Tapi pagi di Selasa (kalau saya tidak salah menyebut hari) 15 tahun lalu menyisakan cerita kelam, yang mungkin masih terasa efeknya hingga 2003 bahkan 2006. Kala itu, kerusuhan pecah. Saya dan Ayah yang 'kebetulan' tidak melaksanakan Shalat Id di Masjid Raya Al-Fatah 'lolos' dari kisah awal kerusuhan. Hanya Ibu, akak, dan adik-adik yang menuju dan menjalankan ibadah di situ. Mereka lah, yang merasakan betapa mencekamnya situasi pusat kota Ambon selepas shalat Id. Apalagi saat mereka menaiki angkutan kota (angkot) menuju Halong (banyak warga Nasrani), bersilaturahmi dengan keluarga muslim, semua penumpang panik. Percikan api dari parang yang digoreskan di jalanan menambah kekalutan.
Kabar pecahnya kerusuhan, yang kemudian menjadi konflik horizontal dan SARA ini baru tiba beberapa jam kemudian di telinga saya dan Ayah yang berdiam di daerah yang berjarak sekitar 45 menit dari pusat kota. Itupun dari cerita tetangga. Waktu itu, alat komunikasi berupa ponsel tentu saja belum ada, kalau bisa dibilang demikian, di negeri Kapitan Pattimura dan Martha Christina Tiahahu ini. Apalagi kecepatan informasi dan pemberitaan seperti yang nampak saat ini. Yang terpikirkan bagi kami, saya dan Ayah, bagaimana keselamatan mereka. Satu minggu berselang, Ibu, kakak, dan adik-adik saya pulang dengan diantar mobil TNI AL. Ternyata mereka dan juga keluarga di Halong, mengungsi di pangkalan TNI AL Halong. Begitu cerita mereka.
Berikutnya, setiap detak detik, menit, dan jam terasa begitu lambat. Alur waktu yang biasa diwarnai dengan senyum dan kunjung-mengunjungi antar saudara, yang disebut Gandong dengan Nasrani teputus. Hari-hari seakan tidak bersahabat. Setiap malam diselimuti kecemasan. Situasi Negeri Raja-Raja ini mencekam. Kami yang masih berusia sekolah, dipaksa dengan keadaan untuk menenteng tas tak berisi buku dan pena saja. Tapi juga senjata. Ada yang berisi pana-pana wayar disertai kertapel, ada juga pisau yang sudah diisi di dalam pena dan ditajamkan. Bahkan juga berisi bom rakitan dan senjata/pistol rakitan. Beberapa kali kami mesti dikawal orang-orang tua mengenakan tombak dan panah yang dilengakapi busur. Karena peristiwa tersebut, sekolah diliburkan sampai masa yang tidak ditentukan.
Bukan tulisan dan gambaran hari per hari masa kelam di atas yang ingin saya jabarkan. Itu hanya sekedar prolog, muqaddimah. Coretan ini saya bubuhkan untuk merefleksi dan memberikan apresiasi atas film "Cahaya Dari Timur: Beta Maluku" karya sutradara Angga Dwimas Sasongko dan produser Putra Maluku, Glenn Fredly. Film ini diangkat berdasarkan kisah nyata Sani Tawainella, tukang ojek sekaligus mantan pemain bola dari Desa Tulehu yang pernah mewakili Indonesia dalam Piala pelajar Asia 1996 di Brunai Darusalam, tetapi gagal menjadi pemain profesional setelah tidak lolos dalam seleksi PSSI Bareti. Seingat saya, buku dengan judul yang sama seperti film ini, sudah juga diluncurkan.
Bagi saya, kami Anak Negeri yang merasakan dan mengalami langsung kerusuhan dengan kelamnya masa dan mencekamnya suasa, film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku ini ibarat cahaya yang menerangi sinar kedamaian. Yang bagi sebagian orang menilainya hilang dari Negeri yang punya persaudaraan "Gandong" yang kuat. Film ini kalau bisa dibilang menjadi pelepas dahaga akan adanya kedamaian. Ia tak boleh punah sampai kapan pun di seluruh "jazirah" Maluku dan Indonesia.
Landmark Ambon di Lapangan Merdeka. Foto (sabir) diambil dari kamera ponsel, 2010 |
Jujur, menonton film ini seolah memutar waktu. Detik demi detik yang berlalu, adegan demi adegan dalam setiap scene yang terpampang di layar, dan balutan emosinya merepresentasikan luapan jiwa yang dirasakan putra-putri Maluku saat itu. Nilai kemanusiaan dan rekonsiliasi untuk perdamaian dan persaudaraan dikemas hampir tanpa celah. Bagi saya, Cahaya Dari Timur: Beta Maluku adalah sebuah film yang menempatkan sepakbola sebagai medium perdamaian dan rekonsiliasi "Negeri Raja-Raja". Film ini tidak bisa dinilai dengan materi.
Kejadiaan keluarga saya dipulangkan dari pangkalan TNI AL Halong hampir sama dengan saat Sani dari pangkalan ojek Tulehu melihat beberapa mobil polisi memulangkan para pengungsi dari tempat pengusian ke rumah masing-masing. Bisa dibayangkan, teman sepermainan, teman satu sekolah, satu bangku, dan tetangga harus hilang seolah ditelan gelombang kerusuhan. Yang ada dalam benak kami dari kurun 1999-2004 hanyalah kecurigaan sesama saudara. Teriakan minta tolong, saling serang, saling bakar, saling bom, peluru-peluru bertebaran di atap seng ibarat nyanyian sehari-hari yang terpaksa kami dengar. Entah sampai kapan.
Film ini menjadi representasi dari kami, 1 wajah dan 1 gandong. Film ini memotret jelas tradisi Maluku yang sudah hidup bertahun-tahun lamanya yang ditanamkan orang-orang tua dulu. Tradisi itu hidup dalam kesepahaman "Salam Sarane Karja Rame-Rame". Terjemahan bebasnya adalah: Islam dan Kristen begitu juga umatnya, bekerja beramai-ramai membangun negeri, menjaga kedamaian, dan menjauhkan sekat-sekat perbedaan untuk kemaslahatan masyarakat.
Ini bisa dilihat dari beberapa adegan. Di antaranya, kesediaan Sani, yang diperankan Chicco Jericho, menerima tawaran guru olahraga SMK Passo, Joseph yang diperankan Abdurrahman Arif, untuk melatih tim sepakbola SMK itu. Padahal, orang Maluku semuanya tahu bahwa Passo adalah salah satu basis Kristen di tanah Maluku. Pertikaian hati pun dirasakan Sani sebelum memutuskan menerima tawaran tersebut. Konflin batin yang sama, sempat dirasakan Kepala SMK Passo saat memanggil Joseph dan membicarakan asal-muasal Sani dari Tulehu yang beragama Islam. Akhirnya, ini bisa terselesaikan dengan dialog dan jalan yang sama, Sepak Bola.
Dua lainnya, yakni saat Salembe yang berposisi sayap dan Alvin berposisi bek memilih bergabung dengan Sani dan tim SMK Passo pasca sang panutan angkat kaki dari Sekolah Sepak Bola (SSB) Tulehu Putra yang diklaim didirikan Rafi. Joseph yang tahu keduanya dari Tulehu tidak bisa menolak saat Salembe dan Alvin sudah menenteng sepatu menunggu dan menyaksikan latihan tersebut.
Apalagi mereka hanya mau dilatih oleh Kaka Sani. Singkat cerita keduanya bergabung di tim SMK Passo yang dilatih oleh Sani. Meski kandas di final saat bertemu John Mailoa Cup, Sani mengajarkan ini bahasa sepakbola bukan bahasa sekat agama. Bahasa akan rekonsiliasi. Bahasa itu yang kemudian disampaikan Glend Fredly yang memerankan kaka (saya lupa) kepada kaka (lupa juga) saat memperkenalkannya kepada Sani.
"Ini bukan soal agama, ini sepak bola," kata Salembe yang meninggalkan basudaranya di pantai Tulehu, sebelum bergabung dengan tim SMK Passo.
Berikutnya, setelah tim Maluku berlaga di Jakarta pada Indonesia Cup Usia 15. Tim ini beranggotakan anak-anak terpilih dari Tulehu dan Passo. Adalah Salembe yang sejak latihan perdana di Tulehu menciderai Franky dari Passo, seorang anak polisi. Salembe, anak Tulehu masih menyimpan kesedihan karena sang ayah meninggal dalam kerusuhan karena ditembak polisi. Karenanya sejak di Tulehu, Salembe tak respek dengan dasar memori kelam dan luka batin itu.
Hingga di Jakarta, setelah kalah dari Tim Jakarta, di ruang ganti pertengkaran hebat terjadi. Franky memprotes keras Salembe yang tidak memberikan operan kepadanya dan satu kawan dari Passo. Salembe dengan emosi melayangkan 'tinju terbang' kepada Franky. Lagi-lagi memori yang dipakainya adalah perasaan kala sang ayah mati ditembak polisi dalam kerusuhan. Sebagai kapten, Jago tidak terima. Dengan suara keras Jago menyatakan, "Ose jua seng rasa bagaimana kehilangan mama waktu kerusuhan."
Tapi, tim kembali solid dan menjadi juara meski sebelumnya Sani, sang choach dilanda prahara dalam keluarganya. Satu kata yang ada di dalam benak mereka: Beta Maluku, bukan Tulehu, bukan Passo, bukan Islam, bukan Kristen. Semua berjuang untuk Maluku.
Yang paling berkesan, pesan "Salam Sarane Kerja Rame-Rame" ini dipotret sutradara dan timnya yakni kejadian malam, satu hari sebelum keberangkatan. Saat Sani baru sampai di depan pintu rumahnya dan akan masuk, Pendeta Passo tiba-tiba datang dengan diantar seseorang mengendarai motor. Kejadian ini setelah ayahnya Jago memberikan bantuan sekedarnya dan ibu Alvin yang diperankan Jajang C Noer menyumbangkan kalung untuk menambal kekurangan biaya keberangkatan ke Jakarta yang diberikan PSSI Maluku. Pendeta itu dengan santun mengucapkan selamat malam dan dibalas Sani. Pendeta dengan senyum hangat memberikan sumbangan. "Selamat malam, ini ada sumbangan jemaah gereja Passo untuk bantuan, semoga menutupi kekurangan biaya."
Bisa dibayangkan, Passo yang lumayan jauh dari Tulehu ditempuh sang pendeta pada malam hari. Ini kemudian diikuti, dua suami istri asal Tulehu yang datang mengucapkan "Assalamu'alaikum" dan memberikan bantuan diikuti banyak tetangga dan warga Tuleha. Satu scene, dua salam dari umat agama yang berbeda untuk satu tujuan, Maluku dan sepak bola untuk rekonsiliasi dan perdamaian.
Apalagi dibumbuhi dengan siaran final yang diwarnai mati lampu. Para pemirsa baik di Tulehu maupun Passo tidak bisa menyaksikan pertandingan itu lewat layar kaca. Siaran terputus. Tak ingin kehilangan momentum perjuangan Tim Maluku, para warga berusaha mencari calan keluar. Akhirnya, siaran dilanjutkan lewat sambungan telpon. Beberapa warga Tulehu bahkan rela mendengarkan siaran langsung tersebut di gereja di Passo.
Ya, film sejak kali diputarkan pada 28 Desember 1985 oleh Lumière Bersaudara di Prancis hingga masa kini, bukan hanya menjadi cerita semata. Film selalu bertransformasi menjadi medium untuk menyebarluasakan gagasan, indeologi, kepercayaan, gagasan, agama, kebangsaan, fenomena sosial-budaya, hingga perdamaian dan kemanusiaan. Sekali lagi, film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku menempatkan sepakbola sebagai medium perdamaian dan rekonsiliasi "Negeri Raja-Raja". Karenanya, bagi saya pribadi, film ini tidak bisa dinilai dengan materi.
Film ini pun memberikan satu pelajaran berharga yang selalu kita dengar bahwa, "pengalaman adalah guru yang paling berharga". Betapa tidak, Sani yang gagal dan tidak berhasil menjadi pemain profesional, berusaha menyisikan waktunya setelah mengojek sebagai mata pencahariannya, untuk lima tahun melatih Salembe, Jago, Alvin, dkk dari nol di tengah suasana konflik. Tujuannya satu, agar anak-anak kecil itu tidak ikut ke perbatasan untuk menonton "ada kaco" yang ditandai dengan bunyi tiang listik yang dipukul di seantaro desa. Bunyi ini pula, yang kerap saya dengar sebagai pertanda "ada kaco" atau "dong su serang di perbatasan". Ah, kau Cahaya Dari Timur, meneteskan air mata ini tak bisa tertahankan.
Sebagai penikmat film, saya melihat secara keseluruhan alur cerita, kesetupadanan musik, kekuatan karakter para pemainnya sangat luar biasa dan tepat. Sani, Hapsah Umarela yang diperankan Shafira Umm, Rafi, Jajang C Noer, Joseph (Abdurrahman Arif), Glenn, Sambele, Jago, dan seluruh pemeran menghidupkan film dan menjadikan masing-masing karakternya hidup dalam nalar para penonton. Apalagi, karakter-karakter dan jalan ceritanya dilatari pemandangan yang khas dan kehidupan Desa Tuleha seperti juga di seluruh Jazirah Maluku.
Pemandangan Kota Ambon dilihat dari Patung Martha Christina Tiahahu, Karang Panjang. Foto (sabir). |
Awalnya saat nonton film ini, saya mengira hanya Chicco dan Jajang, di luar Glenn yang menjadi bintang dalam film ini yang berasal dari Ambon atau Maluku dan "bintang" di dalamnya. Dalam benak saya, Joseph dan Hapsah yang diperankan Abdurrahman Arif dan Shafira Umm benar-benar dari Maluku atau paling tidak orang Indonesia Timur, serta bukan 'bintang' dalam film ini. Ternyata Shafira adalah salah satu presenter TV nasional sedangkan Arif adalah aktor yang sudah aktif di dunia film sejak 2005.
Menonton film ini, tidak melulu rasa sedih dan tetesan air mata. Penonton akan disuguhi juga dengan canda, tawa, dan hal-hal yang lucu dari beberapa adegan. Ada juga keluguan dan keingintahuan yang dibungkus dengan ketegangan dan kelucuan dalam satu schene. Sebut saja, saat hari pertama kala Sembele, Alvin, Jago, dkk akan berlatih dengan Sani di lapangan Tulehe. Anak-anak kecil itu serta Petanaha yang agak culun langsung berlari sesaat setelah tiang listrik dipukul berkali-kali oleh orang tua/pemuda, untuk melihat kerusuhan di perbatasan. Dengan motor jadulnya, Sani langsung mengejar mereka dan memerintahkan anak-anak ini kembali berlatih.
"Kamong mau latihan bola kaseng?. Beta latih kamong, biar kamong seng pigi lia kaco." tegas Rafi setiba di lapangan. Yang ditimpalai Jago dkk, "Siap kaka."
Warna konflik batin antara para pelaku, tanpa menafikan yang lain yang juga kental, itu terlihat utamanya dari Sani-Hapsah dan Sani-Rafi. Sani sebagai mantan pemain sepak bola non profesional tidak punya kerjaan selain jadi tukang ojek. Konflik dan pertarungan batin di dalam keluarga Sani-Hapsah bisa dirasakan penonton. Dengan nafkah harian Rp50.000/hari sebelum Sani melatih Jago dkk, berkurang menjadi Rp25.000/hari setelah dia meluangkan waktu melatih sejak pukul 17.00 WIT. Anak yang kedua bahkan tidak ada uang imunisasi. Suasana keluarga Sani-Hapsah yang dikarunia dua orang keluarga semakin meruncing saat Sani menjual dua ekor kambing untuk menutupi kekurangan biaya. Hapsah tidak terima dengan itu. Kambing itu untuk persiapkan biaya sekolah anak pertama mereka. "Ose urus orang lain pung anak banyak bisa, tapi urus dua orang anak di dalam rumah sa seng bisa," begitu kira-kira omongan Hapsah.
Perseteruan makin memanas saat Hapsah membaca koran yang memberitakan kekalahan tim Maluku-keributan di ruang ganti. Hapsah langsung mengangkut dua anaknya ke rumah orang tuanya di Ambon (kota) dan menitipkan kunci ke ibunda Alvin. Suasana batin ini mereda, kala Sani mampu mengendalikan kondisinya di Jakarta dan Hapsah ditelpon dan diberi pengertian oleh Glenn.
Sementara, Sani dan Rafi adalah dua sahabat yang akrab sejak kecil. Dua-duanya pernah mengikuti seleksi bareng di SSB Ragunan tapi gagal. Naik turun dan sempat saling absen melatih Jago dkk. Sumbu pertikaian disulut Rafi saat dia secara sepihak mendirikan SSB Tulehu Putra yang beranggotakan Jago dkk dan tertuang di berita koran. Setelah membaca berita, Sani tidak terima dan langsung menemui Rafi di kapalnya. Dengan lantang penuh amarah membuncah, Sani menghardik Rafi. Tapi apa mau dikata, Rafi mengatakan, dia adalah orang yang pantas secara materi dan kemampuan manajerial.
Amarah Sani makin menjadi, "Eh Rafi, beta latih dong dari anak-anak, beta seng cari materi. Ini seng karena uang." Ayah Rafi yang mendengar langsung menimpali dan menambah panas suasana, "Eh Sani, yang Rafi bilang itu batul. Seng mungkin dalam satu lapangan ada dua matahari." Sani tetap tidak menerima itu, "Bapak kalau seng ada se, beta su bunuh Rafi di atas kapal ini."
Perpecahan Sani-Rafi tak sampai di sini. Setelah Tulehu Putara menjuarai turnamen John Mailoa Cup, Rafi, Sani, Joseph, dan utusan dari Maluku dan pusat diundang ke rumah Bapa Raja. Tujuannya untuk membentuk tim Maluku di turnamen Indonesia Cup U-15 di Jakarta dan menunjuk pelatih kepala dan assiten pelatih. Reputasi Sani yang sudah terdengar sampai PSSI Maluku, kemudian ditunjuk menjadi coach. Di sini Rafi tidak terima. Dia juga menolak jabatan assisten pelatih. Rafi pun menolak menyaksikan pertandingan tim Maluku yang sedang berjuang. Tapi pada akhirnya, hati kecil Rafi luluh, seperti juga Hapsah dan pemain-pemain Maluku yang sempat bertikai, bahwa ini untuk Maluku. Bukan Sani atau yang lain.
Untuk SSB Tulehu Putra, nama ini memang tidak asing lagi di kalangan masyarakat Maluku. Banyak yang meyakini dari tanah Tulehu, pemain-pemain sepak bolanya memiliki skill di atas rata-rata. Skill itu ditunjukan langsung dalam film ini. Ditambah tempat latihan bukan hanya di lapangan tanah, tapi juga lapangan pasir dan tepi pantai. Alamak, alami betul.
Teluk Ambon atau Teluk Tanjung Alang dilihat dari Pantai Losari. Foto (sabir) |
Di luar yang sudah disebutkan di atas, film ini mengajarkan dan memberikan inspirasi atas kedisiplinan, keteledanan, kerja sama tim, kerja keras, dan perjuangan. Semangat dalam film ini patut dicontoh. Tak hentinya saya ingin mengatakan, dari film ini jelas sekali, kami anak negeri Cinta Maluku, Cinta Indonesia memberikan cahaya dan pelepas dahaga untuk kedamaian dan perdamaian. Semoga benang-benang persaudaraan dan rajutan kemanusiaan kita tidak terkoyak oleh siapapun yang menginginkan dan melihatnya hancur. Mari kita jaga bersama.