Minggu, 06 Januari 2013

PEKERJAAN RUMAH PENYIDIKAN KASUS KORUPSI KPK

2012 menjadi tahun yang cukup spesial bagi Komisi Pemberantasan korusp (KPK). Pasalnya lembaga antikorupsi itu melakukan 74 kegiatan penyelidikan, 68 penyidikan, dan 60 kegiatan penuntutan, baik kasus baru maupun sisa
penanganan pada tahun sebelumnya. Dari 68 penyidikan, ternyata KPK jilid III dibawah kepemimpinan Abraham Samad mampu menggarap 34 kasus yang murni disidik.

Bahkan KPK mengklaim, kasus besar yang menjadi catatan sejarah dalam pemberantasan korupsi KPK yakni, di tahun  2012 untuk pertama kali KPK menetapkan seorang jenderal polisi aktif  (Irjen Pol Djoko Susilo) dan menteri aktif (Andi Alfian Mallarangeng) sebagai tersangka. Dari kasus-kasus tersebut banyak yang menjadi perhatian publik, banyak pula yang hampir menggerus eksistensi dan tenaga komisi itu. Ada juga kasus yang mengalami perkembangan signifikan namun di sisi lain sejumlah kasus bisa dikatakan terhenti tanpa kejelasan. Berikut sejumlah kasus yang menjadi pekerjaan rumah KPK di tahun 2013 dalam catatan redaksi.

Kasus DPID, Benarkah KPK Tak Sentuh Anggota Banggar?
Kasus dugaan suap Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) tahun 2011 sendiri sudah menyeret  mantan Anggota Badan Anggaran (Banggar) Wa Ode Nurhayati dan Ketua Umum Gerakan Muda Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (Gema MKGR) Partai Golkar Fahd El Fouz (Fahd A Rafiq) ke penjara. Wa Ode yang terbukti menerima suap sebesar Rp6,25 miliar (Rp5,5 miliar dari Fahd) dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) divonis 6 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (18/10/2012). Sedangkan, Fahd hanya divonis 2 tahun 6 bulan penjara.

Beberapa kali kesempatan baik pemeriksaan di KPK maupun di persidangan, Wa Ode sering kali mengungkapkan dugaan keterlibatan anggota dan pimpinan Banggar dalam kasus tersebut. Beberapa kali nama Olly Dondokambey, Mirwan Amir, Tamsil Linrung, dan Melchias Marcus Mekeng disebut dalam persidangan. Namun sampai memasuki awal tahun 2013, KPK belum menetapkan satu pun anggota atau pun pimpinan Banggar sebagai tersangka dalam kasus DPID. Pada Kamis (22/11/2012) KPK hanya mengumumkan penetapan Haris Andi Surahman sebagai tersangka dalam kasus tersebut.

Fahd sendiri saat bersaksi untuk Wa Ode dan untuk dirinya sendiri di Pengadilan Tipikor, Jakarta beberapa waktu lalu pernah mengungkapkan, Tamsil Linrung dan Mirwan Amir mendapat jatah yang cukup signifikan dalam pengurusan alokasi DPID. Fahd menyatakan, DPID untuk Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Besar merupakan jatah pengurusan Mirwan. Sedangkan DPID untuk Kabupaten Pidie Jaya dipegang Tamsil.
Dalam kasus Wa Ode sebenarnya KPK sudah membuka penyelidikan baru. Juru bicara KPK, Johan Budi SP mengatakan, penyelidikan dilakkan setelah tim penyelidik melakukan verifikasi dan validasi fakta-fakta yang muncul di persidangan kasus Wa Ode.

“KPK tentu masih melakukan pengembangan terkait kasus DPID itu. Artinya apa, kita belum berhenti. Fakta-Fakta yang muncul di persidangan Wa Ode dan Fahd pun kita validasi,” kata Johan.

Pasca Penahanan Miranda, Keberadaan Donatur Masih Abu-Abu

Kasus suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) 2004 hampir memberikan harapan kala KPK menetapkan Miranda S Goeltom sebagai tersangka pada Kamis (26/1/ 2012). KPK menyebutkan penetapan Miranda, yang memenangi pemelihan DGS BI di tahun 2004 itu sebagai hasil dari pengembangan penyidikan kasus Nunun Nurbaetie. Penetapan ini sebenarnya menimbulkan polemik. Pasalnya Miranda diduga ditetapkan sebagai tersangka tanpa disertai surat perintah penyidikan (Sprindik) bahkan diduga hanya satu pimpinan KPK yang menyetujuinya. Namun hal itu dibantah oleh Ketua KPK Abraham Samad saat berkunjung ke redaksi RCTI beberapa waktu lalu. Menurutnya, penetapan Miranda sudah sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) KPK. Selain itu kata dia, dua alat bukti yang dimiliki KPK menjadi landasan penetapan tersebut.

“Buktinya Miranda divonis bersalahkan sama Pengadilan Tipikor. Miranda kan juga sudah divonis (3 tahun). Kalau kita melanggar prosedur mana mungkin bisa divonis bersalah,” ujar Abraham.

Namun, dalam kasus cek pelawat itu yang masih menjadi tanda tanya besar adalah siapa yang menjadi penyandang dana atau donator yang rela memberikan uang senilai Rp24 miliar untuk pembelian 480 cek pelawat. Juru Bicara KPK Johan Budi mengungkapkan, sampai saat ini kasus cek pelawat masih terus berjalan. Pihaknya kata dia, terus memburu missing link (donator) yang masih terputus dari konstruksi kasus yang sudah menjerat puluhan anggota DPR periode 1999-2004 itu.

Sementara itu, anggota DPR 1999–2004 yang juga mantan terpidana kasus itu Paskah Suzetta yang hadir sebagai saksi di KPK pada 19 April 2012 menyatakan, penyidik KPK telah menyampaikan kepadanya dalam pemeriksaan bahwa mereka tengah mengidentifikasi penyandang dana dan tersangka lain kasus tersebut. “Saya ditanya substansinya sama seperti yang lalu-lalu. Ada episode baru lagi. Sudah ada (namanya). Saya nggak mau sebutkan (di sini).Kelihatannya ada perkembangan baru, tidak akan hanya sampai ke Miranda Goeltom,” kata Paskah di Gedung KPK Jakarta.

Ketika diminta wartawan agar menyebutkan nama donatur seperti yang disebut penyidik, Paskah mengelak membeberkannya. Bahkan untuk inisial maupun ciri-cirinya yang dimaksud, Paskah menolak menjawab. Namun dia membenarkan bahwa KPK telah mengindikasikan nama pemilik atau penyumbang cek pelawat yang juga sampai ke tangannya. Paskah mengaku namanama yang diindikasikan dan ditanyakan oleh tim penyidik terkait donatur dan pelaku lainnya mencakup dua profesi, yakni politikus dan pengusaha. “Saya tidak bisa berikan inisial (indikasi nama). Ini sekarang pengusaha atau politikus,sama. Pengusaha politikus juga.Politikus pengusaha juga. Sama saja dua-duanya.Ya begitulah,” ujarnya.

Selain itu, menurut informasi yang dihimpun, KPK sudah pernah mengirim tim ke Singapura untuk mengejar donatur cek pelawat dan mengecek langsung aset yang dimilikinya. Namun dari 2 kali penerjunan langsung ke negeri Singa itu, tim KPK belum menemukan hasil yang cukup signifikan.

Wisma Atlet, Koster yang Masih Melenggang Bebas
Kasus suap pengurusan anggaran Wisma Atlet sebenarnya sudah hampir mencapai titik nadir. Dalam kasus itu, terkahir KPK menetapkan Anglina Sondakh (mantan anggota Komisi X DPR 2009-2014) sebagai tersangka menyusul M Nazaruddin, Mindo Rossalina Manulang, Wafid Muharam, dan M El Idris. Saat ini kasus Angie – sapaan akrab Angelina Sondakh, masih disidangkan di Pengadilan Tipikor, Jakarta.  Angie sendiri dituntut 12 tahun penjara disertai denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan penjara dan membayar uang pengganti Rp12,580 miliar dan USD2,350 juta. Jika tidak, Angie dapat menggganti dengan pidana penjara selama 2 tahun penjara.

Dalam dakwaan, tuntutan, dan fakta persidangan yang muncul ternyata mencuat nama politisi PDIP I Wayan Koster yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. JPU pada sidang perdana Angie misalnya menyebutkan, Koster  yang menjadi anggota Komisi X DPR menerima uang Rp5 miliar dan USD2,05 juta dari PT Permai Group. Apabila dana USD2,05 juta dirupiahkan dengan asumsi kurs Rp9.500 per dolar saat ini, maka setara Rp19,5 miliar. Penerimaan uang itu diduga untuk memuluskan pembahasan anggaran pengadaan wisma atlet Kemenpora serta pengadaan laboratorium/ rumah sakit universitas Kemendikbud.

Koster dalam beberapa kali kesempatan, membantah semua tudingan jaksa yang disebutkan dalam dakwaan Angie yang berdasarkan pada keterangan Rosa. Politikus PDIP itu menyatakan dirinya tidak pernah sekali pun menerima sejumlah uang seperti yang disebutkan oleh Rosa.

Sementara itu, Ketua KPK Abraham Samad usai berdiskusi dengan redaksi RCTI Senin (24/12/2012) mengaku, tidak ingin dipaksa dan didesak untuk memberhentikan dan melanjutkan pengembangan penyidikan kasus Wism Atlet.  Jawaban itu disampaikan Abraham untuk menjawab pertanyaan apakah KPK akan berhenti hanya sampai di penetapan Angelina Sondakh (Angie) saja sebagai tersangka terakhir Wisma Atlet.  “Jadi begini, kalau ternyata dari hasil penyidikan dan pengembangan kasus itu tidak ada lagi pihak lain, kita berhenti. Kalau dari pengembangan itu  ternyata masih ada pihak-pihak lain terlibat kita lanjutkan. Biarkanlah KPK dengan alat buktinya menentukan sendiri sikap profesionalnya,” ujar Abraham.

Menunggu Bukti  Keterlibatan Pejabat Kemenag dalam Kasus Alquran
Kasus dugaan suap pengurusan anggaran pengadaan Alquran dan laboratorium komputer MTs di Kementerian Agama (Kemenag) tahun anggaran 2010-2012 masih menyisakan pekerjaan rumah tersendiri bagi KPK. Sampai saat ini KPK masih berkutat pada penyidikan perkara kasus ayah dan anak, Zulkarnaen Djabar dan Dendy Prasetya.

Padahal dalam sangkaan terhadap Zulkarnaen (mantan Wakil Bendahara Umum Partau Golkar) tertuang jelas bahwa Zulkarnaen mengarahkan oknum PNS di Ditjen Bimas Kemenag untuk memenangkan perusahaan tertentu dalam pengadaan Alquran. Selain itu, yang bersangkutan juga telah dengan nyata mendorong, mengarahkan, dan meminta oknum di Ditjen Pendis dalam tender pengadaan laboratorium MTs untuk memenangi PT BKM serta dalam pengadaan sistem komunikasi laboratorium MTs untuk memenangkan PT Karya Sinergy Alam Indonesia (KSAI).

Kasus ini sebenarnya menjadi perhatianh public terutama dari segi ‘korupsi Alquran’. Apalagi hampir 90 % penduduk Indonesia, beragama Islam.

Selain menyidik kasus ZD dan Dendy, ternyata KPK tengah menyelidiki kasus tersebut dari sisi pengadaannya. Dalam pengadaan inilah lembaga antikorupsi itu tengah membidik keterlibatan pejabat Kemenag. Sementara berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, pekan kedua Januari 2013 KPK akan melakukan gelar perkara terkait pengadaan dalam kasus tersebut khususnya keterlibatan oknum-oknum PNS Kemenag. Gelar perkara itu dilakukan untuk melihat peluang sejauh mana penyidikan dan penyelidikan kasus Alquran. Bila mana diperlukan dengan ketersediaan 2 bukti tentu saja ada pihak-pihak yang akan dimintai pertanggungjawaban secara hukum.

Emir Moeis Belum Pernah Diperiksa
KPK secara resmi mengumumkan penetapan status tersangka kepada Ketua Komisi XI DPR Izedrik Emir Moeis 26 Juli 2012. Sementara surat perintah penyidikan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-36/01/07/2012 atas nama Izedrik Emir Moeis (IEM) telah dikeluarkan tanggal 20 Juli 2012.

Politikus asal PDI Perjuangan tersebut diduga menerima suap senilai lebih dari USD300.000 (Rp2,8 miliar) dalam pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, tahun anggaran (TA) 2004. Dalam kasus itu, Emir Moeis diduga menerima hadiah atau janji dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR periode 1999–2004 dan atau periode 2004–2009 dari PT Alstom Indonesia (AI). Untuk kepentingan penyidikan, Emir Moeis telah dicegah ke luar negeri selama enam bulan.

KPK mengungkapkan, pengusutan proyek PLTU Tarahan ini merupakan pengembangan kasus korupsi pengadaan outsourcing roll out customer information service rencana induk sistem informasi (CISRISI) di PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang (Disjaya). Kasus pengadaan CISRISI tersebut telah menyeret mantan Direktur Utama PLN Eddie Widiono yang telah divonis lima tahun penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sampai memasuki tahun 2013, KPK belum pernah memeriksa Emir baik sebagai saksi atau pun tersangka dalam kasus PLTU Tarahan itu. Padahal, Emir pernah menyatakan kesiapannya diperiksa KPK sebagai tersangka kasus tersebut. "Ya haruslah. Sebagai warga negara yang baik, kita ikuti proses hukum yang berlaku," ujarnya usai menjadi saksi dalam sidang terdakwa Miranda Swaray di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (03/09/12) lalu.

Hambalang ke Arah Mana Anak Tangga Berikutnya
Wakil Ketua KPK BIdang Penindakan Bambang Widjojanto selalu mengibaratkan pengusutan dan penyidikan kasus dugaan korupsi Sport Center Hambalang seperti menaiki anak tangga.  Saat penetapan Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar sebagai tersangka pertama Hambalang pada Kamis (19/7/2012), Bambang menyebutkan, kasus Hambalang bisa saja menyasar ke anak tangga berikutnya. Dia memastikan akan terus mengembangkan kasus tersebut. KPK juga akan menjerat oknum-oknum lain yang pada penyidikan ternyata ditemukan indikasi keterlibatannya.

Tak berselang lama, pada 3 Desember 2012 KPK langsung menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Alfian Mallarangeng sebagai tersangka kasus itu. Uniknya penetapan itu ‘hanya’ diketahui wartawan lewat surat cekal yang dikeluarkan KPK pada tanggal yang sama dan ditunujukkan oleh Bambang saat konfrensi pers 5 Desember 2012. Satu hari berselang, Abraham Samad mengumumkan status Andi Mallarangeng secara resmi.

Beberapa pihak menduga ada keterlibatan Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardodjo, Wamenku dan eks Dirjen Anggaran Anny Ratnawati sebagai tersangka. Sementara KPK mengaku saat ini tengah menelusuri keterlibatan penyelenggara Negara baik dari anggota legislatif maupun eksekutif. Bahkan tidak menutup kemungkinan, KPK terus mengusut keterlibatan kontraktor dan subkontraktor dalam kasus bernilai lebih dari Rp2,5 triliun itu. Lembaga antikorupsi itu pun sudah mencekal sejumlah pihak untuk bepergian ke luar negeri. Untuk mengembangkan kasus itu juga terkahir KPK menggeledah 3 tempat yakni, ruumah Munadi Herlambang (Direktur Utama PT Msons Capital dan kader Partai Demokrat) jalan Tanjung Barat Indah Blok l /18 Jakarta Selatan, kantor PT Wijaya Karya jalan DI Panjaitan dan kantor PT Adhi Karya jalan Pasar Minggu.

"Data, informasi dan dokumen hasil geledah pasti harus dipelajari dan ditelaah lebih dulu. Dan jika ada hasilnya pasti akan digubakan untuk kepentingan pengembangan dan pendalaman penyidikan bukan untuk publik," kata Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bambang Widjojanto saat dihubungi di Jakarta, Jumat (4/1).

Kasus ini layak ditunggu, jika melihat konstruksinya kasus itu sudah mencapai ‘puncak’ dengan menjerat Andi Mallarangeng sebagai tersangka dari unsur Kemenpora. Namun yang menjadi pertanyaan besar publik yakni ke arah mana anak tangga kasus Hambalang ini.

“Kami masih terus mengembangkan penyidikan dan penyelidikan kasus Hambalang. Di penyelidikan kita lihat apakah ada suap atau keek back kepada penyelenggara Negara,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP.

Dari penelusuran, seorang sumber KPK mengungkap rentetan konstruksi kasus, bukti, dan fakta penyidikan, KPK segera memanggil sejumlah anggota DPR yang komisinya bertugas dalam pembahasa anggaran proyek Sport Center Hambalang. Namun sumber itu belum mau mengungkapkan nama-nama anggota dewan itu. "Lihat saja nanti, bisa jadi ada anggota komisi di DPR yang berkaitan dengan pembahasan anggaran juga yang akan dipanggil," bebernya.

Dalam kasus Hambalang terdapat beberapa nama yang terlibat. Terpidana wisma atlet M Nazaruddin menyebutkan, penanggungjawab penuh pembahasan anggaran proyek Hambalang di Komisi X DPR yakni mantan Ketua Komisi X Mahyuddin NS. Selain itu nama I Wayan Koster turut disebut-sebut terlibat dalam pembahasan anggaran Hambalang. Dua anggota DPR itu pun sudah berkali-kali membantah keterlibatan mereka.

Andi Mallarangeng ditetapkan secara resmi sebagai tersangka pada 3 Desember 2012 dan diumumkan pada 6 Desember 2012. Mantan Menpora itu diduga kuat menyalahgunakan kewenangannya untuk pengadaan proyek Sport Center Hambalang sehingga merugikan negara miliaran rupiah.

Mantan Juru Bicara Kepresidenan itu dikenakan pasal berlapis dengan ancaman pidana seumur hidup yakni, pasal 2 ayat (1) dan/atau pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.  Sementara Deddy Kusdinar disangka melanggar 2 ayat (1) dan/atau pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana.

Century Mandek di Saksi Pertama
Pasca penetapan secara resmi Budi Mulya (BM) dan Siti Chalimah Fajriyah (SCF), KPK baru memeriksa satu sakti yakni Zainal Abidin. Pemeriksaan itu tak ayal menimbulkan asumsi KPK tidak terlalu serius mengusut tuntas kasus tersebut.

Padahal, saat pengumuman secara resmi BM dan SCF sebagai tersangka baik juru bicara KPK maupun jajaran pimpinan KPK mengaku akan menjadikan kasus Centuty sebagai bagian dar fokus penyidikan. Ketua KPK Abraham Samad pun pernah menyebutkan, mantan Gubernur BI yang kini menjabata sebagai Wakil Presiden Boedino terlibat dalam pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) terhadap Bank Century.  Dia juga menjelaskan, pihaknya bisa memeriksa siapa pun termasuk Boediono dalam kasus itu.

Di sisi lain, saat bertandang ke redaksi RCTI, Abraham mengaku, sejauh ini pihaknya meyakini banyak oknum yang terlibat dalam kasus tersebut. Sayangnya, Abraham belum mau mengungkap siapa identitas tersangka baru kasus tersebut. Dia beralasan pengungkapan identitas calon tersangka ke publik akan mengganggu proses penyidikan dan pengumpulan barang bukti serta fakta hukum yang tengah dilakukan KPK. ”Penetapan Budi Mulya dan Siti Fajriyah itu sebagai tersangka kan ibaratnya hanya anak tangga. Dalam kasus Century yang canggih ini tentu ada tersangka lain yang itu tentu sedang kita telusuri bukti-buktinya. Tapi, saat ini kita fokus dulu di penyidikan saksi-saksi BM dan SCF. Kita mohon teman- teman media bersabar mengikuti perkembangannya,” paparnya.

Yang layak ditunggu adalah, apakah KPK benar-benar berkeinginan memeriksa Boediono dan siapa tersangka baru tersebut?

Sidang Internasional Kemlu, Eks Sekjend Kemlu Diperintah Presiden

Kasus sidang/konfrensi internasional di Kemnterian Luar Negeri (emlu) ini sebenarnya merupakan kasus lama. Lihat saja, KPK sudah menetapkan Sudjadnan Parnohadiningrat, mantan Sekretaris Jenderal Kemenlu menjadi pejabat pembuat komitmen sebagai tersangka dalam kasus di tahun anggaran 2004-2005

Menariknya, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Megeri (Sekjen Kemlu) Sudjadnan Parnohadiningrat mengaku terpaksa menjalankan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan Presiden Megawati Soekarno Putri untuk melaksanakan sidang/konfrensi internasional tahun 2004-2005. Menurutnya, pelaksanaan acara yang dihadiri oleh perwakilan dari beberapa negara itu juga mendapat persetujuan dari presiden, baik Presiden Megawati maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sekedar diketahui, pada tahun 2004, kepemimpinan Megawati sebagai presiden telah berakhir dan posisinya digantikan oleh SBY usai memenangi Pemilu 2004.

"Itu perintah presiden. Presiden SBY maupun Presiden Megawati. Yang namanya orang terpaksa melakukan pekerjaan karena tugas. Prosedur dan Keppres terlanggar. Kalau konferensi internasional kan menyangkut negara lain yang sudah sanggup mau datang," bebernya usai diperiksa KPK pada Rabu (19/12/2012).

Dalam kasus ini, KPK sudah pernah memeriksa mantan Menlu Nur Hassan Wirajuda pada Selasa (18/12/2012). Dia mengatakan, dalam penyelenggaran konfrensi internasional di tahun 2004-2005 merupakan kebijakan Presiden sejak era Megawati Soekarno Putri dan belakangan di era Presiden SBY. "Diplomasi diperintahkan untuk menyelenggarakan konferensi-konfrensi internasional yang sifatnya pertama untuk membantu pemulihan negeri dan krisis kita dr keterpurukan kita. Dan yang kedua mengangkat kembali harkat dan derajat bangsa dan negara kita," kata Hassan usai diperiksa menjadi saksi bagi Sudjadnan.

Simulator, masih adakah Jenderal Polisi lain?
Dalam kasus simulator, KPK telah menetapkan empat tersangka yakni, Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo S Bambang, mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo, Wakil Kepala Korlantas Brigjen Didik Purnomo dan Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto. Proyek simulator ini mencapai nilai Rp196,8 miliar. Sedangkan kerugian negara yang diperkirakan KPK lebih dari Rp100 miliar. Kasus ini lah yang mejadikan KPK mampu menciptakan sejarah karena menetapkan dua jenderal polisi aktif sebagai tersangka.

Tak bisa dipungkiri, kasus ini merupakan salah satu sebab terjadinya perseteruan antara KPK vs Polri. Sebelumnya, Jumat, 5 Oktober 2012 KPK memeriksa Irjen Pol Djoko Susilo untuk pertama kalinya. Usai menjalani pemeriksaan selama 9 jam Irjen Djoko tidak langsung ditahan. Bersama para pengacaranya seperti Juniver Girsang dan Hotma Sitompul langsung meninggalkan gedung antikorupsi itu. Padahal satu hari sebelumnya, Ketua KPK Abraham Samad sudah memastikan ke publik bahwa hari itu pihaknya langsung menahan tersangka.

Pasca pemeriksaan pertama  itu, sekitar pukul 18.30 puluhan perwira polisi berseragam dan berpakaian safari dari Mapolda Bengkulu dan Mapolda Metro Jaya mengepung gedung KPK untuk menjemput paksa salah satu ketua tim satgas kasus simulator sim Kompol Novel Baswedan. Situasi saat itu sangat mencekam, apalagi 3 pimpinan KPK sedang berada di luar kota saat pemeriksaan Irjen Djoko dan peristiwa penjemputan Kompol Novel itu terjadi.

Sekedar diketahui, penyidikan kasus simulator dan penjemputan paksa itu yang disertai penarikan-pengunduran diri penyidik Polri yang dipekerjakan di KPK membuat hubungan KPK-Polri memanas. Untuk mengantisipasi meluasnya konflik dua lembaga penegak hukum tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumpulkan Ketua KPK dan Kapolri. Akhirnya keluar keputusan lewat pidato Presiden yang diantarannya, diputuskan  kasus simulator sim seluruhnya diserahkan penangannya ke KPK, untuk saat ini penanganan kasus Kompol Novel ditangguhkan, dan dilakukan revisi PP No 63/2005 menjadi PP 103/2012 tentang Sistem Sumber Daya Manusia (SDM) KPK.

Sebenarnya, kasus simulator SIM ini publik berharap KPK dapat menjadikanya sebagai pintu masuk untuk mengungkapkan keterlibatan jenderal lain. Namun sampai pemeriksaan saksi terkahir yakni Ketua Panitia Lelang pengadaan simulator AKBP Teddy Rusmawan akhir pekan lalu, harapan itu menguap begitu saja.

"Jangan terhenti pada Irjen Djoko Susilo saja. Berdasarkan fakta dan bukti harus usut tuntas semua tanpa pandang bulu. Dengan mengusut tuntas terhadap siapapun, maka niscaya akan memberikan harapan pada publik akan penegakan hukum yang lebih baik ke depan," tandas Anggota Komisi III DPR dari fraksi Partai Demokrat (PD) Didi Irawadi Syamsuddin.

Gubernur Riau belum Ditersangkakan, Aliran Dana ke DPR Masih Buram
Di antara sekian banyak kasus yang ditangani KPK, kasus suap pembahasan revisi Perda No 6/2010 tentang pembangunan lapangan tembak Pekan Olahraga Nasioanal (PON) Riau 2012 merupakan kasus yang hampi mandek penyidikannya.  Pasalnya, pasca penetapan KPK menetapkan 13 tersangka yakni, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau Lukman Abbas dan Wakil Ketua DPRD Riau Taufan Andoso Yakin (FPAN), Muhammad Faisal Aswan (FPKB) dan Muhammad Dunir (F Golkar), mantan Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Dinas Pemuda dan Olahraga Riau Eka Darma Putra, staf PT Pembangunan Perumahan Rahmat Syahputra, Adrian Ali (PAN), Abubakar Sidiq , Tengku Muhazza (Demokrat), Syarif Hidayat, M Rum Zein, Zulfan Heri, dan Rukman Asyardi (PDIP) tak ada satu pun pihak yang diperiksa lagi oleh KPK.

Sementara itu, nama Gubernur Riau M Rusli Zainal  dimunculkan JPU dalam surat dakwaan para tersangka yang dibacakaan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Riau. Ketua DPD Partai Golkar Riau itu diduga kuat memerintahkan Lukman lewat saluran telepon supaya dapat memenuhi permintaan anggota DPRD Riau untuk memberi fee untuk pemulusan pembahasan revisi perda itu. Sejauh ini menurut KPK, Rusli masih berstatus sebagai saksi dalam kasus ini.

Di sisi lain, dalam sidang beberapa tersangka di Pengadilan Tipikor Riau terungkap adanya aliran uang Rp9 miliar ke DPR RI. Pada Kamis (2/8/2012) Lukman Abbas yang bersaksi menyebutkan, dirinya pernah menyerahkan uang kepada Komisi X DPR RI sebesar Rp9 miliar atau  USD1.050.000. Uang itu paparnya, diberikan kepada Kahar Muzakir (anggota Komisi X DPR dari fraksi Partai Golkar). Uang itu diserahkan dengan maksud sebagai alat pemulusan permintaan tambahan dana PON yang berasal dari APBN sebesar Rp290 miliar. Di awal Februari 2012, Lukman mengaku, menemani Rusli Zainal dalam pengajuan proposal bantuan tersebut. Proposal itu lalu disampaikan Rusli kepada Setya Novanto (politisi Partai Golkar).

Dalam kasus ini sendiri, KPK sudah pernah memeriksa Kahar dan Setya serta Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono. Ketiganya pun sudah membantah keterlibatannya dalam kasus suap revisi Perda PON tersebut.

Sampai saat ini, penyidikan dan penyelidikan kasus suap PON ini belum mencapai hasil yang memuaskan. KPK bahkan belum mampu menjerat Gubri Rusli Zainal dan pihak lain yang sudah muncul di fakta persidangan. Selain itu, aliran uang Rp9 miliar ke Senayan pun masih buram tanpa kejelasan. KPK beralibi, penyidikan dan penyelidikan yang mereka lakukan termasuk dalam kasus PON Riau selalu berdasar pada keberadaan 2 alat bukti yang cukup.

Sementara berdasarkan informasi yang dihimpun, seorang sumber di internal KPK menyebutkan, dalam kurun waktu beberapa pekan lagi  KPK segera mengumumkan Rusli Zainal sebagai tersangka kasus itu. Meski demikian dia mengaku, lamanya proses penetapan itu karena masih ada pimpinan KPK yang belum mau menjadikan Rusli sebagai tersangka meski pun KPK sudah lama memiliki 2 alat bukti yang cukup.(SABIR LALUHU)