Berbagai kalangan acap kali mengkritisi bahwa Ketua KPK Abraham Samad dan jajaran pimpinan Jilid III sekarang seperti koboi dan tukang mengumbar statemen di media atas kasus-kasus yang ditangani KPK. Namun bila dilihat dengan pikiran jernih, statemen itu hanya gaya penyampaian pesan semata.
Kalau diambil tiga kasus, maka pengumbaran itu terjadi sebagai akibat mereka telah melihat data dan bukti yang ditemukan penyelidik dan penyidik KPK. Ambil contoh omongan Abraham terkait penetapan tiga menteri aktif di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Penetapan Andi Mallarangeng dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang. Usai sarasehan budaya KPK, Polri, Kejagung, dan MA di Auditorium PTIK Mabes Polri, Jakarta, Jumat 30 November 2012, malam, Abraham mengatakan untuk penetapan tersangka Andi, Tuhan-lah yang akan membawa bukti kepada KPK dengan kerja keras penyelidik dan penyidik, "Kita sudah berupaya. Kita berharap nanti bukti-bukti itu dibawa ke KPK. Kan biasa kesulitan biar nanti Tuhan membawa bukti-bukti itu ke KPK."
Pada akhirnya, KPK meneken surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama Andi pada 3 Desember 2012 dan diumumkan secara resmi tiga hari berikutnya.
Blunder yang terbukti kemudian yakni penetapan Suryadharma Ali selaku Menteri Agama sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyelenggaraan dan penggunaan dana haji lebih dari Rp 1 triliun di Kementerian Agama (Kemenag) tahun anggaran (TA) 2012- 2013.
Usai menghadiri acara KPK di Balai Kartini, Jakarta, 15 Mei 2014, Abraham menyatakan, tersangka kasus haji adalah, "Seorang petinggi di negeri ini. Pokoknya nanti satu-dua minggu ke depan." Spekulasi berkembang, benarkan itu Suryadharma Ali? Tujuh hari berselang atau 22 Mei 2014, KPK mengumumkan status tersangka Ketua Umum PPP itu.
Lekat dalam ingatan publik bahwa, Abraham melontarkan sinyal penetapan Jero Wacik selaku Menteri ESDM sebagai tersangka pemerasan. Selepas penandatangan MoU pengendalian gratifikasi KPK dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di kantor lembaga tersebut, 2 September 2013, Abraham mengirim sinyal penetapan Jero Wacik.
Abraham mengatakan, "Nanti akan kita naikan mungkin berupa peneriman yang dikategorikan pemerasan. Mudah-mudahan bisa selesaikan minggu ini, tapi saya belum bisa janji karena ada satgasnya. Tapi dalam waktu dekat lah." Satu hari berselang, dua pimpinan KPK Zulkarnain dan Bambang Widjojanto mengumumkan secara resmi status tersangka pemerasan Rp 9,9 miliar Jero. Sprindikanya, ternyata sudah ditandatangani 2 September.
Dua alat bukti permulaan yang cukup seperti tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) lah yang menjadi dasar KPK untuk menetapkan Andi, Suryadharma, Jero dan tersangka-tersangka lainnya. Lalu dalam kaitan apa dengan kasus minyak bumi dan gas (migas), pertambangan, dan energi? Bagaimana pengungkapan mafia migas?
Penetapan Jero Wacik sebagai tersangka patut diapresiasi dan disyukuri. Apalagi sebelumnya ada reli panjang pengembangan kasus migas. Mulai dari suap pengurusan tender migas dan kondesat di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), penetapan Waryono selaku selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) ESDM sebagai tersangka dalam dua kasus sekaligus.
Yakni, kasus dugaan suap dan/atau gratifikasi dalam kegiatan-kegiatan di ESDM serta kasus dugaan korupsi pengadaan berupa penyelenggaraan sosialisasi energi, sepeda sehat, dan perawatan kantor setjen.
Berikutnya, penetapan Sutan Bhatoegana dalam kapasitas Ketua Komisi VII DPR sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan suap dan/atau gratifikasi pembahasan APBNP 2013. Serta Presiden Direktur Parna Raya Group dan PT Kaltim Parna Industri (KPI) Artha Meris Simbolon ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap USD 522.5000 kepada terpidana Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini melalui terpidana Deviardi alias Ardi.
Tetapi, bila mengurai perjalan kasus suap pengurusan tender migas dan kondesat di SKK Migas maka masih banyak yang tersisa. Meski Rudi Rubiandini, Ardi, dan Komisaris Kernel Oil Pte Ltd (KOPL) Indonesia Simon Gunawan Tanjaya sudah divonis ada tirai yang belum tersingkap. Artinya penetapan Jero Wacik bukan akhir dari upaya KPK membongkar mafia dan jaringan kartel “emas hitam” dan energi yang menyengsarakan rakyat Indonesia.
Dalam putusan Rudi, Ardi, dan Simon tidak hanya nama Sutan Bhatoegana yang disebut menerima suap dari ESDM atas pemberian Rudi. Di dalam amar putusan majelis menyatakan, Simon terbukti memberikan suap USD 900.000 dan SGD 200.000 atas perintah Direktur KOPL Singapura Widodo Ratanachaitong kepada Rudi melalui Ardi.
Bila menggunakan logika terbalik, putusan itu juga bisa diartikan Widodo terbukti memberikan suap. Karena bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan bukan hanya bukti penerimaan tapi juga bukti pemberian.
KPK berkali-kali menyatakan, Widodo yang berasal dari Malang, Jawa Tengah adalah otak penyuapan tersebut. Sayangnya, Widodo sudah berstatus warga negara Singapura sejak beberapa waktu lalu. KPK tidak bisa memproses yang bersangkutan dengan hukum Indonesia. Apalagi, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) atau KPK-nya Singapura sudah memproses kasus itu. Penegasan ini pernah disampaikan Ketua JPU yang menangani perkara Simon, M Rum.
Meski begitu, dalam kesaksian Ardi di persidangan disampaikan bahwa uang USD 700.000 (dari keseluruhan USD 900.000) itu berasal dari Direktur Utama PT Zerotech Nusantara Febri Prasetyadi Soeparta yang dititipkan kepada Widodo untuk disampaikan kepada Rudi. Dalam sidang juga terungkap, uang yang diberikan Febri adalah hasil dari pemberian seorang pengusaha besar bidang energi di Indonesia. Ini adalah dua pekerjaan rumah (PR) KPK yang belum selesai sampai saat ini.
Masih dalam putusan Rudi dan Ardi. Keduanya terbukti secara sah dan meyakinkan menerima pemberian suap atau hadiah berupa uang senilai SGD 600.000 dari mantan Wakil Kepala SKK Migas Johanes Widjonarko (kini Plt kepala), USD 200.000 dari mantan Deputi Pengendalian Dukungan Bisnis Gerhard Marten Rumeser (kini staf ahli kepala), dan USD 50.000 dari mantan Kepala Divisi Penunjang Operasi SKK Migas Iwan Ratman.
Bila membalikan bahasa putusan tersebut maka jadinya adalah Johanes, Gerhard, dan Iwan memberikan uang suap kepada Rudi. Ketiganya sudah dijadikan tersangka oleh KPK? Jawabannya, belum.
Meski begitu, dalam sidang Rudi dan Ardi pun terungkap bahwa uang yang diberikan Johanes tersebut berasal dari pengusaha migas yang "bermain" di SKK Migas. Ciri-ciri dan perawakan sudah disampaikan Ardi, warna kulit putih dan keturunan Tiongkok. Siapa sang pengusaha itu? KPK yang harus menjawabnya.
KPK dalam mengungkap sesuatu kasus benar berdasarkan kesaksian. Tetapi tidak hanya itu saja. Karena kalau ada tuduhan pasti ada bantahan. Karenanya KPK tidak berhenti di situ. Sebagai penegak hukum KPK harus berdasarkan bukti lain atau bukti-bukti pendukung yang firm (kuat) yang kemudian dijadikan alat bukti kuat. Ini yang harus dicari.
Sidang Rudi dan Ardi ibarat pembuka untuk memasuki hamparan luas mafia migas dan energi. Dalam sidang dan putusan dua kawan karib itu pun terungkap ada bagi-bagi jatah di SKK Migas ke empat partai di Senayan. Ada partai merah, partai biru, kuning, dan hijau. Perusahaan yang dibawa politisi partai-partai tersebut digilir sebagai pemenang tender.
Dalam sidang terbuka lebar bahwa merah adalah PDIP, biru rujukan untuk Partai Demokrat, dan kuning adalah sebutan pengganti Partai Golkar. Sedangkan hijau belum terungkap. Siapa saja politisi partai-partai tersebut?
Dalam putusan Rudi dan Ardi juga tertuang bahwa selain ada pemberian tunjangan hari raya (THR) untuk Sutan Bhatoegana sebesar USD 200.000, masih ada upeti lain untuk seluruh komponen Komisi VIII DPR. Upeti USD 190.000 yang diberikan Rudi atas permintaan Waryono dari perintah Jero Wacik, yang sebagiannya yakni USD 140.000 diterima 4 pimpinan, 43 anggota, dan sekretariat Komisi VII melalui staf Ketua Komisi VII Sutan Bhatoegana, Iriyanto Muhyi pada 28 Mei 2013.
Uang 140.000 dibagi empat pimpinan Komisi VII, yakni ketua dan wakil ketua sebesar USD 7.500. Untuk 43 anggota Komisi VII masing-masing USD 2.500. Adapun untuk sekretariatnya sebesar USD 2.500. Uang dimasukkan dalam amplop dengan kode di ujungnya, P untuk pimpinan, A untuk anggota, dan S untuk sekretariat. Uang itu untuk kebutuhan pembahasan APBNP 2013 ESDM di DPR. Tanda terima uang dari ESDM yang ditandatangani Iryanto sudah di KPK. Hanya Jero dan Sutan kah tersangkanya?
Di sini-lah muncul istilah “buka gendang” dan “tutup gendang” saat JPU memutar rekaman pembicaraan antara Rudi dengan Galaila Karen Agustiawan yang saat itu menjabat Direktur Utama PT Pertamina Tbk. Uang buka gendang dari SKK Migas, tutup gendang dari Pertamina. Permintaan tutup gendang itu dilakukan Rudi atas perintah Jero Wacik. Karen emoh dengan perintah itu. Sampai akhirnya dia tidak memenuhinya.
Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Ardi dan Rudi ditambah kesaksian keduanya di persidangan pun terurai bahwa ada pemberian bukan hanya THR untuk Sutan atau upeti USD 140.000 untuk seluruh komponen Komisi VIII. Tersingkap jelas ada juga pemberian upeti untuk Badan Anggaran (Banggar) DPR. Rudi pernah memerintahkan Ardi membawa USD 42.000 ke Bogor saat rapat dengan Banggar, pada pertengahan 2013.
Upeti untuk Banggar makin kuat setelah Gerhard Marteen Rumesser menyampaikan kepada majelis hakim bahwa ada permintaan USD 1 juta dari anggota Banggar sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Jhonny Allen Marbun. Setelah dilakukan negosiasi panjang, kata Gerhard, disepakati yang akan diberikan hanya USD 500.00. Jhonny Allen sudah membantah. Selesai di sinikah kevalidannya? Seharusnya pun tidak.
Aliran upeti SKK Migas tak sampai di situ. Rudi menyatakan, sudah menjadi kebiasaan, adat istiadat, dan tradisi SKK Migas bahkan saat masih bernama BP Migas ada pemberian SKK Migas untuk pejabat lainnya. KPK dalam penggeledahan di kantor SKK Migas pada Kamis 15 Agustus 2013, penyidik menyita satu buah amplop yang berisi satu buat amplop yang dipojok kanan terdapat tulisan tangan untuk Direktur Hulu Migas ESDM. Di dalamnya, terdapat dua puluh (20) lembar uang nominal USD 100 dollar atau total USD 2.000.
20 lembar uang itu memiliki nomor seri berurutan dan tidak berurutan. Di antaranya, KB 52476067 C, KB 52476068 C, KB 52476069 C, KB 52476070 C, KB 69456982 I, KB 47976209 B, HB 81724003 N, HF 20805958 D, KF 21752905 B, dan KH 04004836 A. Ini mengingatkan kita dengan USD 200.000 yang disita KPK dari ruangan Waryono Karno. Waryono pun sudah tersangka.
Sebenarnya, yang menjadi sapi perah Kementerian ESDM bukan hanya SKK Migas dan Pertamina. Sejumlah lembaga bidang energi, pertambangan, dan migas yang berada di bawah pengawasan ESDM turut menjadi korban. Uang ada yang dipergunakan untuk di ESDM ada juga untuk anggota Komisi VII. Apalagi Komisi VII DPR memiliki tugas berkaitan dengan proses lifting minyak untuk dituangkan di APBN/P.
Tak sampai di situ saja. Kesaksian Ardi dalam BAP yang disampaikan dalam persidangan pun berusaha menyingkap rahasia dugaan keikutsertaan Istana, Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam, dan Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas, anak bungsu Presiden SBY.
Dalam kesaksiannya di hadapan majelis pelatih golf ini bahkan menyampaikan Widodo Ratanachaitong sebagai pengusaha migas punya hubungan dengan tiga pihak itu. Ini juga terekam dalam sadapan perbincangan telpon Widodo dengan Ardi. Dipo dan Ibas sudah membantah tidak terlibat dan tidak ada hubungan dengan Widodo.
Koordinator Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, masyarakat tentu mengapresiasi KPK atas penetapan Jero Wacik sebagai tersangka meski agak terlambat. Sebetulnya, ujarnya, banyak kalangan yang sudah memprediksi dan berharap bahwa Jero terlibat dan layak jadi tersangka dalam kasus-kasus di ESDM. Dia menilai kasus mark up dan pemerasan atau permintaan upeti adalah hal yang biasa saja dan wajar dilakukan di kementerian ini. Pasalnya, Kementerian ESDM bekerja dan berhubungan dengan bidang-bidang investasi dan pendapatan negara hingga ratusan triliun.
"Maka potensi-potensi untuk mendapatkan uang hasil pemerasan itu sangat besar. Nah, artinya wewenang yang dimiliki dalam hal perizinan, tender, menetapkan cost recovery, dan sebagainya, itu sangat terbuka," kata Marwan seperti dilansir KORAN SINDO, Senin (8/9/2014).
Kalau memang sudah ada target untuk mencapai angka tertentu dalam produksi energi yang disertai ada atensi (permintaan) ditambah dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) di tangan oknum- oknum yang tidak bertanggung jawab, lanjutnya, maka orientasinya adalah perburuan rente. Itulah yang pada akhirnya dilakukan Jero. Dia berharap kasus ini bisa dikembangkan pada bidang-bidang lain untuk kasus-kasus lain, serta siapa saja pihak yang terlibat. "Tidak hanya sekadar dari dana DOM ini," tandasnya.
Di sisi lain, UU Nomor 22/2001 tentang Migas pun membuka celah terjadi sogok menyogok. Dalam UU itu tertuang bahwa Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani oleh pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) atau perusahaan minyak harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR RI (Komisi VII). Kita tahu bahwa di SKK Migas saat ini ada 53 K3S yang terdaftar dan sering mengikuti rapat shipping coordination (shipcord) dengan SKK Migas dan PT Pertamina Persero. Urusannya tentu saja soal uang. Korupsi kebijakan dan suap ini mampukah bisa diungkap?
Itu baru bagian hulu dan ranah kebijakan saja yang terungkap, dan juga belum terungkap. Belum urusan hilir atau distriubusi migas. Kalau menyimak kasus dugaan suap Presiden Direktur Parna Raya Group dan PT Kaltim Parna Industri (KPI) Artha Meris Simbolon dan dihubungkan dengan sepak terjang Parna Raya Group di bidang hilir maka bisa jadi KPK akan mengungkap urusan hilir ini.
Anak perusahaan Parna Raya Group yakni PT Surya Parna Niaga (SPN) adalah distributor ratusan ribu bahan bakar minyak (BBM) solar bersubsidi kepada nelayan. Ini berdasarkan kesepakatan Badan Pangatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dengan PT SPN. KPK bisa masuk urusan hilir dari kesepakatan dan penyaluran BBM. Apalagi, bila mampu mengungkap sepak terjang Parna Raya Group dalam urusan hilir ini. Siapa tahu, dalam sidang Artha Meris yang rencananya minggu kedua September ini bisa mengungkap fakta baru.
Hingga kini urusan hilir ini tidak bisa dituding ada permainan mafia. Karena KPK dan penegak hukum lain belum mengungkap dan menemukan bukti terjadinya tindak pidana korupsi. Asas praduga tak bersalah mesti dikedepankan. Meski begitu, dalam sangkaan KPK dan putusan Rudi Ardi tertuang bahwa, anak perusahaan Parna Raya Group yakni PT KPI sudah terungkap menginginkan Rudi selaku Kepala SKK Migas mengeluarkan rekomendasi penurunan harga gas yang rencananya ditujukan ke Menteri ESDM. Ini bisa saja dijadikan patokan.
"Maka kasus SKK Migas, terkait Rudi Rubiandini kemudian ESDM dengan Pak
JW (Jero Wacik) yang terkahir dan sebelumnya juga, itu bagian-bagian
dari pengembangan penyelidikaan dan penyidikan yang kami letakan dalam
kesadaran dalam menelisik di manakah aspek-aspek struktural dari mafia
migas ini. Yang sejak dulu menjadi isu publik. Kasus
JW dengan irisan-irisan dan belahan-belahannya itu selalu dijadikan pola untuk mencari,
mengembangkan, mendalami di lubang-lubang mana punya aliran-aliran dan punya kaitan-kaitan. ... Nanti dari sidang itu terungkap," kata Wakil Ketua KPK M
Busyro Muqoddas, di Gedung KPK, Jumat (5/9/2014) malam.
Ya, sejumlah kalangan baik pengamat, pelaku, dan akademisi bidang energi jelas sudah mewanti-wanti masyarakat dunia sejak bertahun-tahun lamanya. Banyak negara kaya sumber daya alam, seperti minyak dan gas, acap kali mengeksploitasi dan mengeruk kekayaan tersebut hanya untuk memperkaya segelintir orang. Emas hitam yang mengepul menjadi kotoran setan ini pada ghalibnya membuat korupsi tumbuh subur dan salah kelola. Pada akhirnya mengakibatkan mayoritas penduduknya miskin. Serta, sering kali mengalami kelangkaan bahan bakar dan energi.
Mudah-mudahan pernyataan KPK baik dari pimpinan maupun juru bicaranya tidak sekedar ucapan. Publik tentu berharap kalimat, "Kasus SKK Migas dan ESDM masih dikembangkan. Jika ditemukan dua alat bukti permulaan yang cukup akan ditetapkan, siapapun. Catat !!!" dan "kasus SKK Migas bisa bongkar korupsi di bidang sumber daya alam dan energi" bukan tong kosong nyaring bunyinya.
Apalagi sumber daya alam dan energi masuk dalam bagian road map KPK 2011-2025 yang disusun saat pimpinan KPK Jilid III. Bidang ini masuk dalam national interest yang harus diselamatkan.
Mampukah KPK mengungkap semua yang tersisa di atas tadi? Layak ditunggu ketajaman pisau penyidikan lembaga antikorupsi tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar