Korupsi di mana pun terjadi, di negara mana pun termaktub, korupsi
selalu diamini sebagai kejahatan luar biasa. Betapa tidak, korupsi dapat
merusak kehidupan umat manusia di tempat mana pun mereka bernaung.
Bahkan korupsi mampu menghancurkan kemanusiaan. Maka benar ungkapan
beberapa tokoh dunia. Mantan Presiden Nigeria, Olusegun Obasanjo
menyatakan, “Korupsi merupakan sumber kehancuran masyarakat saat ini.”
Sementara, Jurnalis sekaligus penulis Austria Karl Kraus (1874-1936)
sampai menyebut, “Korupsi lebih buruk dari prostitusi. Prostitusi
membahayakan moral individu, tetapi korupsi akan membahayakan moral
seluruh negeri.”
Pasca era reformasi bergulir di
Indonesia, kasus korupsi terus bersahutan. Hampir setiap hari,
aktor-aktor kejahatan kerah putih ini bermunculan di ruang publik tanpa
bisa dihitung seberapa banyak intensitas ekploitasi pemberitaannya.
Ibarat air yang mengalir, para pelaku korupsi tidak bisa dihentikan.
Satu terungkap, satu lain tertangkap. Satu dijerat, satu juga ikut
terseret. Satu divonis, oknum lain tak mampu lolos.
Korupsi,
menurut Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang telah diubah dengan UU Nomor 20
tahun 2001 secara gamblang dijelaskan dalam 13 pasal. Dari pasal-pasal
tersebut korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk/jenis tindak pidana
korupsi. Yang jika dikelompokkan menjadi 7 bagian yakni, kerugian
negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan
curang, benturan kepentingan dalam pengadaan (barang dan jasa), dan
gratifikasi.
Selain itu masih ada 6 jenis tindak pidana
lain yang juga berkaitan dengan tidak pidana korupsi. Yakni, merintangi
proses pemeriksaan perkara korupsi, tidak memberikan keterangan atau
memberikan keterangan yang tidak benar, bank yang tidak memberikan
keterangan rekening terangka, saksi atau ahli yang tidak memberikan
keterangan atau memberikan keterangan palsu, orang yang memegang rahasia
jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu, dan
saksi yang membuka identitas pelapor.
Para pelalu korupsi
itu bukanlah orang sembarangan. Sebagian besar bisa dibilang merupakan
tokoh publik yang paham betul akan tanggangjawab mereka dan perbuatan
korupsi itu sendiri. Di antara para koruptor itu, tampak tokoh-tokoh
yang pernah menjadi ‘pejuang’ di beberapa organisasi
kemahasiswaan/kepemudaan. Salah satunya tentu saja Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI). Karena itu, dalam tulisan yang penulis anggap sebagai napak
tilas ini dikonsentrasikan pada Korps Alumni HMI (Kahmi) yang tenggelam
dalam lautan korupsi. Tulisan ini bukan sebagai jutstifikasi, tapi
sebagai sebuah pelajaran yang tak perlu diulang.
Korupsi Alumni HMI
Dari
data yang berhasil dihimpun penulis, terdapat sejumlah alumni HMI
tergerus arus liar korupsi sebegai tersangka/terdakwa/terpidana. Mereka
di antaranya yakni, Abdullah Puteh (mantan Ketua Umum HMI Cabang
Bandung), Wa Ode Nurhayati (alumni HMI Papua), Zulkarnaen Djabar (mantan
Ketua Umum HMI Cabang Ciputat), Haris Andi Surrahman (alumni HMI
Makassar), Andi Alfian Mallarangeng (alumni HMI Yogyakarta), dan Anas
Urbaningrum (mantan Ketua Umum PB HMI).
Abdullah Puteh
dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai Gubernur Aceh periode
2000-2005 terbukti melakukan korupsi terkait pengadaan 1 (satu) unit
pesawat helikopter type MI-2, VIP Cabin, versi sipil tahun 2000-2001
dari pabrik Mil Moscow Helicopter Plant Rusia, senilai USD 1,250,000
atau setara Rp. 12,5 Miliar.[1] Politisi Partai Golkar ini sudah
dijatuhi hukuman 10 tahun penjara pada 11 April 2005. Mantan Anggota
Majelis Pekerja Kongres PB HMI (1973-1975) ini akhirnya diputuskan bebas
bersyarat pada 18 November 2009 setelah membayar uang ganti kasus
senilai Rp 500 juta.
Wa Ode Nurhayati merupakan terdakwa
kasus dugaan suap pengurusan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah
(DPID) tahun 2011 dan tidak pidana pencucian uang (TPPU). Kasus ini
ditangani KPK. Dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis 18
Oktober 2012 politisi mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR dari
fraksi PAN ini divonis divonis 6 tahun karena terbukti secara sah dan
meyakinkan menerima suap sebesar Rp 6,25 miliar dari tiga pengusaha dan
pidana pencucian uang. Saat ini, kasus alumni STIA Karya Dharma, Merauke
ini tengah masuk tahapan banding di pengadilan tingkat II.
Haris
Andi Surrahman ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Kamis 22
November 2012. Kader Partai Golkar ini diduga melanggar pasal 5 ayat (1)
huruf a atau b atau pasal 13 UU tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal
55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukuk Pidana (KUHP).
Haris merupakan perantara bagi Wa Ode Nurhayati dan pemberi suap.
Kasusnya saat ini masih dalam tahapan penyidikan untuk melengkapi berkas
agar secepatnya bisa disidangkan di Pengadilan Tipikor.
Menariknya
dalam kasus DPID ini, saat sidang Wa Ode Nurhayati di Pengadilan
Tipikor, Jakarta, Nurhayati dan Haris dalam pemberian kesaksian saling
bersahutan, perkenalan mereka karena sama-sama dari HMI. Apalagi saksi
lain yakni Syarif Achmad juga membenarkan perkenalan karena HMI itu.
Penulis yang hadir dalam persidangan kasus DPID Nurhayati, ibarat
mendapat siraman cairan besi panas. Apalagi ada sejumlah uang yang
diduga merupakan hasil TPPU Nurhayati turut mengalir ke beberapa kader
HMI. Kehmian penulis benar-benar diuji dalam ‘meliput’ kasus ini secara
objektif.
Zulkarnaen Djabar lebih mengerikan lagi. Alumni
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN Jakarta) ini bahkan
melakukan korupsi yang menjadi unsur penting dalam kehidupan umat muslim
di manapun mereka berada, Al-Quran. Setelah melalui reli panjang dari
Jumat 29 Juni 2012 (penetapan tersangka oleh KPK), proses kasus yang
juga menjerat anaknya, Dendy Prasetya Putra Zulkarnaen ini akhirnya
divonis hakim pada Kamis 30 Mei 2013 di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Hakim menilai, mantan anggota Komisi VIII DPR ini dan anaknya telah
mencidersi umat Islam dan dapat menghambat umat Islam dalam memenuhi
kebutuhan beribadah dengan pemenuhan Al-Quran. Zulkarnaen 15 tahun
penjara dan anaknya divonis divonis 8 tahun terkait pengadaan Al-Quran
2011-2012 dan laboratorium MTs tahun 2011 pada Kementerian Agama
(Kemenag).
Selain vonis penjara, dua terdakwa itu
masing-masing dikenakan denda Rp300 juta subsider satu bulan kurungan
penjara. Majelis juga menjatuhkan pidana uang pengganti sebesar Rp 5,740
miliar untuk masing-masing. Dengan ketentuan apabila Terdakwa I dan
Terdakwa II tidak membayar dalam kurun waktu bulan setelah putusan ini
berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dilelang untuk dikembalikan
ke negara. Apabila harta itu tidak mencukupi maka ayah anak itu
dipidina penjara masing-masaing penjara selama dua tahun. Zulkarnaen
yang merupakan mantan Bendahara Umum Partai Golkar ini sudah
menyampaikan keinginan bandingnya.
Sandi komunikasi kasus
suap Alquran ini bahkan cukup mencenggangkan. Karena menggunakan
kata-kata yang lekat dengan telinga umat Islam Indonesia. Sandi-sandi
yang digunakan yakni, santri (utusan/perantara), murtad (penyimpangan
dari kesepkatan), imam (pejabat Kemenag), kiai (pejabat Kemenag), bahkan
pengajian (pelelangan proyek).[2]
Andi Alfian
Mallarangeng, Alumni FISIPOL Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta
tahun 1986 ini, dijerat KPK dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Sport
Center pada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), di Bukit
Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Penetepannya sebagai tersangka saat ia
masih menjabat Menpora pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Selaku
pengguna anggaran (PA) Kemenpora diduga melakukan perbuatan melawan
hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi terkait
pembangunan/pengadaan/peningkatan sarana dan prasarana olah raga di
Hambalang tahun anggaran 2010-2012. Penetapan disampaikan KPK secara
resmi Jumat 7 Desember 2012. Kasusnya masih dalam tahapan penyidikan dan
melengkapi berkas agar segera disidangkan.
Terakhir yang
cukup fenomenal dan menyita perhatian publik tentu saja Anas
Urbaningrum. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini diduga menerima
hadiah atau janji (suap) terkait pengurusan anggaran proyek Hambalang
dan atau proyek-proyek lainnya. dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR
2009-2014. Sebagai mantan anggota DPR, Mantan Ketua Umum PB HMI ini
disangka melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b dan atau pasal 11 UU
tentang Pemberantasan Tipikor.
Banyak manuver yang terjadi
pasca penetapan ini. Kebocoran draft surat perintah dimulainya
penyidikan (sprindik) yang menyeret Ketua KPK Abraham Samad dan
sekretarisnya (sudah dipecat karena terbukti sebagai pembocor) Wiwin
Suwandi. Kasus Anas ini bahkan menjadi perhatian publik terutama di
kalangan HMI dan Kahmi. Sebagian di antaranya bahkan mendukung Anas dan
menganggapnya hanya menjadi ‘korban’ dalam kontalasi politik di Partai
Demokrat. Ada juga yang memperkirakan Anas dapat lolos dari jeratan
hukum seperti mantan Ketua DPR fraksi Partai Golkar Akbar Tandjung.
Selain
itu alumni di atas, tahun 2002 mantan Ketua Umum PB HMI Akbar Tanjung
yang saat itu menjabat ketua umum Partai Golkar menjadi tersangka di
Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus korupsi dana Bulog senilai Rp 40
miliar. Kasus ini diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Tapi, Mahkamah Agung (MA)
memutus Akbar tidak bersalah dalam kasus yang populer disebut Buloggate
II itu.
Di era reformasi dan kehadiran KPK, ada juga
alumni lain yang ‘baru disebut-sebut terlibat’ dalam kasus dugaan
korupsi. Mereka yakni; Tamsil Linrung (Pimpinan Kolektif Nasional KAHMI
periode 2009-2012 dan Anggota Banggar DPR fraksi PKS) yang disebut-sebut
terlibat kasus DPID, Bambang Soesatyo (Presidium Nasional KAHMI
2012-2017 dan anggota Komisi III DPR fraksi Golkar) dan Azis Syamsuddin
(alumni HMI Jakarta dan dan anggota Komisi III DPR fraksi Golkar) yang
disebut-sebut terlibat kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM di
Korlantas Mabes Polri.
Berikutnya, M Johar Firdaus (Ketua
Umum Pengurus Majelis Wilayah KAHMI Riau dan Ketua DPRD Provinsi Riau)
disebut-sebut dalam kasus dugaan suap revisi Perda PON Riau 2012, Priyo
Budi Santoso (alumni HMI Yogyakarta dan Wakil Ketua DPR fraksi Golkar),
yang disebut-sebut terlibat kasus dugaan korupsi Al-Quran. dan M
Fachruddin (Ketua Umum PB HMI 1999-2002 dan mantan Staf Ahli Menpora)
yang disebut-sebut ikut serta dengan tersangka Hambalang Deddy Kusdinar
(mantan Pejabat Pembuat Komitmen/Pimpro Hambalang) mengantarkan uang
miliaran rupiah kepada Andi Zulkarnain Mallarangeng (Choel
Mallarangeng).
Para alumni yang baru disebut-sebut ini
sudah membantah keterlibatan mereka dalam berbagai kesempatan. Artinya,
sampai saat ini tidak boleh ada justifikasi apapun terhadap keterlibatan
mereka, sebelum ada bukti-bukti dan fakta-fakta hukum yang ditemukan
penegak hukum dan pengadilan.
Menariknya, Koordinator
Presidium Kahmi Mahfud MD dalam berbagai kesempatan menegaskan Kahmi
tidak akan mendukung koruptor. Sekalipun orang itu adalah alumni HMI.
Karena dukungan itu merupakan pengkhianatan. Mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi ini bahkan menyatakan akan mendukung penegakan hukum yang
dilakukan KPK, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Polri. Khusunya dalam
pemberantasan korupsi.
Patut juga kiranya kita mendudukan
kasus para alumni ini tidak dikaitkan-kaitkan dengan ‘korupsi karena
mereka pernah ber-HMI sebagai kader’. Karena penilaian itu adalah sangat
prematur. Dalam konteks hukum, para alumni ini disangka penegak hukum
dalam konteks jabatan mereka saat kasus itu terjadi. Jika kita melihat
secara jernih, dari kasus yang ditangani KPK khususnya, tentu yang
melekat pada mereka adalah sebagai ‘penyelenggara negara/pegawai
negeri’.
Konteks penyelenggara negara ini jelas jabatannya
seperti anggota dewan/menteri/gubernur/wali kota/bupati. Sedangkan
dalam konteks swasta yakni Haris Andi Surrahman disangkakan KPK sebagai
pihak swasta ‘pemberi suap kepada penyelenggara negara (Wa Ode
Nurhayati)’. Sekali lagi tulisan ini hanyalah refleksi bagi kita bagi
ke-HMI-an kita nantinya.
