Hakim Praperadilan Suryadharma Ali
Sabir Laluhu
Gelombang praperadilan para tersangka khususnya kasus korupsi pasca putusan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan sudah tak terelakan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merasakan efeknya.
Sabir Laluhu
Gelombang praperadilan para tersangka khususnya kasus korupsi pasca putusan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan sudah tak terelakan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merasakan efeknya.
Tiga
tersangka yang mereka tetapkan, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali,
mantan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana, dan mantan Direktur
Jenderal (Dirjen) Pajak sekaligus mantan Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) Hadi Poernomo menapaki langkah Budi Gunawan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Titik pijak gugatan,
dua di antaranya ada pada penetapan tersangka dan lamanya penanganan
kasus oleh KPK.
Keputusan sudah bulat. Ketua PN Jaksel Haswandi menunjuk Tatik Hadiyanti selaku hakim tunggal gugatan praperadilan Suryadharma Ali. Padahal sebelumnya PN Jaksel menunjuk hakim Martin Ponto Bidara. Meski begitu jadwal sidang perdananya masih belum diketahui.
"Untuk SDA (Suryadharma Ali) belum ada data saya (jadwal sidang perdana). Penunjukan hakim kewenangan ketua PN," kata Humas PN Jaksel I Made Sutrisna, Rabu (11/3/2015).
Made Sutrisna menambahkan, selain Suryadharma dan Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana, ada gugatan praperadilan dari tersangka KPK lainnya. Senin (16/3/2015), Hadi Poernomo sudah memasukan gugatan. Sidang perdana Sutan bakal digelar Senin (23/3/2015).
"Benar (Hadi Poernomo sudah mengajukan gugatan praperadilan), tapi belum ditunjuk hakimnya jadi belum tahu kapan sidangnya," ujar Sutrisna, Senin (16/3/2015).
Sementara Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha menuturkan, pihaknya sudah menerima panggilan dari PN Jaksel untuk sidang praperadilan Sutan dan Suryadharma. Untuk Hadi belum ada.
"Informasi yang masuk ke Biro Hukum ada panggilan untuk mengikuti sidang praperadilan atas nama SDA tanggal 30 maret," ujar Priharsa, Selasa (17/3/2015).
Lalu, siapa sebenarnya Tatik Hadiyanti? Bagaimana kiprahnya di dunia peradilan Indonesia? Sedikit gambaran, Tatik adalah mantan hakim PN Jakarta Barat sekaligus mantan Ketua PN Klaten, Jawa Tengah. Made Sutrisna yang dikonfirmasi membenarkan hal tersebut. "Betul."
Nama Tatik Hadiyanti mulai menyita perhatian kala bertugas lebih dari tiga tahun sebagai hakim, Wakil Ketua PN Temanggung, dan Ketua PN Temanggung. Menangani kasus korupsi dana bantuan pendidikan sebesar Rp1,72 miliar untuk putra-putri anggota DPRD Temanggung tahun 2014, Tatik tak ragu memvonis Wakil Ketua DPRD Kabupaten Temanggung periode 1999-2004, Fatahilah Azzainy.
Rabu, 26 November 2009, Tatik Hadiyanti yang memimpin sidang menghukum Fatahilah 1 tahun 4 bulan, denda sebesar Rp50 juta subsider satu bulan kurungan penjara, dan membayar uang pengganti dana pendidikan APBD sebesar Rp37 juta.
Tatik memang patut diperhitungkan. Namanya kian dibicarakan publik kala memimpin sidang kasus pidana terorisme jaringan Nurdin M Top, Aris Makruf, warga Dusun Lembujati, Desa Banaran, Kecamatan Gemawang Kabupaten Temanggung. Tatik selaku ketua majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara selama tiga tahun kepada Aris Ma'ruf, di PN Temanggung, 15 Juli 2010.
Semasa di PN Temanggung, Tatik tercatat mengikuti seleksi pelatihan hakim dalam perkara korupi Angkatan IX, 2010 untuk hakim tingkat pertama. Dia dinyatakan lulus. Tak bertahan lama di Jawa Tengah, Tatik ditarik ke Ibu Kota. Berdasarkan hasil rapat Tim Promosi Mutasi (TPM) Hakim Mahkamah Agung (MA) 19 Oktober 2010, Tatik menuju PN Jakarta Barat.
Berkarir di PN Jakbar, kiprahnya kian cemerlang. Pasalnya acapkali Tatik dipercaya menangani perkara-perkara korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta. Di luar kasus korupsi, Tatik juga menangani beberapa kasus di PN Jakbar mulai dari pengguna narkoba hingga penganiayaan.
Ada tiga kasus di PN Jakbar yang coba penulis hadirkan kepada sidang pembaca. Pertama, perkara penyaluran sekaligus penjualan 13 paket kecil heroin Rusni alias Oni, warga Tomang, Jakbar yang dihukum penjara selama 5 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 2 bulan. Amar putusan dibacakan Rabu, 22 Juni 2011 oleh Ketua Majelis Brahma bersama anggota Tatik dan Rifandaru E Setiawan.
Kedua, Tatik sebagai Ketua Majelis Hakim bersama anggota Brahmana dan Rifandaru E Setiawan menangani perkara penganiayaan terdakwa Muhammad Budiatin bin Entong Jiran, warga Pesing, Jakbar. Tatik memvonis Budiatin dengan pidana penjara 10 bulan pada Senin, 15 Agustus 2011.
Ketiga, selaku Ketua majelis hakim, Tatik bersama anggota Brahmana dan Rifandaru E Setiawan menghukum Zaky Syamlan, kondektur, warga negara Indonesia, pemakai shabu-shabu dengan pidana penjara selama 1 tahun, di PN Jakbar, Senin, 20 Februari 2012.
Dalam perkara-perkara korupsi, Tatik mengadili para pelakon mulai dari anggota DPR, mantan direktur jenderal (dirjen), aktor film, bupati, hingga pengusaha penyuap mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Jangan tanya kemampuannya memimpin sidang. Selama meliput di Pengadilan Tipikor, Jakarta, penulis menyaksikan, Tatik terlihat lugas, tegas, dan cerdas menggali fakta. Jangan juga tanya soal saksi yang mencoba berbohong kala dipimpin Tatik. Dia jago membaca psikologi saksi dan terdakwa. Mendapati saksi berbohong, Tatik tak segan-segan memerintahkan jaksa mentersangkakan saksi tersebut.
Mari kita mulai dari suap Rp1 miliar yang diterima mantan anggota DPR dari Fraksi PPP Sofyan Usman dari pemerintah Otorita Batam yang kala itu dipimpin Ismeth Abdullah terkait pembahasan anggaran untuk Otorita Batam dalam APBN-Perubahan 2004 dan 2005.
Duduk sebagai Ketua Majelis Hakim, Tatik memvonis Sofyan dengan pidana 1 tahun 2 bulan penjara disertai denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan. Amar putusan Sofyan dibacakan di Pengadilan Tipikor, Kamis, 5 Januari 2012.
Tatik selaku hakim anggota turut menangani sidang perkara korupsi pengadaan mesin jahit dan impor sapi dari Australia, Departemen Sosial (Depsos), 2004 dengan terdakwa mantan Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Demokrat dan mantan Dirjen Bantuan Jaminan Sosial Depsos Amrun Daulay. Dalam perkara ini, majelis menghukum Amrun dengan 17 bulan penjara dan denda Rp50juta subsidair tiga bulan kurungan di Pengadilan Tipikor, Kamis, 12 Januari 2012.
Selaku Ketua majelis hakim, Tatik menghukum aktor era tahun 1980-an, Herman Felani dengan pidana penjara selama 4 tahun, denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan, dan ditambah uang pengganti senilai Rp1,3 miliar atau penjara selama 1 tahun, di Pengadilan Tipikor, Selasa, 17 April 2012.
Herman dinilai terbukti melakukan korupsi dalam tiga proyek pengadaan di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2007. Pertama, pengadaan jasa filler hukum pada Biro Hukum Setda Provinsi DKI Jakarta yang bersumber APBD tahun 2007.
Kedua, proyek pemeliharaan dan operasional sarana dan prasarana serta penatausahaan berkaitan dengan sosialisasi lingkungan hidup pada Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta yang bersumber dari APBD tahun 2007.
Ketiga, proyek terkait produksi dan Penayangan Iklan Layanan Masyarakat (PSA) dalam rangka sosialisasi urbanisasi melalui media elektronik pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta yang bersumber dari APBD 2007.
Berikutnya, suap pengurusan Dana Penyesuaian Infrasturktur Daerah (DPID) 2011 dan TPPU mantan anggota Banggar DPR Fraksi PAN Wa Ode Nurhayati. Tatik menjadi anggota majelis hakim dalam sidang yang dipimpin Suhartoyo. Wa Ode dikenakan pidana 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Putusan ini lebih rendah dari tuntutan JPU, penjara selama 14 tahun untuk dua perbuatan pidana. Amar putusan dibacakan di Pengadilan Tipikor, Kamis, 18 Oktober 2012.
TPPU Wa Ode merupakan kasus TPPU pertama yang ditangani KPK yang divonis di pengadilan. Meski menjadi hakim anggota, Tatik mampu menggali fakta dari keterangan saksi dan bukti-bukti tanpa celah. Hasilnya, uang TPPU Wa Ode berjumlah Rp50,5 miliar disita untuk negara.
Dalam sidang Wa Ode, majelis memerintahkan JPU pada KPK mentersangkakan Wakil Sekjen Bidang Organisasi MKGR (organisasi sayap Partai Golkar) Haris Andi Surrahman yang kerap berbohong dalam kesaksiannya. Haris selaku perantara suap sudah divonis dua tahun penjara.
Publik pasti masih ingat kasus suap pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantations/PT Cipta Cakra Mandiri (CCM) - perusahaan milik Siti Haratati Murdaya - di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Dalam perkara ini dengan terdakwa Amran Batalipu selaku Bupati Buol saat itu, Tatik berposisi sebagai hakim anggota dalam sidang yang dipimpin Gusrizal Lubis.
Majelis memutus Amran terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap Rp3 miliar dari Siti Hartati Murdaya. Amran dihukum penjara selama 7 tahun 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp300 juta subsider kurungan selama 6 bulan, Senin, 11 Februari 2013.
Pada sidang dengan terdakwa Hartati, Tatik juga didapuk sebagai hakim anggota bersama ketua Gusrizal. Dalam persidangannya, Hartati mengaku sebagai korban dari anak buahnya, Totok Lestiyo dan Arim. Hartati berkilah uang Rp3 miliar bukan suap untuk pengurusan HGU tapi sumbangan pilkada yang diminta Amran.
Saat sidang Hartati, tim penasihat hukumnya menghadirkan Yusril Ihza Mahendra sebagai ahli. Tatik tanpa canggung mengutarakan pertanyaan kepada Yusril yang bergelar profesor apakah sumbangan pilkada bisa dibawa ke ranah pidana. Yusril menjawab uang yang diterima Amran jika dinyatakan sebagai sumbangan dalam pilkada maka itu harus diselesaikan dalam ranah pemilu, bukan ranah pidana.
Toh pada akhirnya, Hartati - pemilik PT Jakarta International Expo (JIExpo) sekaligus istri dari Murdaya Poo - dijatuhi vonis 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp150 juta subsider kurungan 3 bulan penjara, Senin, 4 Februari 2013. Hartati kini sudah menghirup udara segar setelah menerima pembebasan bersyarat pada September 2014.
Tatik adalah pembuat sejarah selama kasus korupsi disidangkan di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Saat menangani kasus korupsi pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) tahun anggaran 2008 dengan terdakwa Neneng Sri Wahyuni, Tatik menjatuhkan putusan tanpa kehadiran Neneng. Ini pertama kalinya seorang terdakwa divonis in absentia.
Duduk sebagai Ketua Majelis Hakim, Tatik menghukum Neneng dengan 6 tahun penjara, denda Rp300 juta subsider kurungan 6 bulan, dan mengembalikan uang kerugian negara Rp800 juta subsider 1 tahun kurungan, Kamis, 14 Maret 2013. Neneng merupakan Direktur Keuangan Permai Group sekaligus istri M Nazaruddin.
Selama memimpin sidang Neneng, Tatik tegas tanpa kompromi. Tatik tak segan memperingatkan saksi-saksi agar jujur dan terbuka. Direktur PT Mahkota Negara Marisi Matondang kena batunya. Dalam sidang Kamis, 6 Desember 2012, Tatik memerintahkan JPU pada KPK segera menetapkan Marisi yang acap kali berbohong, untuk dijadikan tersangka. Marisi kini tersangka di KPK terkait kasus dugaan korupsi alkes Universitas Udayana tahun anggaran 2009.
Masih duduk sebagai ketua majelis hakim, Tatik memegang perkara Jaksa Sultoni, sang pemalsu vonis terdakwa Sugianto yang terlibat kasus narkoba dari hukuman 10 tahun penjara menjadi 3 tahun penjara. Tatik menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan didenda Rp50 juta subsider kurungan dua bulan kepada Sultoni. Vonis yang dibacakan Kamis, 2 Mei 2013 ini lebih ringan dari tuntutan jaksa, pidana penjara 2 tahun dan denda Rp50 juta subsider dua bulan kurungan.
Publik pun tentu masih ingat sepakterjang Tatik waktu menangani kasus suap pengurusan tender minyak mentah, kondesat, dan gas di SKK Migas. Tatik diamanahkan sebagai Ketua Majelis Hakim untuk perkara Komisaris PT Kernel Oil Private Limited (KOPL) Indonesia Simon Gunawan Tanjaya penyuap Rudi Rubiandini. Patut menjadi catatan adalah, di sidang ini turut bersaksi Rudi dan Deviardi alias Ardi (perantara Rudi). Dengan telaten Tatik bersama majelis hakim lainnya dan JPU mengurai kasus Simon.
Sebagai contoh. Saat Ardi bersaksi, Tatik menanyakan kepada Ardi soal kedekatan Direktur KOPL Singapura Widodo Ratanachaitong (penyuap Rudi) dengan sejumlah pihak termasuk Istana, Edhi Baskoro Yudhoyono alias Ibas, dan Sekretaris Kabinet saat itu Dipo Alam. "Saudara saksi Deviardi, dalam BAP saudara menyebutkan bahwa benar berhubungan dengan Widodo Cumlaude di Australia dan punya tujuh perusahaan itu punya kedekatan dan jaringan ke Istana, Ibas, DPR, dan ke Dipo Alam. Apa benar demikian. Itu disampaikan Widodo kapan dan di mana?," tanya Tatik.
Ardi membenarkan bahwa Widodo pernah menyatakan hal tersebut. Dalam BAP itu Ardi menyebutkan Widodo pernah menelponnya dan menyampaikan soal kedekatan dan jaringannya itu seperti dalam rekaman sadapan KPK tertanggal 24 Juni 2013 pada pukul 21.03 WIB dengan durasi pembicaraan selama sekitar 15 menit. Tapi kata dia bukan hanya saat menghubungi melalui telpon. Widodo bahkan pernah menyampaikan langsung saat pertemuannya di Singapura pada April 2013.
Simon akhirnya divonis 3 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan. Simon terbukti menyuap Rudi Rubiandini sebesar USD700.000 atas perintah Widodo Ratanachaitong, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 19 Desember 2013. Widodo juga disebutkan memberi suap kepada Rudi sebesar SGD200.000 dan USD200.000 tanpa melalui Simon.
Kasus Simon Gunawan Tanjaya menjadi kasus korupsi terakhir yang ditangani Tatik di Pengadilan Tipikor, Jakarta kala berkarir sebagai hakim PN Jakbar. Usai malang melintang di PN Jakbar, nasib mutasi berkata lain. Berdasarkan hasil rapat TPM MA tertanggal 4 Desember 2013, Tatik dipromosikan menjadi Ketua PN Klaten, Jawa Tengah. Belum genap setahun, pada 28 November 2014, Tatik dimutasi lagi menjadi hakim PN Jaksel.
Potret penangan kasus-kasus oleh Tatik tadi perlu diungkapkan kepada publik guna melihat potensi penanganan gugatan praperadilan Suryadharma Ali. Goresan tersebut pada ghalibnya menjadi gambaran bagaimana Tatik menilai penetapan tersangka, proses penyidikan KPK, status seseorang masuk kualifikasi penyelenggara negara atau tidak, subtansi perkara, dan pembuktiannya. Karena sebagian besar kasus korupsi yang ditangani Tatik di Pengadilan Tipikor, Jakarta merupakan hasil pengusutan KPK.
Sebagai seorang hakim kiprah Tatik tak perlu diragukan. Namun pada sisi berbeda, perlu juga menjadi catatan yakni soal penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Tatik ke KPK. Dari lembaran LHKPN yang dilansir KPK dalam Anti Corruption Clearing House (ACCH) KPK http://acch.kpk.go.id/aplikasi-lhkpn, tertuang Tatik dua kali melapor. Penulis mengaksesnya Rabu (11/3/2015).
