Kamis, 31 Agustus 2017

Dirjen Hubla Tonny Diduga Pakai Uang Suap untuk 'Jajan' Cewek Seksi

Sabir Laluhu

Sebenarnya ada banyak hal menarik dari tertangkap tangannya Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kementerian Perhubungan (Kemenhub), yang kini nonaktif, Antonius Tonny Budiono. Tentu ini selain total Rp20,074 miliar dengan terbagi Rp1,174 miliar dalam empat kartu anjungan tunai mandiri (ATM) dan Rp18,9 miliar dalam 33 tas ransel.

Hal menarik ini tentu saja terlepas dari penyebutan uang hasil operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Tonny sebagai hasil terbesar sepanjang sejarah OTT yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hal menarik tersebut akan  diutarakan dua. Pertama, modus baru yang digunakan Tonny bersama di antaranya tersangka pemberia suap Komisaris PT Adhiguna Keruktama (AGK) Adiputra Kurniawan. Kemudian, kedua adalah penggunaan uangnya ke mana atau untuk kepentingan apa saja. Karenanya, dalam tulisan ini seperti sebelumnya kultweet saya tentang Dirjen Hubla nonaktif A. Tonny Budiono yakni, Tonny diduga memakai uang yang diduga suap untuk 'jajan' cewek seksi.

Bicara modus baru tentu sudah ada yang dijelaskan Wakil Ketua KPK Basaria Panjatian saat konferensi pers pada Kamis, 24 Agustus 2017 bahwa 'Kasus Suap Dirjen Hubla Kemenhub Gunakan Modus Baru'. Dua hal tadi dengan sedikit tambahan modus atau pola baru akan saya urai. Ini berdasarkan infomasi dari sumber internal KPK yang melakukan pemantauan dan penangkapan terhadap para pihak, termasuk Tonny pada Rabu, 23 Agustus 2017.

Tim KPK sebenarnya menelusuri pola penerimaan uang Dirjen Hubla nonaktif Tonny tidak dalam waktu singkat. Boleh dibilang sangat lama. Pemantauan dan pemastian pola atau modus Tonny oleh tim KPK RI selama 2 TAHUN!!! Lihat saja tahun sangkaan terhadap Tonny, perizinan dan proyek-proyek di lingkungan Ditjen Hubla kurun 2016-2017. Proyek Pengerukan Alur Pelayaran di Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah hanyalah salah satu saja.

"Kita cari pola dugaan penerimaan suapnya ATB (Tonny) itu sangat lama sekali. Kalau nggak salah sekitar 2 tahun baru bisa didapat dan dipastikan polanya," ‎ujar seorang sumber kepada penulis pada Kamis, 24 Agustus 2018 malam.

Pola yang dimaksud, yakni diduga para pihak yang berkepentingan dengan Tonny menggunakan cara berlapis. Pertama, diduga para pihak termasuk tersangka pemberi suap Komisaris Adiputra Kurniawan, bersepakat untuk memberikan uang ke Tonny tidak dengan cara tunai. Ingat, diduga bukan hanya satu sekadar dari Adiputra Kurniawan dan sekadar satu proyek. Kedua, karenanya maka para pihak termasuk Adiputra membuat dan membuka rekening disertai ATM bukan atas nama yang membuka rekening dan bukan atas nama Tonny.

Ketiga, pemilik rekening atau nama yang dipergunakan untuk rekening tersebut tidak ada kaitan dengan Tonny. Keempat, ATM yang sudah dibuatkan itu diberikan para pihak terduga pemberi uang termasuk Adiputra ke Tonny. Terakhir setelah uang masuk dalam rekening, uang lantas dicairkan atau ditarik Tonny. Ada juga yang ditransfer Tonny ke pihak lain.

Sampai di sini, pola atau modus ini beberapa hampir sama dengan yang diutarakan Basaria Panjaitan saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK pada Kamis, 24 Agustus 2017 malam.