Reposisi Ke-HMI-an dalam Pemberantasan Korupsi
Lalu
kenapa para alumni HMI (konteksnya sebagai tersangka/terdakwa/terpidana
khusunya yang dijerat KPK) ini bisa melakukan tindak pidana korupsi?
Kalau dengan hati bersih kita melihat, tentu para alumni itu bukanlah
orang-orang yang tak ‘berpunya’. Mereka merupakan orang-orang yang
berkecupan. Artinya korupsi bukan karena seseorang itu miskin. Siapapun
bisa melakukan korupsi karena memang kesempatan dan jabatannya
memungkinkannya. Korupsi dilakukan karena mereka mementingkan diri
sendiri dan juga bisa saja untuk memenuhi ‘dapur’ lembaga berasal
(partai politik/organisasi).
Padahal Mohandas Gandhi sudah
sejak lama mengingatkan kita bahwa orang besar adalah orang yang
berbuat untuk kepentingan masyarakat luas. “Manusia menjadi besar ketika
ia bekerja untuk kesejahteraan sesamanya.”
Wakil Ketua
KPK Bidang Pencegahan Busyro Muqoddas menilai birokrasi kontemporer di
Indonesia saat ini tidaklah mencermiRnkan tiga hal. Pertama,
representasi kepentingan publik, good governance, dan
meritokrasi yang menghormati kepakaran. Alumni HMI Yogyakarta ini
menyatakan, birokrasi kita baru mencermikan empat hal yakni, budaya
patrimonial (rakyat sebagai faktor produksi), birokrasi abdi dalem,
kepentingan parpol penguasa, dan rekrutmen CPNS dan promosi
intranparansi.[3]
Sebagai extra ordinary crime,
korupsi hampir menghancurkan seluruh sendi kehidupan masyarakat dan
bernegara. Para pejabat publik baik di level eksekutif yakni lembaga
pemerintahan atau pun kementerian dan legislatif (DPR) lebih cenderung
mementingkan diri sendiri dan kelompoknya dalam setiap kebijakan.
Sebenarnya
jika secara jernih para pejabat dan pemimpin di ‘negeri kelautan yang
ditaburi pulau-pulau’ ini menempatkan rakyat sebagai dasar perjuangan
untuk mencapai kesejahteraan umum sesuai amanah UUD 1945, tentu tidak
ada satu pun yang akan melakukan korupsi. Karena korupsilah
infrastruktur daerah-daerah, desa-desa pelosok terbengkalai, pendidikan
dan kesehatan masyarakat miskin belum terpenuhi. Bahkan sumber daya alam
negara-bangsa ini dikeruk bukan untuk kebutuhan perut rakyat.
Ketua
KPK Abraham Samad pernah menyatakan dalam satu kesempatan, setiap
harinya kita bisa menemukan di pelosok-pelosok daerah ada anak-anak yang
tidak bisa bersekolah dengan baik. Warga miskin dibiarkan terlantar dan
tidak bisa berobat di rumah sakit-rumah sakit. Alumni HMI Makassar ini
bahkan menyatakan, korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan aparat
penegak hukum menunjukkan pertanggungjawaban mereka terhadap hukum dan
hajat hidup orang banyak tak berbekas. Abraham mengajak setiap individu
untuk mengiklaskan dan mewakafkan dirinya untuk memberantas korupsi yang
terjadi di negeri ini. “Saya sudah mewakafkan diri saya untuk melawan
dan memberantas korupsi.”
Korupsi tidaklah tumbuh dalam
ruang yang hampa. Sistem yang bobrok membuat para pelaku selalu
bermunculan dari hari ke hari. Salah satu yang membuat laku korup itu
masih terjaga hingga hari ini jelas adalah sistem sosial yang korup.
Stuktur dalam setiap sistem sosial bahkan menjadi medium di mana korupsi
tumbuh dan berkembang. Bisa dibilang, sistem sosial yang korup
merupakan sebuah pelembagaan dari struktur dan praktik sosial korupsi.
Sebagai bagian dalam sistem sosial, individu tidak akan mampu melepaskan
diri jika sistem itu masih terlapisi, teraliri, dan terjangkiti
korupsi.
Kader HMI dan alumni HMI yang menjadi bagian dari
sistem sosial itu tidaklah perlu apatis melihat korupsi terus terjadi.
Apalagi dilakukan oleh alumni. Pada dasarnya, sistem sosial yang
bersifat dinamis ini bisa diperbaiki. Jika sistem sosial itu diciptakan
sebagai sistem sosial yang baru tanpa sedikitpun cara-cara korup. Paling
tidak, mengilangkan sifat pragmatisme dalam menjalankan roda organisasi
HMI dapat dicerminkan dalam setiap aktivitasnya yang bisa jadi
keseluruhannya berorientasi pada kekuasaan, politik, keuntungan dan
mementingkan kebenaran individu (kader dan HMI tanpa melihat kebenaran
orang/organisasi sekitarnya). Serta menghilangkan dan memusnahkan money politic dalam setiap pesta organisasi (seperti Rapat Anggota Komisariat, Konferensi Cabang, Musyawarah Daerah, dan Kongres).
Bahkan
kader tidak melakukan laku korupsi seperti tertuang dalam UU
Pemberantasan Tipikor. Tentu saja jalan pemberantasan korupsi sebagai
bagian pengabdian HMI dapat tercapai. Sistem sosial yang bersih itu
membantu masyarakat dalam mencapai hak-hak mereka yang tergerus. Apalagi
HMI sebagai organisasi perkaderan tertua di negeri merupakan salah satu
unsur yang tidak bisa dipungkiri kontribusinya.
Ketua
Majelis Etik KAHMI, M Jusuf Kalla (JK), bahkan menganjurkan HMI di mana
pun ia berada, kader-kader, dan alumni berpijak harus terus ikut serta
menyelesaikan berbagai masalah bangsa. Selain menyumbangkan gagasan
jalan keluar, Wakil Presiden RI periode 2004–2009 ini menegaskan HMI
perlu terus melakukan kaderisasi demi melahirkan pemimpin bangsa masa
datang. Termasuk, kader pemimpin yang memerangi korupsi. Dengan bijak JK
menyatakan, alumni HMI yang tersebar di mana-mana seperti di KPK dan
pengadilan membuat mereka tetap menegakan hukum meskipun sang koruptor
itu berasal dari tubuh ‘sang hijau hitam.’
Karena itu, HMI
dan para kadernya tidak boleh lupa akan nilai kesalehan sosial yaitu
berbuat baik bagi seluruh masyarakat di sekitarnya tanpa pamrih.
Karenaya setiap kita mesti menterjemahkan lima kualitas insan cita Kualitas
Insan Akademis; Kualitas Insan Pencipta; Kualitas Insan Pengabdi;
Kualitas Insan yang Bernafaskan Islam dan Kualitas Insan Yang
Bertanggungjawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur Diridhoi Allah
SWT, dengan memberi dukungan terhadap penegakan hukum dalam
pemberantasan korupsi. Karena dari kita lah, generasi bersih cinta
masyarakat sepenuhnya akan tercapai.
Dukungan yang kita
berikan kepada alumni yang terjerat hukum, hanyalah sebagai dukungan
moril dan empati. Apalagi kita pernah berada dalam rumah yang sama.
Selebihnya, serahkan pada proses hukum yang berjalan. Dengan tetap
bersama mengedepankan asas praduga tak bersalah. Sekali lagi tulisan ini
tidak memiliki tendensi apapun dan siapapun, termasuk untuk menjelekkan
HMI. Tulisan ini hanya sebagai refleksi terkait kanda-yunda kita yang
terjerat dalam kasus korupsi.
Saya akan menutup tulisan
ini dengan pernyataan KH Hasyim Muzadi yang patut direnungkan, “Ketika
seseorang melakukan korupsi, sesungguhnya dia telah meninggalkan
agamanya.” []
*Tulisan ini dengan judul yang sama pernah terbit (sebagiannya) di Tabloid Ruang LAPMI Cabang Ciputat Edisi VI/Juli 2013.
-----------------
[1] Abdullah Puteh, http://acch.kpk.go.id/abdullah-puteh.
[2] Sabir Laluhu, Sandi Komunikasi Kasus Alquran: Santri Murtad, Imam, Kiai, hingga Pengajian, Harian Seputar Indonesia (KORAN SINDO), Rabu 30 Januari 2013, hal. 8.
[3] M. Busyro Muqoddas, Konsep dan Kerangka Kerja Sistem Integritas Nasional (SIN), materi disampaikan pada Lokakarya Jurnalis Anti Korupsi di Caldera Resort, Sukabumi, Jawa Barat, 24 Mei 2013, hal. 6.
Sabtu, 14 September 2013
Kamis, 18 April 2013
Operasi Tangkap Tangan KPK, Dari Alam Nyata Hingga Liang Lahat
Lembaga super memang layak disandang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Betapa tidak, kasus-kasus tindak pidana korupsi dengan delik suap yang berasal dari keberhasilan operasi tangkap tangan (OTT) menjadi fakta tak bisa dipungkiri. Objek penyuapannya bukan hanya terkait urusan duniawi, seperti perkebunan dan pengurusan perkara. Tetapi, menjangkau urusan akhirat.
Lihat saja operasi tangkap tangan teranyar penyidik KPK Rabu 17 April 2013 di Kabupaten Bogor. Sekitar pukul 16.00 atau 17.00 WIB penyidik menciduk tujuh orang yang diduga terlibat pemberian suap dalam pengurusan izin lokasi pembuatan pemakaman. Menyusul dua orang lainnya pada hari berikutnya pukul 08.00 WIB.
Uniknya pemakaman itu diperuntukan bagi jenazah orang-orang yang berduit bersemayam sebelum menuju alam akhirat. Apalagi lahan itu diperkirakan seluas 1.000.000 meter persegi atau 100 hektare.
Tujuh orang yang ditangkap Selasa (16/4) yakni, Direktur PT Gerindo Perkasa Sentot Susilo, pegawai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor Usep Jumenio, pegawai honorer Pemkab Bogor Listo Wely Sabu, Nana Supriatna (swasta), supirnya Sentot, dan supirnya Listo, dan Imam (swasta). Enam orang pertama ditangkap di restarea Sentul, Bogor saat penyerahan uang Rp800 juta (padahal yang dibawa Sentot Rp1 miliar). Sedangkan Imam belum disebutkan tempat penangkapnya.
"Satu hari sebelum penyerahan uang itu, kita terima informasi dari masyarakat. Makanya, orang-orang yang terlibat kita awasi," kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (17/4/13).
Sementara dua orang yang digelandang ke Gedung KPK pada Rabu (17/4) adalah Ketua DPRD Kabupaten Bogor Iyus Djuher dan stafnya Aris Munandar. Keduanya ditangkap di rumah pribadi Iyus di Ciomas Bogor.
Pasca melakukan pemeriksaan intensif 1 x 24 jam, KPK menetapkan lima orang tersangka. Sentot dan Nana disangkakan pasal pemberi suap yakni, pasal 5 ayat (1) atau pasal 13 Undang-Undang (UU) No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Iyus, Usep, dan Listo diduga melanggar pasal 12 huruf a atau b atau pasal 5 ayat (2) atau pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor. Pasal-pasal tersebut merupakan pasal penerima suap.
"Penyidik KPK telah menemukan dua alat bukti yang cukup terkait tindak pindana korupsi pemberian hadiah atau janji dalam pemberian izin lokasi tanah pembangunan tempat pemakaman bukan umum atau TPBU di desa Antajaya Kecamatan Tanjung Sari Kabupaten Bogor, Jawa Barat," ungkap Johan.
Objek yang hampir sama pernah ditangani KPK terkait lahan perkebunan. Juni 2012 penyidik KPK menangkap tangan General Manager PT HIP Yani Anshori, Direktur Operasional PT HIP Gondo Sudjono, Bupati Buol 2007-202 Amran Batalipu saat penyerahan uang Rp2 miliar (commitmen fee Rp3 miliar) terkait pengurusan izin hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantation (HIP) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
Operasi tangkap tangan itu dilakukan setelah KPK menerima informasi dari masyarakat, menyadap, dan memvalidasi/verifikasi laporan terkait penerimaan uang Rp3 miliar dari Yani dan Gondo ke Amran.
Selain Yani, Gondo dan Amran, KPK juga menjerat pemilik PT HIP/PT Cipta Cakra Murdaya (CCM) Siti Hartati Murdaya (tidak berada di Buol saat penyerahan uang) sebagai tersangka. Empat orang ini sudah divonis bersalah secara sah dan meyakinkan serta sedang menjalani masa tahanan.
26 hari sebelum OTT kasus suap lahan kuburan atau Jumat 22 Maret 2013 penyidik melakukan operasi penangkapan di Bandung. Saat itu, KPK menangkap Wakil PN Bandung Setyabudi, Asep Triyana (kurir), Plt Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPKAD) Hery Nurhayat. Ketiganya sudah ditetapkan sebagai tersangka bersama pengusaha dan Ketua Gazibu Pasundan Toto Hutagalung.
Hakim Setyabudi tertangkap tangan menerima Rp150 juta dari Asep. Saat itu juga penyidik menemukan Rp350 juta di mobil Asep. Pemberian suap ini berkaitan dengan pengurusan perkara korupsi bantuan sosial (bansos) Pemerintah Kota Bandung yang disidangkan di PN Bandung. Saat penggeledahan Senin (25/3) di ruangan hakim Setyabudi KPK berhasil menyita Rp319 juta dan USD12.500, yang dipecah-pecah sang hakim di sejumlah amplop.
Kasus dugaan korupsi PON Riau 2012 yakni dugaan suap pengurusan Peraturan Daerah (Perda) No 6/2010 terkait penambahan anggaran pembangunan Lapangan Tembak PON Riau pun demikian. Sebelum menyeret sejumlah nama besar seperti tersangka Gubernur Riau M Rusli Zainal dan saksi-saksi seperti Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono, Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Setya Novanto, dan anggota Komisi X DPR Fraksi Partai Golkar Kahar Muzakir, KPK menangkap tangan 13 orang.
13 orang itu ditangkap pada 03 April 2012. Mereka terdiri atas 7 anggota DPRD Riau, 4 orang dari swasta, dan 2 orang dari Dispora. Beberapa diantara mereka yakni, M Faisal Aswan (Fraksi Partai Golkar), Muhammad Dunir (Fraksi PKB), Ramli Sanur (Fraksi PAN), Adrian Ali (Fraksi Partai Golkar), Toroechan Asyari (Fraksi PDIP), Tengku Muhazza (Fraksi Partai Demokrat), dan Indra Isnaini (Fraksi PKS), Eka Dharma Putra (Kepala Seksi Pengembangan Sarana Prasarana Dinas Pemuda dan Olah Raga Provinsi Riau), dan Rahmat Syahputra (karyawan PT Pembangunan Perumahan). Dari tangan mereka KPK menyita uang tunai Rp900 juta.
Dalam kasus ini KPK sudah menetapkan 14 tersangka. Selain Rusli Zainal, tersangka lain beberapa di antaranya yakni Dunir, Faisal Aswan, Eka Dharma, dan Rahmat Syahputra, Lukman Abbas (mantan Kadispora Riau), Adrian Ali (PAN), Abubakar Sidiq, Tengku Muhazza (Demokrat), Syarif Hidayat, M Rum Zein, Zulfan Heri, dan Rukman Asyardi (PDIP).
Sebelum empat peristiwa itu, penyidik KPK pernah melakukan operasi serupa terkait kasus-kasus yang bisa dibilang berhubungan dengan urusan dunia nyata. Sejumlah kasus yang didahului dengan operasi tangkap tangan, acap kali didahului dengan penyadapan dan pengawasan intensif dengan operasi senyap.
Lihat saja operasi tangkap tangan teranyar penyidik KPK Rabu 17 April 2013 di Kabupaten Bogor. Sekitar pukul 16.00 atau 17.00 WIB penyidik menciduk tujuh orang yang diduga terlibat pemberian suap dalam pengurusan izin lokasi pembuatan pemakaman. Menyusul dua orang lainnya pada hari berikutnya pukul 08.00 WIB.
Uniknya pemakaman itu diperuntukan bagi jenazah orang-orang yang berduit bersemayam sebelum menuju alam akhirat. Apalagi lahan itu diperkirakan seluas 1.000.000 meter persegi atau 100 hektare.
Tujuh orang yang ditangkap Selasa (16/4) yakni, Direktur PT Gerindo Perkasa Sentot Susilo, pegawai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor Usep Jumenio, pegawai honorer Pemkab Bogor Listo Wely Sabu, Nana Supriatna (swasta), supirnya Sentot, dan supirnya Listo, dan Imam (swasta). Enam orang pertama ditangkap di restarea Sentul, Bogor saat penyerahan uang Rp800 juta (padahal yang dibawa Sentot Rp1 miliar). Sedangkan Imam belum disebutkan tempat penangkapnya.
"Satu hari sebelum penyerahan uang itu, kita terima informasi dari masyarakat. Makanya, orang-orang yang terlibat kita awasi," kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (17/4/13).
Sementara dua orang yang digelandang ke Gedung KPK pada Rabu (17/4) adalah Ketua DPRD Kabupaten Bogor Iyus Djuher dan stafnya Aris Munandar. Keduanya ditangkap di rumah pribadi Iyus di Ciomas Bogor.
Pasca melakukan pemeriksaan intensif 1 x 24 jam, KPK menetapkan lima orang tersangka. Sentot dan Nana disangkakan pasal pemberi suap yakni, pasal 5 ayat (1) atau pasal 13 Undang-Undang (UU) No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Iyus, Usep, dan Listo diduga melanggar pasal 12 huruf a atau b atau pasal 5 ayat (2) atau pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor. Pasal-pasal tersebut merupakan pasal penerima suap.
"Penyidik KPK telah menemukan dua alat bukti yang cukup terkait tindak pindana korupsi pemberian hadiah atau janji dalam pemberian izin lokasi tanah pembangunan tempat pemakaman bukan umum atau TPBU di desa Antajaya Kecamatan Tanjung Sari Kabupaten Bogor, Jawa Barat," ungkap Johan.
Objek yang hampir sama pernah ditangani KPK terkait lahan perkebunan. Juni 2012 penyidik KPK menangkap tangan General Manager PT HIP Yani Anshori, Direktur Operasional PT HIP Gondo Sudjono, Bupati Buol 2007-202 Amran Batalipu saat penyerahan uang Rp2 miliar (commitmen fee Rp3 miliar) terkait pengurusan izin hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantation (HIP) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
Operasi tangkap tangan itu dilakukan setelah KPK menerima informasi dari masyarakat, menyadap, dan memvalidasi/verifikasi laporan terkait penerimaan uang Rp3 miliar dari Yani dan Gondo ke Amran.
Selain Yani, Gondo dan Amran, KPK juga menjerat pemilik PT HIP/PT Cipta Cakra Murdaya (CCM) Siti Hartati Murdaya (tidak berada di Buol saat penyerahan uang) sebagai tersangka. Empat orang ini sudah divonis bersalah secara sah dan meyakinkan serta sedang menjalani masa tahanan.
26 hari sebelum OTT kasus suap lahan kuburan atau Jumat 22 Maret 2013 penyidik melakukan operasi penangkapan di Bandung. Saat itu, KPK menangkap Wakil PN Bandung Setyabudi, Asep Triyana (kurir), Plt Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPKAD) Hery Nurhayat. Ketiganya sudah ditetapkan sebagai tersangka bersama pengusaha dan Ketua Gazibu Pasundan Toto Hutagalung.
Hakim Setyabudi tertangkap tangan menerima Rp150 juta dari Asep. Saat itu juga penyidik menemukan Rp350 juta di mobil Asep. Pemberian suap ini berkaitan dengan pengurusan perkara korupsi bantuan sosial (bansos) Pemerintah Kota Bandung yang disidangkan di PN Bandung. Saat penggeledahan Senin (25/3) di ruangan hakim Setyabudi KPK berhasil menyita Rp319 juta dan USD12.500, yang dipecah-pecah sang hakim di sejumlah amplop.
Kasus dugaan korupsi PON Riau 2012 yakni dugaan suap pengurusan Peraturan Daerah (Perda) No 6/2010 terkait penambahan anggaran pembangunan Lapangan Tembak PON Riau pun demikian. Sebelum menyeret sejumlah nama besar seperti tersangka Gubernur Riau M Rusli Zainal dan saksi-saksi seperti Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono, Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Setya Novanto, dan anggota Komisi X DPR Fraksi Partai Golkar Kahar Muzakir, KPK menangkap tangan 13 orang.
13 orang itu ditangkap pada 03 April 2012. Mereka terdiri atas 7 anggota DPRD Riau, 4 orang dari swasta, dan 2 orang dari Dispora. Beberapa diantara mereka yakni, M Faisal Aswan (Fraksi Partai Golkar), Muhammad Dunir (Fraksi PKB), Ramli Sanur (Fraksi PAN), Adrian Ali (Fraksi Partai Golkar), Toroechan Asyari (Fraksi PDIP), Tengku Muhazza (Fraksi Partai Demokrat), dan Indra Isnaini (Fraksi PKS), Eka Dharma Putra (Kepala Seksi Pengembangan Sarana Prasarana Dinas Pemuda dan Olah Raga Provinsi Riau), dan Rahmat Syahputra (karyawan PT Pembangunan Perumahan). Dari tangan mereka KPK menyita uang tunai Rp900 juta.
Dalam kasus ini KPK sudah menetapkan 14 tersangka. Selain Rusli Zainal, tersangka lain beberapa di antaranya yakni Dunir, Faisal Aswan, Eka Dharma, dan Rahmat Syahputra, Lukman Abbas (mantan Kadispora Riau), Adrian Ali (PAN), Abubakar Sidiq, Tengku Muhazza (Demokrat), Syarif Hidayat, M Rum Zein, Zulfan Heri, dan Rukman Asyardi (PDIP).
Sebelum empat peristiwa itu, penyidik KPK pernah melakukan operasi serupa terkait kasus-kasus yang bisa dibilang berhubungan dengan urusan dunia nyata. Sejumlah kasus yang didahului dengan operasi tangkap tangan, acap kali didahului dengan penyadapan dan pengawasan intensif dengan operasi senyap.
Selasa, 19 Maret 2013
PARKIRAN KPK: SHOWROOM MOBIL MEWAH KORUPTOR
Mobil-mobil mewah dengan merk mentereng dan harga fantastis idealnya terpampang di showroom dealer atau pabrikan. Bertabur cahaya terang. Atau, dipajang saat pameran showbiz dengan taburan pernak-pernik yang dikelilingi perempuan-permpuan cantik. Mobil itu tentu saja masih menunggu kedatangan 'sang tuan' untuk memindahkannya ke garasi rumah/kantor lewat transaksi jual-beli.
Showroom tentunya berbeda jauh dengan parkiran sebuah gedung. Namun, parkiran ternyata bisa beralih fungsi seperti showroom. Lihat saja mobil FJ Cruizer hitam beratap putih yang harganya lebih dari Rp1,1 miliar dan Toyota Harrier abu-abu terparkir apik di sisi selatan parkiran sebuah gedung. Tak ada lampu dengan cahaya benderang. Tak ada pembeli yang datang menghampiri. Parkiran dan mobil tersebut berada di area Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kavling C1, Jln HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Dua mobil tersebut hasil sitaan KPK dari tersangka korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Lalu, siapa pemilik dua mobil itu? FJ Cruizer bernomor polisi B 1330 SZZ seyogyanya milik Ahmad Fathanah, tersangka kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi pada Kementerian Pertanian (Kementan) dan TPPU. Pria asal Makassar itu adalah kawan karib mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq yang dijerat KPK dengan kasus suap yang sama.
Toyota Harrier abu-abu B 8706 UJ kuasa kepemilikannya ada pada Irjen Pol Djoko Susilo. Jenderal polisi bintang dua pertama yang dijerat KPK sebagai tersangka. Mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri itu diduga melakukan korupsi proyek pengadaan simulator R2 dan R4 di Korlantas Polri, serta kasus dugaan TPPU.
Selain FJ Cruizer, tiga mobil lain milik Fathanah pun disita dan terparkir sejajar di sampingnya. Ketiga mobil itu yakni Toyota Alphard Putih B 53 FTI, Toyota Landcruiser Prado 2.7 TX hitam B 1739 WFN, Mercy C 200 warna hitam bernomor polisi B 8749 BS. Berdasar penelusuran, empat mobil tersebut ditaksir harganya sekitar Rp4,1 miliar hingga Rp4,5 miliar.
Toyota Landcruiser Prado TX yang di pasaran dibanderol Rp895 juta itu disita penyidik KPK saat operasi tangkap tangan Selasa malam, 29 Januari 2013. Mobil itu pula yang digunakan tersangka saat bertemu Maharany Suciono (mahasiswi/19) di Hotel Le Meredien setelah menerima suap Rp1 miliar dari Juard Effendy (Direktur Utama PT Indoguna Utama) dan Abdi Arya Effendy (Direktur PT Indoguna Utama). Tiga mobil lainnya disita dari rumah (Citayam Depok) dan apartemen Ahmad Fathanah pada Rabu (6/3) malam.
Beberapa menit sebelum penyitaan tiga mobil itu, KPK terlebih mengumumkan penetapan Ahmad Fathanah sebagai tersangka pencucian uang. Tersangka diduga melanggar pasal 3 atau pasal 4 atau pasal 5 Undang-Undang (UU) No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana. "Mobil-mobil ini diduga milik tersangka AF (Ahmad Fathanah). Penyitaan itu karena penyidik menduga kuat mobil-mobil itu berasal dari hasil suap/tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka AF," kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP.
Selain Toyota Harrier abu-abu, tiga mobil Djoko Susilo lainnya turut menghiasi 'showroom' parkiran KPK. Toyota Avanza hitam B 1894 SKG terpakir di samping Harrier itu. Sementara, Nissan Serena hitam B 1571 BG dan Jeep Wrangler hitam B 1379 KJB terpakir sejajar di sisi utara gedung KPK. "Penyitaan itu sejak Senin (11/3) kemarin. Total empat mobil itu diperkirakan miliaran rupiah. Mobil itu bukan atas nama DS (Djoko Susilo), tapi diduga terkait dengan DS. Ini terkait dengan dugaan TPPU yang bersangkutan," ungkap Johan.
Dari informasi yang dihimpun, di antara mobil-mobil itu ada yang langsung penyidik diangkut dari rumah Djoko Susilo di Semarang, Jawa Tengah. Sementara mobil Avanza dan Harrier sudah terparkir sekitar dua hari sebelum penyitaan mobil Ahmad Fathanah.
Djoko yang pernah menjabat Gubernur Akpol itu disangka melanggar Pasal 3 dan atau Pasal 4 UU No 8/2010 tentang tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Atau melanggar Pasal 3 ayat (1) atau 6 ayat (1) UU No 15/2002 tentang TPPU. Di luar empat mobil Djoko, KPK terlebih dahulu menyita 20 asetnya yang terdiri dari 12 rumah, lima tanah (sebagian berbentuk sertifikat), dan tiga SPBU.
Penyitaan mobil Ahmad Fathanah dan Djoko Susilo termasuk 20 asetnya memang berstatus sementara. Tetapi bukan tanpa alasan. Menurut Johan, selain diduga berasal dari tindak pidana korupsi langkah itu dilakukan bertujuan agar tidak dilakukan pemindahan kepemilikan atau jual beli selama proses penyidikan hingga proses persidangan berlangsung. "Nantinya, kalau terbukti benar di persidangan aset-aset tersangka itu berasal dari hasil tindak pidana dan diputuskan oleh hakim disita untuk negara, maka KPK berhak menyitanya untuk negara. Setelah itu aset-asetnya akan dilelang dan uangnya diserahkan ke kas negara," tuturnya.
Kuasa hukum Djoko Susilo, Juniver Girsang menyatakan, KPK belum pernah mengkonfirmasi kepemilikan mobil dan aset-aset lainnya kepada kliennya saat pemeriksaannya berlangsung. Yang kedua, kuasa hukum dan Djoko Susilo sebenarnya meminta kepada KPK agar perkara simulator yang prioritas itu dilimpahkan ke pengadilan. Setelah itu barulah kelihatan apakah Djoko Susilo ini benar-benar melakukan perbuatan melawan hukum di dalam pengadaan simulator.
"Lantas kalau sudah ada sebuah putusan bahwa klien kami betul melanggar suatu aturan atau ketentuan pengadaan simulator barulah perbuatannya itu disebut memenuhi yaitu predicate crime, barulah dikenakan TPPU. Nah sekarang kan belum diketemukan perbuatan predicate crimenya, tetapi langsung kepada TPPU," kata Juniver.
Nantinya kata dia, kuasa hukum akan meminta penjelasan dari KPK. Tetapi apapun yang dilakukan KPK dia mengklaim, pihaknya menghormati sepanjang itu memenuhi ketentuan dan aturan. Tetapi kalau tidak, tentu yang menilai ini nanti masyarakat. "Kalau memang sudah diputus bahwa dia (Djoko Susilo) melakukan perbuatan pidana, kalau kami diarahkan kemudian diproses tindak pidana pencucian uang, tentu kita harus siap menjelaskan," ujarnya.
Dia menyatakan, saat ini simpel saja cara berpikirnya. Yang harus dibuktikan KPK adalah apakah perbuatan itu sudah terbukti pidana di simulator atau belum. Kedua, apakah perbuatan yang dituduhkan itu tahun 2010-2011 pengadaan simulator yang kemudian dikaitkan dengan dikaitkan dengan keberadaan aset-aset itu diperoleh tahun berapa. "Ya tidak bisa dipukul rata seluruh aset, begitu. Ini sekaligus agar memberikan klarifikasi dan pengertian yang utuh kepada masyarakat," tandasnya.
Sebelum delapan mobil itu, Kamis 2 September 2010 Jaguar B 8659 milik mantan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Syamsul Arifin sudah menghiasi parkiran KPK. Penyidik menyitanya terkait kasus dugaan korupsi penggunaan dana pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten Langkat, Sumut. Syamsul Arifin sudah menjadi terpidana pada kasus yang sama.
Parkiran itu tidak berubah fungsi sepenuhnya. Mobil pribadi pegawai, penyidik, pimpinan, penasihat, dan tamu serta mobil operasional KPK masih tetap mewarnai area tersebut.
Showroom tentunya berbeda jauh dengan parkiran sebuah gedung. Namun, parkiran ternyata bisa beralih fungsi seperti showroom. Lihat saja mobil FJ Cruizer hitam beratap putih yang harganya lebih dari Rp1,1 miliar dan Toyota Harrier abu-abu terparkir apik di sisi selatan parkiran sebuah gedung. Tak ada lampu dengan cahaya benderang. Tak ada pembeli yang datang menghampiri. Parkiran dan mobil tersebut berada di area Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kavling C1, Jln HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Dua mobil tersebut hasil sitaan KPK dari tersangka korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Lalu, siapa pemilik dua mobil itu? FJ Cruizer bernomor polisi B 1330 SZZ seyogyanya milik Ahmad Fathanah, tersangka kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi pada Kementerian Pertanian (Kementan) dan TPPU. Pria asal Makassar itu adalah kawan karib mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq yang dijerat KPK dengan kasus suap yang sama.
Toyota Harrier abu-abu B 8706 UJ kuasa kepemilikannya ada pada Irjen Pol Djoko Susilo. Jenderal polisi bintang dua pertama yang dijerat KPK sebagai tersangka. Mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri itu diduga melakukan korupsi proyek pengadaan simulator R2 dan R4 di Korlantas Polri, serta kasus dugaan TPPU.
Selain FJ Cruizer, tiga mobil lain milik Fathanah pun disita dan terparkir sejajar di sampingnya. Ketiga mobil itu yakni Toyota Alphard Putih B 53 FTI, Toyota Landcruiser Prado 2.7 TX hitam B 1739 WFN, Mercy C 200 warna hitam bernomor polisi B 8749 BS. Berdasar penelusuran, empat mobil tersebut ditaksir harganya sekitar Rp4,1 miliar hingga Rp4,5 miliar.
Toyota Landcruiser Prado TX yang di pasaran dibanderol Rp895 juta itu disita penyidik KPK saat operasi tangkap tangan Selasa malam, 29 Januari 2013. Mobil itu pula yang digunakan tersangka saat bertemu Maharany Suciono (mahasiswi/19) di Hotel Le Meredien setelah menerima suap Rp1 miliar dari Juard Effendy (Direktur Utama PT Indoguna Utama) dan Abdi Arya Effendy (Direktur PT Indoguna Utama). Tiga mobil lainnya disita dari rumah (Citayam Depok) dan apartemen Ahmad Fathanah pada Rabu (6/3) malam.
Beberapa menit sebelum penyitaan tiga mobil itu, KPK terlebih mengumumkan penetapan Ahmad Fathanah sebagai tersangka pencucian uang. Tersangka diduga melanggar pasal 3 atau pasal 4 atau pasal 5 Undang-Undang (UU) No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana. "Mobil-mobil ini diduga milik tersangka AF (Ahmad Fathanah). Penyitaan itu karena penyidik menduga kuat mobil-mobil itu berasal dari hasil suap/tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka AF," kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP.
Selain Toyota Harrier abu-abu, tiga mobil Djoko Susilo lainnya turut menghiasi 'showroom' parkiran KPK. Toyota Avanza hitam B 1894 SKG terpakir di samping Harrier itu. Sementara, Nissan Serena hitam B 1571 BG dan Jeep Wrangler hitam B 1379 KJB terpakir sejajar di sisi utara gedung KPK. "Penyitaan itu sejak Senin (11/3) kemarin. Total empat mobil itu diperkirakan miliaran rupiah. Mobil itu bukan atas nama DS (Djoko Susilo), tapi diduga terkait dengan DS. Ini terkait dengan dugaan TPPU yang bersangkutan," ungkap Johan.
Dari informasi yang dihimpun, di antara mobil-mobil itu ada yang langsung penyidik diangkut dari rumah Djoko Susilo di Semarang, Jawa Tengah. Sementara mobil Avanza dan Harrier sudah terparkir sekitar dua hari sebelum penyitaan mobil Ahmad Fathanah.
Djoko yang pernah menjabat Gubernur Akpol itu disangka melanggar Pasal 3 dan atau Pasal 4 UU No 8/2010 tentang tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Atau melanggar Pasal 3 ayat (1) atau 6 ayat (1) UU No 15/2002 tentang TPPU. Di luar empat mobil Djoko, KPK terlebih dahulu menyita 20 asetnya yang terdiri dari 12 rumah, lima tanah (sebagian berbentuk sertifikat), dan tiga SPBU.
Penyitaan mobil Ahmad Fathanah dan Djoko Susilo termasuk 20 asetnya memang berstatus sementara. Tetapi bukan tanpa alasan. Menurut Johan, selain diduga berasal dari tindak pidana korupsi langkah itu dilakukan bertujuan agar tidak dilakukan pemindahan kepemilikan atau jual beli selama proses penyidikan hingga proses persidangan berlangsung. "Nantinya, kalau terbukti benar di persidangan aset-aset tersangka itu berasal dari hasil tindak pidana dan diputuskan oleh hakim disita untuk negara, maka KPK berhak menyitanya untuk negara. Setelah itu aset-asetnya akan dilelang dan uangnya diserahkan ke kas negara," tuturnya.
Kuasa hukum Djoko Susilo, Juniver Girsang menyatakan, KPK belum pernah mengkonfirmasi kepemilikan mobil dan aset-aset lainnya kepada kliennya saat pemeriksaannya berlangsung. Yang kedua, kuasa hukum dan Djoko Susilo sebenarnya meminta kepada KPK agar perkara simulator yang prioritas itu dilimpahkan ke pengadilan. Setelah itu barulah kelihatan apakah Djoko Susilo ini benar-benar melakukan perbuatan melawan hukum di dalam pengadaan simulator.
"Lantas kalau sudah ada sebuah putusan bahwa klien kami betul melanggar suatu aturan atau ketentuan pengadaan simulator barulah perbuatannya itu disebut memenuhi yaitu predicate crime, barulah dikenakan TPPU. Nah sekarang kan belum diketemukan perbuatan predicate crimenya, tetapi langsung kepada TPPU," kata Juniver.
Nantinya kata dia, kuasa hukum akan meminta penjelasan dari KPK. Tetapi apapun yang dilakukan KPK dia mengklaim, pihaknya menghormati sepanjang itu memenuhi ketentuan dan aturan. Tetapi kalau tidak, tentu yang menilai ini nanti masyarakat. "Kalau memang sudah diputus bahwa dia (Djoko Susilo) melakukan perbuatan pidana, kalau kami diarahkan kemudian diproses tindak pidana pencucian uang, tentu kita harus siap menjelaskan," ujarnya.
Dia menyatakan, saat ini simpel saja cara berpikirnya. Yang harus dibuktikan KPK adalah apakah perbuatan itu sudah terbukti pidana di simulator atau belum. Kedua, apakah perbuatan yang dituduhkan itu tahun 2010-2011 pengadaan simulator yang kemudian dikaitkan dengan dikaitkan dengan keberadaan aset-aset itu diperoleh tahun berapa. "Ya tidak bisa dipukul rata seluruh aset, begitu. Ini sekaligus agar memberikan klarifikasi dan pengertian yang utuh kepada masyarakat," tandasnya.
Sebelum delapan mobil itu, Kamis 2 September 2010 Jaguar B 8659 milik mantan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Syamsul Arifin sudah menghiasi parkiran KPK. Penyidik menyitanya terkait kasus dugaan korupsi penggunaan dana pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten Langkat, Sumut. Syamsul Arifin sudah menjadi terpidana pada kasus yang sama.
Parkiran itu tidak berubah fungsi sepenuhnya. Mobil pribadi pegawai, penyidik, pimpinan, penasihat, dan tamu serta mobil operasional KPK masih tetap mewarnai area tersebut.
Minggu, 06 Januari 2013
PEKERJAAN RUMAH PENYIDIKAN KASUS KORUPSI KPK
2012 menjadi tahun yang cukup spesial bagi Komisi Pemberantasan korusp (KPK). Pasalnya lembaga antikorupsi itu melakukan 74 kegiatan penyelidikan, 68 penyidikan, dan 60 kegiatan penuntutan, baik kasus baru maupun sisa
penanganan pada tahun sebelumnya. Dari 68 penyidikan, ternyata KPK jilid III dibawah kepemimpinan Abraham Samad mampu menggarap 34 kasus yang murni disidik.
Bahkan KPK mengklaim, kasus besar yang menjadi catatan sejarah dalam pemberantasan korupsi KPK yakni, di tahun 2012 untuk pertama kali KPK menetapkan seorang jenderal polisi aktif (Irjen Pol Djoko Susilo) dan menteri aktif (Andi Alfian Mallarangeng) sebagai tersangka. Dari kasus-kasus tersebut banyak yang menjadi perhatian publik, banyak pula yang hampir menggerus eksistensi dan tenaga komisi itu. Ada juga kasus yang mengalami perkembangan signifikan namun di sisi lain sejumlah kasus bisa dikatakan terhenti tanpa kejelasan. Berikut sejumlah kasus yang menjadi pekerjaan rumah KPK di tahun 2013 dalam catatan redaksi.
Kasus DPID, Benarkah KPK Tak Sentuh Anggota Banggar?
Kasus dugaan suap Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) tahun 2011 sendiri sudah menyeret mantan Anggota Badan Anggaran (Banggar) Wa Ode Nurhayati dan Ketua Umum Gerakan Muda Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (Gema MKGR) Partai Golkar Fahd El Fouz (Fahd A Rafiq) ke penjara. Wa Ode yang terbukti menerima suap sebesar Rp6,25 miliar (Rp5,5 miliar dari Fahd) dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) divonis 6 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (18/10/2012). Sedangkan, Fahd hanya divonis 2 tahun 6 bulan penjara.
Beberapa kali kesempatan baik pemeriksaan di KPK maupun di persidangan, Wa Ode sering kali mengungkapkan dugaan keterlibatan anggota dan pimpinan Banggar dalam kasus tersebut. Beberapa kali nama Olly Dondokambey, Mirwan Amir, Tamsil Linrung, dan Melchias Marcus Mekeng disebut dalam persidangan. Namun sampai memasuki awal tahun 2013, KPK belum menetapkan satu pun anggota atau pun pimpinan Banggar sebagai tersangka dalam kasus DPID. Pada Kamis (22/11/2012) KPK hanya mengumumkan penetapan Haris Andi Surahman sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Fahd sendiri saat bersaksi untuk Wa Ode dan untuk dirinya sendiri di Pengadilan Tipikor, Jakarta beberapa waktu lalu pernah mengungkapkan, Tamsil Linrung dan Mirwan Amir mendapat jatah yang cukup signifikan dalam pengurusan alokasi DPID. Fahd menyatakan, DPID untuk Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Besar merupakan jatah pengurusan Mirwan. Sedangkan DPID untuk Kabupaten Pidie Jaya dipegang Tamsil.
Dalam kasus Wa Ode sebenarnya KPK sudah membuka penyelidikan baru. Juru bicara KPK, Johan Budi SP mengatakan, penyelidikan dilakkan setelah tim penyelidik melakukan verifikasi dan validasi fakta-fakta yang muncul di persidangan kasus Wa Ode.
“KPK tentu masih melakukan pengembangan terkait kasus DPID itu. Artinya apa, kita belum berhenti. Fakta-Fakta yang muncul di persidangan Wa Ode dan Fahd pun kita validasi,” kata Johan.
Pasca Penahanan Miranda, Keberadaan Donatur Masih Abu-Abu
Kasus suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) 2004 hampir memberikan harapan kala KPK menetapkan Miranda S Goeltom sebagai tersangka pada Kamis (26/1/ 2012). KPK menyebutkan penetapan Miranda, yang memenangi pemelihan DGS BI di tahun 2004 itu sebagai hasil dari pengembangan penyidikan kasus Nunun Nurbaetie. Penetapan ini sebenarnya menimbulkan polemik. Pasalnya Miranda diduga ditetapkan sebagai tersangka tanpa disertai surat perintah penyidikan (Sprindik) bahkan diduga hanya satu pimpinan KPK yang menyetujuinya. Namun hal itu dibantah oleh Ketua KPK Abraham Samad saat berkunjung ke redaksi RCTI beberapa waktu lalu. Menurutnya, penetapan Miranda sudah sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) KPK. Selain itu kata dia, dua alat bukti yang dimiliki KPK menjadi landasan penetapan tersebut.
“Buktinya Miranda divonis bersalahkan sama Pengadilan Tipikor. Miranda kan juga sudah divonis (3 tahun). Kalau kita melanggar prosedur mana mungkin bisa divonis bersalah,” ujar Abraham.
Namun, dalam kasus cek pelawat itu yang masih menjadi tanda tanya besar adalah siapa yang menjadi penyandang dana atau donator yang rela memberikan uang senilai Rp24 miliar untuk pembelian 480 cek pelawat. Juru Bicara KPK Johan Budi mengungkapkan, sampai saat ini kasus cek pelawat masih terus berjalan. Pihaknya kata dia, terus memburu missing link (donator) yang masih terputus dari konstruksi kasus yang sudah menjerat puluhan anggota DPR periode 1999-2004 itu.
Sementara itu, anggota DPR 1999–2004 yang juga mantan terpidana kasus itu Paskah Suzetta yang hadir sebagai saksi di KPK pada 19 April 2012 menyatakan, penyidik KPK telah menyampaikan kepadanya dalam pemeriksaan bahwa mereka tengah mengidentifikasi penyandang dana dan tersangka lain kasus tersebut. “Saya ditanya substansinya sama seperti yang lalu-lalu. Ada episode baru lagi. Sudah ada (namanya). Saya nggak mau sebutkan (di sini).Kelihatannya ada perkembangan baru, tidak akan hanya sampai ke Miranda Goeltom,” kata Paskah di Gedung KPK Jakarta.
Ketika diminta wartawan agar menyebutkan nama donatur seperti yang disebut penyidik, Paskah mengelak membeberkannya. Bahkan untuk inisial maupun ciri-cirinya yang dimaksud, Paskah menolak menjawab. Namun dia membenarkan bahwa KPK telah mengindikasikan nama pemilik atau penyumbang cek pelawat yang juga sampai ke tangannya. Paskah mengaku namanama yang diindikasikan dan ditanyakan oleh tim penyidik terkait donatur dan pelaku lainnya mencakup dua profesi, yakni politikus dan pengusaha. “Saya tidak bisa berikan inisial (indikasi nama). Ini sekarang pengusaha atau politikus,sama. Pengusaha politikus juga.Politikus pengusaha juga. Sama saja dua-duanya.Ya begitulah,” ujarnya.
Selain itu, menurut informasi yang dihimpun, KPK sudah pernah mengirim tim ke Singapura untuk mengejar donatur cek pelawat dan mengecek langsung aset yang dimilikinya. Namun dari 2 kali penerjunan langsung ke negeri Singa itu, tim KPK belum menemukan hasil yang cukup signifikan.
Wisma Atlet, Koster yang Masih Melenggang Bebas
Kasus suap pengurusan anggaran Wisma Atlet sebenarnya sudah hampir mencapai titik nadir. Dalam kasus itu, terkahir KPK menetapkan Anglina Sondakh (mantan anggota Komisi X DPR 2009-2014) sebagai tersangka menyusul M Nazaruddin, Mindo Rossalina Manulang, Wafid Muharam, dan M El Idris. Saat ini kasus Angie – sapaan akrab Angelina Sondakh, masih disidangkan di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Angie sendiri dituntut 12 tahun penjara disertai denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan penjara dan membayar uang pengganti Rp12,580 miliar dan USD2,350 juta. Jika tidak, Angie dapat menggganti dengan pidana penjara selama 2 tahun penjara.
Dalam dakwaan, tuntutan, dan fakta persidangan yang muncul ternyata mencuat nama politisi PDIP I Wayan Koster yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. JPU pada sidang perdana Angie misalnya menyebutkan, Koster yang menjadi anggota Komisi X DPR menerima uang Rp5 miliar dan USD2,05 juta dari PT Permai Group. Apabila dana USD2,05 juta dirupiahkan dengan asumsi kurs Rp9.500 per dolar saat ini, maka setara Rp19,5 miliar. Penerimaan uang itu diduga untuk memuluskan pembahasan anggaran pengadaan wisma atlet Kemenpora serta pengadaan laboratorium/ rumah sakit universitas Kemendikbud.
Koster dalam beberapa kali kesempatan, membantah semua tudingan jaksa yang disebutkan dalam dakwaan Angie yang berdasarkan pada keterangan Rosa. Politikus PDIP itu menyatakan dirinya tidak pernah sekali pun menerima sejumlah uang seperti yang disebutkan oleh Rosa.
Sementara itu, Ketua KPK Abraham Samad usai berdiskusi dengan redaksi RCTI Senin (24/12/2012) mengaku, tidak ingin dipaksa dan didesak untuk memberhentikan dan melanjutkan pengembangan penyidikan kasus Wism Atlet. Jawaban itu disampaikan Abraham untuk menjawab pertanyaan apakah KPK akan berhenti hanya sampai di penetapan Angelina Sondakh (Angie) saja sebagai tersangka terakhir Wisma Atlet. “Jadi begini, kalau ternyata dari hasil penyidikan dan pengembangan kasus itu tidak ada lagi pihak lain, kita berhenti. Kalau dari pengembangan itu ternyata masih ada pihak-pihak lain terlibat kita lanjutkan. Biarkanlah KPK dengan alat buktinya menentukan sendiri sikap profesionalnya,” ujar Abraham.
Menunggu Bukti Keterlibatan Pejabat Kemenag dalam Kasus Alquran
Kasus dugaan suap pengurusan anggaran pengadaan Alquran dan laboratorium komputer MTs di Kementerian Agama (Kemenag) tahun anggaran 2010-2012 masih menyisakan pekerjaan rumah tersendiri bagi KPK. Sampai saat ini KPK masih berkutat pada penyidikan perkara kasus ayah dan anak, Zulkarnaen Djabar dan Dendy Prasetya.
Padahal dalam sangkaan terhadap Zulkarnaen (mantan Wakil Bendahara Umum Partau Golkar) tertuang jelas bahwa Zulkarnaen mengarahkan oknum PNS di Ditjen Bimas Kemenag untuk memenangkan perusahaan tertentu dalam pengadaan Alquran. Selain itu, yang bersangkutan juga telah dengan nyata mendorong, mengarahkan, dan meminta oknum di Ditjen Pendis dalam tender pengadaan laboratorium MTs untuk memenangi PT BKM serta dalam pengadaan sistem komunikasi laboratorium MTs untuk memenangkan PT Karya Sinergy Alam Indonesia (KSAI).
Kasus ini sebenarnya menjadi perhatianh public terutama dari segi ‘korupsi Alquran’. Apalagi hampir 90 % penduduk Indonesia, beragama Islam.
Selain menyidik kasus ZD dan Dendy, ternyata KPK tengah menyelidiki kasus tersebut dari sisi pengadaannya. Dalam pengadaan inilah lembaga antikorupsi itu tengah membidik keterlibatan pejabat Kemenag. Sementara berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, pekan kedua Januari 2013 KPK akan melakukan gelar perkara terkait pengadaan dalam kasus tersebut khususnya keterlibatan oknum-oknum PNS Kemenag. Gelar perkara itu dilakukan untuk melihat peluang sejauh mana penyidikan dan penyelidikan kasus Alquran. Bila mana diperlukan dengan ketersediaan 2 bukti tentu saja ada pihak-pihak yang akan dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Emir Moeis Belum Pernah Diperiksa
KPK secara resmi mengumumkan penetapan status tersangka kepada Ketua Komisi XI DPR Izedrik Emir Moeis 26 Juli 2012. Sementara surat perintah penyidikan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-36/01/07/2012 atas nama Izedrik Emir Moeis (IEM) telah dikeluarkan tanggal 20 Juli 2012.
Politikus asal PDI Perjuangan tersebut diduga menerima suap senilai lebih dari USD300.000 (Rp2,8 miliar) dalam pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, tahun anggaran (TA) 2004. Dalam kasus itu, Emir Moeis diduga menerima hadiah atau janji dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR periode 1999–2004 dan atau periode 2004–2009 dari PT Alstom Indonesia (AI). Untuk kepentingan penyidikan, Emir Moeis telah dicegah ke luar negeri selama enam bulan.
KPK mengungkapkan, pengusutan proyek PLTU Tarahan ini merupakan pengembangan kasus korupsi pengadaan outsourcing roll out customer information service rencana induk sistem informasi (CISRISI) di PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang (Disjaya). Kasus pengadaan CISRISI tersebut telah menyeret mantan Direktur Utama PLN Eddie Widiono yang telah divonis lima tahun penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sampai memasuki tahun 2013, KPK belum pernah memeriksa Emir baik sebagai saksi atau pun tersangka dalam kasus PLTU Tarahan itu. Padahal, Emir pernah menyatakan kesiapannya diperiksa KPK sebagai tersangka kasus tersebut. "Ya haruslah. Sebagai warga negara yang baik, kita ikuti proses hukum yang berlaku," ujarnya usai menjadi saksi dalam sidang terdakwa Miranda Swaray di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (03/09/12) lalu.
Hambalang ke Arah Mana Anak Tangga Berikutnya
Wakil Ketua KPK BIdang Penindakan Bambang Widjojanto selalu mengibaratkan pengusutan dan penyidikan kasus dugaan korupsi Sport Center Hambalang seperti menaiki anak tangga. Saat penetapan Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar sebagai tersangka pertama Hambalang pada Kamis (19/7/2012), Bambang menyebutkan, kasus Hambalang bisa saja menyasar ke anak tangga berikutnya. Dia memastikan akan terus mengembangkan kasus tersebut. KPK juga akan menjerat oknum-oknum lain yang pada penyidikan ternyata ditemukan indikasi keterlibatannya.
Tak berselang lama, pada 3 Desember 2012 KPK langsung menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Alfian Mallarangeng sebagai tersangka kasus itu. Uniknya penetapan itu ‘hanya’ diketahui wartawan lewat surat cekal yang dikeluarkan KPK pada tanggal yang sama dan ditunujukkan oleh Bambang saat konfrensi pers 5 Desember 2012. Satu hari berselang, Abraham Samad mengumumkan status Andi Mallarangeng secara resmi.
Beberapa pihak menduga ada keterlibatan Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardodjo, Wamenku dan eks Dirjen Anggaran Anny Ratnawati sebagai tersangka. Sementara KPK mengaku saat ini tengah menelusuri keterlibatan penyelenggara Negara baik dari anggota legislatif maupun eksekutif. Bahkan tidak menutup kemungkinan, KPK terus mengusut keterlibatan kontraktor dan subkontraktor dalam kasus bernilai lebih dari Rp2,5 triliun itu. Lembaga antikorupsi itu pun sudah mencekal sejumlah pihak untuk bepergian ke luar negeri. Untuk mengembangkan kasus itu juga terkahir KPK menggeledah 3 tempat yakni, ruumah Munadi Herlambang (Direktur Utama PT Msons Capital dan kader Partai Demokrat) jalan Tanjung Barat Indah Blok l /18 Jakarta Selatan, kantor PT Wijaya Karya jalan DI Panjaitan dan kantor PT Adhi Karya jalan Pasar Minggu.
"Data, informasi dan dokumen hasil geledah pasti harus dipelajari dan ditelaah lebih dulu. Dan jika ada hasilnya pasti akan digubakan untuk kepentingan pengembangan dan pendalaman penyidikan bukan untuk publik," kata Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bambang Widjojanto saat dihubungi di Jakarta, Jumat (4/1).
Kasus ini layak ditunggu, jika melihat konstruksinya kasus itu sudah mencapai ‘puncak’ dengan menjerat Andi Mallarangeng sebagai tersangka dari unsur Kemenpora. Namun yang menjadi pertanyaan besar publik yakni ke arah mana anak tangga kasus Hambalang ini.
“Kami masih terus mengembangkan penyidikan dan penyelidikan kasus Hambalang. Di penyelidikan kita lihat apakah ada suap atau keek back kepada penyelenggara Negara,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP.
Dari penelusuran, seorang sumber KPK mengungkap rentetan konstruksi kasus, bukti, dan fakta penyidikan, KPK segera memanggil sejumlah anggota DPR yang komisinya bertugas dalam pembahasa anggaran proyek Sport Center Hambalang. Namun sumber itu belum mau mengungkapkan nama-nama anggota dewan itu. "Lihat saja nanti, bisa jadi ada anggota komisi di DPR yang berkaitan dengan pembahasan anggaran juga yang akan dipanggil," bebernya.
Dalam kasus Hambalang terdapat beberapa nama yang terlibat. Terpidana wisma atlet M Nazaruddin menyebutkan, penanggungjawab penuh pembahasan anggaran proyek Hambalang di Komisi X DPR yakni mantan Ketua Komisi X Mahyuddin NS. Selain itu nama I Wayan Koster turut disebut-sebut terlibat dalam pembahasan anggaran Hambalang. Dua anggota DPR itu pun sudah berkali-kali membantah keterlibatan mereka.
Andi Mallarangeng ditetapkan secara resmi sebagai tersangka pada 3 Desember 2012 dan diumumkan pada 6 Desember 2012. Mantan Menpora itu diduga kuat menyalahgunakan kewenangannya untuk pengadaan proyek Sport Center Hambalang sehingga merugikan negara miliaran rupiah.
Mantan Juru Bicara Kepresidenan itu dikenakan pasal berlapis dengan ancaman pidana seumur hidup yakni, pasal 2 ayat (1) dan/atau pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Sementara Deddy Kusdinar disangka melanggar 2 ayat (1) dan/atau pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana.
Century Mandek di Saksi Pertama
Pasca penetapan secara resmi Budi Mulya (BM) dan Siti Chalimah Fajriyah (SCF), KPK baru memeriksa satu sakti yakni Zainal Abidin. Pemeriksaan itu tak ayal menimbulkan asumsi KPK tidak terlalu serius mengusut tuntas kasus tersebut.
Padahal, saat pengumuman secara resmi BM dan SCF sebagai tersangka baik juru bicara KPK maupun jajaran pimpinan KPK mengaku akan menjadikan kasus Centuty sebagai bagian dar fokus penyidikan. Ketua KPK Abraham Samad pun pernah menyebutkan, mantan Gubernur BI yang kini menjabata sebagai Wakil Presiden Boedino terlibat dalam pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) terhadap Bank Century. Dia juga menjelaskan, pihaknya bisa memeriksa siapa pun termasuk Boediono dalam kasus itu.
Di sisi lain, saat bertandang ke redaksi RCTI, Abraham mengaku, sejauh ini pihaknya meyakini banyak oknum yang terlibat dalam kasus tersebut. Sayangnya, Abraham belum mau mengungkap siapa identitas tersangka baru kasus tersebut. Dia beralasan pengungkapan identitas calon tersangka ke publik akan mengganggu proses penyidikan dan pengumpulan barang bukti serta fakta hukum yang tengah dilakukan KPK. ”Penetapan Budi Mulya dan Siti Fajriyah itu sebagai tersangka kan ibaratnya hanya anak tangga. Dalam kasus Century yang canggih ini tentu ada tersangka lain yang itu tentu sedang kita telusuri bukti-buktinya. Tapi, saat ini kita fokus dulu di penyidikan saksi-saksi BM dan SCF. Kita mohon teman- teman media bersabar mengikuti perkembangannya,” paparnya.
Yang layak ditunggu adalah, apakah KPK benar-benar berkeinginan memeriksa Boediono dan siapa tersangka baru tersebut?
Sidang Internasional Kemlu, Eks Sekjend Kemlu Diperintah Presiden
Kasus sidang/konfrensi internasional di Kemnterian Luar Negeri (emlu) ini sebenarnya merupakan kasus lama. Lihat saja, KPK sudah menetapkan Sudjadnan Parnohadiningrat, mantan Sekretaris Jenderal Kemenlu menjadi pejabat pembuat komitmen sebagai tersangka dalam kasus di tahun anggaran 2004-2005
Menariknya, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Megeri (Sekjen Kemlu) Sudjadnan Parnohadiningrat mengaku terpaksa menjalankan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan Presiden Megawati Soekarno Putri untuk melaksanakan sidang/konfrensi internasional tahun 2004-2005. Menurutnya, pelaksanaan acara yang dihadiri oleh perwakilan dari beberapa negara itu juga mendapat persetujuan dari presiden, baik Presiden Megawati maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sekedar diketahui, pada tahun 2004, kepemimpinan Megawati sebagai presiden telah berakhir dan posisinya digantikan oleh SBY usai memenangi Pemilu 2004.
"Itu perintah presiden. Presiden SBY maupun Presiden Megawati. Yang namanya orang terpaksa melakukan pekerjaan karena tugas. Prosedur dan Keppres terlanggar. Kalau konferensi internasional kan menyangkut negara lain yang sudah sanggup mau datang," bebernya usai diperiksa KPK pada Rabu (19/12/2012).
Dalam kasus ini, KPK sudah pernah memeriksa mantan Menlu Nur Hassan Wirajuda pada Selasa (18/12/2012). Dia mengatakan, dalam penyelenggaran konfrensi internasional di tahun 2004-2005 merupakan kebijakan Presiden sejak era Megawati Soekarno Putri dan belakangan di era Presiden SBY. "Diplomasi diperintahkan untuk menyelenggarakan konferensi-konfrensi internasional yang sifatnya pertama untuk membantu pemulihan negeri dan krisis kita dr keterpurukan kita. Dan yang kedua mengangkat kembali harkat dan derajat bangsa dan negara kita," kata Hassan usai diperiksa menjadi saksi bagi Sudjadnan.
Simulator, masih adakah Jenderal Polisi lain?
Dalam kasus simulator, KPK telah menetapkan empat tersangka yakni, Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo S Bambang, mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo, Wakil Kepala Korlantas Brigjen Didik Purnomo dan Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto. Proyek simulator ini mencapai nilai Rp196,8 miliar. Sedangkan kerugian negara yang diperkirakan KPK lebih dari Rp100 miliar. Kasus ini lah yang mejadikan KPK mampu menciptakan sejarah karena menetapkan dua jenderal polisi aktif sebagai tersangka.
Tak bisa dipungkiri, kasus ini merupakan salah satu sebab terjadinya perseteruan antara KPK vs Polri. Sebelumnya, Jumat, 5 Oktober 2012 KPK memeriksa Irjen Pol Djoko Susilo untuk pertama kalinya. Usai menjalani pemeriksaan selama 9 jam Irjen Djoko tidak langsung ditahan. Bersama para pengacaranya seperti Juniver Girsang dan Hotma Sitompul langsung meninggalkan gedung antikorupsi itu. Padahal satu hari sebelumnya, Ketua KPK Abraham Samad sudah memastikan ke publik bahwa hari itu pihaknya langsung menahan tersangka.
Pasca pemeriksaan pertama itu, sekitar pukul 18.30 puluhan perwira polisi berseragam dan berpakaian safari dari Mapolda Bengkulu dan Mapolda Metro Jaya mengepung gedung KPK untuk menjemput paksa salah satu ketua tim satgas kasus simulator sim Kompol Novel Baswedan. Situasi saat itu sangat mencekam, apalagi 3 pimpinan KPK sedang berada di luar kota saat pemeriksaan Irjen Djoko dan peristiwa penjemputan Kompol Novel itu terjadi.
Sekedar diketahui, penyidikan kasus simulator dan penjemputan paksa itu yang disertai penarikan-pengunduran diri penyidik Polri yang dipekerjakan di KPK membuat hubungan KPK-Polri memanas. Untuk mengantisipasi meluasnya konflik dua lembaga penegak hukum tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumpulkan Ketua KPK dan Kapolri. Akhirnya keluar keputusan lewat pidato Presiden yang diantarannya, diputuskan kasus simulator sim seluruhnya diserahkan penangannya ke KPK, untuk saat ini penanganan kasus Kompol Novel ditangguhkan, dan dilakukan revisi PP No 63/2005 menjadi PP 103/2012 tentang Sistem Sumber Daya Manusia (SDM) KPK.
Sebenarnya, kasus simulator SIM ini publik berharap KPK dapat menjadikanya sebagai pintu masuk untuk mengungkapkan keterlibatan jenderal lain. Namun sampai pemeriksaan saksi terkahir yakni Ketua Panitia Lelang pengadaan simulator AKBP Teddy Rusmawan akhir pekan lalu, harapan itu menguap begitu saja.
"Jangan terhenti pada Irjen Djoko Susilo saja. Berdasarkan fakta dan bukti harus usut tuntas semua tanpa pandang bulu. Dengan mengusut tuntas terhadap siapapun, maka niscaya akan memberikan harapan pada publik akan penegakan hukum yang lebih baik ke depan," tandas Anggota Komisi III DPR dari fraksi Partai Demokrat (PD) Didi Irawadi Syamsuddin.
Gubernur Riau belum Ditersangkakan, Aliran Dana ke DPR Masih Buram
Di antara sekian banyak kasus yang ditangani KPK, kasus suap pembahasan revisi Perda No 6/2010 tentang pembangunan lapangan tembak Pekan Olahraga Nasioanal (PON) Riau 2012 merupakan kasus yang hampi mandek penyidikannya. Pasalnya, pasca penetapan KPK menetapkan 13 tersangka yakni, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau Lukman Abbas dan Wakil Ketua DPRD Riau Taufan Andoso Yakin (FPAN), Muhammad Faisal Aswan (FPKB) dan Muhammad Dunir (F Golkar), mantan Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Dinas Pemuda dan Olahraga Riau Eka Darma Putra, staf PT Pembangunan Perumahan Rahmat Syahputra, Adrian Ali (PAN), Abubakar Sidiq , Tengku Muhazza (Demokrat), Syarif Hidayat, M Rum Zein, Zulfan Heri, dan Rukman Asyardi (PDIP) tak ada satu pun pihak yang diperiksa lagi oleh KPK.
Sementara itu, nama Gubernur Riau M Rusli Zainal dimunculkan JPU dalam surat dakwaan para tersangka yang dibacakaan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Riau. Ketua DPD Partai Golkar Riau itu diduga kuat memerintahkan Lukman lewat saluran telepon supaya dapat memenuhi permintaan anggota DPRD Riau untuk memberi fee untuk pemulusan pembahasan revisi perda itu. Sejauh ini menurut KPK, Rusli masih berstatus sebagai saksi dalam kasus ini.
Di sisi lain, dalam sidang beberapa tersangka di Pengadilan Tipikor Riau terungkap adanya aliran uang Rp9 miliar ke DPR RI. Pada Kamis (2/8/2012) Lukman Abbas yang bersaksi menyebutkan, dirinya pernah menyerahkan uang kepada Komisi X DPR RI sebesar Rp9 miliar atau USD1.050.000. Uang itu paparnya, diberikan kepada Kahar Muzakir (anggota Komisi X DPR dari fraksi Partai Golkar). Uang itu diserahkan dengan maksud sebagai alat pemulusan permintaan tambahan dana PON yang berasal dari APBN sebesar Rp290 miliar. Di awal Februari 2012, Lukman mengaku, menemani Rusli Zainal dalam pengajuan proposal bantuan tersebut. Proposal itu lalu disampaikan Rusli kepada Setya Novanto (politisi Partai Golkar).
Dalam kasus ini sendiri, KPK sudah pernah memeriksa Kahar dan Setya serta Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono. Ketiganya pun sudah membantah keterlibatannya dalam kasus suap revisi Perda PON tersebut.
Sampai saat ini, penyidikan dan penyelidikan kasus suap PON ini belum mencapai hasil yang memuaskan. KPK bahkan belum mampu menjerat Gubri Rusli Zainal dan pihak lain yang sudah muncul di fakta persidangan. Selain itu, aliran uang Rp9 miliar ke Senayan pun masih buram tanpa kejelasan. KPK beralibi, penyidikan dan penyelidikan yang mereka lakukan termasuk dalam kasus PON Riau selalu berdasar pada keberadaan 2 alat bukti yang cukup.
Sementara berdasarkan informasi yang dihimpun, seorang sumber di internal KPK menyebutkan, dalam kurun waktu beberapa pekan lagi KPK segera mengumumkan Rusli Zainal sebagai tersangka kasus itu. Meski demikian dia mengaku, lamanya proses penetapan itu karena masih ada pimpinan KPK yang belum mau menjadikan Rusli sebagai tersangka meski pun KPK sudah lama memiliki 2 alat bukti yang cukup.(SABIR LALUHU)
penanganan pada tahun sebelumnya. Dari 68 penyidikan, ternyata KPK jilid III dibawah kepemimpinan Abraham Samad mampu menggarap 34 kasus yang murni disidik.
Bahkan KPK mengklaim, kasus besar yang menjadi catatan sejarah dalam pemberantasan korupsi KPK yakni, di tahun 2012 untuk pertama kali KPK menetapkan seorang jenderal polisi aktif (Irjen Pol Djoko Susilo) dan menteri aktif (Andi Alfian Mallarangeng) sebagai tersangka. Dari kasus-kasus tersebut banyak yang menjadi perhatian publik, banyak pula yang hampir menggerus eksistensi dan tenaga komisi itu. Ada juga kasus yang mengalami perkembangan signifikan namun di sisi lain sejumlah kasus bisa dikatakan terhenti tanpa kejelasan. Berikut sejumlah kasus yang menjadi pekerjaan rumah KPK di tahun 2013 dalam catatan redaksi.
Kasus DPID, Benarkah KPK Tak Sentuh Anggota Banggar?
Kasus dugaan suap Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) tahun 2011 sendiri sudah menyeret mantan Anggota Badan Anggaran (Banggar) Wa Ode Nurhayati dan Ketua Umum Gerakan Muda Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (Gema MKGR) Partai Golkar Fahd El Fouz (Fahd A Rafiq) ke penjara. Wa Ode yang terbukti menerima suap sebesar Rp6,25 miliar (Rp5,5 miliar dari Fahd) dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) divonis 6 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (18/10/2012). Sedangkan, Fahd hanya divonis 2 tahun 6 bulan penjara.
Beberapa kali kesempatan baik pemeriksaan di KPK maupun di persidangan, Wa Ode sering kali mengungkapkan dugaan keterlibatan anggota dan pimpinan Banggar dalam kasus tersebut. Beberapa kali nama Olly Dondokambey, Mirwan Amir, Tamsil Linrung, dan Melchias Marcus Mekeng disebut dalam persidangan. Namun sampai memasuki awal tahun 2013, KPK belum menetapkan satu pun anggota atau pun pimpinan Banggar sebagai tersangka dalam kasus DPID. Pada Kamis (22/11/2012) KPK hanya mengumumkan penetapan Haris Andi Surahman sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Fahd sendiri saat bersaksi untuk Wa Ode dan untuk dirinya sendiri di Pengadilan Tipikor, Jakarta beberapa waktu lalu pernah mengungkapkan, Tamsil Linrung dan Mirwan Amir mendapat jatah yang cukup signifikan dalam pengurusan alokasi DPID. Fahd menyatakan, DPID untuk Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Besar merupakan jatah pengurusan Mirwan. Sedangkan DPID untuk Kabupaten Pidie Jaya dipegang Tamsil.
Dalam kasus Wa Ode sebenarnya KPK sudah membuka penyelidikan baru. Juru bicara KPK, Johan Budi SP mengatakan, penyelidikan dilakkan setelah tim penyelidik melakukan verifikasi dan validasi fakta-fakta yang muncul di persidangan kasus Wa Ode.
“KPK tentu masih melakukan pengembangan terkait kasus DPID itu. Artinya apa, kita belum berhenti. Fakta-Fakta yang muncul di persidangan Wa Ode dan Fahd pun kita validasi,” kata Johan.
Pasca Penahanan Miranda, Keberadaan Donatur Masih Abu-Abu
Kasus suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) 2004 hampir memberikan harapan kala KPK menetapkan Miranda S Goeltom sebagai tersangka pada Kamis (26/1/ 2012). KPK menyebutkan penetapan Miranda, yang memenangi pemelihan DGS BI di tahun 2004 itu sebagai hasil dari pengembangan penyidikan kasus Nunun Nurbaetie. Penetapan ini sebenarnya menimbulkan polemik. Pasalnya Miranda diduga ditetapkan sebagai tersangka tanpa disertai surat perintah penyidikan (Sprindik) bahkan diduga hanya satu pimpinan KPK yang menyetujuinya. Namun hal itu dibantah oleh Ketua KPK Abraham Samad saat berkunjung ke redaksi RCTI beberapa waktu lalu. Menurutnya, penetapan Miranda sudah sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) KPK. Selain itu kata dia, dua alat bukti yang dimiliki KPK menjadi landasan penetapan tersebut.
“Buktinya Miranda divonis bersalahkan sama Pengadilan Tipikor. Miranda kan juga sudah divonis (3 tahun). Kalau kita melanggar prosedur mana mungkin bisa divonis bersalah,” ujar Abraham.
Namun, dalam kasus cek pelawat itu yang masih menjadi tanda tanya besar adalah siapa yang menjadi penyandang dana atau donator yang rela memberikan uang senilai Rp24 miliar untuk pembelian 480 cek pelawat. Juru Bicara KPK Johan Budi mengungkapkan, sampai saat ini kasus cek pelawat masih terus berjalan. Pihaknya kata dia, terus memburu missing link (donator) yang masih terputus dari konstruksi kasus yang sudah menjerat puluhan anggota DPR periode 1999-2004 itu.
Sementara itu, anggota DPR 1999–2004 yang juga mantan terpidana kasus itu Paskah Suzetta yang hadir sebagai saksi di KPK pada 19 April 2012 menyatakan, penyidik KPK telah menyampaikan kepadanya dalam pemeriksaan bahwa mereka tengah mengidentifikasi penyandang dana dan tersangka lain kasus tersebut. “Saya ditanya substansinya sama seperti yang lalu-lalu. Ada episode baru lagi. Sudah ada (namanya). Saya nggak mau sebutkan (di sini).Kelihatannya ada perkembangan baru, tidak akan hanya sampai ke Miranda Goeltom,” kata Paskah di Gedung KPK Jakarta.
Ketika diminta wartawan agar menyebutkan nama donatur seperti yang disebut penyidik, Paskah mengelak membeberkannya. Bahkan untuk inisial maupun ciri-cirinya yang dimaksud, Paskah menolak menjawab. Namun dia membenarkan bahwa KPK telah mengindikasikan nama pemilik atau penyumbang cek pelawat yang juga sampai ke tangannya. Paskah mengaku namanama yang diindikasikan dan ditanyakan oleh tim penyidik terkait donatur dan pelaku lainnya mencakup dua profesi, yakni politikus dan pengusaha. “Saya tidak bisa berikan inisial (indikasi nama). Ini sekarang pengusaha atau politikus,sama. Pengusaha politikus juga.Politikus pengusaha juga. Sama saja dua-duanya.Ya begitulah,” ujarnya.
Selain itu, menurut informasi yang dihimpun, KPK sudah pernah mengirim tim ke Singapura untuk mengejar donatur cek pelawat dan mengecek langsung aset yang dimilikinya. Namun dari 2 kali penerjunan langsung ke negeri Singa itu, tim KPK belum menemukan hasil yang cukup signifikan.
Wisma Atlet, Koster yang Masih Melenggang Bebas
Kasus suap pengurusan anggaran Wisma Atlet sebenarnya sudah hampir mencapai titik nadir. Dalam kasus itu, terkahir KPK menetapkan Anglina Sondakh (mantan anggota Komisi X DPR 2009-2014) sebagai tersangka menyusul M Nazaruddin, Mindo Rossalina Manulang, Wafid Muharam, dan M El Idris. Saat ini kasus Angie – sapaan akrab Angelina Sondakh, masih disidangkan di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Angie sendiri dituntut 12 tahun penjara disertai denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan penjara dan membayar uang pengganti Rp12,580 miliar dan USD2,350 juta. Jika tidak, Angie dapat menggganti dengan pidana penjara selama 2 tahun penjara.
Dalam dakwaan, tuntutan, dan fakta persidangan yang muncul ternyata mencuat nama politisi PDIP I Wayan Koster yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. JPU pada sidang perdana Angie misalnya menyebutkan, Koster yang menjadi anggota Komisi X DPR menerima uang Rp5 miliar dan USD2,05 juta dari PT Permai Group. Apabila dana USD2,05 juta dirupiahkan dengan asumsi kurs Rp9.500 per dolar saat ini, maka setara Rp19,5 miliar. Penerimaan uang itu diduga untuk memuluskan pembahasan anggaran pengadaan wisma atlet Kemenpora serta pengadaan laboratorium/ rumah sakit universitas Kemendikbud.
Koster dalam beberapa kali kesempatan, membantah semua tudingan jaksa yang disebutkan dalam dakwaan Angie yang berdasarkan pada keterangan Rosa. Politikus PDIP itu menyatakan dirinya tidak pernah sekali pun menerima sejumlah uang seperti yang disebutkan oleh Rosa.
Sementara itu, Ketua KPK Abraham Samad usai berdiskusi dengan redaksi RCTI Senin (24/12/2012) mengaku, tidak ingin dipaksa dan didesak untuk memberhentikan dan melanjutkan pengembangan penyidikan kasus Wism Atlet. Jawaban itu disampaikan Abraham untuk menjawab pertanyaan apakah KPK akan berhenti hanya sampai di penetapan Angelina Sondakh (Angie) saja sebagai tersangka terakhir Wisma Atlet. “Jadi begini, kalau ternyata dari hasil penyidikan dan pengembangan kasus itu tidak ada lagi pihak lain, kita berhenti. Kalau dari pengembangan itu ternyata masih ada pihak-pihak lain terlibat kita lanjutkan. Biarkanlah KPK dengan alat buktinya menentukan sendiri sikap profesionalnya,” ujar Abraham.
Menunggu Bukti Keterlibatan Pejabat Kemenag dalam Kasus Alquran
Kasus dugaan suap pengurusan anggaran pengadaan Alquran dan laboratorium komputer MTs di Kementerian Agama (Kemenag) tahun anggaran 2010-2012 masih menyisakan pekerjaan rumah tersendiri bagi KPK. Sampai saat ini KPK masih berkutat pada penyidikan perkara kasus ayah dan anak, Zulkarnaen Djabar dan Dendy Prasetya.
Padahal dalam sangkaan terhadap Zulkarnaen (mantan Wakil Bendahara Umum Partau Golkar) tertuang jelas bahwa Zulkarnaen mengarahkan oknum PNS di Ditjen Bimas Kemenag untuk memenangkan perusahaan tertentu dalam pengadaan Alquran. Selain itu, yang bersangkutan juga telah dengan nyata mendorong, mengarahkan, dan meminta oknum di Ditjen Pendis dalam tender pengadaan laboratorium MTs untuk memenangi PT BKM serta dalam pengadaan sistem komunikasi laboratorium MTs untuk memenangkan PT Karya Sinergy Alam Indonesia (KSAI).
Kasus ini sebenarnya menjadi perhatianh public terutama dari segi ‘korupsi Alquran’. Apalagi hampir 90 % penduduk Indonesia, beragama Islam.
Selain menyidik kasus ZD dan Dendy, ternyata KPK tengah menyelidiki kasus tersebut dari sisi pengadaannya. Dalam pengadaan inilah lembaga antikorupsi itu tengah membidik keterlibatan pejabat Kemenag. Sementara berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, pekan kedua Januari 2013 KPK akan melakukan gelar perkara terkait pengadaan dalam kasus tersebut khususnya keterlibatan oknum-oknum PNS Kemenag. Gelar perkara itu dilakukan untuk melihat peluang sejauh mana penyidikan dan penyelidikan kasus Alquran. Bila mana diperlukan dengan ketersediaan 2 bukti tentu saja ada pihak-pihak yang akan dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Emir Moeis Belum Pernah Diperiksa
KPK secara resmi mengumumkan penetapan status tersangka kepada Ketua Komisi XI DPR Izedrik Emir Moeis 26 Juli 2012. Sementara surat perintah penyidikan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-36/01/07/2012 atas nama Izedrik Emir Moeis (IEM) telah dikeluarkan tanggal 20 Juli 2012.
Politikus asal PDI Perjuangan tersebut diduga menerima suap senilai lebih dari USD300.000 (Rp2,8 miliar) dalam pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, tahun anggaran (TA) 2004. Dalam kasus itu, Emir Moeis diduga menerima hadiah atau janji dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR periode 1999–2004 dan atau periode 2004–2009 dari PT Alstom Indonesia (AI). Untuk kepentingan penyidikan, Emir Moeis telah dicegah ke luar negeri selama enam bulan.
KPK mengungkapkan, pengusutan proyek PLTU Tarahan ini merupakan pengembangan kasus korupsi pengadaan outsourcing roll out customer information service rencana induk sistem informasi (CISRISI) di PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang (Disjaya). Kasus pengadaan CISRISI tersebut telah menyeret mantan Direktur Utama PLN Eddie Widiono yang telah divonis lima tahun penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sampai memasuki tahun 2013, KPK belum pernah memeriksa Emir baik sebagai saksi atau pun tersangka dalam kasus PLTU Tarahan itu. Padahal, Emir pernah menyatakan kesiapannya diperiksa KPK sebagai tersangka kasus tersebut. "Ya haruslah. Sebagai warga negara yang baik, kita ikuti proses hukum yang berlaku," ujarnya usai menjadi saksi dalam sidang terdakwa Miranda Swaray di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (03/09/12) lalu.
Hambalang ke Arah Mana Anak Tangga Berikutnya
Wakil Ketua KPK BIdang Penindakan Bambang Widjojanto selalu mengibaratkan pengusutan dan penyidikan kasus dugaan korupsi Sport Center Hambalang seperti menaiki anak tangga. Saat penetapan Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar sebagai tersangka pertama Hambalang pada Kamis (19/7/2012), Bambang menyebutkan, kasus Hambalang bisa saja menyasar ke anak tangga berikutnya. Dia memastikan akan terus mengembangkan kasus tersebut. KPK juga akan menjerat oknum-oknum lain yang pada penyidikan ternyata ditemukan indikasi keterlibatannya.
Tak berselang lama, pada 3 Desember 2012 KPK langsung menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Alfian Mallarangeng sebagai tersangka kasus itu. Uniknya penetapan itu ‘hanya’ diketahui wartawan lewat surat cekal yang dikeluarkan KPK pada tanggal yang sama dan ditunujukkan oleh Bambang saat konfrensi pers 5 Desember 2012. Satu hari berselang, Abraham Samad mengumumkan status Andi Mallarangeng secara resmi.
Beberapa pihak menduga ada keterlibatan Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardodjo, Wamenku dan eks Dirjen Anggaran Anny Ratnawati sebagai tersangka. Sementara KPK mengaku saat ini tengah menelusuri keterlibatan penyelenggara Negara baik dari anggota legislatif maupun eksekutif. Bahkan tidak menutup kemungkinan, KPK terus mengusut keterlibatan kontraktor dan subkontraktor dalam kasus bernilai lebih dari Rp2,5 triliun itu. Lembaga antikorupsi itu pun sudah mencekal sejumlah pihak untuk bepergian ke luar negeri. Untuk mengembangkan kasus itu juga terkahir KPK menggeledah 3 tempat yakni, ruumah Munadi Herlambang (Direktur Utama PT Msons Capital dan kader Partai Demokrat) jalan Tanjung Barat Indah Blok l /18 Jakarta Selatan, kantor PT Wijaya Karya jalan DI Panjaitan dan kantor PT Adhi Karya jalan Pasar Minggu.
"Data, informasi dan dokumen hasil geledah pasti harus dipelajari dan ditelaah lebih dulu. Dan jika ada hasilnya pasti akan digubakan untuk kepentingan pengembangan dan pendalaman penyidikan bukan untuk publik," kata Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bambang Widjojanto saat dihubungi di Jakarta, Jumat (4/1).
Kasus ini layak ditunggu, jika melihat konstruksinya kasus itu sudah mencapai ‘puncak’ dengan menjerat Andi Mallarangeng sebagai tersangka dari unsur Kemenpora. Namun yang menjadi pertanyaan besar publik yakni ke arah mana anak tangga kasus Hambalang ini.
“Kami masih terus mengembangkan penyidikan dan penyelidikan kasus Hambalang. Di penyelidikan kita lihat apakah ada suap atau keek back kepada penyelenggara Negara,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP.
Dari penelusuran, seorang sumber KPK mengungkap rentetan konstruksi kasus, bukti, dan fakta penyidikan, KPK segera memanggil sejumlah anggota DPR yang komisinya bertugas dalam pembahasa anggaran proyek Sport Center Hambalang. Namun sumber itu belum mau mengungkapkan nama-nama anggota dewan itu. "Lihat saja nanti, bisa jadi ada anggota komisi di DPR yang berkaitan dengan pembahasan anggaran juga yang akan dipanggil," bebernya.
Dalam kasus Hambalang terdapat beberapa nama yang terlibat. Terpidana wisma atlet M Nazaruddin menyebutkan, penanggungjawab penuh pembahasan anggaran proyek Hambalang di Komisi X DPR yakni mantan Ketua Komisi X Mahyuddin NS. Selain itu nama I Wayan Koster turut disebut-sebut terlibat dalam pembahasan anggaran Hambalang. Dua anggota DPR itu pun sudah berkali-kali membantah keterlibatan mereka.
Andi Mallarangeng ditetapkan secara resmi sebagai tersangka pada 3 Desember 2012 dan diumumkan pada 6 Desember 2012. Mantan Menpora itu diduga kuat menyalahgunakan kewenangannya untuk pengadaan proyek Sport Center Hambalang sehingga merugikan negara miliaran rupiah.
Mantan Juru Bicara Kepresidenan itu dikenakan pasal berlapis dengan ancaman pidana seumur hidup yakni, pasal 2 ayat (1) dan/atau pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Sementara Deddy Kusdinar disangka melanggar 2 ayat (1) dan/atau pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana.
Century Mandek di Saksi Pertama
Pasca penetapan secara resmi Budi Mulya (BM) dan Siti Chalimah Fajriyah (SCF), KPK baru memeriksa satu sakti yakni Zainal Abidin. Pemeriksaan itu tak ayal menimbulkan asumsi KPK tidak terlalu serius mengusut tuntas kasus tersebut.
Padahal, saat pengumuman secara resmi BM dan SCF sebagai tersangka baik juru bicara KPK maupun jajaran pimpinan KPK mengaku akan menjadikan kasus Centuty sebagai bagian dar fokus penyidikan. Ketua KPK Abraham Samad pun pernah menyebutkan, mantan Gubernur BI yang kini menjabata sebagai Wakil Presiden Boedino terlibat dalam pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) terhadap Bank Century. Dia juga menjelaskan, pihaknya bisa memeriksa siapa pun termasuk Boediono dalam kasus itu.
Di sisi lain, saat bertandang ke redaksi RCTI, Abraham mengaku, sejauh ini pihaknya meyakini banyak oknum yang terlibat dalam kasus tersebut. Sayangnya, Abraham belum mau mengungkap siapa identitas tersangka baru kasus tersebut. Dia beralasan pengungkapan identitas calon tersangka ke publik akan mengganggu proses penyidikan dan pengumpulan barang bukti serta fakta hukum yang tengah dilakukan KPK. ”Penetapan Budi Mulya dan Siti Fajriyah itu sebagai tersangka kan ibaratnya hanya anak tangga. Dalam kasus Century yang canggih ini tentu ada tersangka lain yang itu tentu sedang kita telusuri bukti-buktinya. Tapi, saat ini kita fokus dulu di penyidikan saksi-saksi BM dan SCF. Kita mohon teman- teman media bersabar mengikuti perkembangannya,” paparnya.
Yang layak ditunggu adalah, apakah KPK benar-benar berkeinginan memeriksa Boediono dan siapa tersangka baru tersebut?
Sidang Internasional Kemlu, Eks Sekjend Kemlu Diperintah Presiden
Kasus sidang/konfrensi internasional di Kemnterian Luar Negeri (emlu) ini sebenarnya merupakan kasus lama. Lihat saja, KPK sudah menetapkan Sudjadnan Parnohadiningrat, mantan Sekretaris Jenderal Kemenlu menjadi pejabat pembuat komitmen sebagai tersangka dalam kasus di tahun anggaran 2004-2005
Menariknya, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Megeri (Sekjen Kemlu) Sudjadnan Parnohadiningrat mengaku terpaksa menjalankan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan Presiden Megawati Soekarno Putri untuk melaksanakan sidang/konfrensi internasional tahun 2004-2005. Menurutnya, pelaksanaan acara yang dihadiri oleh perwakilan dari beberapa negara itu juga mendapat persetujuan dari presiden, baik Presiden Megawati maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sekedar diketahui, pada tahun 2004, kepemimpinan Megawati sebagai presiden telah berakhir dan posisinya digantikan oleh SBY usai memenangi Pemilu 2004.
"Itu perintah presiden. Presiden SBY maupun Presiden Megawati. Yang namanya orang terpaksa melakukan pekerjaan karena tugas. Prosedur dan Keppres terlanggar. Kalau konferensi internasional kan menyangkut negara lain yang sudah sanggup mau datang," bebernya usai diperiksa KPK pada Rabu (19/12/2012).
Dalam kasus ini, KPK sudah pernah memeriksa mantan Menlu Nur Hassan Wirajuda pada Selasa (18/12/2012). Dia mengatakan, dalam penyelenggaran konfrensi internasional di tahun 2004-2005 merupakan kebijakan Presiden sejak era Megawati Soekarno Putri dan belakangan di era Presiden SBY. "Diplomasi diperintahkan untuk menyelenggarakan konferensi-konfrensi internasional yang sifatnya pertama untuk membantu pemulihan negeri dan krisis kita dr keterpurukan kita. Dan yang kedua mengangkat kembali harkat dan derajat bangsa dan negara kita," kata Hassan usai diperiksa menjadi saksi bagi Sudjadnan.
Simulator, masih adakah Jenderal Polisi lain?
Dalam kasus simulator, KPK telah menetapkan empat tersangka yakni, Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo S Bambang, mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo, Wakil Kepala Korlantas Brigjen Didik Purnomo dan Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto. Proyek simulator ini mencapai nilai Rp196,8 miliar. Sedangkan kerugian negara yang diperkirakan KPK lebih dari Rp100 miliar. Kasus ini lah yang mejadikan KPK mampu menciptakan sejarah karena menetapkan dua jenderal polisi aktif sebagai tersangka.
Tak bisa dipungkiri, kasus ini merupakan salah satu sebab terjadinya perseteruan antara KPK vs Polri. Sebelumnya, Jumat, 5 Oktober 2012 KPK memeriksa Irjen Pol Djoko Susilo untuk pertama kalinya. Usai menjalani pemeriksaan selama 9 jam Irjen Djoko tidak langsung ditahan. Bersama para pengacaranya seperti Juniver Girsang dan Hotma Sitompul langsung meninggalkan gedung antikorupsi itu. Padahal satu hari sebelumnya, Ketua KPK Abraham Samad sudah memastikan ke publik bahwa hari itu pihaknya langsung menahan tersangka.
Pasca pemeriksaan pertama itu, sekitar pukul 18.30 puluhan perwira polisi berseragam dan berpakaian safari dari Mapolda Bengkulu dan Mapolda Metro Jaya mengepung gedung KPK untuk menjemput paksa salah satu ketua tim satgas kasus simulator sim Kompol Novel Baswedan. Situasi saat itu sangat mencekam, apalagi 3 pimpinan KPK sedang berada di luar kota saat pemeriksaan Irjen Djoko dan peristiwa penjemputan Kompol Novel itu terjadi.
Sekedar diketahui, penyidikan kasus simulator dan penjemputan paksa itu yang disertai penarikan-pengunduran diri penyidik Polri yang dipekerjakan di KPK membuat hubungan KPK-Polri memanas. Untuk mengantisipasi meluasnya konflik dua lembaga penegak hukum tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumpulkan Ketua KPK dan Kapolri. Akhirnya keluar keputusan lewat pidato Presiden yang diantarannya, diputuskan kasus simulator sim seluruhnya diserahkan penangannya ke KPK, untuk saat ini penanganan kasus Kompol Novel ditangguhkan, dan dilakukan revisi PP No 63/2005 menjadi PP 103/2012 tentang Sistem Sumber Daya Manusia (SDM) KPK.
Sebenarnya, kasus simulator SIM ini publik berharap KPK dapat menjadikanya sebagai pintu masuk untuk mengungkapkan keterlibatan jenderal lain. Namun sampai pemeriksaan saksi terkahir yakni Ketua Panitia Lelang pengadaan simulator AKBP Teddy Rusmawan akhir pekan lalu, harapan itu menguap begitu saja.
"Jangan terhenti pada Irjen Djoko Susilo saja. Berdasarkan fakta dan bukti harus usut tuntas semua tanpa pandang bulu. Dengan mengusut tuntas terhadap siapapun, maka niscaya akan memberikan harapan pada publik akan penegakan hukum yang lebih baik ke depan," tandas Anggota Komisi III DPR dari fraksi Partai Demokrat (PD) Didi Irawadi Syamsuddin.
Gubernur Riau belum Ditersangkakan, Aliran Dana ke DPR Masih Buram
Di antara sekian banyak kasus yang ditangani KPK, kasus suap pembahasan revisi Perda No 6/2010 tentang pembangunan lapangan tembak Pekan Olahraga Nasioanal (PON) Riau 2012 merupakan kasus yang hampi mandek penyidikannya. Pasalnya, pasca penetapan KPK menetapkan 13 tersangka yakni, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau Lukman Abbas dan Wakil Ketua DPRD Riau Taufan Andoso Yakin (FPAN), Muhammad Faisal Aswan (FPKB) dan Muhammad Dunir (F Golkar), mantan Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Dinas Pemuda dan Olahraga Riau Eka Darma Putra, staf PT Pembangunan Perumahan Rahmat Syahputra, Adrian Ali (PAN), Abubakar Sidiq , Tengku Muhazza (Demokrat), Syarif Hidayat, M Rum Zein, Zulfan Heri, dan Rukman Asyardi (PDIP) tak ada satu pun pihak yang diperiksa lagi oleh KPK.
Sementara itu, nama Gubernur Riau M Rusli Zainal dimunculkan JPU dalam surat dakwaan para tersangka yang dibacakaan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Riau. Ketua DPD Partai Golkar Riau itu diduga kuat memerintahkan Lukman lewat saluran telepon supaya dapat memenuhi permintaan anggota DPRD Riau untuk memberi fee untuk pemulusan pembahasan revisi perda itu. Sejauh ini menurut KPK, Rusli masih berstatus sebagai saksi dalam kasus ini.
Di sisi lain, dalam sidang beberapa tersangka di Pengadilan Tipikor Riau terungkap adanya aliran uang Rp9 miliar ke DPR RI. Pada Kamis (2/8/2012) Lukman Abbas yang bersaksi menyebutkan, dirinya pernah menyerahkan uang kepada Komisi X DPR RI sebesar Rp9 miliar atau USD1.050.000. Uang itu paparnya, diberikan kepada Kahar Muzakir (anggota Komisi X DPR dari fraksi Partai Golkar). Uang itu diserahkan dengan maksud sebagai alat pemulusan permintaan tambahan dana PON yang berasal dari APBN sebesar Rp290 miliar. Di awal Februari 2012, Lukman mengaku, menemani Rusli Zainal dalam pengajuan proposal bantuan tersebut. Proposal itu lalu disampaikan Rusli kepada Setya Novanto (politisi Partai Golkar).
Dalam kasus ini sendiri, KPK sudah pernah memeriksa Kahar dan Setya serta Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono. Ketiganya pun sudah membantah keterlibatannya dalam kasus suap revisi Perda PON tersebut.
Sampai saat ini, penyidikan dan penyelidikan kasus suap PON ini belum mencapai hasil yang memuaskan. KPK bahkan belum mampu menjerat Gubri Rusli Zainal dan pihak lain yang sudah muncul di fakta persidangan. Selain itu, aliran uang Rp9 miliar ke Senayan pun masih buram tanpa kejelasan. KPK beralibi, penyidikan dan penyelidikan yang mereka lakukan termasuk dalam kasus PON Riau selalu berdasar pada keberadaan 2 alat bukti yang cukup.
Sementara berdasarkan informasi yang dihimpun, seorang sumber di internal KPK menyebutkan, dalam kurun waktu beberapa pekan lagi KPK segera mengumumkan Rusli Zainal sebagai tersangka kasus itu. Meski demikian dia mengaku, lamanya proses penetapan itu karena masih ada pimpinan KPK yang belum mau menjadikan Rusli sebagai tersangka meski pun KPK sudah lama memiliki 2 alat bukti yang cukup.(SABIR LALUHU)
Langganan:
Postingan (Atom)