Rabu, 06 September 2017

Sepakterjang Hakim Praperadilan KTP Elektronik Setya Novanto

Sabir Laluhu

Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) sudah resmi mengajukan gugatan praperadilan melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Gugatan didaftarkan pada Senin, 4 September 2017 lalu.

Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR periode 2009-2014, Setnov ditetapkan oleh KPK menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pembahasan dan pengesahan anggaran serta pengadaan proyek kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) 2011-2012.

Penetapan Setnov sebagai tersangka tersebut, adalah hasil pengembangan dari perkara KTP-el dengan terdakwa Irman dan Sugiharto serta tersangka saat itu Andi Agustinus alias Andi Narogong. Pengumuman penetapan Setnov sebagai tersangka berlangsung sebelum vonis pidana penjara atas nama Irman dan Sugiharto dibacakan. Vonis Irman dan Sugiharto dibacakan pada Kamis, 20 Juli 2017.

Persidangan perkara dugaan korupsi KTP-el terdakwa Irman dan Sugiharto. Foto: Sabir Laluhu.
PN Jaksel pun sudah menunjuk hakim Cepi Iskandar sebagai hakim tunggal yang menangani gugatan tersebut. Bahkan berdasarkan pemberitaan berbagai media massa, Humas PN Jaksel Made Sutrisna menyebutkan, sidang perdana gugatan praperadilan Setnov bakal digelar pada Selasa, 12 September 2017.

Berdasarkan data dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jaksel yang berhasil diakses penulis per pukul 19:05 WIB pada Selasa, 6 September 2017, gugatan itu terdaftar dengan nomor perkara: 97/Pid.Pra/2017/PN JKT.SEL. Dalam laman tersebut tercantum 6 permohonan (petitum) Setnov selaku pemohon dalam gugatannya.

Satu, mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya. Dua, menyatakan batal/batal demi hukum dan tidak sah penetapan tersangka terhadap Setnov yang dikeluarkan oleh KPK selaku termohon berdasarkan Surat No. 310/23/07/2017 tanggal 18 Juli 2017, perihal ‘Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan’ dengan segala akibat hukumnya.

“Memerintahkan TERMOHON untuk menghentikan penyidikan terhadap SETYA NOVANTO (PEMOHON) berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Sprin.Dik-56/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017.” bunyi petitum ketiga.

Empat, memerintahkan KPK untuk mencabut penetapan pencegahan terhadap Setnov sejak putusan dalam perkara ini diucapkan, dalam hal dilakukan pencekalan terhadap Setnov. Lima, memerintahkan KPK untuk mengeluarkan Setnov dari tahanan apabila Setnov berada di dalam tahanan sejak putusan dalam perkara ini diucapkan.

“Menyatakan batal dan tidak sah segala penetapan yang telah dikeluarkan oleh TERMOHON terhadap SETYA NOVANTO (PEMOHON),” demikian petitum keenam.

Sebelum bicara tentang proses persidangan dan apa saja yang disiapkan pihak Setnov maupun KPK, saya coba melakukan penelusuran informasi, data, dan rekam jejak hakim tunggal Cepi Iskandar dari berbagai sumber.

Dari laman PN Jaksel, Cepi Iskandar tercatat memiliki nomor induk pegawai (NIP) 195912151988031005. Pria kelahiran Jakarta, 15 Desember 1959, ini berpangkat Pembina Utama Madya (IV) golongan (d). Cepi memegang status sebagai hakim madya utama.
Hakim Cepi Iskandar. Sumber foto: Web PN Jaksel

Sebelum menjadi hakim PN Jaksel, Cepi pernah menjabat sebagai Ketua PN Purwakarta, Jawa Barat kurun 2013 - 7 Agustus 2015. Perpindahan tugas dari PN Purwakarta ke PN Jaksel tersebut tercatat dalam dokumen hasil rapat Hasil Rapat Tim Promosi Mutasi (TPM) Mahkamah Agung (MA) tertanggal 27 Mei 2015. Nama Cepi berada diurutan 267 hakim yang dimutasi, dari jabatan Ketua PN Purwakarta menjadi hakim PN Jakarta Selatan. Di PN Jaksel, Cepi juga pernah diamanahkan sebagai Kasubag Keuangan, Kasubag Personalia.

Hakim pemegang gelar akademik Sarjana Hukum dan Master Hukum ini hakikatnya pernah menjadi Wakil Ketua PN Depok sebelum memegang tampuk kepemipinan di PN Purwakarta. Jabatan Wakil Ketua PN Depok dipegang Cepi hingga Juli 2013, bila dilihat dari hasil rapat TPM hakim tertanggal 16 Juli 2013.

Jauh sebelum itu, Cepi pernah menjadi hakim pada PN Bandung. Di Bumi Parahiyangan, Cepi sempat dipercaya menjadi Humas PN Bandung. Hal ini diketahui bila dilihat dari Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri/Hubungan Industrial Bandung Nomor: W11. U1./1584/KP.04.10/VI/2009 tentang Penunjukkan Hakim Pengawas Bidang tertanggal 11 Juni 2009 yang diteken Ketua PN saat itu Kresna Menon.

Selain itu, Cepi pernah bertugas di PN Tanjung Karang, Provinsi Lampung. Di Negeri Tanoh Lada Cepi bertugas kurun 2011-2012. Nah, bagaimana dengan perjalanan dan sepakterjang hakim Cepi selama bertugas di sejumlah pengadilan tersebut di atas?

Sebelum menjawab itu, baiknya kita menyimak data hakim pengadilan negeri yang sudah bersertifikasi (penanganan perkara) tindak pidana korupsi (tipikor) per Agustus 2016. Berdasarkan data tersebut, hakim Cepi tercatat di urutan 85 sebagai hakim PN Jaksel yang sudah mengikuti pendidikan dan pelatiahan (diklat) tipikor angkatan III tahun 2008.

Menariknya bukan kali ini saja, dalam kaitan dengan gugatan Setnov, hakim Cepi bersentuhan dengan perkara atau kasus yang ditangani KPK.  Selama bertugas di PN Tanjung Karang, hakim Cepi pernah duduk sebagai ketua majelis hakim perkara korupsi pengadaan alat Customer Information System (CIS), untuk mantan General Manager PT. PLN (Persero) Wilayah Lampung, Hariadi Sadono yang duduk sebagai terdakwa.

Cepi bersama anggota majelis hakim Mochtar Ali dan Ahmad Baharuddin Naim menghukum Hariadi dengan pidana penjara selama 4 tahun, denda Rp 250 juta subsidair 3 bulan kurungan, dan uang pengganti sebesar Rp 137.380.120 subsidair 2 tahun. Vonis tersebut dijatuhkan pada Agustus 2011. Perkara Hariadi ditangani JPU pada KPK yang terdiri atas KMS Abdul Roni, Pulung Rinandoro, dan Dzakiyul Fikri. Ini sesuai dengan yang tercantum dalam salinan putusan perkara nomor Nomor 3/Pid.TPK/2011/PN.TK atas nama Hariadi.

Selain itu, Cepi juga pernah memegang palu sebagai ketua majelis hakim perkara terdakwa mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (Kadis PU) Kota Bandar Lampung Sauki Shobier, terkait korupsi dana retensi Infrastruktur Rp 1,9 miliar. Sauki dihukum dengan penjara selama 1 tahun 6 bulan pada Januari 2012. Perkara ini ditangani Kejaksaan.

Cepi pun bersentuhan dengan penanganan perkara korupsi di Pengadilan Tipikor Bandung. Dia duduk sebagai ketua majelis hakim perkara korupsi pengadaan buku Kimia dan Biologi untuk SLTP se-Jawa Barat senilai Rp 14,4 miliar dengan kerugian Rp 4,9 miliar.

Perkara yang ditangani Cepi dengan terdakwa ketua pengadaan buku SLTP pada Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Joko Sulistio. Joko divonis bebas pada Juli 2007. Padahal sebelumnya terungkap bahwa adanya korupsi diduga terjadi karena penunjukan langsung PT. Balai Pustaka sebagai penerbit buku. Silakan lihat berita ‘PN Bandung Putus Bebas Terdakwa Korupsi Dana Buku Rp4,9 Miliar’ yang dilansir Merdeka.com pada Senin, 30 Juli 2007.

Selain pidana khusus dalam delik korupsi, hakim Cepi pun pernah menangani pidana umum. Sebagai contoh, rekam jejaknya di PN Depok ada tiga yang kami hadirkan. Pertama,  Cepi sebagai ketua majelis hakim perkara pencabulan atas nama terdakwa Diky Ananda Putra (anak dari wakil rektor salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang).  Pada Februari 2013, Diky divonis 5 tahun penjara.

Kedua, Cepi dipercaya menjadi ketua majelis perkara pembunuhan yang dilakukan terdakwa Alfiansyah atau Beben. Majelis memastikan Baben terbukti melakukan pembunuhan terhadap Dwi Julianti (16 tahun). Beben dijatuhi pidana penjara selama 15 tahun pada Juli 2012.

Ketiga, Cepi juga menjadi ketua majelis perkara penjualan bayi atas nama terdakwa Mery Susilawati. Mery divonis 6 tahun bui pada Juli 2012.

Di PN Depok, Cepi beberapa kali menangani perkara gugatan perdata. Satu di antaranya, gugatan yang diajukan Prihatini Rahayu yang diwakili oleh tim kuasa hukum yang terdiri atas Sugeng Teguh Santoso, Yanuar Prawira Wasesa, dan Martina. Gugatan ini melawan PT. Bahari Brother Pratama, PT. Interkongaro Mitratama, dan Herry Wiyono.

Gugatan ini tertanggal 27 Oktober 2011 dan tercatat dibawah register Nomor: 163/Pdt.G/2011/PN.Dpk. Perkaranya terkait dengan sengketa sita jaminan terhadap tanah dan bangunan milik Prihatini Rahayu. Pada Juli 2012, Cepi bersama dua anggota majelis hakim mengeluarkan putusan, di antaranya, “Menyatakan Pelawan  (Prihatini Rahayu ) adalah pemilik yang sah atas tanah dan bangunan yang terletak dan oleh umum dikenal dengan nama Jalan Cendana II Nomor : B-16 Cinere Rt.02 Rw.04 Kelurahan Cinere Kecamatan Limo Depok, berdasarkan Sertifikat Hak Milik Nomor : 3816/Cinere yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Depok.”

Hakim Cepi saat sidang gugatan praperadilan HT. Sumber foto: SINDOPhoto.
Rekam jejak dan sepakterjang hakim Cepi mulai menjadi perhatian publik saat bertugas di PN Jaksel. Cepi sebagai hakim tunggal menangani sidang gugatan praperadilan terkait penetapan Ketua Umum Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri atas pengiriman pesan singkat (SMS) kepada Jaksa Yulianto

Tepat Senin, 17 Juli 2017, hakim Cepi memutuskan menolak permohonan praperadilan yang diajukan HT. Putusan tersebut banyak mendapat sorotan sejumlah kalangan.

Masih dari gugatan praperadilan di PN Jaksel. Cepi dipercaya sebagai hakim tunggal yang menangani gugatan praperadilan yang dimohonkan tersangka Latif Kusuma melawan Polda Metro Jaya. Latif adalah tersangka kasus dugaan pemalsuan surat-surat warkah tanah di Cilandak. Pada Maret 2016, Cepi memutuskan memenangkan Latif dan mengalahkan Polda Metro Jaya.

Di PN Jaksel, Cepi juga menangani perkara pidana. Sebagai misal, Cepi duduk sebagai hakim anggota perkara penghinaan Presiden atas nama terdakwa Yulian Paonganan alias Ongen. Ongen didakwa dengan dugaan pelanggaran Undang-undang (UU) Pornografi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atas unggahan foto Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Nikita Mirzani. Dari lansiran media, pada Mei 2016 Ongen diputus bebas berdasarkan putusan sela. Hal ini juga termuat dalam salinan putusan perkara nomor: 354/Pid. Sus/2016/PN. JKT. SEL.

Masih di PN Jaksel, hakim Cepi pun menjadi ketua majelis hakim gugatan PT. Almaron Perkasa (anak perusahaan Lippo Group) selaku pengembang Super Blok Project Mall Kemang Village. Perusahaan menggugat tiga orang ahli waris dari almarhum Haji Saat Bachtiar selaku pemilik tanah seluas 490 M2, dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 4885/Bangka.

Tanah tersebut terletak di Jalan Kemang VI Kelurahan Bangka, Kecamatan Mampang Prapatan, Jaksel. Tiga ahli waris tadi yakni Ali Said, Agus Sofyan, dan Nurul Azizah.

Perkara berkualifikasi perbuatan melawan hukum ini diputus pada Rabu, 29 Juni 2016. Dalam pokok perkara ada empat putusan. Pertama, mengabulkan gugatan penggugat (PT. Almaron Perkasa) untuk sebagian. Kedua, menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum kepada Penggugat. Ketiga, menghukum Para Tergugat dan Turut Tergugat untuk tunduk dan taat pada putusan dalam perkara ini. Terakhir, menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.

Begitulah narasi panjang hakim Cepi Iskandar dari PN Bandung, Depok, Tanjung Karang hingga Jaksel. Dengan melihat ragam perkara yang ditangani dan diadili Cepi di atas, maka layak disimak, dipantau, dan ditunggu  seperti apa proses persidangan gugatan praperadilan Setya Novanto. Yang jelas kita tetap memberikan optimisme dan harapan besar hakim Cepi akan bertindak sesuai dengan tugasnya sebagai penegak keadilan hukum.

Apakah Setya Novanto yang memenangkan pertarungan atau KPK malah yang menang? Kita akan melihat siapa yang akan bertepuk tangan dan membusungkan dada.[]

Minggu, 03 September 2017

Aseng dan Runtuhnya Argumentasi Rp 5 Miliar Pengurusan Perkara

Sabir Laluhu

Beberapa pekan lalu sempat ramai beredar di media sosial tentang meme berisi pernyataan dari terdakwa pemberi suap So Kok Seng alias Tan Frenky Tanaya alias Aseng.

Sumber: google
Untuk diketahui, Aseng adalah Komisaris Utama PT. Cahayamas Perkasa yang menjadi terdakwa pemberi suap lebih dari Rp 18,7 miliar. Perkara atas nama Aseng diselidiki dan disidik hingga dituntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Isi tulisan saya ini sebenarnya pernah tercantum dalam sebagian cuitan saya sebelumnya dengan dengan hastag #faktasebenarnyamemeaseng. Cuitan saya sebelumnya dan tulisan ini tentu saja saya dasari dari hasil persidangan perkara suap terdakwa Aseng dan terdakwa lain sebelumnya.

Suap terkait dengan pengurusan pengusulan dan pengesahan program aspirasi Komisi V DPR ke APBN 2015 dan 2016 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Program aspirasi tersebut dalam bentuk proyek infrastruktur (jalan), khususnya di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Maluku dan Maluku Utara berada di bawah wilayah kerja Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX.

Di meme tadi ada kutipan langsung “5 MILIAR ITU UNTUK KPK, TAPI SAYA DIMINTA BERBOHONG” dan tanda pagar #KPKMULAITERBONGKAR.  Di bagian kanan bawah, meme itu menyertakan sumber kutipannya dari Detik.com. Mungkin maksudnya berita Detik.com dengan judul ‘Divonis 4 Tahun Bui, Aseng Bantah Beri Uang ke Anggota DPR’, yang dilansir Senin, 31 Juli 2017.

Menarik kalau melihat pernyataan Aseng tentang uang Rp 5 miliar. Aseng menyebutkan, “Penyidik itu pernah bilang ke saya jangan bilang ke KPK, tapi bilang buat sisa fee. ... KPK tidak punya data itu semua, saya yang buka ke penyidik, tapi penyidik selalu untuk berbohong ke Yudi dan Musa. Kalau Kurniawan kasih ke Yudi tidak tahu.”

Dalam meme tertulis, keterangan tersebut disampaikan Aseng di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin, 31 Juli 2017. Tapi si pembuat meme tidak mencantumkan apakah dalam sidang atau setelahnya. Padahal kalau merujuk sumber berita Detik.com tadi, pernyataan diberikan Aseng seusai sidang putusan vonis atas nama Aseng. Harusnya si pembuat meme mencantumkan keterangan ‘seusai sidang’. Jangan seolah-olah di dalam persidangan.

Dari sisi semiotika komunikasi, ada sedikitnya 4 pesan yang disampaikan si pembuat meme (komunikator) kepada pembaca meme (komunikan). Satu, ingin menunjukkan bahwa ada kebobrokan di internal KPK. Kebobrokan itu tentang dugaan aliran uang ke oknum internal.

Dua, ada penyimpangan oknum penyidik saat melakukan pemeriksaan dengan meminta Aseng berbohong. Tiga, secara tidak langsung menafikan  bahwa uang Rp 5 miliar tersebut bukan untuk tersangka penerima suap Yudi Widiana Adia. Yudi adalah Wakil Ketua Komisi V DPR RI yang sudah dirotasi jadi anggota Komisi VI, dari Fraksi PKS. Artinya si pembuat meme ingin menggugurkan sangkaan yang diterapkan KPK saat penetapan dan pengumuman status Yudi sebagai tersangka sebelumnya.

Empat, meme tersebut ingin membantah pernyataan Muhammad Kurniawan dalam persidangan Aseng sebelumnya. Kurniawan adalah anggota DPRD Kota Bekasi dari Fraksi PKS. Kurniawan alias Iwan juga merupakan mantan staf honorer Fraksi PKS di Komisi V DPR.

Lantas apakah pernyataan Aseng seusai pembacaan putusan tersebut kuat, terutama melihat isi meme? Pernyataaan Aseng tentang indikasi atau dugaan aliran uang ke oknum internal KPK sebenarnya bukan sekali itu saja atau setelah sidang putusannya saja.

Aseng usai sidang pembacaan putusan. Foto: Sabir Laluhu.
Dalam pemeriksaan sebagai terdakwa, tanggapan Aseng atas kesaksian Kurniawan di persidangan, dan saat Aseng jadi saksi untuk terdakwa sebelumnya, sebenarnya Aseng juga sudah menyampaikan ada dugaan alokasi uang itu. Hal tersebut menurut Aseng, berdasarkan permintaan Kurniawan kepada Aseng dalam sambungan telepon.

Saat Aseng diperiksa sebagai terdakwa pada Rabu, 12 Juli 2017 lalu, Iskandar Marwanto selaku Ketua Jaksa Pentuntut Umum (JPU) pada KPK yang menangani perkara Aseng, mempertanyakan ke Aseng alasan penyerahan uang ke Kurniawan dalam bentuk USD214.300 (setara hampir Rp 3 miliar) pada Desember 2015 dan USD140.000 (hampir Rp 2 miliar) pada 17 Januari 2016.

Iskandar mengingatkan, penyerahan USD140.000 tadi berlangsung 3 hari setelah Damayanti Wisnu Putranti, Abdul Khoir, Dessy A. Edwin, dan Julia Prasetyarini ditangkap KPK pada 14 Januari 2016. Damayanti merupakan anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDIP dan sudah dipecat selepas penangkapan dan penetapan tersangka, Khoir menjabat Direktur Utama PT. Windhu Tunggal Utama, Dessy sebagai ibu rumah tangga dan teman sosialita Damayanti, dan Julia adalah agen asuransi yang juga teman sosialita Damayanti. Damayanti, Khoir, Dessy, dan Julia kini sudah terpidana.

Mendengar pertanyaan JPU Iskandar, Aseng mengatakan sebelum penyerahan uang tersebut, Kurniawan lebih dulu menelepon Aseng. Kurniawan mengutarakan bahwa Aseng sudah menjadi target KPK. Karenanya untuk pengamanan status dan kasus Aseng di KPK, maka harus disediakan uang.

JPU Iskandar lantas mengonfirmasi ulang apakah Aseng langsung percaya dengan penyampaian Kurniawan dan/atau merasa tertipu. Apa jawab Aseng? Aseng menjawab begini, “Sebetulnya (sebelumnya) saya di awal antara yakin dan tidak. Tapi setelah pak Abdul (Abdul Khoir) ditangkap, saya yakin 100 persen bahwa apa yang disampaikan Kurniawan itu benar bahwa saya sudah diikuti KPK dan Maluku sudah jadi target yang mulia. Tidak tahu yang Rp 3 miliar itu (Kurniawan) kasih ke siapa di KPK. Saya tidak tahu. Yang tahu Kurniawan yang mulia. Saya percaya karena pak Abdul ditangkap, kantor saya digeledah di Ambon.”

Kurniawan saat bersaksi di persidangan Aseng pada Kamis, 6 Juni 2017 memastikan, ada total sekitar Rp 11 miliar untuk Yudi Widiana Adia dari Aseng. Termasuk di dalamnya angka USD214.300 (sekitar Rp 3 miliar) pada Desember 2015 dan USD140.000 (sekitar Rp 2 miliar) pada 17 Januari 2016.  Lihat berita Koran Sindo dengan judul ‘Saksi Benarkan Yudi Widiana Terima Suap Rp11 Miliar’, edisi 9 Juni 2017.

Keseluruhan uang suap tersebut diserahkan ke Kurniawan ke Yudi lewat Asep alias Paroli atas perintah Yudi. Bagaimana Yudi? Yudi yang maju ke Senayan dari daerah pemilihan Jawa Barat IV ini sudah membantah menerima uang suap. Lihat berita Koran Sindo berjudul ‘Yudi Widiana Ungkap Jatah Pimpinan Komisi V’ edisi 23 Juni 2017. 

Kita kembali ke kesaksian Kurniawan. Setelah Kurniawan bersaksi, Aseng diberikan kesempatan oleh majelis hakim untuk menanggapi. Aseng kukuh bahwa penyerahan Rp 3 miliar ke Kurniawan tersebut untuk mengurusi pengamanan kasus dan status Aseng di KPK. Tapi, Kurniawan tetap menegaskan, uang tadi adalah sisa komitmen fee 5 persen dari pengurusan program aspirasi Yudi pada 2015. Lihat berita Kompas.com dengan judul ‘Menurut Terdakwa, Politisi PKS Minta Uang Rp 3 Miliar untuk Amankan KPK’, yang dilansir Kamis, 8 Juni 2017.

Saat Aseng menjadi saksi di persidangan terdakwa Abdul Khoir pada Senin, 18 April 2016, Aseng juga menyebut dugaan yang sama. Saya sudah mengutarakannya dalam tulisan ‘Kode Dagang Komisi Basah’ di buku saya berjudul ‘Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi’. Sebelumnya penulisan nama Aseng masih tertulis ‘Asenk’. Lihat gambar dari buku saya ini.

Sampai di sini, kita bisa melihat bahwa mungkin saja Aseng tidak konsisten dengan angka uang diduga untuk oknum di KPK. Mulanya Aseng menysebut Rp 3 miliar dalam sidang. Tapi usai vonis kata Aseng Rp 5 miliar. Angka uang saja Aseng tidak konsisten, apalagi kebenaran peruntukkannya.

Saya tidak mau berspekulasi bahwa penyidik meminta Aseng berbohong atau tidak tentang peruntukkan uang. Tapi dari fakta-fakta sidang yang tidak sepihak hanya dengan keterangan Aseng, nyatanya memang uang tersebut sisa komitmen fee untuk Yudi.

Saat pertama kali kesaksian Aseng dalam persidangan Khoir muncul, saya coba bergerilya mencari informasi di internal KPK. Tim dari Direktorat Pengawas Internal (PI) pada Kedeputian Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) KPK rupanya sudah menelusuri benar atau tidak kesaksian Aseng. Hasilnya nihil.

Saat Aseng menjadi tersangka dan kemudian duduk sebagai terdakwa, saya berbincang dengan sekitar 2 JPU yang menangani perkara Aseng. Mereka membenarkan, ada sadapan pembicaraan Aseng dan Kurniawan bahwa Kurniawan meminta uang yang direncanakan untuk oknum di KPK. Dalam sambungan telepon, memang Kurniawan menyebut uang untuk mengamankan kasus dan posisi Aseng.

Seperti yang saya katakan tadi, tim PI KPK sempat menelusuri informasi tersebut yang ada sadapannya. Ternyata dari pengakuan JPU itu, memang tidak ada eksekusi penyerahan uang ke oknum internal KPK untuk tujuan tadi. Sambungan telepon Kurniawan bahkan dipantau tim KPK secara instensif. Rupanya, tidak ada pembicaraan Kurniawan dengan oknum internal KPK, baik untuk pengamanan Aseng maupun penyerahan uang.

Dalam persidangan, Kurniawan mengakui pernah berkomunikasi lewat telepon seluler (ponsel) dengan Aseng, Yudi, dan Asep alias Paroli. Bahkan kemudian lewat Short Message Service (SMS) Kurniawan dan Yudi menggunakan sandi-sandi untuk memuluskan aksi mereka. Sandi ‘juz’ untuk perujuk uang suap, ‘liqo’ untuk pertemuan pembicaraan pengurusan dan penyerahan uang suap, ‘ikhwah Ambon’ sebagai kata pengganti bagi Aseng, dan ‘bapak Y’ sebagai kode untuk Yudi. Silakan lihat berita Sindonews.com berjudul ‘Jadi Saksi Kasus Korupsi, Politikus PKS Akui Gunakan Sandi Juz dan Liqo’, dilansir pada Kamis, 8 Juni 2017.

Dalam persidangan saat Kurniawan bersaksi, JPU memang tidak memutarkan sadapan percakapan ponsel antara Kurniawan dengan Aseng. Khususnya, tentang permintaan Kurniawan agar Aseng menyediakan uang guna pengamanan Aseng di KPK. Kenapa tidak diputarkan? Karena Kurniawan mengakui semua perbuatannya, yang dilakukan, dan dialami.

Pertimbangan Majelis Hakim

Sehubungan dengan perdebatan benar tidak-nya peruntukkan uang ke oknum internal KPK, baiknya saya hadirkan pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta atau analisa yuridis atas fakta-fakta hukum dalam putusan Aseng. Pertimbangan dan amar putusan dibacakan pada Senin, 31 Juli 2017.

Pertimbangan tersebut dibacakan anggota majelis hakim Sigit Herman Binaji. Secara keseluruhan, majelis hakim memastikan Aseng memberikan suap dengan total mencapai lebih dari Rp 18,7 miliar untuk empat penerima suap. Apa tujuannya?  Hakim Sigit memastikan, “Dengan maksud memuluskan perusahaan terdakwa (Aseng) memperolah pekerjaan infrastruktur di Maluku.”

Para penerima suap dari Aseng yakni, pertama, terpidana Damayanti dengan nilai Rp 330 juta. Kedua, sekitar Rp 4,4 miliar kepada terdakwa penerima suap Musa Zainuddin. Musa merupakan anggota Komisi V merangkap Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) PKB di Komisi V sekaligus Ketua DPW PKB Provinsi Lampung.

Ketiga, mencapai Rp 11,5 miliar kepada Yudi Widiana Adia. Sebelumnya JPU dalam tuntutan terhadap Aseng menyebutkan, uang yang diberikan Aseng terpecah sekitar Rp 7 miliar untuk Yudi dan sekitar Rp 2,5 miliar yang dipergunakan Kurniawan. Hakim Sigit memastikan, total mencapai Rp 11,5 miliar diberikan Aseng ke Yudi lewat Kurniawan lebih dulu singgah atau diperantarai oleh Asep alias Paroli. 

Hakim Sigit menegaskan seluruh pemberian uang Aseng ke Yudi punya alasan. “Terdakwa (Aseng) memberikan uang kepada M. Kurniawan karena sudah memasukan program aspirasi milik Yudi Widiana Adia di BPJN IX Maluku.”

Dari angka tersebut, saya akan menuturkan silang sengketa terkait total Rp 5 miliar yang jadi objek diutarakan Aseng.

Hakim Sigit membeberkan, pada 30 Desember 2015, Aseng menyerahkan uang kepada Kurniawan sebesar USD214.300 atau senilai Rp 3 miliar. Selanjutan uang tersebut diberikan Kurniawan kepada Asep alias Paroli. Sebelum uang diserahkan Aseng, “Terdakwa berbicara dengan Yudi Widiana Adia yang disambungkan M. Kurniawan menggunakan faceTM (aplikasi facetime) melalui iPhone. ... Terdakwa menyerahkan uang setara Rp 3 miliar kepada M. Kurniawan, menurut keterangan terdakwa karena terdakwa sudah dipantau oleh KPK. Namun di persidangan keterangan terdakwa tersebut dibantah oleh M. Kurniawan, bahwa uang tersebut bukan ke KPK namun untuk kekurangan fee yang harus dibayar terdakwa.”

Kemudin lanjut hakim Sigit: “(Sebelumnya) pada pertemuan di Hotel Ambon Manise, M. Kurniawan meminta kepada terdakwa agar direalisasikan sisa uang komitmen fee proyek tahun 2015 milik Yudi Widiana Adia, sejumlah Rp 3 miliar.” Kemudian, hakim Sigit menguraikan, pada 17 Januari 2016 Aseng menyerahkan kepada Kurniawan uang komitmen fee Yudi sebesar USD140.000.

Penerima terakhir dari Aseng yaitu terpidana Amran HI Mustary sebesar Rp 2,5 miliar. Penerimaan terjadi saat Amran masih menjabat sebagai kepala BPJN IX. Uang tersebut kemudian dipergunakan Amran di antaranya untuk tunjangan hari raya dan tahun baru para pejabat Kementerian PUPR. Ketika Amran masih berstatus sebagai tersangka di KPK, Amran dicopot dari jabatannya.

Karenanya, hakim Sigit mengungkapkan, majelis hakim tidak menemukan alasan pembenar dan pemaaf atas perbuatan pemberian suap lebih Rp 18,7 miliar, maka Aseng harus dijatuhi pidana yang sesuai dengan perbuatannya. “Terdakwa mengetahui pemberian uang tersebut untuk memasukan program aspirasi dalam APBN Kementerian PUPR kemudian disetujui agar dikerjakan terdakwa di Maluku dan Maluku Utara,” tegasnya.

Fakta persidangan, bukti-bukti, alat bukti (termasuk SMS dan percakapan via iPhone), sampai putusan atas nama Aseng sudah jelas dan terang.  Terus masih ada yang mau membela dan mempercayai omongan Aseng, apalagi hanya dengan satu gambar meme? Saya sih ogah.

Kalau Aseng dan tim penasihat hukumnya tidak terima dengan putusan pidana penjara 4 tahun dan pertimbangan putusan, ya maka silakan mereka mengajukan banding. Mekanisme hukum berupa banding rasa menjadi ruang tepat agar beradu argumentasi lanjutan dengan KPK. Kalau belum cukup puas dengan putusan banding misalnya, ya silakan ajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Semua argumentasi atau bukti-bukti yang dimiliki pihak Aseng bisa dituangkan di memori permohonan.

Para pembaca yang saya hormati, proyek-proyek infrastruktur berupa jalan yang menjadi objek penyuapan yang berhubungan dengan Aseng kalau ditotal nilai proyeknya hampir Rp 198 miliar. Sebagaimana disebutkan majelis hakim, proyek-proyek tersebut rencananya dikerjakan Aseng.

Sekali lagi, masih percaya dan membela Aseng? Atau, percaya putusan yang dijatuhkan majelis hakim? Terakhir pesan saya seperti tulisan dalam kaos di bawah ini.[]