Jumat, 07 Juli 2017

Surat Terbuka untuk Pansus Angket DPR terhadap KPK

#suratterbukauntukpansus #PansusAngketKPK

Sudah lama sekali saya tidak buat tulisan panjang. Tapi kali ini saya jengah juga dengan komentar-komentar terkait kerja Pansus Angket DPR terhadap KPK (#PansusAngketKPK) dan pengesahannya. Apalagi kalau lihat dari berita media tentang proses dan manuver #PansusAngketKPK serta komentar-komentar sejumlah anggota DPR yang berseliweran. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya warga biasa yang kebetulan bekerja sebagai jurnalis di satu media nasional. Sebagai warga biasa & jurnalis, saya terusik juga. #suratterbukauntukpansus #PansusAngketKPK ini saya buat tidak digerakkan siapapun.

Dari permintaan pemutaran rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani (MSH) di penyidikan KPK, saat rapat Komisi III DPR dengan KPK, kemudian berubah jadi pengesahan #PansusAngketKPK. Siapapun tahu permintaan tersebut muncul karena ada kesaksian Bang Novel Baswedan di Pengadilan Tipikor Jakarta beberapa waktu lalu. Saat sidang terdakwa perkara dugaan korupsi e-KTP Irman & Sugiharto, Bang Novel menyebut sekitar 6 anggota DPR dari Komisi III pengaruhi Miryam (mantan anggota Komisi II DPR kemudian jadi anggota Komisi V dari Fraksi Partai Hanura).

Kesaksian Bang Novel yang juga ketua tim penyidik KPK dalam kasus e-KTP terjadi saat dikonfrotir dengan Miryam yang sebelumnya cabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP)-nya. Dalam perkembangannya, Miryam kemudian kini sudah ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemberian keterangan tidak benar atau keterangan palsu dalam persidangan perkara terdakwa Irman & Sugiharto.

Pengesahan #PansusAngketKPK dalam rapat paripurna DPR pada Jumat (28/4/2017) yang dipimpin Bang Fahri Hamzah juga terbilang aneh. Saat masih ada sejumlah anggota dari beberapa fraksi tidak setuju pembentukan #PansusAngketKPK, Bang Fahri tiba-tiba mengetok palu pengesahan. Kalau belum bulat suara seluruh fraksi, ya harusnya ditanya ulang, masuk forum lobi, kemudian divoting, baru disahkan #PansusAngketKPK.

Seperjalanan hari #PansusAngketKPK jadi dibentuk & melakukan pekerjaannya dengan agenda kerja yang sudah disusun. Bagi saya, masih ada tapinya. Anehnya lagi ketua #PansusAngketKPK DPR itu Kang Agun Gunandjar Sudarsa. Kok mesti dia? Kang Agun kan saksi dalam kasus e-KTP di penyidikan & persidangan. Apa kaga ada yang lain?. Banyak yang nilai konflik kepentingan seperti terlalu kuat dalam seluruh proses tersebut sampai ke penunjukan Kang Agun.

Dari titik pijak awal keterangan Bang Novel (baca kasus e-KTP), agenda & kerja #PansusAngketKPK DPR melebar ke mana-mana, ke sana, ke mari. Simak saja pemberitaan media massa. #PansusAngketKPK bahkan ingin mengevaluasi KPK sejak lembaga ini berdiri. Materinya, mulai dari SDM, penggunaan anggaran, kerja-kerja KPK termasuk penyadapan hingga (mau/sudah) mendatangi koruptor (juga eks koruptor). Penggunaan anggaran KPK dengan #PansusAngketKPK meminta audit yang sudah dilakukan BPK. Kalau nggak salah #PansusAngketKPK terima 10 laporan dari BPK. WTP loh!

Tentang SDM KPK, #PansusAngketKPK seperti khusus menyoroti penyidik KPK & kinerja penyidik. #PansusAngketKPK turut permasalahkan & berupaya menguliti penyadapan KPK. Output-nya agar penyadapan KPK diaudit.

Ada yang buat saya sangat kaget dengan kerja #PansusAngketKPK. Mereka datangi, minta masukan, & tertawa ria dengan para terpidana koruptor yang ditangani KPK, di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Ketemu dan ngobrol serta minta masukan dengan dan dari terpidana (juga eks) koruptor sih bagi saya sah-saja saja. Masa kaga boleh?

Tapi, kalau lihat foto-foto yang dilansir media atas kunjungan #PansusAngketKPK di Lapas Sukamiskin, Kamis (6/7/2017) saya senyum-senyum. Saya senyum-senyum bukan karena senang. Tapi saya ingat buku yang saya tulis "Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi".

Beberapa terpidana koruptor yang ditemui #PansusAngketKPK ada dalam buku tersebut. Para koruptor yang ditemui itu pidananya jelas terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, seperti putusan majelis hakim. Termasuk yang ada dalam buku "Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi". Bicara tentang buku itu mungkin ada satu korelasi dengan kerja #PansusAngketKPK DPR & penyadapan dilakukan KPK. Singkatnya, dalam buku saya menunjukan kerja penyadapan KPK sah dan diakui secara hukum & terbukti di persidangan.

Selain itu, tentang penyadapan yang dilakukan KPK saya akan hadirkan beberapa hal. Penyadapan KPK sudah diaudit & diakui Kementerian Komunikasi dan Informarika (Kemenkominfo). Silakan tanya ke Menkominfo (juga eks). Bahkan penyadapan KPK sudah diaudit, diakui, sesuai standar, & sertifikasi lembaga internasional European Telecommunications Standards Institute (ETSI). Kalau keluaran dari keinginan audit penyadapan KPK oleh #PansusAngketKPK adalah untuk dibentuk RUU Penyadapan, ya jangan cuma KPK dong diaudit.

Selain itu juga, di internal KPK sudah ada Tim Audit Penyadapan dari Direktorat Pengawasan Internal (PI). Diketuai Direktur PI. Silakan downlod Berita Negara RI No. 588, 2016 terkait Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2015 tentang Audit Penyadapan Yang Sah pada KPK. Kerja Tim Audit internal KPK paling sedikit sekali setahun. Dituangkan dalam berita acara. Kerja Tim Audit internal KPK juga dengan mengikutsertakan pihak eksternal. Jadi bukan cuman internal. Kalau penyadapan yang dilakukan melanggar, tim yang lakukan penyadapan diberikan sanksi. Jadi penyadapan KPK bukan tidak diaudit. Diaudit!!! Jangan salah kaprah.

Sebenarnya saya sih bukan ingin nilai kerja #PansusAngketKPK karena pro dengan koruptor atau tidak. Biar masyarakat saja yang nilai. Tapi, terlalu naif kalau #PansusAngketKPK ada & kerja karena berpijak awal pada kasus e-KTP. Apalagi mendatangi koruptor. Ada juga komentar-komentar "miring" dari beberapa anggota DPR untuk dukungan sejumlah kalangan ke KPK & menolak #PansusAngketKPK. Misalnya ada yang sebut: "Guru besar jangan jadikan KPK sebagai berhala". Ini nggak salah komentar begini? Di mana logikanya sindiran metafora KPK jadi berhala? Simpulan lewat metafora yang mengada-ada. Bagaimana dengan dukungan para tokoh lintas agama ke KPK seperti KH. Sholahudin Wahid pada Kamis (6/7/2017)? Mau komentar apa?

Metafora lain tentang KPK yang sering saya dengar sebelum-sebelumnya ada juga seperti: KPK bukan malaikat & KPK bukan dewa. Ya iyalah KPK bukan malaikat/dewa/berhala. KPK itu lembaga yang materi, personilnya manusia, & bukan makhluk gaib. Jadi KPK memang bukan berhala. Ngapain dijadikan sesembahan. Saya sih ogah.

Saya curiga hasil besar dari #PansusAngketKPK DPR mungkin saja untuk merevisi UU KPK. Selain, ganggu konsentrasi KPK. Curiga boleh dong. Kan saya bukan menuduh. Iya nggak?

Toh kalau ingin evalusasi SDM KPK misalnya, #PansusAngketKPK atau DPR sebaiknya dukung KPK merekrut penyelidik-penyidik independen yang banyak. Karena sekarang masih kurang. Kalau banyak bisa tangani kasus-kasus dengan lebih cepat. Bayangkan saja, sekarang komposisinya 1 penyidik bisa menangani minimal 4-5 kasus. Kalau penyidik bisa bertambah satu kali dari jumlah sekarang (sekitar 90-orang) dan penyelidik juga bertambah 1 kali dari  jumlah sekarang (sekitar 139 orang), maka mungkin banyak yang bisa jadi tersangka.

KPK juga harus serius mengangkat penyelidik-penyidik independen (sendiri). Faktanya MK menguatkan klausul KPK bisa angkat penyelidik-penyidik independen (sendiri). Bahkan kalau tentang penyadapan dilakukan KPK, faktanya MK pun memutuskan penyadapan tersebut sah secara hukum.  Untuk kelembagaan KPK, sebaiknya DPR juga dukung KPK untuk buka cabang/perwakilan di daerah. Biar makin masif pencegahan dan penindakan. Dukungan-dukungan itu lebih baik dan elegan. Bukan #PansusAngketKPK mengevalusi KPK bertumpu karena 1 kasus dengan dugaan ada politikus terlibat.

Ada lagi komentar tentang KPK yang menangani kasus e-KTP bahwa kasus e-KTP itu omong kosong. Yang komentar begitu bikin saya geleng-geleng kepala. Menilai kayak hakim yang mutusin saja. Apa dasarnya? Dengan bilang kasus e-KTP omong kosong, mau jadi hakim ya? Silakan aja deh. Itu juga kalau bisa.

Dari persidangan perdana sampai tuntutan perkara e-KTP Irman & Sugiharto yang saya ikuti, majelis hakim yang menangani sampai nggak habis pikir. Majelis hakim berkali-kali bilang, bagaimana mungkin e-KTP yang demikian bagus proyeksinya dikorup mulai pembahasan anggaran sampai pengadaan dan distribusi e-KTP dilakukan ke daerah-daerah. Majelis hakim bahkan seolah tidak percaya, tapi faktanya demikian terjadi. Apa mau dikata duit negara Rp 5,9 triliun ludes, dengan kerugian Rp 2,3 triliun tapi e-KTP belum rampung.

Sudahlah #PansusAngketKPK & DPR sebaiknya dukung saja KPK jalankan kerjanya, hentikan manuver yang tidak perlu. Para pihak yang yakin tidak terlibat kasus atau perkara santai saja. Kalau memang yang diduga terlibat ya ikutilah proses hukum.

Saya tidak antipati dengan upaya melakukan evaluasi dan pengawasan terutama DPR terhadap KPK. Tapi apa masih tidak cukup tugas & kerja yang dijalankan Komisi III DPR? Kalau mau lihat bukti-bukti yang dimiliki KPK ya silakan hadiri persidangan. Dari awal sampai akhir. Jangan setengah-setengah biar utuh informasi yang diperoleh. Kalau perlu setiap sidang datang sampai sidang ditutup majelis hakim.

Tetap bekerja KPK. Salam damai, jaya selalu Indonesia !!!.

Jakarta; Jumat, 7 Juli 2017


Sabir Laluhu
Warga biasa dan jurnalis