Kamis, 13 Agustus 2015

Pelayanan Publik Pemkot Ambon Setengah Hati

Sabir Laluhu

Terobosan yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon di bawah kepemimpinan Wali Kota Richard Louhenapessy patut diacungi jempol. Indikator yang bisa dikedepankan yakni, Pemkot menetapkan tahun 2015 sebagai tahun pelayanan publik. Pemkot menjadikan semangat dan dinamika baru untuk meningkatkan kinerja aparaturnya.

Saat pencanangannya, Wali Kota sadar bahwa pekerjaan yang dilakukan penyelenggara negara/pegawai negeri sipil (PNS) sangat berat karena pelayanan publik terkait dengan warga yang dilayani maupun yang melayani. Karena titik tumpu subjeknya merupakan manusia. Wali Kota meyakini bahwa merubah paradigma masyarakat yang dilayani dan merubah paradigma penyelenggara yang melayani sangat membutuhkan waktu.

Sejalan dengan itu, pada 12 Januari 2015 Pemkot mendapuk Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Yuddi Chrisnandy sebagai pejabat nasional yang meluncurkan secara resmi tahun 2015 sebagai tahun pelayanan publik di Kota Ambon. Indikator lain dari terobosan, Pemkot menelurkan layanan pengaduan publik melalui sms ke 9386 dengan menggandeng provider ternama, Telkomsel. Atas terobosan itu, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) beberapa tahun lalu menjadikan Kota Ambon sebagai pilot project program Layanan Apirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR).

Berkaitan dengan layanan pengaduan publik melalui sms ke 9386, Pemkot Ambon dalam hal ini Wali Kota Richard Louhenapessy pernah ikut andil sebagai pembicara dalam Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) bertema “Peningkatan Transparansi dan Partisipasi Publik dalam Pencegahan Korupsi” yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa, 2 Desember 2014. Dalam kesempatan KNPK yang dibuka Wakil Presiden RI M. Jusuf Kalla dan dihadiri Ketua MPR Zulkifli Hasan serta sejumlah kepala daerah itu, penulis yang saat itu berada di lokasi penyelenggaraan menyaksikan optimisme kemajuan Kota Ambon. Walikota Richard memaparkan bebeberapa ihwal krusial.

Dua di antaranya, peningkatan transparansi di Pemkot Ambon dan partisipasi publik dalam pencegahan korupsi. Partisipasi publik ini berkaitan dengan dua poin, Pemkot Ambon membuka seluas-luasnya kritik masyarakat terhadap kebijakan pemkot. Ihwal ini berjalan berkelindan dengan media partisipasi publik lewat layanan pengaduan publik melalui sms ke 9386.

Tapi patut dicatat, dua indikator di atas dimaknai dengan melihat keberhasilan terobosan Pemkot secara makro. Secara mikro, dalam artian untuk pelayanan publik di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), contohnya kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), masih perlu dipertanyakan keberhasilan terobosan Pemkot dan implementasi "instruksi" Wali Kota.

Dukcapil Minim Fasilitas

Rabu, 5 Agustus 2015, selaku warga Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau saya bertandang ke tiga kantor pelayan publik. Masing-masing, kantor Desa/Negeri Batu Merah, Kecamatan Sirimau, dan Dinas Dukcapil Kota Ambon. Bila melihat tingkatan, maka tentu Dinas Dukcapil berada di atas kantor desa dan kecamatan. Persamaan yang hampir senada di tiga kantor tersebut yakni, tak terdapat alat pengeras suara, yang seharusnya bisa dipergunakan untuk memanggil warga yang mengurusi administrasi. Paling tidak dengan keberadaan alat ini akan memudahkan petugas pelayanan publik yang notabene adalah PNS, tanpa harus berteriak secara terus menerus guna memanggil nama warga.

Ada minimal lima catatan paling mencolok dari pelayanan publik di Dinas Dukcapil berkaitan dengan fasilitas pendukung (selain ketiadaan alat pengeras suara), ketaatan terhadap aturan, dan etika. Pertama, dari penghilatan dan pengamatan saya selaku warga, hanya ada dua papan pengumuman. Bagi dinas sekelas Dukcapil yang menangani lebih dari 1,5 juta jiwa warga Ambon atau lebih 200 orang/hari, tentu dua alat peraga seperti itu jelas tak cukup.

Warga menunggu di satu bangku pajang depan gedung kanan Dinas Dukcapil Kota Ambon, 5 Agustus 2015. Di belakang seorang warga yang sedang berdiri (berwarna coklat) ada satu papan pengumuman. Sementara satu papan pengumuman lainnya berada di depan kanan warga tersebut.

Kedua, di depan ruangan pengurusan awal/lanjutan administrasi kependudukan setelah dari kecamatan, semisal input data lanjutan dan pengambilan KTP elektronik (KTP-e), hanya satu bangku panjang yang bisa dipergunakan warga untuk menunggu panggilan dan antrian. Akibatnya, banyak warga berjejer ataupun duduk di atas pagar sekeliling ruangan. Ruangan ini berada di gedung bagian kanan bila kita memasuki kantor Dinas Dukcapil.

Ketiga, di gedung kanan ini tak ada petugas front office. Rabu itu, banyak warga kebingungan mau bertanya ke siapa. Di sisi lain, banyak warga menumpuk di depan pintu. Keempat, paling parah mungkin, tak adanya toilet di area pengurusan adminduk. Penulis sempat melakukan kroscek ke seorang pegawai Dukcapil yang hendak pulang sore itu, terkait keberadaan toilet. Jawabannya mencenggangkan. Toilet berada di dalam gedung. Untuk warga yang mengurusi adminduk tak disediakan. Bagaimana mungkin, fasilitas pendukung dan krusial ini tak ada di kantor sekelas Dinas Dukcapil?

Nyatanya, untuk fasilitas toilet yang bisa dipergunakan adalah milik warga yang bermukim di belakang kantor Dinas Dukcapil. Guna mencapainya, penerima manfaat pelayanan publik harus mengitari bagian samping kanan gedung kantor selebar berkisar 50 cm. Berikutnya, belok kiri menuruni anak tangga dan jalan lurus sedikit sekitar 1 meter kemudian belok kiri dan lurus menapaki pinggiran teras belakang kantor Dinas Dukcapil. Posisi toilet akan terlihat tepat di samping rumah warga.


Lorong samping kanan gedung pengurusan adminduk, menuju toilet milik warga yang bermukim di belakang kantor Dinas Dukcapil. Foto diambil pada 5 Agustus 2015.

Ketiadaan empat fasilitas pendukung (termasuk alat pengeras suara) di kantor Dinas Dukcapil Ambon jelas menimbulkan pertanyaan, kenapa bisa terjadi? Apakah kepekaan Dinas Dukcapil begitu tumpul? Sebagai wajib pajak (WP) saya turut bertanya, ke mana saja uang masyarakat dipergunakan? Bukankah uang dari APBD/APBN dimaksudkan penggunannya untuk kepentingan masyarakat.

Permasalah pelayanan publik di Dinas Dukcapil, tak sampai di situ saja. Sebagai dinas yang cukup krusial di pemerintahan, Dukcapil boleh disebut turut serta menyebarkan semangat antikorupsi, kolusi, dan nepotisme atau semangat pencegahan korupsi. Di atas satu selebaran/pengumuman yang di tempelkan di kaca ruangan, tertulis bahwa warga harus mengurusi sendiri adminduk mulai dari akta kelahiran, kartu keluarga (KK), dan KTP-e, tanpa melalui calo dan RT. Di sinilah titik permasalahan keempat.

Pada Rabu itu juga, saya dan seorang teman yang mendampingi melihat dengan mata kepala sendiri dua peristiwa yang bertolak belakang dengan pengumuman atau maklumat pelayanan di atas kertas tadi yang  tertulis "tertanda Kadis". Peristiwa pertama, seorang anak yang berumur antara 17-18 tahun datang dengan seorang PNS. Mulanya si anak tak dilayani secara mulus atau dipimpong pegawai pembuat KTP-e. Setelah si anak itu masuk dengan keluarganya yang PNS, anehnya, hampir seisi ruangan sibuk mengurusinya.

Peristiwa kedua, dua orang tua (perempuan) di antar seorang pegawai pembuat KTP-e. Di depan petugas pengimput data, pegawai tadi memperkenalkan bahwa dua orang yang dibawanya masih berstatus keluarga. Dua orang ini lebih dulu menabrak antrian yang sudah menunggu begitu lama. Tak berselang lama, petugas pengimput data tersenyum dan sempat bercanda dengan dua perempuan itu. Mereka pun dilayani dengan cepat. Seorang perempuan yang duduk di bangku langsung membuka dompetnya. Apakah benar ada lembaran rupiah berpindah tangan? Entahlah.

Permasalahan kelima, seorang petugas pria yang sedang melayani warga malah asik mengisap rokok. Saya sempat bertanya-tanya, apakah memang dibolehkan PNS yang sedang melayani warga mengisap rokok di ruangan?

Pegawai Dinas Dukcapil Ambon sedang merokok. Lihat tangan kirinya dan tumpukan puntung rokok. Foto diambil pada 5 Agustus 2015.

Patut diapresiasi dari pelayanan publik di tiga kantor di atas adalah keramahan dari para pegawainya. Keramahan itu juga menjadi kunci keberlangsungan dan keberhasilan pelayanan publik. Meski begitu, penulis sempat kaget ketika mengambil gambar komplek kantor Dinas Dukcapil dari luar. Pemandangan tak elok pun terlihat. Satu kantong kresek tampak tergantung di dua huruf terakhir pada tulisan "Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil".

Bagian depan kantor Dinas Dukcapil Ambon, 5 Agustus 2015.

Tak sampai di situ. Kejadian pada Selasa, 11 Agustus 2015 cukup mengagetkan saya. Hari itu, ada pengumuman di atas selembar kertas yang ditempel Dinas Dukcapil di samping kiri pintu gerbang masuk. Di kertas tersebut tertulis maklumat, sistem aplikasi data base Kependudukan Capil sedang mengalami gangguan. Untuk sementara waktu perbitan dokumen kependudukan dan dokumen capil tak bisa berjalan hingga sistem bisa beroperasi lagi. Hanya saja, gangguan sistem ini seolah menjadi alasan para pegawai memilih pulang cepat dari biasanya.

Pada pukul 14.00 WIT, gedung kanan Dukcapil sudah kosong. Hanya seorang pegawai (perempuan) yang berada di ruangan. Pegawai inilah yang memberikan informasi kepada warga yang datang terkait gangguan sistem dan kapan waktu pengambilan dokumen. Pegawai ini bahkan menyampaikan, gangguan sistem aplikasi data mengakibakan lebih 200 KTP-e tak bisa dicetak per hari itu. Pegawai itu meminta warga yang akan mengurus ataupun mengambil dokumen untuk datang selang satu pekan.

Pelayanan Publik Layak Dievaluasi

Pelayanan publik hakikatnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat atau warga dengan sepenuh hati. Tanpa pamrih, tanpa menghitung-hitung pengeluaran. Karena penyelenggara pelayanan publik adalah pengabdi, maka apa yang diperbuatnya haruslah demi kemaslahatan masyarakat. Pada diri pengabdi terdapat rasa tanggungjawab yang tulus dari lubuk sanubari paling dalam.

Bersinggungan dengan itu, patut dikedepankan pandangan Mohammad Hatta (Bung Hatta). Bagi Proklamator Indonesia ini, rasa tanggung jawab akan hidup dalam dada, jika masing-masing pemimpin dan aparatur negara sanggup hidup dengan lebih dulu memikirkan kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa.

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik dengan baik dan efektif demi memperdalam kepercayaan publik pada pemerintahan dan administrasi publik. UU itu juga menyebutkan bahwa Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik.

Pasal 1 UU ini tertuang, pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Salah satu penyelenggarannya yakni institusi penyelenggara negara baik di tingkat pusat maupun daerah. Pelaksana pelayanan publik pun seharusnya melayani penerima manfaat pelayanan publik baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berasaskan, di antaranya, persamaan dalam perlakuan/tak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, dan fasilitas (Pasal 3).

Melihat pelayanan publik secara regulasi/arahan/instruksi Pemkot, dan makro, tentu boleh saja. Tapi baiknya perlu juga dipotret dari sisi mikro dan pelaksanaan regulasi/arahan Pemkot. Pemkot juga tak bisa mendeklarasikan diri sebagai pelaku pencegahan korupsi apabila masih ada sodoran lembaran rupiah saat pengurusan adminduk atapun pengurusan administrasi lainnya.

Pejabat tinggi atau atasan satuan kerja penyelenggara pelayanan publik di setiap instansi Pemkot Ambon atapun Wali Kota, tak bisa semata-mata menerima laporan secara lisan dan tulisan di atas mejanya saja. Mereka sebaiknya bisa turun ke lapangan langsung guna melihat kinerja para pegawai.

Atau, pejabat pengawas mestinya melakukan pengawasan secara terbuka dan sembunyi-sembunyi. Pengawasan secara sembunyi-sembunyi dimaksudkan untuk menghilangkan distorsi informasi atau meminimalisir manipulasi informasi yang disampaikan penyelenggara pelayanan publik. Tujuannya tentu saja untuk melakukan perbaikan secara terus menerus. 

Demikian juga keterbukaan atas adanya kritik dan saran. Layanan pengaduan publik di Pemkot Ambon melalui sms ke 9386 baiknya semakin digalakkan ke semua tingkatan pendidikan, usia, dan pekerjaan. Pemkot selayaknya kembali memberdayakan ketua RT, ketua RW, dan kepala desa untuk menyosialisasikan kebijakan Pemkot dan layanan pengaduan tersebut. Karena kebijakan pelayanan publik tak bisa seolah-olah berada di menara gading. Atau, merasa berada di atas "langit". Kebijakan sepatutnya membumi agar masyarakat bisa turut ikut serta mengkritik, memberi masukan, dan mengutarakan saran.

Dengan keikusertaan tersebut, secara tak langsung bisa ditarik kesimpulan, masyarakat mendukung kebijakan Pemkot. Kritik, masukan, dan saran itu juga bisa dipandang sebagai evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik. Karena ujungnya tentu saja sebagai upaya peningkatan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).