Lantas kenapa Tonny dan para pihak diduga melakukan modus demikian? Sumber internal KPK menyampaikan, "ATB sengaja membuat jaringan terputus melalui akun rekening yang tidak ada kaitannya dengan dia."

Selama kurun 2 tahun itu pula Tonny diduga kemudian menarik dan mencairkan secara bertahap. Tentu dengan 5 mata uang dalam mata uang rupiah, dollar Amerika Serikat (USD), poundsterling, uero, dan ringgit Malaysia. Mata uang tersebut sebagaimana diungkap saat konferensi pers KPK pada Kamis, 24 Agustus 2017 malam. 

Antonius Tonny Budiono. Sumber foto: PPID Kemenhub.
Sumber mengutarakan, kesemua uang kemudian dibawa pulang Tonny ke rumah pribadinya di Bintaro dan Mess Perwira Ditjen Hubla, Jalan Gunung Sahari. yang ditempati Tonny. Jumlah uang yang diterima sengaja dimasukkan Tonny ke dalam berbagai tas ransel berjumlah 33 buah.

Sehari berselang atau Jumat, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menambahkan informasi lanjutan. Bahwa, ada 7 jenis mata uang yang disita dalam 33 tas ransel di Mess Perwira Ditjen Hubla. Masing-masing, uang sebesar USD479.70, SGD660.249, poundsterling Inggris senilai GBP15.540, dong Vietnam sejumlah VND50.000, mata uang Euro senilai EUR4.200, ringgit Malaysia sebesar RM11.212, dan mata uang rupiah sekitar Rp5,7 miliar.

Sumber internal KPK menyebutkan, dari uang-uang tersebut baik yang masih dalam ATM maupun 33 ransel kemudian dipakai Tonny untuk berbagai kepentingan. Hingga tersisa setara Rp18,9 miliar dalam 33 tas ransel dan Rp1,174 miliar di ATM, yang disita KPK saat OTT. Poin kedua, tentang penggunaan uang oleh Tonny. Dari penelusuran dan pemantauan tim KPK di lapangan yang terbilang lama, tim mendapat temuan mencengangkan.

Diduga dari uang-uang yang sudah diterima Dirjen Hubla Tonny ada pernah dipergunakan untuk 'jajan' perempuan di hotel. Atau dengan kata lain, Tonny diduga membayar perempuan bahenol nan seksi yang berhubungan badan dengan Tonny di kamar hotel. Bahkan pola 'jajan' Dirjen Hubla Tonny itu diduga minimal sekali dalam satu minggu (pekan). Intinya, Tonny membuka atau memesan kamar hotel diduga untuk memuaskan birahinya. Duh..luar biasa bukan?

"Uang yang sudah dicairkan atau ditarik dari ATM ada yang dipakai untuk 'jajan' ‎cewek. Tiap minggu minimal sekali pasti 'jajan'. Buka kamar hotel. Ceweknya ya cantik-cantik, seksi lagi. Hotelnya ada yang di Jakarta, di kota tua," tegas sumber internal KPK.

Secara keseluruhan, semua hal tersebut terungkap dari proses yang panjang, tidak serta merta. Mulai dari penyelidikan tertutup, penelusuran informasi, hingga terakhir pemantauan di lapangan dan penyadapan. Seperti kita ketahui, selepas penangkapan Tonny disertai penetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK, Tonny dinonaktifkan dari jabatan Dirjen Hubla.

Sumber lain di internal KPK menyebutkan, beberapa jam sebelum Tonny diciduk di Mess Perwira Ditjen Hubla sebenarnya tim menguntit Tonny dari sebuah tempat. Sumber ini tidak membantah dan tidak membenarkan apakah sebuah tempat itu adalah hotel atau bukan yang berada di dekat Mess tersebut. Dia hanya tersenyum sembari mengatakan, "Ya wartawan lebih tahu lah. Kalau yang hotel-hotel (diduga tempat eksekusi birahi Tonny) terlalu banyak."

