Oleh: Sabir Laluhu*
Tulisan ini dimuat di Jurnal Populer PLURALITA AVICENNA (HMI CAB. CIPUTAT) Edisi Perdana Volume 1 Nomor 1, Tahun I; November-Desember 2011
Mahasiswa, sebuah komunitas yang hadir menyertai nafas aktivitas setiap kampus baik sekolah tinggi, akademi, institut, maupun universitas. Dus, denyut nadi kampus digerakkan dengan kehadiran mereka. Meski demikian, keberadaan komponen lain seperti para dosen, satpam, pekerja rumah tangga, pekerja kebersihan, dan lain-lainnya tidak bisa dinafikan.
Kehadiran mahasiswa menjadikan kehidupan keluarga besar mahasiswa dan aktivitas kemahasiswaan di dalamnya ibarat rumah yang menaungi mereka. Rumah untuk berteduh, rumah untuk bersenda-gurau, rumah untuk berdialektika, rumah untuk berorganisasi, rumah untuk mengembangkan kreatifitas, rumah untuk menciptakan saling pengertian, dan rumah untuk menjalin cinta, kasih, dan sayang selayaknya sebuah keluarga.
Demikian pula akktifitas kemahasiswaan yang digerakkan oleh mahasiswa/i Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (selanjutnya akan disebut dengan UIN Jakarta). Tapi, UIN Jakarta pernah merasakan sengatan volt listrik tegangan tinggi NKK/BKK lewat senat. Sengatan senat yang berasal dari pemerintah pada masa itu membungkan suara keras mahasiswa/i. Walau demikian, mahasiswa/i di masa itu meninggalkan jejak dan relief sejarah sebagai kaum intelektual yang indah dipandang, dibicarakan, dan dinikmati hingga hari ini.
Namun, bekas luka sengatannya tidak dapat dihilangkan. Garis-garis bekas sengatannya menyayat tubuh kreatifitas, membungkan suara, dan menghilangkan daya kreatifitas dari, oleh, dan untuk mahasiswa. Pemerintahan mahasiswa disusun oleh, dari pemerintah, rektorat, dan dekanat, untuk mahasiswa. Aumannya terhenti bersamaan dengan bergulirnya gerakan reformasi 21 Mei 1998, tapi tidak berhenti hingga hari ini.
Mahasiswa UIN Jakarta melalului aktivis, organisatoris, dan intelektual angkatan 1998 dengan kejernihan hati mendirikan Keluarga Besar Mahasiswa UIN Jakarta pada 29 November 1998 dengan sistem pemerintahan mahasiswa Students Government (SG) dengan keterlibatan partai mahasiswa sebagai fasilitator untuk memilih para wakil di lembaga eksekutif dan legislatif pada pemilihan umum raya kampus (Pemira). Pemilihannya bahkan berbeda dengan sistem senat. Jika senat tanpa kehadiran partai dengan menggunakan hak pemilihan oleh ketua kelas hanya satu suara, maka SG pemilihan dengan satu insan satu suara. Bahkan SG berjalan tanpa surat keterangan untuk pencalonan diri individu dari pemangku kebijakan di setiap jajaran kampus – jurusan, dekanat, dan rektorat - seperti sistem senat.
Ibarat memasuki alur labirin nan panjang dan mesin waktu, sistem senat ingin dihidupkan kembali oleh pemangku kebijakan kampus ‘tertinggi'. Di setiap pertemuan dengan perwakilan-perwakilan mahasiswa dari fakultas, UKM, dan partai, mereka seolah bernostalgia. “Kalau jaman kami dulu kami bisa melaksanakan senat …, cobalah dilaksanakan seperti itu.” Nostalgia ini ingin ditularkan di saat SG telah memasuki usia 11 tahun (1998-2011).
Jika salah satu permasalahannya adalah konflik, maka manusia adalah sumber konflik. Setiap kehadiran dan aktivitas mereka akan selalu terjadi konflik antar satu dengan yang lainnya, bahkan pada sistem yang dijalankan oleh mahasiswa/i; senat dan SG.
Lalu…
Memaksa bukanlah tindakan tepat, saling menyalahkan bukan jalan terbaik. Tetapi dialog dengan inklusif adalah jalan terbaik bagi penyelesaian masalah yang melilit sistem pemerintahan mahasiswa dalam kampus kita tercinta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan melibatkan pemangku kebijakan kampus dan mahasiswa. Karena, setiap masalah pasti bisa dibicarakan.[]
* Pemimpin Redaksi Pluralita Avicenna dan
Ketua Bidang Pemberdayaan Umat HMI Cabang Ciputat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar