Selasa, 21 Februari 2012

POLEMIK DAN KONFLIK RUU KAMNAS

JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) yang diajukan pemerintah melalui Kementerian Kemanan dinilai.masih bermasalah. Pasalnya, dalam draftnya memiliki 15-30 pasal menimbulkan perdebatan dan multi tafsir. Selain itu, RUU ini berpotensi tinggi menimbulkan polemik, menghilangkan hak asasi manusia (HAM), dan konflik kewenangan antara Polri-TNI berkepanjangan.

Menurut Peneliti Senior CSIS Jakarta J Kristiadi, lima tahun perjalanan RUU Kamnas yang belum selesai hingga 2012 ini karena kesalahan defenisi, inkonsistensi logika, perebutan kewenangan, dan politisasi RUU. “RUU ini kan sudah lama bergulir dan dibahas tapi belum selesai. Karena memang ada perebutann kewenangan, politisasi RUU yang disusun, dan tidak ada komparasi dengan negara lain,” urai Kristiadi ketika ditemui kemarin di Jakarta dalam acara seminar nasional mengkritisi RUU Kamnas yang diselenggarakan oleh Persatuan Keluarga Besar Purnawirawan Polri (PP Polri) Senin, (20/02) di Ballroom A Hotel Grand Hyatt Jakarta.



Adapun Direktur Program Imparsial Al Araf mengatakan, 15-30 pasal yang bermasalah dalam RUU Kamnas merupakan permasalahan serius yang harus segera diselesaikan karena dapat mengakibatkan perenggutan kebebasan masyarakat dalam demokrasi. “RUU memiliki ketidakjelasan subtansi dalam setiap pasal. RUU ini bahkan seolah kembali meletakan atau mengembalikan posisi dan peran militer seperti di era Orde Baru. Ini akan mengakibatkan persoalan serius bagi kebebasan demokrasi,” ujar Al Araf.

Al Araf melanjutkan, keberadaan RUU ini memberikan sinyalemen bahwa peran dan fungsi Polri untuk menyadap, menindak, dan menangkap akan diambil alih oleh pihak TNI. “TNI itu bukan aparat penegak hukum. Tugasnya adalah menjaga pertahanan negara, bukan dalam hal keamanan. Yang punya fungsi dan legitimasi itu adalah Polri,” tuturnya.

Sementara itu Ketua Federasi Kontras Jakarta Usman Hamid menilai RUU ini menggunakan doktrin keamanan represif dan subversif untuk HAM masyarakat Indonesia. Selain itu, doktrin keamanan dalam RUU Kamnas sebagaimana doktrin yang digunakan di negara-negara lain menciptakan pemerintahan diktator. “RUU ini tidak bisa menjamin HAM masyarakat, rentan penyalahgunaan kekuasaan, dan sangat liminatif-fluktuatif. Jadi jelas saya menolak tegas adanya RUU ini,” seru Usman

Penolakan keberadaan RUU Kamnas ini juga disampaikan Dosen Administrasi Negara dan Administrasi Kepolisian Awaloedin Djamin. Menurutnya, Polisi dan TNI memiliki posisi dan kewenangan yang berbeda di dalam masyarakat. “Sehingga yang harus dilakukan oleh pemerintah itu peningkatan kualitas manajemen pemerintahan nasional. Teruatama di bidang keamanan. Fungsi Polri kan sudah jelas dalam bidang keamanan. Jadi kalau masih ada pertentangan, RUU ini harus ditarik bukan dijadikan UU baru,” tegas Awaloedin.

Terkait draft RUU Kamnas yang dinilai hanya memenuhi kepentingan TNI dan kurang mengakomodir peran Polri, mantan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Bambang Hendarso Danuri menegaskan, perlunya pemahaman komprehensif di antara pihak-pihak yang terlibat dalam RUU ini. Hal itu bisa tercapai dengan adanya perbaikan dan kesesuaian dua perspektif yaitu kebaikan negara dan politik hukum.

“Pada perspektif kebaikan negara perlu adanya konsensus nasional atau kesamaan pendapat untuk menyikapi keberadaaannya. Biar tidak ada berbagai kepentingan yang salah dipahami dan salah mengerti. Dalam perspektif politik hukum, pihak yang berkaitan itu harus diakomodir, dibangun secara kontekstual, dan harus diluruskan. Jadi, kalau masih ada perdebatan, berarti masih ada sesuatu yang belum jelas,” kata Bambang

Di lain pihak, Ketua Umum Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri) Agum Gumelar menilai, RUU Kamnas tidak dirancang untuk mengambil alih kewenangan Polri dan menciptakan friksi TNI-Polri. Sebaliknya, draft ini disusun untuk memperkuat solidaritasi antara TNI dan polri. “Kita semua menyadari bahwa materinya perlu untuk disempurnakan lagi,” jelas Agum ketika ditemui di Jakarta kemarin

Agum menambahkan, selain menjadi wadah solidaritas, RUU ini memiliki spirit dalam menciptakan koordinasi antar lembaga TNI dan Polri. Koordisasi ini memungkin kedua lembaga menjadi alat negara yang saling bersinergis dalam menjaga keamanan di masyarakat. (sabir)