Para pembaca, sebenarnya penggunaan uang Tonny 'untuk ke hotel' sudah diungkap Basaria Pajaitan saat konferensi pers penetapan Tonny dan Adiputra sebagai tersangka. Tapi informasi yang diutarakan Basaria tidak detil. Basaria hanya menyebutkan, uang-uang yang diduga diterima Tonny bisa dipergunakan untuk beberapa kebutuhan dan kepentingan. Ada yang bisa ditransfer ke anak Tonny, ada juga yang dipakai untuk ke hotel.

"Karena sebelumnya ada uang yang sudah dipakai. Penerima dalam hal ini ATB (Tonny) diduga terus menerus menggunakan ATM dalam berbagai transaksi. Dari yang kita telusuri transaksi yang dilakukan ATB dikirim ke anaknya, dipakai ke hotel (sewa kamar hotel), dan bisa ke mana saja,"‎ ucap Basaria.

Febri Diansyah mengaku belum menerima informasi apakah benar uang-uang yang diduga diterima Tonny ada yang dipergunakan untuk kepentingan membayar perempuan seksi yang melayani birahi Tonny di sejumlah hotel. Menurut Febri, hal tersebut terlalu teknis dan masuk dalam materi penyidikan. Karena dia belum bisa memastikan apakah dugaan tersebut bisa dikategorikan masuk dalam unsur Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Yang pasti pengusutan jumlah total uang yang diduga diterima Tonny dari berbagai pihak serta penggunaan-penggunaanya dan mutasi (tranfser) ke rekening lain tetap dilakukan KPK. "Jumlah ini (dugaan uang yang diterima Tonny) tentu masih dapat terus bertambah sesuai pendalaman informasi yang kita lakukan," tegasnya.

Saat merampungkan pemeriksaan dan pertama ditahan KPK pada Jumat, 25 Agustus 2017 dini hari, Tonny membantah tentang adanya penggunaan uang yang diduga diterima untuk membayar perempuan seksi demi kepentingan pemuasan birahi di berbagai hotel di Jakarta. Tonny tampak kaget saat disinggung dugaan tersebut. Sekali lagi bagi Tonny dugaan tersebut tidak benar. Yang ada, tutur dia, kegunaan pertama uang dikumpulkan adalah untuk operasional. Kedua, untuk sumbangan kegiatan sosial.

"Saya kadang-kadang ada kebutuhan yatim piatu, ada acara saya nyumbang. Ada gereja rusak saya sumbang. Ada juga sekolah rusak saya sumbang. Jadi untuk kebutuhan sosial. Sudah ada, ada (yang diberikan sebelumnya)," tandas mantan stat ahli Menhub Bidang Logistik, Multimoda, dan Keselamatan Perhubungan ini.

Sebelum dugaan pola 'jajan' perempuan seksi oleh Tonny terdengar, kita pasti pernah dengar dan lihat berita yang hampir serupa. Misalnya, tentang terpidana Ahmad Fathanah yang sebelumnya ditangkap saat berhubungan badan dengan seorang mahasiswi yang dibayar Rp10 juta. Belum lagi untuk karaoke dengan ditemani perempuan seksi seperti dalam kasus terpidana eks hakim Setyabudi Tejohcahyono. Rasanya penggunaan uang hasil korupsi (termasuk delik penerimaan suap) untuk main seks/pemenuhan birahi kembali dan akan terus terulang.[]

Sabtu, 26 Agustus 2017

Tragis! Dirjen Hubla Tonny Terima Suap saat Bidang Pencegahan KPK Dikibarkan

Sabir Laluhu

Sektor perhubungan laut (hubla) bukan ‘barang’ baru bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain penanganan di bidang penindakan, KPK sudah melakukan kajian pada bidang pencegahan tentang sektor hubla sejak 2014.

Sektor hubla masuk dalam bagian besar “Laporan Hasil Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut dan Sumber Daya Kelautan” yang dilakukan Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) pada Kedeputian Pencegahan KPK 2014. Kajian dilakukan kurun Februari hingga Desember 2014.

Hakikatnya, ada tiga ruang lingkup kajian tersebut yang menjadi fokus KPK. Satu, penetapan batas wilayah laut Indonesia yakni batas teritorial, zona tambahan, zona ekonomi ekslusif (ZEE). Dua, pengelolaan tata ruang laut Indonesia, termasuk pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K). Tiga, pengelolaan sumber daya kelautan Indonesia, khususnya berkaitan dengan sumber daya perikanan.

Dalam hasil kajian tertuang bahwa instansi selain Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan sejumlah unsurnya, instansi yang beririsan juga adalah Direktorat Jenderal (Ditjen) Hubla Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Ada banyak temuan yang disampaikan KPK dengan segala rekomendasi dan perbaikan disertai rencana aksi (renaksi) dengan skema besar “Gerakan Nasional Penyelamatan Sektor Kelautan Indonesia”. Termasuk perbaikan sistem, tata kelola, integrasi sistem perencanaan nasional, pencegahan terjadinya korupsi, penyelamatan keuangan negara, dan mencegah hilangnya kekayaan negara.

Menariknya dalam hasil kajian tersebut, KPK menyinggung tentang ketatalaksanaan pelaksanaan perizinan pelayaran. Perizinan ini salah satunya ada pada kewenangan Ditjen Hubla Kemenhub.

Pada halaman 40 hasil kajian, KPK mencantumkan, adanya pungutan dalam proses pelayanan terkait dengan pemberian izin kapal. Mencakup antara lain, pemberian registrasi kapal, sertifikasi statutory (keselamatan, keamanan, manajemen, perlindungan lingkungan, lambung timbul, surat ukur, dan sebagainya), dan sertifikasi kelas (sertifikat lambung kapal, sertifikat mesin dan listrik, serta sertifikat kelengkapan lainnya).

KPK memaparkan, data dari hasil pengaduan masyarakat yang disampaikan ke Direktorat Pengaduan Masyarat (Dumas) KPK menunjukkan adanya indikasi tindak pidana korupsi (tipikor) dalam pelayanan di bidang hubla.

“Sebagai gambaran, jumlah pengaduan masyarakat yang masuk terkait dengan hubla sebanyak 76 pengaduan sejak 2010 sampai 2014. Dari pengaduan tersebut, 62 di antaranya terindikasi tipikor dan sedang ditindaklanjuti di internal KPK atau disampaikan ke aparat penegak hukum lainnya. Delik yang muncul terkait dengan indikasi tipikor tersebut sebagian besar berupa perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara,” bunyi petikan laporan hasil kajian.

Selain itu pada halaman lain hasil kajian tersebut, KPK juga menyebutkan, laporan pengaduan masyarakat tersebut juga ada yang terkualifikasi terindikasi dalam tiga delik lain.

“Penyuapan, pemerasan, dan benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa,” demikian tercantum dalam hasil kajian.

KPK menguraikan, ada tiga item lain yang juga terindikasi korupsi. Pertama, terkait perubahan data gross tonase (GT) dan ukuran kapal. Hasil observasi di lapangan menunjukkan adanya perubahan data ukuran kapal antara lain untuk menghindari pengurusan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) di KKP, sehingga pengurusan izin cukup di Pemda.

“Sekaligus untuk menghindari adanya pungutan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dalam bentuk PPP dan PHP,” bunyi petikan hasil kajian selanjutnya.

Kedua, terkait penerbitan izin operasional transhipment bongkar muat komoditas. Pada item ini, laporan pengaduan masyarakat menunjukkan indikasi korupsi dimulai dari adanya permohonan persetujuan izin dan penetapan koordinat perairan lokasi transhipment dengan alasan pendangkalan alur pelabuhan. Sehingga harus direlokasi ke alur pelabuhan yang bisa menjadi tempat bersandar kapal berbobot besar. 

“Dalam proses perizinan tersebut, dilaporkan adanya tindak pidana dalam bentuk suap menyuap, dan berpotensi merugikan keuangan negara dalam jumlah yang besar.”

Ketiga, indikasi korupsi dalam bentuk pemerasan dalam jabatan pada saat pengurusan Izin Operasi Kapal Asing/Izin Penggunaan Kapal Asing (IPKA). Masih dari informasi dari pengaduan masyarakat, menunjukkan bahwa ada serangkaian pungutan liar dalam pengurusan IPKA sejak memasukkan dokumen penelitian dokumen, penyusunan draf nota dinas, penelitian nota dinas oleh pejabat yang berwenang, paraf nota dinas oleh pejabat yang berwenang, pemberian nomor nota dinas, draf IPKA, proses penandatanganan IPKA, dan penandatanganan salinan IPKA.

“Besarnya pungutan berkisar Rp100.000 sampai dengan Rp8 juta, yang jika ditotal sejak awal pengurusan hingga dokumen diterima mencapai Rp17,8 juta untuk setiap pengurusan IPKA.”

KPK juga menemukan bahwa terjadi kompleksitas dalam operasional kapal dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS). Ada enam motif pelanggaran atas operasi TUKS. Tiga di antaranya, pertama, terbatasnya pelabuhan umum dalam hal keterbatasan dermaga serta terminal dan peralatan bongkar muat yang didedikasikan untuk kargo curah kering bahan tambang.

Kedua, lemahnya koordinasi antarkementerian. Kelemahannya ini terjadi karena kuatnya egosentris kementerian dalam pemberian Surat Izin Berlayar (SIB) dan izin operasional kapal-kapal pertambangan.

“Lemahnya pengawasan internal Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub: panjangnya rantai pengawasan internal dan lemahnya kapasitas pengawasan unit di daerah,” begitu petikan hasil kajian halaman 41.

Yang cukup mengagetkan juga, belum terdapat sistem informasi berbasis teknologi informasi untuk monitoring arus lalu lintas barang dan kapal. Bahkan informasi manifest kapal yang berlabuh dari satu pelabuhan asal, tidak dapat dimonitoring secara realtime pada pelabuhan tujuan. “Karena sistem pencatatan manifest yang ada masih bersifat manual.”

Ada banyak rekomendasi perbaikan yang sudah disampaikan KPK ke Kementerian Perhubungan termasuk ke Ditjen Hubla. Entahlah, apakah segala rekomendasi perbaikan disertai rencana aksi dilakukan atau tidak.

Untuk realisasi rekomendasi atas hasil kajian KPK tersebut, tim KPK turun ke instansi pusat dan daerah termasuk di antaranya Kemenhub. KPK berupaya memastikan dan mengawasi pelaksanaan rekomendasi dan renaksi ”Gerakan Nasional Penyelamatan Sektor Kelautan Indonesia”. Artinya KPK tidak diam. Tujuannya agar seluruh rekomendasinya tidak sia-sia begitu saja.

Karenanya bendera bidang pencegahan KPK sudah dikibarkan dan berkibar (sejak lama). Silakan tanya Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan serta Dian Patria selaku Ketua Tim Kajian Sumber Daya Alam Litbang KPK merangkap Ketua Tim Koordinasi dan Supervisi Bidang Maritim KPK.

Sebagai catatan, bila melihat pemberitaan media massa pada kurun Maret hingga awal Agustus 2017 atau pada 2016 lalu, Antonius Tonny Kurniawan selaku Dirjen Hubla Kemenhub pernah menyinggung hasil kajian KPK 2014 dan rekomendasi perbaikan yang sudah disodorkan KPK.

Di antaranya, tentang perbaikan dalam verifikasi (pengukuran) ulang puluhan ribu kapal penangkap ikan, penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) atau Surat Izin Berlayar (SIB), pengurusan dokumen, fasilitas pelabuhan, proses pelelangan barang dan jasa, hingga penyelenggaraan angkutan barang Tol Laut pada 13 trayek.

Ditjen Hubla, tutur Tonny, sudah berupaya melakukan peningkatan dalam pemerataan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat dengan segala perbaikan dan pembenahannya. Terutama dalam memanfaatkan dengan sebaik-baiknya anggaran yang bersumber dari uang rakyat.

“Atas dasar itulah, kami berkomitmen dan bertekad melaksanakan kegiatan berbasis anggaran dengan sungguh-sungguh dan terencana melalui pembenahan dan penyempurnaan dalam pengelolaan keuangan serta melakukan evaluasi kinerja agar target penyerapan anggaran di lingkungan Ditjen Hubla dapat tercapai,” ujar Tonny beberapa waktu lalu.

Nyatanya pada Rabu, 23 Agustus 2017 malam, Tonny diciduk KPK dalam operasi tangkap tangan disertai penyitaan uang dengan total mencapai Rp20,074 miliar. Uang terpecah dalam 33 tas ransel Rp18,9 miliar dan ada yang tersimpan di empat ATM dengan nominal Rp1,174 miliar. Yang membuat mata kita terbelalak, 33 tas ransel tersebut disimpan Tonny dalam Mess Perwira Ditjen Hubla, di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Inilah uang hasil tangkap tangan terbesar sepanjang sejarah KPK!

Sehari berselang ditangkap juga beberapa orang termasuk Komisaris PT. Adhiguna Keruktama (AGK) Adiputra Kurniawan. Selepas itu, Tonny ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi, sedangkan Adiputra dijerat sebagai tersangka pemberi suap. Keduanya kini meringkuk di tahanan. Tonny pun dinonaktifkan dari jabatan Dirjen Hubla.

Saat keluar ruang steril KPK, Tonny mengaku sudah menerima uang lebih Rp20 miliar dari beberapa pihak termasuk Adiputra. Tonny mengaku mengenal Adiputra dengan nama Yongky.

“Itu (uang Rp20,074 miliar) untuk operasional saya, tapi melanggar aturan. Atas nama pribadi saya mohon maaf kepada masyarakat. Mudah-mudahan ini tidak terulang lagi,” kata Tonny di depan Gedung Merah Putih KPK, saat digelandang masuk mobil tahanan pada Jumat, 25 Agustus 2017 dini hari.

Antonius Tonny Budiono. Sumber foto: PPID Kemenhub.
Mantan stat ahli Menhub Bidang Logistik, Multimoda, dan Keselamatan Perhubungan ini menuturkan, selain dari Adiputra uang juga diterima dari kontraktor bernama Sena. Menurut Tonny, apa yang dilakukannya adalah kekhilafan dan kesalahan yang tidak perlu diikuti orang lain. Lantas kenapa Tonny menerima uang puluhan miliar tersebut?

“Selama ini kan banyak mafia untuk rekayasa evaluasi, saya jadi dirjen. Jadi kontraktor yang harusnya menang dikalahkan dengan adanya rekayasa ini. Saya jadi dirjen saya hilangkan itu. Namun karena itu melanggar hukum (dengan menerima uang), saya menerima apa yang harus saya terima (diproses hukum),” paparnya.

“(Mafia tadi terkait) harusnya izin-izin dipercepat tapi dipersulit. Harusnya bisa satu hari, dua hari, diperlambat sampai berbulan-bulan,” sambung Tonny.

Di sisi lain, Tonny tampak merasa bersalah saat disinggung apakah dia tidak merasa bersalah karena pada 2016 lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) datang ke kantor Kemenhub ketika ada OTT yang dilakukan Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Presiden mewanti-wanti agar tidak ada pungli. Raut wajah Tonny sedikit memelas.

