RESENSI
Judul Buku : Mozaik Pers di Negeri Raja Raja
Penulis : M. Azis Tunny, dkk
Editor : M. Azis Tunny & Almudatsir Z. Sangadji
Penerbit : Maluku Media Centre dan Total Media (Anggota IKAPI)
Tahun : Maret 2010
Tebal : xx + 314 halaman
Oleh: Sabir Laluhu*
Apa yang ada di benak kita ketika mendengar nama Maluku disebutkan? Seketika pikiran kita akan menghubungkan alur memori yang terputus dan menyambungnya satu demi satu. Bisa jadi, salah satu peristiwa akan mencuat dalam pikiran kita, konflik komunal/SARA yang pecah tahun 1999. Tapi jika kita menggunakan proses ideasi dengan peristiwa terbaru, maka 'pengambilan secara paksa' nyawa Ridwan Salamun Wartawan Sun TV ketika meliput di Tual Maluku Sabtu (21/08/2010) lalu adalah peristiwa yang menyisakan duka yang amat mendalam.
Dua kasus di atas, memang tidak dipungkiri - oleh seluruh insan pers nasional dan lokal - berjalan bergelindang menyertai hidup matinya pers di Jazirah Maluku. Betapa tidak, konflik Maluku tahun 1999 turut disulut, dikobarkan, diredakan dan didamaikan hingga tahap rekonsiliasi (perjanjian perdamaian Malino) oleh pers di jazirah ini. Harus diakui bahwa konflik 1999 telah menjadikan para pelaku 'kuli tinta' terpolarisasi berdasarkan solidaritas komunitas dan kelompoknya. Singkatnya, untuk bersikap independen dan menjalankan sembilan elemen jurnalisme yang disarankan Bill Kovach sangat sulit terrealisasi.
Kasus pengeroyokan massa terhadap Ridwan Salamun hingga merenggut nyawanya menjadi perkara 'baru' tapi 'lama'. Intimidasi, kekerasan fisik, teror, hingga pembunuhan adalah realitas yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan pers di Maluku bahkan Indonesia. Fenomena-fenomena itu tumbuh dan berreproduksi bersamaan dengan kehadiran pers itu sendiri.
Buku yang ditulis M. Azis Tunny, dkk ini seolah menjadi oase di tengah gersangnya keilmuan jurnalistik mengenai pers di Maluku. Sebagai pelaku 'dunia tanpa koma' di negeri raja raja ini, M.Azis Tunny, dkk secara komprehensif memotret pergulatan pers Maluku mulai dari zaman pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, orde lama, orde baru dan era reformasi.
M. Azis Tunny, dkk secara lugas menuturkan hembusan nafas tiada henti yang dipotret melalui sejarah, profesionalisme, etika, kesejahteraan jurnalis, normalisasi-kekerasan kepada pers serta penyalahgunaan profesi sebagai 'broker' menjadi mozaik pers Maluku, mozaik pers Indonesia. Ibarat 'ironi tanpa koma', pers di jazirah ini akan terus berkembang mempertahankan eksistensinya demi membangun Maluku ke arah yang lebih baik.
Bagian paling menarik dari buku ini ada dua aspek. Pertama, Eksistensi-Kompetisi Media, M. Azis Tunny menggambarkan Maluku ibarat lahan subur bagi tempat tumbuh kembangnya media massa. Banyak media lahir dalam seratus tahun terakhir. Mereka lahir, tumbuh dan mencoba berkembang. Tapi berbarengan dengan itu, iklim Maluku yang serba keras membuat media-media itu kemudian timbul-tenggelam, mati-bangkit, bahkan mati untuk selamanya.
Apa yang dikatan Azis Tunny tidak dapat dielakkan. Beberapa media yang pernah eksis seperti Ambon TV (launching Maret 2006) harus 'tutup buku' pada Februari 2010. Kesejahteraan jurnalis yang tak diberikan, kurangnya modal dan susahnya mencari pemodal yang bersedia memasang iklan di media merupakan faktor hidup matinya media massa di Maluku. Selain itu, eksistensi-kompetisi media juga sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang sangat rendah terhadap koran harian. Hal ini berbanding terbalik dengan daya baca masyarakat yang sangat tinggi. Meski daya beli masyarakat Maluku rendah, pada akhirnya koran harian yang berjumlah 11 media di Ambon mampu bertahan hingga detik ini. Meski untung tak dapat diraih, rugi tak dapat ditolak.
Dari sisi kesejahteraan, jurnalis Maluku menerima gaji jauh di bawah upah minimum regional (UMR) dan upah minimum provinsi (UMP). Bila UMP Maluku untuk jurnalis adalah Rp.800.000,- maka reporter di Ambon tidak menerima gaji sebesar itu, karena uang sebanyak itu adalah gaji redaktur. Tidak sampai di situ, sebagai pegawai perusahaan media mereka tidak diikat dengan kontrak ‘hitam di atas putih’ dan kebanyakan tidak diikutsertakan dalam jaminan social tenaga kerja (Jamsostek) sebagai jaminan perlindungan ketika mereka meliput di lapangan. Makin jauh mereka dari sejahtera.
Kedua, jurnalisme damai, adalah perspektif yang sangat prestisius yang coba ditawarkan M. Azis Tunny, dkk sebagai upaya resolusi dan pencipta jalan damai setiap konflik baik di zona perang maupun zona aman. Hal ini diakui, perlu untuk dijalankan oleh para jurnalis khususnya Maluku yang terdiri dari masyarakat multikultural, multi etnis dan multiagama. Olehnya, sedikit banyaknya tugas jurnalis akan dipengaruhi pengalaman nilai pluralitas dalam diri insan pers di daerah ini.
Perlu ditegaskan, dalam masyarakat multikultural (multietnis-multiagama) pemahaman dan penerimaan akan pluralitas masyarakat adalah keniscayaan. Jika awak media mampu memahami dan menerimnya, mereka akan mengetahui bahwa ada kebenaran di luar kebenaran yang mereka anut. Artinya, kebenaran dalam perspektif individu jurnalis hendaknya dikorelasikan dengan kebenaran di luar dirinya. Kebenaran yang dihasilkan nantinya menjadi konsensus kebenaran bersama dalam menyajikan berita kepada publik.
Jurnalisme damai (peace journalism) hanya sekedar opsi. Jurnalisme damai bisa diadopsi atau malah diabaikan. Namun harus diingat, kebebasan pers dan kemerdekaan pers bukanlah sekedar mirror of reality, tetapi juga molder of reality (pembentuk rupa) masyarakat. Jika keberadaan jurnalisme dalam rangka menjalankan fungsi pembentuk rupa masyarakat, maka sepantasnya jurnalisme damai menjadi opsi yang tak terelakkan.
Buku ini menjadi referensi dan bukti otentik yang sangat berguna bagi para akademisi, profesional, pengamat dan pemerhati dunia jurnalistik. Bahkan boleh jadi bisa menjadi referensi awal bagi para pelaku bisnis media yang ingin mendirikan perusahaan media atau sekedar menanam sedikit sahamnya di tanah Maluku.
Selain itu, buku ini juga adalah perwujudan wajah pers di Maluku yang mengalami gelombang pasang surut, korban konflik, upaya survival of life dan menemukan rumah bersama yaitu Maluku Media Centre sebagai wadah pemersatu untuk tetap bertahan dan pengembangan jurnalisme damai di seluruh wilayah nusantara.
Semoga buku yang terdiri dari delapan bagin: Sejarah dan Eksistensi Pers di Maluku; Jurnalisme Damai Meretas Jalan Damai; Etika dan Kosmologi Pers; Potret Kesejateraan Jurnalis Maluku; Belenggu Hukum, Kekerasan dan Intimidasi; Seputar Jurnalisme Broadcasting; Ragam Jurnalisme; dan Profil Media di Ambon, menjadi pelepas dahaga keilmuan dan referensi kita mengenai dunia pers di negeri raja-raja; Maluku.
*Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Periode 2010-2011 dan Putera Daerah yang terlahir di Tanah Ambon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar