Senin, 16 Maret 2015

Narasi Perceraian, Tanah, Perbudakan, hingga Gembong Narkoba Hakim Asiadi Sembiring

Hakim Praperadilan Sutan Bhatoegana

Sabir Laluhu 

Ranah pengadilan adalah kanvas suci bagi setiap para pencari keadilan dalam setiap objek. Ia bukan ajang penghakiman. Di tangan setiap hakim, narasi keadilan diharuskan untuk ditegakan. Pun begitu dalam gugatan praperadilan.

Hal itulah yang juga dilakukan Komjen Pol Budi Gunawan dengan menggugat praperadilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas penetapannya sebagai tersangka dalam kapasitas jabatan Kepala Biro Pembinaan Karir (Karo Binkar) Mabes Polri 2003-2006, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Hasilnya hakim tunggal Sarpin Rizaldi membatalkan penetapan KPK terhadap Budi Gunawan sebagai tersangka, pada Senin 16 Februari 2015.

Banyak pihak menilai, gelombang gugatan praperadilan akan dilakukan berbagai tersangka korupsi baik yang ditangani KPK maupun penegak hukum lain. Dua tersangka KPK sudah menyusul memasukan gugatan praperadilan ke PN Jaksel, mantan Menag Suryadharma Ali dan mantan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana. Korelasi permohonan Suryadharma dan Sutan di antaranya adalah penetapan keduanya sebagai tersangka oleh KPK.

Di bagian lain, di PN Purwokerto, Jawa Tengah, Hakim tunggal Kristanto Sahat menolak gugatan praperadilan  Mukti Ali, tersangka kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial pengembangan sapi betina Kementerian Pertanian di Desa Sumbang, Kabupaten Banyumas yang ditangani Polres Banyumas. Putusan ini dibacakan Selasa, 10 Maret 2015 (Koran Sindo edisi Rabu 11 Maret 2015).

PN Jaksel sudah menunjuk hakim tunggal yang menangani gugatan Sutan yakni, Asiadi Sembiring. Sedang untuk Suryadharma dipilih Tatik Hadiyanti. Menurut Humas PN Jaksel I Made Sutrisna, sidang perdana praperadilan Sutan akan digelar Senin, 23 Maret 2015. Sementara untuk sidang perdana praperadilan Suryadharma belum ditentukan jadwalnya. Sutrisna tidak mau berspekulasi kenapa dan apa alasan Asiadi dan Titik yang dipilih.

“Penunjukan hakim Asiadi Sembiring dan hakim Tatik Hadiyanti kewenangan Ketua PN (Haswandi),” kata Sutrisna, Rabu (11/3/2015).

Jelang sidang praperadilan itu, penulis coba menelusuri narasi penanganan perkara hakim Asiadi dan Tatik. Ibarat seorang pelukis, rekam narasi kedua tertuang di atas kanvas pengadilan. Mengingat sidang Sutan bakal digelar sekitar satu pekan lagi. Penulis ingin lebih menggali rekam narasi Asiadi.

Syahdan, tahun 2008 Asiadi Sembiring menggoreskan kiprahnya sebagai hakim Pengadilan Negeri Ende, Nusa Tenggara Timur  sekaligus Wakil Ketua PN Ende hingga 20 Juni 2010. 21 Juni 2010, Asiadi naik jabatan Ketua PN Ende sampai awal Oktober 2010. Kiprahnya kemudian berlanjut di tanah Jawara. Tepatnya di PN Tangerang, Banten.

Mutasi Asiadi ke PN Tangerang didasarkan Hasil Rapat Tim Promosi Mutasi (TPM) Hakim oleh Mahkamah Agung (MA) tertanggal 19 Oktober 2010. Bahkan Asiadi sempat dipercaya sebagai Humas PN Tangerang. Di sini, Asiadi bertahan hingga awal September 2014. Empat tahun di situ, radar MA menangkap sinyal kuat karakter Asiadi. Dari Hasil Rapat TPM Hakim pada 3 September 2014, Asiadi dimutasi ke PN yang sangat populer, PN Jaksel.

Sebelum semua itu, Asiadi lebih dulu berkiprah sebagai hakim PN Rantau Prapat, Sumatera Utara pada 2001.

Penulis akan mengurai hasil penelusuran sejumlah kasus yang pernah ditangani Asiadi. Kita mulai dari Ende. Di daerah tempat Bung Karno menggali Pancasila ini, ada dua kasus yang cukup menjadi sorotan.

Pertama, suap pengurusan/pembahasan APBD Kabupaten Ende TA 2007. Pada Jumat 3 September 2010, selaku Ketua Majelis, Asiadi Sembiring yang dibantu hakim anggota Ronald Masang dan AA Ngurah Budhi memvonis mantan Asisten 1 Sekretariat Daerah Ende Hendrikus Seni dengan satu tahun penjara dan denda Rp60 juta subsider satu bulan kurungan.

Kedua, selaku ketua majelis hakim, Asiadi memvonis mantan Sekretaris KPUD Kabupaten Kupang Elias Sing dengan pidana penjara satu tahun, denda Rp50 juta subsider dua bulan, dan uang pengganti Rp3,75 juta, dalam korupsi dana pengadaan logistik Pemilu 2004. Vonis ini disampaikan pada Senin, 6 April 2009, di PN Kupang.

Di PN Tangerang, sepakterjang Asiadi tidak main-main. Kasus yang ditanganinya mulai dari pemakaian narkoba, sengketa tanah, penceraian, perbudakan, hingga gembong narkoba. Publik tentu masih ingat dengan Pilot Lion Air saat itu M Nasri yang kedapatan pesta sabu di atas udara.

Selaku Ketua Majelis Hakim, Asiadi Sembiring memvonis Nasri 5 tahun penjara serta denda Rp300 Juta pada akhir 2011, atas kepemilikan dan penggunaan sabu-sabu serta empat butir ekstasi.

Yang paling fenomenal tentu saat Asiadi bersama Ketua Majelis Hakim Yuningtyas Upiek dengan anggota majelis Y Siahaan menangani perkara kepemilikan 358.000 butir ekstasi dan 48,5 kg sabu-sabu dalam 7 buah koper gembong narkoba Kweh Teik Choon, warga negara Malaysia, di PN Tangerang, 2012. Kweh Teik Choon divonis 20 tahun 11 September 2012. Tapi Asiadi bersamam dua hakim lainnya  meloloskan Kweh dari tuntuan vonis mati.

Asiadi pernah menangani kasus perceraian pasangan Legi Tjiptaadi (suami) versus Ida Yantie Halim (istri) yang divonis, Januari 2013. Bagi civitas UIN Syarif Hidayatullah, nama Asiadi mungkin tidak asing. Dia pernah menangani perkara perdata dengan Perkara Nomor : 559/G/2013/PN. TGR terkait Sertifikat Hak Pakai Nomor 19 Tahun 2011 atas nama Pemerintah RI Cq. Kementerian Agama di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Penggugatnya adalah Yayasan Perguruan Islam Triguna Utama (YPITU), Nurdin Idris, dkk. Pihak tergugat dalam hal ini Kementerian Agama & UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Duduk sebagai hakim anggota, Asiadi bersama Ketua Majelis Hakim Rehmalem Perangin-Anin dan Hakim Anggota Damanik pada  26 November 2013, memutus 4 hal. Pertama, mengabulkan gugatan penggugat YPITU, Nurdin Idris, dkk. Kedua,  Sertifikat Hak Pakai Nomor 19 Tahun 2011 atas nama Pemerintah RI Cq. Kementerian Agama tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Ketiga, Kementerian Agama dan UIN Jakarta selaku tergugat diharuskan secara tanggung renteng membayar kepada penguggat sebsar Rp200 juta. Keempat, tergugat juga harus membayar kerugian materiil senilai Rp33,9 miliar. UIN Jakarta sempat menenggarai ada aroma tidak sedap dalam putusan ini.

Nampaknya, Asiadi memang akrab dengan sidang perkara narkoba. Selaku Ketua Majelis Hakim, Asiadi Sem­biring memvonis pemilik shabu lebih dari 5 gram Pissamay Chan­tanam, perempuan warga negara Thailand, dengan penjara selama 9 tahun  dan denda Rp1 miliar subsider 2 bulan, pada Senin, 10 Maret 2014. Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan JPU, 12 tahun penjara dan denda Rp1 milyar subsider 4 bu­lan.

Tangan dingin Asiadi tak berhenti di situ. Dia dipercayakan menangani pidana perbudakan terhadap 62 buruh dengan terdakwa Yuki Irawan, pemilik sekaligus pimpinan pabrik kuali. Selaku Ketua Majelis Asiadi Sembiring memvonis terdakwa Yuki dengan pidana penjara selama 11 tahun ditambah denda sebesar Rp500 juta subsidair 3 (tiga) bulan kurungan, Selasa, 25 Maret 2014.

Sayangnya, majelis yang dipimpin Asiadi itu menolak tuntutan denda berupa pemberian restitusi sebagai bentuk pemulihan hak-hak korban yang diajukan JPU sebesar Rp.17.822.694.212. Vonis penjara dan denda itu jelas lebih ringan. Pasalnya, JPU menuntut pidana penjara 13 tahun dan dendar berupa restitusi Rp.17.822.694.212.

Kasus perbudakan ini menjadi sorotan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Kasus ini bisa dibilang sebagai puncak narasi Asiadi di PN Tangerang.

Jadi, tidak aneh memang, setelah dimutasi menjadi hakim PN Jaksel, Asiadi langsung diserahkan sejumlah perkara untuk diadili. Kiprah Asiadi mulai menarik perhatian di PN Jaksel saat menangani tindak pidana penipuan sebesar Rp53 miliar atas nama terdakwa Rusmadi Als Adiyansayah Bin Iwansyah (34). Sidang perdana kasus ini berlangsung Januar 2015. Dalam kasus ini Asiadi, duduk sebagai anggota majelis hakim dengan Ketua Majelis Hakim I Ketut Tirta dan anggota majelis Yanto.

Berikutnya, gugatan pembatalan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) No.548/XII/ARB.BANI/2013 terkait sengketa antara PT Truba Jaya Engineering (anak usaha PT Truba Alam Manunggal Engineering Tbk) dengan  PT Adhi Karya Tbk. Selaku Ketua majelis hakim, Asiadi menolak permohonan PT Truba Jaya Engineering selaku pemohon untuk seluruhnya, Senin (9/2/2015). Sengketa itu sendiri berkaitan dengan pengerjaan proyek listrik milik PT PLN (Persero) di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.

Asiadi kadung bersentuhan dengan penanganan perkara narkoba. Lepas dari PN Tangerang, Asiadi dipercaya PN Jaksel menangani perkara kepemilikan/menguasai 13 Kg lebih ganja kering terdakwa pasangan suami isteri (Pasutri) Achmad Hudayana als Bob dan isterinya, Tuti Alawiyah als Titi bersama terdakwa Jainul Arifin als Jack. Sidang perdana kasus ini dilaksanakan di PN Jaksel, Kamis, 5 Maret 2015.

Jejak Asiadi sebelum berlabuh di PN Jaksel memang tidak asing. Humas PN Jaksel I Made Sutrisna membenarkan, saat disinggung apakah Asiadi adalah mantan Ketua PN Ende dan mantan hakim PN Tangerang sebelum dimutasi ke PN Jaksel. “Betul.”

Narasi panjang penanganan perkara Asiadi berikutnya adalah menangani gugatan praperadilan Sutan Bhatoegana vs KPK. Patut ditunggu apakah Asiadi akan mengikuti jejak putusan Sarpin Rizaldi? Atau apakah akan menapaki jalan yang diambil hakim Kristanto Sahat?. Dalam arti berbeda, apakah Asiadi akan mengukuhkan PN Jaksel? Atau malah bercermin pada PN Purwokerto?

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha menyatakan, KPK akan hadir dan menyiapkan argumentasi untuk menjawab gugatan praperadilan Sutan. Proses penyidikan kasus suap dan/atau gratifikasi Sutan pun tetap berjalan.

Razman Arif Nasution, kuasa hokum Sutan, pun menyatakan kesiapan yang sama. Bahkan Sutan diagendakan memberikan keterangan dalam sidang guna menjelaskan semuanya yang bisa mengabulkan gugatan.

Sekali lagi, di tangan majelis hakim keadilan dipercayakan ada. Paling tidak dalam memutus perkara di pengadilan. Memang bukan kebenaran dan keadilan absolut yang ingin dicapai. Tapi, keadilan bagi para pencari keadilan yang tak tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Sekedar menjadi catatan, penulis ingin menghadirkan ke sidang pembaca sedikit tentang bagaimana dengan ketaatan Asiadi Sembiring sebagai pegawai negeri atau penyelenggara dalam pelaporan serta keterbukaan harta kekayaan.

Asiadi tercatat pertama dan terakhir kalinya melaporkan harta kekayaannya pada 5 Juli 2001. Saat itu belum ada KPK, laporannya disampaikan ke Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKN). Dalam laporan tersebut, Asiadi tercatat sebagai hakim PN Rantau Prapat. Total hartanya sebesar Rp261.336.348.Data ini diakses dari laman Anti Corruption Clearing House (ACCH) KPK http://acch.kpk.go.id/aplikasi-lhkpn , Rabu, 11 Maret 2015. Bila melihat kurun pelaporan LHKPN tersebut, berarti hingga Maret 2015 ini, Asiadi absen melaporkan hartanya selama 14 tahun.

Pada edisi berikutnya, penulis akan menghadirkan tulisan terkait hakim tunggal gugatan praperadilan Suryadharma Ali, Tatik Hadiyanti. Dia adalah mantan hakim PN Jakarta Barat dan mantan Ketua PN Temanggung, Jawa Tengah. Untuk gambaran awal, Tatik dikenal sebagai Srikandi yang "galak" dalam penanganan perkara-perkara korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar