Sabir Laluhu
Ranah pengadilan adalah kanvas suci bagi setiap para pencari keadilan dalam setiap objek. Ia bukan ajang penghakiman. Di tangan setiap hakim, narasi keadilan diharuskan untuk ditegakan. Pun begitu dalam gugatan praperadilan.
Hal
itulah yang juga dilakukan Komjen Pol Budi Gunawan dengan menggugat
praperadilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas penetapannya sebagai
tersangka dalam kapasitas jabatan Kepala Biro Pembinaan Karir (Karo Binkar)
Mabes Polri 2003-2006, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Hasilnya hakim tunggal Sarpin Rizaldi membatalkan penetapan KPK terhadap Budi
Gunawan sebagai tersangka, pada Senin 16 Februari 2015.
Banyak
pihak menilai, gelombang gugatan praperadilan akan dilakukan berbagai tersangka
korupsi baik yang ditangani KPK maupun penegak hukum lain. Dua tersangka KPK
sudah menyusul memasukan gugatan praperadilan ke PN Jaksel, mantan Menag
Suryadharma Ali dan mantan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana. Korelasi
permohonan Suryadharma dan Sutan di antaranya adalah penetapan keduanya sebagai
tersangka oleh KPK.
Di
bagian lain, di PN Purwokerto, Jawa Tengah, Hakim tunggal Kristanto Sahat
menolak gugatan praperadilan Mukti Ali,
tersangka kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial pengembangan sapi betina
Kementerian Pertanian di Desa Sumbang, Kabupaten Banyumas yang ditangani Polres
Banyumas. Putusan ini dibacakan Selasa, 10 Maret 2015 (Koran Sindo edisi
Rabu 11 Maret 2015).
PN
Jaksel sudah menunjuk hakim tunggal yang menangani gugatan Sutan yakni, Asiadi
Sembiring. Sedang untuk Suryadharma dipilih Tatik Hadiyanti. Menurut Humas PN
Jaksel I Made Sutrisna, sidang perdana praperadilan Sutan akan digelar Senin,
23 Maret 2015. Sementara untuk sidang perdana praperadilan Suryadharma belum
ditentukan jadwalnya. Sutrisna tidak mau berspekulasi kenapa dan apa alasan
Asiadi dan Titik yang dipilih.
“Penunjukan
hakim Asiadi Sembiring dan hakim Tatik Hadiyanti kewenangan Ketua PN
(Haswandi),” kata Sutrisna, Rabu (11/3/2015).
Jelang
sidang praperadilan itu, penulis coba menelusuri narasi penanganan perkara
hakim Asiadi dan Tatik. Ibarat seorang pelukis, rekam narasi kedua tertuang di
atas kanvas pengadilan. Mengingat sidang Sutan bakal digelar sekitar satu pekan
lagi. Penulis ingin lebih menggali rekam narasi Asiadi.
Syahdan,
tahun 2008 Asiadi Sembiring menggoreskan kiprahnya sebagai hakim Pengadilan
Negeri Ende, Nusa Tenggara Timur
sekaligus Wakil Ketua PN Ende hingga 20 Juni 2010. 21 Juni 2010, Asiadi
naik jabatan Ketua PN Ende sampai awal Oktober 2010. Kiprahnya kemudian
berlanjut di tanah Jawara. Tepatnya di PN Tangerang, Banten.
Mutasi
Asiadi ke PN Tangerang didasarkan Hasil Rapat Tim Promosi Mutasi (TPM) Hakim
oleh Mahkamah Agung (MA) tertanggal 19 Oktober 2010. Bahkan Asiadi sempat
dipercaya sebagai Humas PN Tangerang. Di sini, Asiadi bertahan hingga awal
September 2014. Empat tahun di situ, radar MA menangkap sinyal kuat karakter
Asiadi. Dari Hasil Rapat TPM Hakim pada 3 September 2014, Asiadi dimutasi ke PN
yang sangat populer, PN Jaksel.
Sebelum
semua itu, Asiadi lebih dulu berkiprah sebagai hakim PN Rantau Prapat, Sumatera
Utara pada 2001.
Penulis
akan mengurai hasil penelusuran sejumlah kasus yang pernah ditangani Asiadi.
Kita mulai dari Ende. Di daerah tempat Bung Karno menggali Pancasila ini, ada
dua kasus yang cukup menjadi sorotan.
Pertama,
suap pengurusan/pembahasan APBD Kabupaten Ende TA 2007. Pada Jumat 3 September
2010, selaku Ketua Majelis, Asiadi Sembiring yang dibantu hakim anggota Ronald
Masang dan AA Ngurah Budhi memvonis mantan Asisten 1 Sekretariat Daerah Ende
Hendrikus Seni dengan satu tahun penjara dan denda Rp60 juta subsider satu
bulan kurungan.
Kedua,
selaku ketua majelis hakim, Asiadi memvonis mantan Sekretaris KPUD Kabupaten
Kupang Elias Sing dengan pidana penjara satu tahun, denda Rp50 juta subsider
dua bulan, dan uang pengganti Rp3,75 juta, dalam korupsi dana pengadaan
logistik Pemilu 2004. Vonis ini disampaikan pada Senin, 6 April 2009, di PN
Kupang.
Di PN
Tangerang, sepakterjang Asiadi tidak main-main. Kasus yang ditanganinya mulai
dari pemakaian narkoba, sengketa tanah, penceraian, perbudakan, hingga gembong
narkoba. Publik tentu masih ingat dengan Pilot Lion Air saat itu M Nasri yang
kedapatan pesta sabu di atas udara.
Selaku
Ketua Majelis Hakim, Asiadi Sembiring memvonis Nasri 5 tahun penjara serta
denda Rp300 Juta pada akhir 2011, atas kepemilikan dan penggunaan sabu-sabu
serta empat butir ekstasi.
Yang
paling fenomenal tentu saat Asiadi bersama Ketua Majelis Hakim Yuningtyas Upiek
dengan anggota majelis Y Siahaan menangani perkara kepemilikan 358.000 butir
ekstasi dan 48,5 kg sabu-sabu dalam 7 buah koper gembong narkoba Kweh Teik
Choon, warga negara Malaysia, di PN Tangerang, 2012. Kweh Teik Choon divonis 20
tahun 11 September 2012. Tapi Asiadi bersamam dua hakim lainnya meloloskan Kweh dari tuntuan vonis mati.
Asiadi
pernah menangani kasus perceraian pasangan Legi Tjiptaadi (suami) versus Ida
Yantie Halim (istri) yang divonis, Januari 2013. Bagi civitas UIN Syarif
Hidayatullah, nama Asiadi mungkin tidak asing. Dia pernah menangani perkara
perdata dengan Perkara Nomor : 559/G/2013/PN. TGR terkait Sertifikat Hak Pakai
Nomor 19 Tahun 2011 atas nama Pemerintah RI Cq. Kementerian Agama di Pengadilan
Negeri (PN) Tangerang. Penggugatnya adalah Yayasan Perguruan Islam Triguna
Utama (YPITU), Nurdin Idris, dkk. Pihak tergugat dalam hal ini Kementerian
Agama & UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Duduk
sebagai hakim anggota, Asiadi bersama Ketua Majelis Hakim Rehmalem
Perangin-Anin dan Hakim Anggota Damanik pada
26 November 2013, memutus 4 hal. Pertama, mengabulkan gugatan penggugat
YPITU, Nurdin Idris, dkk. Kedua,
Sertifikat Hak Pakai Nomor 19 Tahun 2011 atas nama Pemerintah RI Cq.
Kementerian Agama tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Ketiga,
Kementerian Agama dan UIN Jakarta selaku tergugat diharuskan secara tanggung
renteng membayar kepada penguggat sebsar Rp200 juta. Keempat, tergugat juga harus
membayar kerugian materiil senilai Rp33,9 miliar. UIN Jakarta sempat
menenggarai ada aroma tidak sedap dalam putusan ini.
Nampaknya,
Asiadi memang akrab dengan sidang perkara narkoba. Selaku Ketua Majelis Hakim,
Asiadi Sembiring memvonis pemilik shabu lebih dari 5 gram Pissamay Chantanam,
perempuan warga negara Thailand, dengan penjara selama 9 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 2 bulan, pada
Senin, 10 Maret 2014. Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan JPU, 12 tahun
penjara dan denda Rp1 milyar subsider 4 bulan.
Tangan
dingin Asiadi tak berhenti di situ. Dia dipercayakan menangani pidana
perbudakan terhadap 62 buruh dengan terdakwa Yuki Irawan, pemilik sekaligus
pimpinan pabrik kuali. Selaku Ketua Majelis Asiadi Sembiring memvonis terdakwa
Yuki dengan pidana penjara selama 11 tahun ditambah denda sebesar Rp500 juta
subsidair 3 (tiga) bulan kurungan, Selasa, 25 Maret 2014.
Sayangnya,
majelis yang dipimpin Asiadi itu menolak tuntutan denda berupa pemberian
restitusi sebagai bentuk pemulihan hak-hak korban yang diajukan JPU sebesar
Rp.17.822.694.212. Vonis penjara dan denda itu jelas lebih ringan. Pasalnya,
JPU menuntut pidana penjara 13 tahun dan dendar berupa restitusi
Rp.17.822.694.212.
Kasus
perbudakan ini menjadi sorotan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (KontraS), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Kasus ini bisa dibilang sebagai puncak
narasi Asiadi di PN Tangerang.
Jadi,
tidak aneh memang, setelah dimutasi menjadi hakim PN Jaksel, Asiadi langsung
diserahkan sejumlah perkara untuk diadili. Kiprah Asiadi mulai menarik
perhatian di PN Jaksel saat menangani tindak pidana penipuan sebesar Rp53
miliar atas nama terdakwa Rusmadi Als Adiyansayah Bin Iwansyah (34). Sidang
perdana kasus ini berlangsung Januar 2015. Dalam kasus ini Asiadi, duduk
sebagai anggota majelis hakim dengan Ketua Majelis Hakim I Ketut Tirta dan
anggota majelis Yanto.
Berikutnya,
gugatan pembatalan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
No.548/XII/ARB.BANI/2013 terkait sengketa antara PT Truba Jaya Engineering
(anak usaha PT Truba Alam Manunggal Engineering Tbk) dengan PT Adhi Karya Tbk. Selaku Ketua majelis
hakim, Asiadi menolak permohonan PT Truba Jaya Engineering selaku pemohon untuk
seluruhnya, Senin (9/2/2015). Sengketa itu sendiri berkaitan dengan pengerjaan
proyek listrik milik PT PLN (Persero) di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.
Asiadi
kadung bersentuhan dengan penanganan perkara narkoba. Lepas dari PN Tangerang,
Asiadi dipercaya PN Jaksel menangani perkara kepemilikan/menguasai 13 Kg lebih
ganja kering terdakwa pasangan suami isteri (Pasutri) Achmad Hudayana als Bob
dan isterinya, Tuti Alawiyah als Titi bersama terdakwa Jainul Arifin als Jack.
Sidang perdana kasus ini dilaksanakan di PN Jaksel, Kamis, 5 Maret 2015.
Jejak
Asiadi sebelum berlabuh di PN Jaksel memang tidak asing. Humas PN Jaksel I Made
Sutrisna membenarkan, saat disinggung apakah Asiadi adalah mantan Ketua PN Ende
dan mantan hakim PN Tangerang sebelum dimutasi ke PN Jaksel. “Betul.”
Narasi
panjang penanganan perkara Asiadi berikutnya adalah menangani gugatan
praperadilan Sutan Bhatoegana vs KPK. Patut ditunggu apakah Asiadi akan
mengikuti jejak putusan Sarpin Rizaldi? Atau apakah akan menapaki jalan yang
diambil hakim Kristanto Sahat?. Dalam arti berbeda, apakah Asiadi akan
mengukuhkan PN Jaksel? Atau malah bercermin pada PN Purwokerto?
Kepala
Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha menyatakan, KPK akan
hadir dan menyiapkan argumentasi untuk menjawab gugatan praperadilan Sutan.
Proses penyidikan kasus suap dan/atau gratifikasi Sutan pun tetap berjalan.
Razman
Arif Nasution, kuasa hokum Sutan, pun menyatakan kesiapan yang sama. Bahkan
Sutan diagendakan memberikan keterangan dalam sidang guna menjelaskan semuanya
yang bisa mengabulkan gugatan.
Sekali
lagi, di tangan majelis hakim keadilan dipercayakan ada. Paling tidak dalam
memutus perkara di pengadilan. Memang bukan kebenaran dan keadilan absolut yang
ingin dicapai. Tapi, keadilan bagi para pencari keadilan yang tak tumpul ke
atas dan tajam ke bawah.
Sekedar
menjadi catatan, penulis ingin menghadirkan ke sidang pembaca sedikit tentang
bagaimana dengan ketaatan Asiadi Sembiring sebagai pegawai negeri atau
penyelenggara dalam pelaporan serta keterbukaan harta kekayaan.
Asiadi
tercatat pertama dan terakhir kalinya melaporkan harta kekayaannya pada 5 Juli
2001. Saat itu belum ada KPK, laporannya disampaikan ke Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKN). Dalam laporan tersebut, Asiadi tercatat
sebagai hakim PN Rantau Prapat. Total hartanya sebesar Rp261.336.348.Data ini
diakses dari laman Anti Corruption Clearing House (ACCH) KPK http://acch.kpk.go.id/aplikasi-lhkpn ,
Rabu, 11 Maret 2015. Bila melihat kurun pelaporan LHKPN tersebut, berarti
hingga Maret 2015 ini, Asiadi absen melaporkan hartanya selama 14 tahun.
Pada
edisi berikutnya, penulis akan menghadirkan tulisan terkait hakim tunggal
gugatan praperadilan Suryadharma Ali, Tatik Hadiyanti. Dia adalah mantan hakim
PN Jakarta Barat dan mantan Ketua PN Temanggung, Jawa Tengah. Untuk gambaran
awal, Tatik dikenal sebagai Srikandi yang "galak" dalam penanganan
perkara-perkara korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar