaksel, mantan Menag Suryadharma Ali dan mantan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana. Korelasi permohonan Suryadharma dan Sutan di antaranya adalah penetapan keduanya sebagai tersangka oleh KPK.

Di bagian lain, di PN Purwokerto, Jawa Tengah, Hakim tunggal Kristanto Sahat menolak gugatan praperadilan  Mukti Ali, tersangka kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial pengembangan sapi betina Kementerian Pertanian di Desa Sumbang, Kabupaten Banyumas yang ditangani Polres Banyumas. Putusan ini dibacakan Selasa, 10 Maret 2015 (Koran Sindo edisi Rabu 11 Maret 2015).

PN Jaksel sudah menunjuk hakim tunggal yang menangani gugatan Sutan yakni, Asiadi Sembiring. Sedang untuk Suryadharma dipilih Tatik Hadiyanti. Menurut Humas PN Jaksel I Made Sutrisna, sidang perdana praperadilan Sutan akan digelar Senin, 23 Maret 2015. Sementara untuk sidang perdana praperadilan Suryadharma belum ditentukan jadwalnya. Sutrisna tidak mau berspekulasi kenapa dan apa alasan Asiadi dan Titik yang dipilih.

“Penunjukan hakim Asiadi Sembiring dan hakim Tatik Hadiyanti kewenangan Ketua PN (Haswandi),” kata Sutrisna, Rabu (11/3/2015).

Jelang sidang praperadilan itu, penulis coba menelusuri narasi penanganan perkara hakim Asiadi dan Tatik. Ibarat seorang pelukis, rekam narasi kedua tertuang di atas kanvas pengadilan. Mengingat sidang Sutan bakal digelar sekitar satu pekan lagi. Penulis ingin lebih menggali rekam narasi Asiadi.

Syahdan, tahun 2008 Asiadi Sembiring menggoreskan kiprahnya sebagai hakim Pengadilan Negeri Ende, Nusa Tenggara Timur  sekaligus Wakil Ketua PN Ende hingga 20 Juni 2010. 21 Juni 2010, Asiadi naik jabatan Ketua PN Ende sampai awal Oktober 2010. Kiprahnya kemudian berlanjut di tanah Jawara. Tepatnya di PN Tangerang, Banten.

Mutasi Asiadi ke PN Tangerang didasarkan Hasil Rapat Tim Promosi Mutasi (TPM) Hakim oleh Mahkamah Agung (MA) tertanggal 19 Oktober 2010. Bahkan Asiadi sempat dipercaya sebagai Humas PN Tangerang. Di sini, Asiadi bertahan hingga awal September 2014. Empat tahun di situ, radar MA menangkap sinyal kuat karakter Asiadi. Dari Hasil Rapat TPM Hakim pada 3 September 2014, Asiadi dimutasi ke PN yang sangat populer, PN Jaksel.

Sebelum semua itu, Asiadi lebih dulu berkiprah sebagai hakim PN Rantau Prapat, Sumatera Utara pada 2001.

Penulis akan mengurai hasil penelusuran sejumlah kasus yang pernah ditangani Asiadi. Kita mulai dari Ende. Di daerah tempat Bung Karno menggali Pancasila ini, ada dua kasus yang cukup menjadi sorotan.

Pertama, suap pengurusan/pembahasan APBD Kabupaten Ende TA 2007. Pada Jumat 3 September 2010, selaku Ketua Majelis, Asiadi Sembiring yang dibantu hakim anggota Ronald Masang dan AA Ngurah Budhi memvonis mantan Asisten 1 Sekretariat Daerah Ende Hendrikus Seni dengan satu tahun penjara dan denda Rp60 juta subsider satu bulan kurungan.

Kedua, selaku ketua majelis hakim, Asiadi memvonis mantan Sekretaris KPUD Kabupaten Kupang Elias Sing dengan pidana penjara satu tahun, denda Rp50 juta subsider dua bulan, dan uang pengganti Rp3,75 juta, dalam korupsi dana pengadaan logistik Pemilu 2004. Vonis ini disampaikan pada Senin, 6 April 2009, di PN Kupang.

Di PN Tangerang, sepakterjang Asiadi tidak main-main. Kasus yang ditanganinya mulai dari pemakaian narkoba, sengketa tanah, penceraian, perbudakan, hingga gembong narkoba. Publik tentu masih ingat dengan Pilot Lion Air saat itu M Nasri yang kedapatan pesta sabu di atas udara.

Selaku Ketua Majelis Hakim, Asiadi Sembiring memvonis Nasri 5 tahun penjara serta denda Rp300 Juta pada akhir 2011, atas kepemilikan dan penggunaan sabu-sabu serta empat butir ekstasi.

Yang paling fenomenal tentu saat Asiadi bersama Ketua Majelis Hakim Yuningtyas Upiek dengan anggota majelis Y Siahaan menangani perkara kepemilikan 358.000 butir ekstasi dan 48,5 kg sabu-sabu dalam 7 buah koper gembong narkoba Kweh Teik Choon, warga negara Malaysia, di PN Tangerang, 2012. Kweh Teik Choon divonis 20 tahun 11 September 2012. Tapi Asiadi bersamam dua hakim lainnya  meloloskan Kweh dari tuntuan vonis mati.

Asiadi pernah menangani kasus perceraian pasangan Legi Tjiptaadi (suami) versus Ida Yantie Halim (istri) yang divonis, Januari 2013. Bagi civitas UIN Syarif Hidayatullah, nama Asiadi mungkin tidak asing. Dia pernah menangani perkara perdata dengan Perkara Nomor : 559/G/2013/PN. TGR terkait Sertifikat Hak Pakai Nomor 19 Tahun 2011 atas nama Pemerintah RI Cq. Kementerian Agama di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Penggugatnya adalah Yayasan Perguruan Islam Triguna Utama (YPITU), Nurdin Idris, dkk. Pihak tergugat dalam hal ini Kementerian Agama & UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Duduk sebagai hakim anggota, Asiadi bersama Ketua Majelis Hakim Rehmalem Perangin-Anin dan Hakim Anggota Damanik pada  26 November 2013, memutus 4 hal. Pertama, mengabulkan gugatan penggugat YPITU, Nurdin Idris, dkk. Kedua,  Sertifikat Hak Pakai Nomor 19 Tahun 2011 atas nama Pemerintah RI Cq. Kementerian Agama tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Ketiga, Kementerian Agama dan UIN Jakarta selaku tergugat diharuskan secara tanggung renteng membayar kepada penguggat sebsar Rp200 juta. Keempat, tergugat juga harus membayar kerugian materiil senilai Rp33,9 miliar. UIN Jakarta sempat menenggarai ada aroma tidak sedap dalam putusan ini.

Nampaknya, Asiadi memang akrab dengan sidang perkara narkoba. Selaku Ketua Majelis Hakim, Asiadi Sem­biring memvonis pemilik shabu lebih dari 5 gram Pissamay Chan­tanam, perempuan warga negara Thailand, dengan penjara selama 9 tahun  dan denda Rp1 miliar subsider 2 bulan, pada Senin, 10 Maret 2014. Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan JPU, 12 tahun penjara dan denda Rp1 milyar subsider 4 bu­lan.

Tangan dingin Asiadi tak berhenti di situ. Dia dipercayakan menangani pidana perbudakan terhadap 62 buruh dengan terdakwa Yuki Irawan, pemilik sekaligus pimpinan pabrik kuali. Selaku Ketua Majelis Asiadi Sembiring memvonis terdakwa Yuki dengan pidana penjara selama 11 tahun ditambah denda sebesar Rp500 juta subsidair 3 (tiga) bulan kurungan, Selasa, 25 Maret 2014.

Sayangnya, majelis yang dipimpin Asiadi itu menolak tuntutan denda berupa pemberian restitusi sebagai bentuk pemulihan hak-hak korban yang diajukan JPU sebesar Rp.17.822.694.212. Vonis penjara dan denda itu jelas lebih ringan. Pasalnya, JPU menuntut pidana penjara 13 tahun dan dendar berupa restitusi Rp.17.822.694.212.

Kasus perbudakan ini menjadi sorotan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Kasus ini bisa dibilang sebagai puncak narasi Asiadi di PN Tangerang.

Jadi, tidak aneh memang, setelah dimutasi menjadi hakim PN Jaksel, Asiadi langsung diserahkan sejumlah perkara untuk diadili. Kiprah Asiadi mulai menarik perhatian di PN Jaksel saat menangani tindak pidana penipuan sebesar Rp53 miliar atas nama terdakwa Rusmadi Als Adiyansayah Bin Iwansyah (34). Sidang perdana kasus ini berlangsung Januar 2015. Dalam kasus ini Asiadi, duduk sebagai anggota majelis hakim dengan Ketua Majelis Hakim I Ketut Tirta dan anggota majelis Yanto.

Berikutnya, gugatan pembatalan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) No.548/XII/ARB.BANI/2013 terkait sengketa antara PT Truba Jaya Engineering (anak usaha PT Truba Alam Manunggal Engineering Tbk) dengan  PT Adhi Karya Tbk. Selaku Ketua majelis hakim, Asiadi menolak permohonan PT Truba Jaya Engineering selaku pemohon untuk seluruhnya, Senin (9/2/2015). Sengketa itu sendiri berkaitan dengan pengerjaan proyek listrik milik PT PLN (Persero) di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.

Asiadi kadung bersentuhan dengan penanganan perkara narkoba. Lepas dari PN Tangerang, Asiadi dipercaya PN Jaksel menangani perkara kepemilikan/menguasai 13 Kg lebih ganja kering terdakwa pasangan suami isteri (Pasutri) Achmad Hudayana als Bob dan isterinya, Tuti Alawiyah als Titi bersama terdakwa Jainul Arifin als Jack. Sidang perdana kasus ini dilaksanakan di PN Jaksel, Kamis, 5 Maret 2015.

Jejak Asiadi sebelum berlabuh di PN Jaksel memang tidak asing. Humas PN Jaksel I Made Sutrisna membenarkan, saat disinggung apakah Asiadi adalah mantan Ketua PN Ende dan mantan hakim PN Tangerang sebelum dimutasi ke PN Jaksel. “Betul.”

Narasi panjang penanganan perkara Asiadi berikutnya adalah menangani gugatan praperadilan Sutan Bhatoegana vs KPK. Patut ditunggu apakah Asiadi akan mengikuti jejak putusan Sarpin Rizaldi? Atau apakah akan menapaki jalan yang diambil hakim Kristanto Sahat?. Dalam arti berbeda, apakah Asiadi akan mengukuhkan PN Jaksel? Atau malah bercermin pada PN Purwokerto?

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha menyatakan, KPK akan hadir dan menyiapkan argumentasi untuk menjawab gugatan praperadilan Sutan. Proses penyidikan kasus suap dan/atau gratifikasi Sutan pun tetap berjalan.

Razman Arif Nasution, kuasa hokum Sutan, pun menyatakan kesiapan yang sama. Bahkan Sutan diagendakan memberikan keterangan dalam sidang guna menjelaskan semuanya yang bisa mengabulkan gugatan.

Sekali lagi, di tangan majelis hakim keadilan dipercayakan ada. Paling tidak dalam memutus perkara di pengadilan. Memang bukan kebenaran dan keadilan absolut yang ingin dicapai. Tapi, keadilan bagi para pencari keadilan yang tak tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Sekedar menjadi catatan, penulis ingin menghadirkan ke sidang pembaca sedikit tentang bagaimana dengan ketaatan Asiadi Sembiring sebagai pegawai negeri atau penyelenggara dalam pelaporan serta keterbukaan harta kekayaan.

Asiadi tercatat pertama dan terakhir kalinya melaporkan harta kekayaannya pada 5 Juli 2001. Saat itu belum ada KPK, laporannya disampaikan ke Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKN). Dalam laporan tersebut, Asiadi tercatat sebagai hakim PN Rantau Prapat. Total hartanya sebesar Rp261.336.348.Data ini diakses dari laman Anti Corruption Clearing House (ACCH) KPK http://acch.kpk.go.id/aplikasi-lhkpn , Rabu, 11 Maret 2015. Bila melihat kurun pelaporan LHKPN tersebut, berarti hingga Maret 2015 ini, Asiadi absen melaporkan hartanya selama 14 tahun.

Pada edisi berikutnya, penulis akan menghadirkan tulisan terkait hakim tunggal gugatan praperadilan Suryadharma Ali, Tatik Hadiyanti. Dia adalah mantan hakim PN Jakarta Barat dan mantan Ketua PN Temanggung, Jawa Tengah. Untuk gambaran awal, Tatik dikenal sebagai Srikandi yang "galak" dalam penanganan perkara-perkara korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta.