Sabtu, 13 Agustus 2011

Benteng Kesultanan Buton Benteng Terluas di Dunia, Menanti Pengakuan Dunia Internasional*

Oleh:
Sabir*

Menelusuri Kawasan Timur Indonesia (KTI) bagi sebagian orang khusunya turis asing yang berkunjung ke Indonesia sangatlah mengasikan dan penuh tantangan. Keunikan seni, budaya, pariwisata dan kehidupan masyarakatnya yang sangat jauh berbeda dengan masyarakat Jawa, Sumatera dan Kalimantan adalah nilai lebih kawasan tersebut. Sebut saja Toraja (Sulawesi Selatan), Manado dengan keindahan Bunaken (Sulawesi Tengah), Maluku dengan keindahan Laut Banda dan limpahan rempah-rempah, dan Pulau Papua yang dengan kehidupan suku Asmat serta ‘tarian’ Burung Cendrawasih.

Namun ada fakta menarik di sela-sela perjalanan menelusuri KTI tersebut. Jika kita menuju Maluku dan Papua dengan jasa kapal motor PT Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia), misal KM Lambelu, KM Kerinci, KM Sinabung atau KM Siguntang, maka kapal-kapal tersebut akan singgah terlebih dahulu di Pelabuhan Murhum Kota Bau-bau Sulawesi Tenggara. Sebelum tiba di pelabuhan terlihat dari jauh sebuah benteng seluas 22,8 Ha berdiri dengan kokoh, seraya tersenyum manis sambil mengucapkan ‘Selamat datang di kota dengan benteng terluas di Dunia’.

Benteng yang berukuran keliling dengan panjang 2.740 meter dengan tinggi 2-3 meter dan ketebalan dinding 1,5 meter hingga 2 meter ini memiliki 12 pintu (lawa) dengan tambahan na (nya) yang diberi nama sesuai dengan nama atau gelar pengawas pintu-pintu tersebut, antara lain Lawana Rakia, Lawana Lanto, Lawana Labunta, Lawana Kampebuni, Lawana Wabarobo, Lawana Dete, Lawana Kalau, Lawana Bajo/Bariya, Lawana Burukene/Tanailandu, Lawana Melai/Baau, Lawana Lantongau, dan Lawana Gundu-gundu, yang berfungsi sebagai penghubung keraton dengan kampung-kampung di sekitarnya.

Pada awal September 2006, MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) dan Guiness Book Record, lembaga rekor Indonesia dan dunia, yang mencatat Benteng Keraton Buton tersebut sebagai benteng terluas dan terunik di dunia. Kedua lembaga itu mencatat luas benteng 23,375 hektare, sementara benteng lain di belahan bumi ini paling luas hanya 18 hektare lebih.

Pintu-pintu yang dibangun tersebut merupakan perwujudan dari jumlah lubang dalam tubuh manusia yang juga terdiri dari 12 lubang. Kedua belas lubang pada tubuh manusia tersebut adalah lubang pori-pori kulit, mulut, dua lubang telinga, dua lubang mata, dua lubang hidung, satu lubang anus, satu lubang saluran kencing, satu lubang saluran sperma, dan satu lubang pusat.

Lubang saluran sperma diidentikkan dengan pintu rahasia benteng yang menjadi jalan keluar bagi petinggi-petinggi Kesultanan atau tempat persembunyian, jika ada serangan musuh yang mengancam dan membahayakan keselamatan keluarga Istana Keraton. Lawana Kampebuni (pintu tersembunyi) itu pulalah yang digunakan oleh Aru Palaka ketika hendak bersembunyi di sebuah gua di sekitar benteng dari kejaran raja Gowa.

Aktifitas dan Kehidupan Masyarakat

Ada satu hal menarik yang patut diketahui dan menjadi perhatian penduduk Nusantara terhadap keberadaan benteng Keraton Buton. Jika beberapa benteng yang masih berdiri kokoh atau sudah tidak diperdulikan oleh masyarakat lagi, maka benteng Kesultanan Buton tidak hanya berdiri dan diam membisu. Namun, di dalam kawasan benteng keraton terdapat aktivitas masyarakat yang tetap melakukan berbagai macam ritual layaknya yang terjadi pada masa kesultanan berabad-abad lalu.

Di dalam kawasan benteng terdapat pemukiman penduduk yang merupakan pewaris keturunan dari para keluarga bangsawan Keraton Buton masa lalu. Di tempat ini juga terdapat situs peninggalan sejarah masa lalu yang masih tetap terpelihara dengan baik.

Di tengah benteng terdapat sebuah mesjid tua yang oleh masyarakat disebut dengan Mesjid Keraton, Kasulana Tombi (tiang bendera) tempat berkibarnya Longa-longa (Bendera Kesultanan Buton) yang usianya seumur mesjid, dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton III La sangaji Sultan Kaimuddin atau dikenal dengan julukan ‘Sangia Makengkuna’ yang memegang tahta antara tahun 1591–1597 M.

Selain itu terdapat Batu Popaua (batu pelantikan Sultan Buton terpilih), Makam Sultan Murhum (Sultan I), Istana Baadia yang sekarang menjadi Pusat Kebudayaan Wolio, Aula Pertemuan antara Sultan dan masyarakat luas yang terdapat di depan Mesjid Keraton serta beberapa situs lainnya.

Tasawuf, Sufisme dan Kontruksi Benteng

Masyarakat Buton merupakan penganut sufisme dan tasawuf yang amat kental. Sehingga dalam konstruksi pembangunan bentengpun nuansa islami ditunjukkan oleh bentuk benteng yang berbentuk huruf ‘dal’ pada aksara arab. Bahkan bahasa resmi pemerintahan yakni bahasa Wolio yang tertulis dengan aksara Wolio yang menggunakan huruf Hijahiyah Arab.

Bagi seluruh masyarakat Buton, gotong royong dalam pembangunan benteng tersebut merupakan perwujudan dari ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu bahkan mungkin hingga saat ini yakni: 1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri) 2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri) 3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah) 4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama).

Awalnya Benteng Keraton Buton hanyalah tumpukan batu yang mengelilingi pusat kerajaan. Tumpukan tersebut berfungsi sebagai pembatas pusat lingkungan keraton, tumpukan batu tersebut berfungsi sebagai perlindungan dari serangan musuh. Pada masa pemerintahan sultan Buton IV, La Elangi (Sultan Dayanu Ikhsanuddin), tumpukan batu tersebut dibangun menjadi sebuah benteng.

Benteng tersebut dikerjakan oleh seluruh penduduk kesultanan Buton, laki-laki dan perempuan. Para laki-laki mengumpulkan batu-batuan gunung dan menyusunnya. Sementara pasir dikumpulkan oleh kaum perempuannya. Mengenai pendirian benteng, cerita turun temurun para leluhur di tengah masyarakat hamper sama dengan kisah pendirian Candi Borobudur. Tumpukan batu itu direkatkan dengan menggunakan putih telur. Namun menurut beberapa Tetua Keraton, adonan tersebut juga dicampur dengan adonan agar-agar/rumput laut dan kapur yang banyak tersebar di pulau Buton.

Menanti Pengakuan Dunia Internasional
Benteng Keraton Buton adalah sebuah warisan leluhur yang tak terbantahkan. Sayang, keberadaan benteng Keraton serta berbagai keragam dan kekayaan budayanya seolah terlupakan oleh pandangan sejarah Nasional. Keunikan yang dimilikinya nyaris tak pernah mendapat pengakuan di mata dunia.

Letaknya yang strategis berada pada dataran tinggi menandakan bahwa para pendiri negeri ini dahulu kala memiliki peradaban. Konstruksi benteng yang berbentuk ‘dal’ sulit dipecahkan oleh kecanggihan teknologi modern patut menjadi bahan renungan bahwa kreativitas para leluhur Buton di masa lalu tak bisa dianggap remeh.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah daerah (pemda) dalam perjuangan memperkenalkan dan mempertahankan eksistensi keunikan budaya Buton dengan segala bentuk peninggalan sejarahnya. Bulan Agustus 2005, kegiatan Simposium Internasional pernaskahan Nusantara diselenggarakan pemerintah daerah sebagai perwujuan awal bahwa sejarah Kesultanan Buton merupakan sejarah dunia yang tidak bisa dilupakan. Kegiatan ini diikuti oleh utusan dari para pakar budaya dari dalam dan luar negeri diantaranya: Singapura, Malaysia, Jepang, China, Jerman, Belanda, Rusia dan beberapa negara lain di dunia.

Keinginan kuat pemda untuk sebuah benteng terluas dengan berbagai macam keunikannya yang kini berada di tengah-tengah wilayah eks kesultanan Buton yakni di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara hendaknya patut mendapat apresiasi besar dari pemerintah pusat. Sebagai ‘anak pulau’ Buton, sangat mengharapkan Pemkot Bau-Bau mampu bekerjasama dengan Departemen Luar Negeri, Depatemen Budaya dan Pariwisata, MURI, elemen-elemen mahasiswa dan beberapa instansi terkait sehingga mampu mewujudkan keinginan Negeri Butuuni demi meraih pengakuan dunia dari badan PBB yaitu Unesco sebagai benteng terluas di dunia.

* Artikel pernah terbit di Koran Radar Buton, Sabtu 18 Oktober 2008
* Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008 & Ketua Pengembangan Minat dan Bakat Himpunan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Indonesia Buton (HIPPMIB)-Bersatu Jakarta 2006-2008 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar