Korupsi di mana pun terjadi, di negara mana pun termaktub, korupsi
selalu diamini sebagai kejahatan luar biasa. Betapa tidak, korupsi dapat
merusak kehidupan umat manusia di tempat mana pun mereka bernaung.
Bahkan korupsi mampu menghancurkan kemanusiaan. Maka benar ungkapan
beberapa tokoh dunia. Mantan Presiden Nigeria, Olusegun Obasanjo
menyatakan, “Korupsi merupakan sumber kehancuran masyarakat saat ini.”
Sementara, Jurnalis sekaligus penulis Austria Karl Kraus (1874-1936)
sampai menyebut, “Korupsi lebih buruk dari prostitusi. Prostitusi
membahayakan moral individu, tetapi korupsi akan membahayakan moral
seluruh negeri.”
Pasca era reformasi bergulir di
Indonesia, kasus korupsi terus bersahutan. Hampir setiap hari,
aktor-aktor kejahatan kerah putih ini bermunculan di ruang publik tanpa
bisa dihitung seberapa banyak intensitas ekploitasi pemberitaannya.
Ibarat air yang mengalir, para pelaku korupsi tidak bisa dihentikan.
Satu terungkap, satu lain tertangkap. Satu dijerat, satu juga ikut
terseret. Satu divonis, oknum lain tak mampu lolos.
Korupsi,
menurut Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang telah diubah dengan UU Nomor 20
tahun 2001 secara gamblang dijelaskan dalam 13 pasal. Dari pasal-pasal
tersebut korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk/jenis tindak pidana
korupsi. Yang jika dikelompokkan menjadi 7 bagian yakni, kerugian
negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan
curang, benturan kepentingan dalam pengadaan (barang dan jasa), dan
gratifikasi.
Selain itu masih ada 6 jenis tindak pidana
lain yang juga berkaitan dengan tidak pidana korupsi. Yakni, merintangi
proses pemeriksaan perkara korupsi, tidak memberikan keterangan atau
memberikan keterangan yang tidak benar, bank yang tidak memberikan
keterangan rekening terangka, saksi atau ahli yang tidak memberikan
keterangan atau memberikan keterangan palsu, orang yang memegang rahasia
jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu, dan
saksi yang membuka identitas pelapor.
Para pelalu korupsi
itu bukanlah orang sembarangan. Sebagian besar bisa dibilang merupakan
tokoh publik yang paham betul akan tanggangjawab mereka dan perbuatan
korupsi itu sendiri. Di antara para koruptor itu, tampak tokoh-tokoh
yang pernah menjadi ‘pejuang’ di beberapa organisasi
kemahasiswaan/kepemudaan. Salah satunya tentu saja Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI). Karena itu, dalam tulisan yang penulis anggap sebagai napak
tilas ini dikonsentrasikan pada Korps Alumni HMI (Kahmi) yang tenggelam
dalam lautan korupsi. Tulisan ini bukan sebagai jutstifikasi, tapi
sebagai sebuah pelajaran yang tak perlu diulang.
Korupsi Alumni HMI
Dari
data yang berhasil dihimpun penulis, terdapat sejumlah alumni HMI
tergerus arus liar korupsi sebegai tersangka/terdakwa/terpidana. Mereka
di antaranya yakni, Abdullah Puteh (mantan Ketua Umum HMI Cabang
Bandung), Wa Ode Nurhayati (alumni HMI Papua), Zulkarnaen Djabar (mantan
Ketua Umum HMI Cabang Ciputat), Haris Andi Surrahman (alumni HMI
Makassar), Andi Alfian Mallarangeng (alumni HMI Yogyakarta), dan Anas
Urbaningrum (mantan Ketua Umum PB HMI).
Abdullah Puteh
dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai Gubernur Aceh periode
2000-2005 terbukti melakukan korupsi terkait pengadaan 1 (satu) unit
pesawat helikopter type MI-2, VIP Cabin, versi sipil tahun 2000-2001
dari pabrik Mil Moscow Helicopter Plant Rusia, senilai USD 1,250,000
atau setara Rp. 12,5 Miliar.[1] Politisi Partai Golkar ini sudah
dijatuhi hukuman 10 tahun penjara pada 11 April 2005. Mantan Anggota
Majelis Pekerja Kongres PB HMI (1973-1975) ini akhirnya diputuskan bebas
bersyarat pada 18 November 2009 setelah membayar uang ganti kasus
senilai Rp 500 juta.
Wa Ode Nurhayati merupakan terdakwa
kasus dugaan suap pengurusan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah
(DPID) tahun 2011 dan tidak pidana pencucian uang (TPPU). Kasus ini
ditangani KPK. Dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis 18
Oktober 2012 politisi mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR dari
fraksi PAN ini divonis divonis 6 tahun karena terbukti secara sah dan
meyakinkan menerima suap sebesar Rp 6,25 miliar dari tiga pengusaha dan
pidana pencucian uang. Saat ini, kasus alumni STIA Karya Dharma, Merauke
ini tengah masuk tahapan banding di pengadilan tingkat II.
Haris
Andi Surrahman ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Kamis 22
November 2012. Kader Partai Golkar ini diduga melanggar pasal 5 ayat (1)
huruf a atau b atau pasal 13 UU tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal
55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukuk Pidana (KUHP).
Haris merupakan perantara bagi Wa Ode Nurhayati dan pemberi suap.
Kasusnya saat ini masih dalam tahapan penyidikan untuk melengkapi berkas
agar secepatnya bisa disidangkan di Pengadilan Tipikor.
Menariknya
dalam kasus DPID ini, saat sidang Wa Ode Nurhayati di Pengadilan
Tipikor, Jakarta, Nurhayati dan Haris dalam pemberian kesaksian saling
bersahutan, perkenalan mereka karena sama-sama dari HMI. Apalagi saksi
lain yakni Syarif Achmad juga membenarkan perkenalan karena HMI itu.
Penulis yang hadir dalam persidangan kasus DPID Nurhayati, ibarat
mendapat siraman cairan besi panas. Apalagi ada sejumlah uang yang
diduga merupakan hasil TPPU Nurhayati turut mengalir ke beberapa kader
HMI. Kehmian penulis benar-benar diuji dalam ‘meliput’ kasus ini secara
objektif.
Zulkarnaen Djabar lebih mengerikan lagi. Alumni
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN Jakarta) ini bahkan
melakukan korupsi yang menjadi unsur penting dalam kehidupan umat muslim
di manapun mereka berada, Al-Quran. Setelah melalui reli panjang dari
Jumat 29 Juni 2012 (penetapan tersangka oleh KPK), proses kasus yang
juga menjerat anaknya, Dendy Prasetya Putra Zulkarnaen ini akhirnya
divonis hakim pada Kamis 30 Mei 2013 di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Hakim menilai, mantan anggota Komisi VIII DPR ini dan anaknya telah
mencidersi umat Islam dan dapat menghambat umat Islam dalam memenuhi
kebutuhan beribadah dengan pemenuhan Al-Quran. Zulkarnaen 15 tahun
penjara dan anaknya divonis divonis 8 tahun terkait pengadaan Al-Quran
2011-2012 dan laboratorium MTs tahun 2011 pada Kementerian Agama
(Kemenag).
Selain vonis penjara, dua terdakwa itu
masing-masing dikenakan denda Rp300 juta subsider satu bulan kurungan
penjara. Majelis juga menjatuhkan pidana uang pengganti sebesar Rp 5,740
miliar untuk masing-masing. Dengan ketentuan apabila Terdakwa I dan
Terdakwa II tidak membayar dalam kurun waktu bulan setelah putusan ini
berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dilelang untuk dikembalikan
ke negara. Apabila harta itu tidak mencukupi maka ayah anak itu
dipidina penjara masing-masaing penjara selama dua tahun. Zulkarnaen
yang merupakan mantan Bendahara Umum Partai Golkar ini sudah
menyampaikan keinginan bandingnya.
Sandi komunikasi kasus
suap Alquran ini bahkan cukup mencenggangkan. Karena menggunakan
kata-kata yang lekat dengan telinga umat Islam Indonesia. Sandi-sandi
yang digunakan yakni, santri (utusan/perantara), murtad (penyimpangan
dari kesepkatan), imam (pejabat Kemenag), kiai (pejabat Kemenag), bahkan
pengajian (pelelangan proyek).[2]
Andi Alfian
Mallarangeng, Alumni FISIPOL Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta
tahun 1986 ini, dijerat KPK dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Sport
Center pada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), di Bukit
Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Penetepannya sebagai tersangka saat ia
masih menjabat Menpora pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Selaku
pengguna anggaran (PA) Kemenpora diduga melakukan perbuatan melawan
hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi terkait
pembangunan/pengadaan/peningkatan sarana dan prasarana olah raga di
Hambalang tahun anggaran 2010-2012. Penetapan disampaikan KPK secara
resmi Jumat 7 Desember 2012. Kasusnya masih dalam tahapan penyidikan dan
melengkapi berkas agar segera disidangkan.
Terakhir yang
cukup fenomenal dan menyita perhatian publik tentu saja Anas
Urbaningrum. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini diduga menerima
hadiah atau janji (suap) terkait pengurusan anggaran proyek Hambalang
dan atau proyek-proyek lainnya. dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR
2009-2014. Sebagai mantan anggota DPR, Mantan Ketua Umum PB HMI ini
disangka melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b dan atau pasal 11 UU
tentang Pemberantasan Tipikor.
Banyak manuver yang terjadi
pasca penetapan ini. Kebocoran draft surat perintah dimulainya
penyidikan (sprindik) yang menyeret Ketua KPK Abraham Samad dan
sekretarisnya (sudah dipecat karena terbukti sebagai pembocor) Wiwin
Suwandi. Kasus Anas ini bahkan menjadi perhatian publik terutama di
kalangan HMI dan Kahmi. Sebagian di antaranya bahkan mendukung Anas dan
menganggapnya hanya menjadi ‘korban’ dalam kontalasi politik di Partai
Demokrat. Ada juga yang memperkirakan Anas dapat lolos dari jeratan
hukum seperti mantan Ketua DPR fraksi Partai Golkar Akbar Tandjung.
Selain
itu alumni di atas, tahun 2002 mantan Ketua Umum PB HMI Akbar Tanjung
yang saat itu menjabat ketua umum Partai Golkar menjadi tersangka di
Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus korupsi dana Bulog senilai Rp 40
miliar. Kasus ini diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Tapi, Mahkamah Agung (MA)
memutus Akbar tidak bersalah dalam kasus yang populer disebut Buloggate
II itu.
Di era reformasi dan kehadiran KPK, ada juga
alumni lain yang ‘baru disebut-sebut terlibat’ dalam kasus dugaan
korupsi. Mereka yakni; Tamsil Linrung (Pimpinan Kolektif Nasional KAHMI
periode 2009-2012 dan Anggota Banggar DPR fraksi PKS) yang disebut-sebut
terlibat kasus DPID, Bambang Soesatyo (Presidium Nasional KAHMI
2012-2017 dan anggota Komisi III DPR fraksi Golkar) dan Azis Syamsuddin
(alumni HMI Jakarta dan dan anggota Komisi III DPR fraksi Golkar) yang
disebut-sebut terlibat kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM di
Korlantas Mabes Polri.
Berikutnya, M Johar Firdaus (Ketua
Umum Pengurus Majelis Wilayah KAHMI Riau dan Ketua DPRD Provinsi Riau)
disebut-sebut dalam kasus dugaan suap revisi Perda PON Riau 2012, Priyo
Budi Santoso (alumni HMI Yogyakarta dan Wakil Ketua DPR fraksi Golkar),
yang disebut-sebut terlibat kasus dugaan korupsi Al-Quran. dan M
Fachruddin (Ketua Umum PB HMI 1999-2002 dan mantan Staf Ahli Menpora)
yang disebut-sebut ikut serta dengan tersangka Hambalang Deddy Kusdinar
(mantan Pejabat Pembuat Komitmen/Pimpro Hambalang) mengantarkan uang
miliaran rupiah kepada Andi Zulkarnain Mallarangeng (Choel
Mallarangeng).
Para alumni yang baru disebut-sebut ini
sudah membantah keterlibatan mereka dalam berbagai kesempatan. Artinya,
sampai saat ini tidak boleh ada justifikasi apapun terhadap keterlibatan
mereka, sebelum ada bukti-bukti dan fakta-fakta hukum yang ditemukan
penegak hukum dan pengadilan.
Menariknya, Koordinator
Presidium Kahmi Mahfud MD dalam berbagai kesempatan menegaskan Kahmi
tidak akan mendukung koruptor. Sekalipun orang itu adalah alumni HMI.
Karena dukungan itu merupakan pengkhianatan. Mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi ini bahkan menyatakan akan mendukung penegakan hukum yang
dilakukan KPK, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Polri. Khusunya dalam
pemberantasan korupsi.
Patut juga kiranya kita mendudukan
kasus para alumni ini tidak dikaitkan-kaitkan dengan ‘korupsi karena
mereka pernah ber-HMI sebagai kader’. Karena penilaian itu adalah sangat
prematur. Dalam konteks hukum, para alumni ini disangka penegak hukum
dalam konteks jabatan mereka saat kasus itu terjadi. Jika kita melihat
secara jernih, dari kasus yang ditangani KPK khususnya, tentu yang
melekat pada mereka adalah sebagai ‘penyelenggara negara/pegawai
negeri’.
Konteks penyelenggara negara ini jelas jabatannya
seperti anggota dewan/menteri/gubernur/wali kota/bupati. Sedangkan
dalam konteks swasta yakni Haris Andi Surrahman disangkakan KPK sebagai
pihak swasta ‘pemberi suap kepada penyelenggara negara (Wa Ode
Nurhayati)’. Sekali lagi tulisan ini hanyalah refleksi bagi kita bagi
ke-HMI-an kita nantinya.
Reposisi Ke-HMI-an dalam Pemberantasan Korupsi
Lalu
kenapa para alumni HMI (konteksnya sebagai tersangka/terdakwa/terpidana
khusunya yang dijerat KPK) ini bisa melakukan tindak pidana korupsi?
Kalau dengan hati bersih kita melihat, tentu para alumni itu bukanlah
orang-orang yang tak ‘berpunya’. Mereka merupakan orang-orang yang
berkecupan. Artinya korupsi bukan karena seseorang itu miskin. Siapapun
bisa melakukan korupsi karena memang kesempatan dan jabatannya
memungkinkannya. Korupsi dilakukan karena mereka mementingkan diri
sendiri dan juga bisa saja untuk memenuhi ‘dapur’ lembaga berasal
(partai politik/organisasi).
Padahal Mohandas Gandhi sudah
sejak lama mengingatkan kita bahwa orang besar adalah orang yang
berbuat untuk kepentingan masyarakat luas. “Manusia menjadi besar ketika
ia bekerja untuk kesejahteraan sesamanya.”
Wakil Ketua
KPK Bidang Pencegahan Busyro Muqoddas menilai birokrasi kontemporer di
Indonesia saat ini tidaklah mencermiRnkan tiga hal. Pertama,
representasi kepentingan publik, good governance, dan
meritokrasi yang menghormati kepakaran. Alumni HMI Yogyakarta ini
menyatakan, birokrasi kita baru mencermikan empat hal yakni, budaya
patrimonial (rakyat sebagai faktor produksi), birokrasi abdi dalem,
kepentingan parpol penguasa, dan rekrutmen CPNS dan promosi
intranparansi.[3]
Sebagai extra ordinary crime,
korupsi hampir menghancurkan seluruh sendi kehidupan masyarakat dan
bernegara. Para pejabat publik baik di level eksekutif yakni lembaga
pemerintahan atau pun kementerian dan legislatif (DPR) lebih cenderung
mementingkan diri sendiri dan kelompoknya dalam setiap kebijakan.
Sebenarnya
jika secara jernih para pejabat dan pemimpin di ‘negeri kelautan yang
ditaburi pulau-pulau’ ini menempatkan rakyat sebagai dasar perjuangan
untuk mencapai kesejahteraan umum sesuai amanah UUD 1945, tentu tidak
ada satu pun yang akan melakukan korupsi. Karena korupsilah
infrastruktur daerah-daerah, desa-desa pelosok terbengkalai, pendidikan
dan kesehatan masyarakat miskin belum terpenuhi. Bahkan sumber daya alam
negara-bangsa ini dikeruk bukan untuk kebutuhan perut rakyat.
Ketua
KPK Abraham Samad pernah menyatakan dalam satu kesempatan, setiap
harinya kita bisa menemukan di pelosok-pelosok daerah ada anak-anak yang
tidak bisa bersekolah dengan baik. Warga miskin dibiarkan terlantar dan
tidak bisa berobat di rumah sakit-rumah sakit. Alumni HMI Makassar ini
bahkan menyatakan, korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan aparat
penegak hukum menunjukkan pertanggungjawaban mereka terhadap hukum dan
hajat hidup orang banyak tak berbekas. Abraham mengajak setiap individu
untuk mengiklaskan dan mewakafkan dirinya untuk memberantas korupsi yang
terjadi di negeri ini. “Saya sudah mewakafkan diri saya untuk melawan
dan memberantas korupsi.”
Korupsi tidaklah tumbuh dalam
ruang yang hampa. Sistem yang bobrok membuat para pelaku selalu
bermunculan dari hari ke hari. Salah satu yang membuat laku korup itu
masih terjaga hingga hari ini jelas adalah sistem sosial yang korup.
Stuktur dalam setiap sistem sosial bahkan menjadi medium di mana korupsi
tumbuh dan berkembang. Bisa dibilang, sistem sosial yang korup
merupakan sebuah pelembagaan dari struktur dan praktik sosial korupsi.
Sebagai bagian dalam sistem sosial, individu tidak akan mampu melepaskan
diri jika sistem itu masih terlapisi, teraliri, dan terjangkiti
korupsi.
Kader HMI dan alumni HMI yang menjadi bagian dari
sistem sosial itu tidaklah perlu apatis melihat korupsi terus terjadi.
Apalagi dilakukan oleh alumni. Pada dasarnya, sistem sosial yang
bersifat dinamis ini bisa diperbaiki. Jika sistem sosial itu diciptakan
sebagai sistem sosial yang baru tanpa sedikitpun cara-cara korup. Paling
tidak, mengilangkan sifat pragmatisme dalam menjalankan roda organisasi
HMI dapat dicerminkan dalam setiap aktivitasnya yang bisa jadi
keseluruhannya berorientasi pada kekuasaan, politik, keuntungan dan
mementingkan kebenaran individu (kader dan HMI tanpa melihat kebenaran
orang/organisasi sekitarnya). Serta menghilangkan dan memusnahkan money politic dalam setiap pesta organisasi (seperti Rapat Anggota Komisariat, Konferensi Cabang, Musyawarah Daerah, dan Kongres).
Bahkan
kader tidak melakukan laku korupsi seperti tertuang dalam UU
Pemberantasan Tipikor. Tentu saja jalan pemberantasan korupsi sebagai
bagian pengabdian HMI dapat tercapai. Sistem sosial yang bersih itu
membantu masyarakat dalam mencapai hak-hak mereka yang tergerus. Apalagi
HMI sebagai organisasi perkaderan tertua di negeri merupakan salah satu
unsur yang tidak bisa dipungkiri kontribusinya.
Ketua
Majelis Etik KAHMI, M Jusuf Kalla (JK), bahkan menganjurkan HMI di mana
pun ia berada, kader-kader, dan alumni berpijak harus terus ikut serta
menyelesaikan berbagai masalah bangsa. Selain menyumbangkan gagasan
jalan keluar, Wakil Presiden RI periode 2004–2009 ini menegaskan HMI
perlu terus melakukan kaderisasi demi melahirkan pemimpin bangsa masa
datang. Termasuk, kader pemimpin yang memerangi korupsi. Dengan bijak JK
menyatakan, alumni HMI yang tersebar di mana-mana seperti di KPK dan
pengadilan membuat mereka tetap menegakan hukum meskipun sang koruptor
itu berasal dari tubuh ‘sang hijau hitam.’
Karena itu, HMI
dan para kadernya tidak boleh lupa akan nilai kesalehan sosial yaitu
berbuat baik bagi seluruh masyarakat di sekitarnya tanpa pamrih.
Karenaya setiap kita mesti menterjemahkan lima kualitas insan cita Kualitas
Insan Akademis; Kualitas Insan Pencipta; Kualitas Insan Pengabdi;
Kualitas Insan yang Bernafaskan Islam dan Kualitas Insan Yang
Bertanggungjawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur Diridhoi Allah
SWT, dengan memberi dukungan terhadap penegakan hukum dalam
pemberantasan korupsi. Karena dari kita lah, generasi bersih cinta
masyarakat sepenuhnya akan tercapai.
Dukungan yang kita
berikan kepada alumni yang terjerat hukum, hanyalah sebagai dukungan
moril dan empati. Apalagi kita pernah berada dalam rumah yang sama.
Selebihnya, serahkan pada proses hukum yang berjalan. Dengan tetap
bersama mengedepankan asas praduga tak bersalah. Sekali lagi tulisan ini
tidak memiliki tendensi apapun dan siapapun, termasuk untuk menjelekkan
HMI. Tulisan ini hanya sebagai refleksi terkait kanda-yunda kita yang
terjerat dalam kasus korupsi.
Saya akan menutup tulisan
ini dengan pernyataan KH Hasyim Muzadi yang patut direnungkan, “Ketika
seseorang melakukan korupsi, sesungguhnya dia telah meninggalkan
agamanya.” []
*Tulisan ini dengan judul yang sama pernah terbit (sebagiannya) di Tabloid Ruang LAPMI Cabang Ciputat Edisi VI/Juli 2013.
-----------------
[1] Abdullah Puteh, http://acch.kpk.go.id/abdullah-puteh.
[2] Sabir Laluhu, Sandi Komunikasi Kasus Alquran: Santri Murtad, Imam, Kiai, hingga Pengajian, Harian Seputar Indonesia (KORAN SINDO), Rabu 30 Januari 2013, hal. 8.
[3] M. Busyro Muqoddas, Konsep dan Kerangka Kerja Sistem Integritas Nasional (SIN), materi disampaikan pada Lokakarya Jurnalis Anti Korupsi di Caldera Resort, Sukabumi, Jawa Barat, 24 Mei 2013, hal. 6.