“Itu tadi saya bilang, saya khilaf. Saya mohon maaf. Mudah-mudahan tidak terulang lagi,” imbuhnya.

Perbuatan Tonny dan Kurniawan diduga terkait dengan izin-izin dan proyek-proyek tahun anggaran 2016-2017 di lingkungan Ditjen Hubla. Salah satunya, Pengerukan Alur Pelayaran Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengutarakan, pihaknya masih terus mengembangkan dugaan penerimaan uang Tonny. Diduga uang setara total Rp20,074 miliar yang disita KPK saat tangkap tangan sebagai hasil terbesar sepanjang OTT KPK tersebut masih bisa bertambah.

“Jumlah ini tentu masih dapat terus bertambah. Sesuai hasil pendalaman informasi yang kita lakukan,” tegas Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada Jumat, 25 Agustus 2017 malam.

Dia menguraikan, potensi bertambahnya nilai suap dan gratifikasi yang diduga diterima Tonny karena sudah ada uang-uang yang ditransaksikan dan dipergunakan yang bersangkutan untuk beberapa kepentingan. Apalagi yang disangkakan terhadap Tonny bukan hanya satu proyek atau izin semata.

Begitulah Tonny. Dia sebenarnya mengetahui bahwa KPK sudah pernah melakukan kajian pencegahan, ada hasil, dan rekomendasinya. KPK bahkan memantau pelaksanaan rekomendasi. Pria kelahiran Pekalongan, 13 Juli 1958, ini pun sempat berkomitmen menjalankan rekomendasi KPK.

Nyatanya, diduga kurun 2016 hingga 2017 Tonny tetap menerima uang dari para kontraktor hingga ditangkap KPK pada Rabu, 23 Agustus 2017. Sungguh tragis nasib Tonny! Mengenaskan!

Belum lagi kalau dilihat perkara sebelumnya yang pernah ditangani KPK sehubungan dengan proyek di Ditjen Hubla. Ada dua dirjen Hubla Kemenhub yang lebih dulu menjadi 'pasien' KPK. Pertama, Djoko Pramono selaku Dirjen Hubla sekaligus Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Laut (PPSDML) Kemenhub. Kedua, Capt. Bobby Reynold Mamahit selaku kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan (BPSDMP).

Saat penetapan tersangka di KPK, Djoko sudah berstatus mantan dirjen, sedangkan Bobby masih menjabat Dirjen Hubla aktif. Kala Bobby ditahan KPK pada Februari 2016, Kemenhub memecat Bobby.

Djoko dan Bobby terhubung pada perkara yang sama. Korupsi proyek  pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Sorong Tahap III pada PPSDML-BPSDM Kemenhub Tahun Anggaran (TA) 2011 dengan kontrak Rp87.962.242.263. Proyek ini dimenangkan oleh PT. Hutama Karya (Persero). Dari korupsi ini negara merugi Rp40.193.589.964,92.

Djoko memperkaya diri sebesar Rp620 juta. Dia divonis penjara 4 tahun, denda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp530 juta (karena sudah kembalikan Rp90 juta sebelum divonis).

Bobby memperkaya diri Rp480 juta. Divonis 5 tahun penjara, denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp180 juta (karena sudah kembalikan Rp300 juta) subsider 9 bulan.

Kini Djoko dan Bobby sudah berstatus terpidana. Dalam perkara korupsi Balai Diklat Pelayaran Sorong tersebut, sudah ada tiga terpidana lainnya.

Ketiganya adalah mantan PPK Satker PPSDM Hubla Sugiarto (divonis 2,5 tahun penjara), mantan Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa PPSDM Hubla Irawan (divonis 2,5 tahun), dan mantan General Manager Divisi Gedung PT. Hutama Karya Budi Rachmat Kurniawan (divonis 5 tahun).[]