Terakhir kali laporan disampaikan Tatik kala berstatus sebagai hakim/Wakil Ketua PN Temanggung. Dalam laporan tertanggal 27 Maret 2009, total harta kekayaannya Rp360.490.951. Ini meningkat tiga kali lipat dari laporan enam tahun sebelumnya (2003) sebesar Rp95,6 juta. Dari laporan terakhir tadi bisa disimpulkan, Tatik absen melaporkan LHKPN selama 6 tahun.
Lebih dari itu, penulis tak ingin mendahului pengadilan menyimpulkan bagaimana keberlangsungan persidangan dan putusan praperadilan Suryadharma. Karena, di tangan setiap hakim kebenaran atas keadilan yang diyakini tentu diputus berdasarkan kewenangan dan independensinya. Semoga!
Keputusan sudah bulat. Ketua PN Jaksel Haswandi menunjuk Tatik Hadiyanti selaku hakim tunggal gugatan praperadilan Suryadharma Ali. Padahal sebelumnya PN Jaksel menunjuk hakim Martin Ponto Bidara. Meski begitu jadwal sidang perdananya masih belum diketahui.
"Untuk SDA (Suryadharma Ali) belum ada data saya (jadwal sidang perdana). Penunjukan hakim kewenangan ketua PN," kata Humas PN Jaksel I Made Sutrisna, Rabu (11/3/2015).
Made Sutrisna menambahkan, selain Suryadharma dan Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana, ada gugatan praperadilan dari tersangka KPK lainnya. Senin (16/3/2015), Hadi Poernomo sudah memasukan gugatan. Sidang perdana Sutan bakal digelar Senin (23/3/2015).
"Benar (Hadi Poernomo sudah mengajukan gugatan praperadilan), tapi belum ditunjuk hakimnya jadi belum tahu kapan sidangnya," ujar Sutrisna, Senin (16/3/2015).
Sementara Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha menuturkan, pihaknya sudah menerima panggilan dari PN Jaksel untuk sidang praperadilan Sutan dan Suryadharma. Untuk Hadi belum ada.
"Informasi yang masuk ke Biro Hukum ada panggilan untuk mengikuti sidang praperadilan atas nama SDA tanggal 30 maret," ujar Priharsa, Selasa (17/3/2015).
Lalu, siapa sebenarnya Tatik Hadiyanti? Bagaimana kiprahnya di dunia peradilan Indonesia? Sedikit gambaran, Tatik adalah mantan hakim PN Jakarta Barat sekaligus mantan Ketua PN Klaten, Jawa Tengah. Made Sutrisna yang dikonfirmasi membenarkan hal tersebut. "Betul."
Nama Tatik Hadiyanti mulai menyita perhatian kala bertugas lebih dari tiga tahun sebagai hakim, Wakil Ketua PN Temanggung, dan Ketua PN Temanggung. Menangani kasus korupsi dana bantuan pendidikan sebesar Rp1,72 miliar untuk putra-putri anggota DPRD Temanggung tahun 2014, Tatik tak ragu memvonis Wakil Ketua DPRD Kabupaten Temanggung periode 1999-2004, Fatahilah Azzainy.
Rabu, 26 November 2009, Tatik Hadiyanti yang memimpin sidang menghukum Fatahilah 1 tahun 4 bulan, denda sebesar Rp50 juta subsider satu bulan kurungan penjara, dan membayar uang pengganti dana pendidikan APBD sebesar Rp37 juta.
Tatik memang patut diperhitungkan. Namanya kian dibicarakan publik kala memimpin sidang kasus pidana terorisme jaringan Nurdin M Top, Aris Makruf, warga Dusun Lembujati, Desa Banaran, Kecamatan Gemawang Kabupaten Temanggung. Tatik selaku ketua majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara selama tiga tahun kepada Aris Ma'ruf, di PN Temanggung, 15 Juli 2010.
Semasa di PN Temanggung, Tatik tercatat mengikuti seleksi pelatihan hakim dalam perkara korupi Angkatan IX, 2010 untuk hakim tingkat pertama. Dia dinyatakan lulus. Tak bertahan lama di Jawa Tengah, Tatik ditarik ke Ibu Kota. Berdasarkan hasil rapat Tim Promosi Mutasi (TPM) Hakim Mahkamah Agung (MA) 19 Oktober 2010, Tatik menuju PN Jakarta Barat.
Berkarir di PN Jakbar, kiprahnya kian cemerlang. Pasalnya acapkali Tatik dipercaya menangani perkara-perkara korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta. Di luar kasus korupsi, Tatik juga menangani beberapa kasus di PN Jakbar mulai dari pengguna narkoba hingga penganiayaan.
Ada tiga kasus di PN Jakbar yang coba penulis hadirkan kepada sidang pembaca. Pertama, perkara penyaluran sekaligus penjualan 13 paket kecil heroin Rusni alias Oni, warga Tomang, Jakbar yang dihukum penjara selama 5 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 2 bulan. Amar putusan dibacakan Rabu, 22 Juni 2011 oleh Ketua Majelis Brahma bersama anggota Tatik dan Rifandaru E Setiawan.
Kedua, Tatik sebagai Ketua Majelis Hakim bersama anggota Brahmana dan Rifandaru E Setiawan menangani perkara penganiayaan terdakwa Muhammad Budiatin bin Entong Jiran, warga Pesing, Jakbar. Tatik memvonis Budiatin dengan pidana penjara 10 bulan pada Senin, 15 Agustus 2011.
Ketiga, selaku Ketua majelis hakim, Tatik bersama anggota Brahmana dan Rifandaru E Setiawan menghukum Zaky Syamlan, kondektur, warga negara Indonesia, pemakai shabu-shabu dengan pidana penjara selama 1 tahun, di PN Jakbar, Senin, 20 Februari 2012.
Dalam perkara-perkara korupsi, Tatik mengadili para pelakon mulai dari anggota DPR, mantan direktur jenderal (dirjen), aktor film, bupati, hingga pengusaha penyuap mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Jangan tanya kemampuannya memimpin sidang. Selama meliput di Pengadilan Tipikor, Jakarta, penulis menyaksikan, Tatik terlihat lugas, tegas, dan cerdas menggali fakta. Jangan juga tanya soal saksi yang mencoba berbohong kala dipimpin Tatik. Dia jago membaca psikologi saksi dan terdakwa. Mendapati saksi berbohong, Tatik tak segan-segan memerintahkan jaksa mentersangkakan saksi tersebut.
Mari kita mulai dari suap Rp1 miliar yang diterima mantan anggota DPR dari Fraksi PPP Sofyan Usman dari pemerintah Otorita Batam yang kala itu dipimpin Ismeth Abdullah terkait pembahasan anggaran untuk Otorita Batam dalam APBN-Perubahan 2004 dan 2005.
Duduk sebagai Ketua Majelis Hakim, Tatik memvonis Sofyan dengan pidana 1 tahun 2 bulan penjara disertai denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan. Amar putusan Sofyan dibacakan di Pengadilan Tipikor, Kamis, 5 Januari 2012.
Tatik selaku hakim anggota turut menangani sidang perkara korupsi pengadaan mesin jahit dan impor sapi dari Australia, Departemen Sosial (Depsos), 2004 dengan terdakwa mantan Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Demokrat dan mantan Dirjen Bantuan Jaminan Sosial Depsos Amrun Daulay. Dalam perkara ini, majelis menghukum Amrun dengan 17 bulan penjara dan denda Rp50juta subsidair tiga bulan kurungan di Pengadilan Tipikor, Kamis, 12 Januari 2012.
Selaku Ketua majelis hakim, Tatik menghukum aktor era tahun 1980-an, Herman Felani dengan pidana penjara selama 4 tahun, denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan, dan ditambah uang pengganti senilai Rp1,3 miliar atau penjara selama 1 tahun, di Pengadilan Tipikor, Selasa, 17 April 2012.
Herman dinilai terbukti melakukan korupsi dalam tiga proyek pengadaan di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2007. Pertama, pengadaan jasa filler hukum pada Biro Hukum Setda Provinsi DKI Jakarta yang bersumber APBD tahun 2007.
Kedua, proyek pemeliharaan dan operasional sarana dan prasarana serta penatausahaan berkaitan dengan sosialisasi lingkungan hidup pada Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta yang bersumber dari APBD tahun 2007.
Ketiga, proyek terkait produksi dan Penayangan Iklan Layanan Masyarakat (PSA) dalam rangka sosialisasi urbanisasi melalui media elektronik pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta yang bersumber dari APBD 2007.
Berikutnya, suap pengurusan Dana Penyesuaian Infrasturktur Daerah (DPID) 2011 dan TPPU mantan anggota Banggar DPR Fraksi PAN Wa Ode Nurhayati. Tatik menjadi anggota majelis hakim dalam sidang yang dipimpin Suhartoyo. Wa Ode dikenakan pidana 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Putusan ini lebih rendah dari tuntutan JPU, penjara selama 14 tahun untuk dua perbuatan pidana. Amar putusan dibacakan di Pengadilan Tipikor, Kamis, 18 Oktober 2012.
TPPU Wa Ode merupakan kasus TPPU pertama yang ditangani KPK yang divonis di pengadilan. Meski menjadi hakim anggota, Tatik mampu menggali fakta dari keterangan saksi dan bukti-bukti tanpa celah. Hasilnya, uang TPPU Wa Ode berjumlah Rp50,5 miliar disita untuk negara.
Dalam sidang Wa Ode, majelis memerintahkan JPU pada KPK mentersangkakan Wakil Sekjen Bidang Organisasi MKGR (organisasi sayap Partai Golkar) Haris Andi Surrahman yang kerap berbohong dalam kesaksiannya. Haris selaku perantara suap sudah divonis dua tahun penjara.
Publik pasti masih ingat kasus suap pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantations/PT Cipta Cakra Mandiri (CCM) - perusahaan milik Siti Haratati Murdaya - di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Dalam perkara ini dengan terdakwa Amran Batalipu selaku Bupati Buol saat itu, Tatik berposisi sebagai hakim anggota dalam sidang yang dipimpin Gusrizal Lubis.
Majelis memutus Amran terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap Rp3 miliar dari Siti Hartati Murdaya. Amran dihukum penjara selama 7 tahun 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp300 juta subsider kurungan selama 6 bulan, Senin, 11 Februari 2013.
Pada sidang dengan terdakwa Hartati, Tatik juga didapuk sebagai hakim anggota bersama ketua Gusrizal. Dalam persidangannya, Hartati mengaku sebagai korban dari anak buahnya, Totok Lestiyo dan Arim. Hartati berkilah uang Rp3 miliar bukan suap untuk pengurusan HGU tapi sumbangan pilkada yang diminta Amran.
Saat sidang Hartati, tim penasihat hukumnya menghadirkan Yusril Ihza Mahendra sebagai ahli. Tatik tanpa canggung mengutarakan pertanyaan kepada Yusril yang bergelar profesor apakah sumbangan pilkada bisa dibawa ke ranah pidana. Yusril menjawab uang yang diterima Amran jika dinyatakan sebagai sumbangan dalam pilkada maka itu harus diselesaikan dalam ranah pemilu, bukan ranah pidana.
Toh pada akhirnya, Hartati - pemilik PT Jakarta International Expo (JIExpo) sekaligus istri dari Murdaya Poo - dijatuhi vonis 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp150 juta subsider kurungan 3 bulan penjara, Senin, 4 Februari 2013. Hartati kini sudah menghirup udara segar setelah menerima pembebasan bersyarat pada September 2014.
Tatik adalah pembuat sejarah selama kasus korupsi disidangkan di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Saat menangani kasus korupsi pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) tahun anggaran 2008 dengan terdakwa Neneng Sri Wahyuni, Tatik menjatuhkan putusan tanpa kehadiran Neneng. Ini pertama kalinya seorang terdakwa divonis in absentia.
Duduk sebagai Ketua Majelis Hakim, Tatik menghukum Neneng dengan 6 tahun penjara, denda Rp300 juta subsider kurungan 6 bulan, dan mengembalikan uang kerugian negara Rp800 juta subsider 1 tahun kurungan, Kamis, 14 Maret 2013. Neneng merupakan Direktur Keuangan Permai Group sekaligus istri M Nazaruddin.
Selama memimpin sidang Neneng, Tatik tegas tanpa kompromi. Tatik tak segan memperingatkan saksi-saksi agar jujur dan terbuka. Direktur PT Mahkota Negara Marisi Matondang kena batunya. Dalam sidang Kamis, 6 Desember 2012, Tatik memerintahkan JPU pada KPK segera menetapkan Marisi yang acap kali berbohong, untuk dijadikan tersangka. Marisi kini tersangka di KPK terkait kasus dugaan korupsi alkes Universitas Udayana tahun anggaran 2009.
Masih duduk sebagai ketua majelis hakim, Tatik memegang perkara Jaksa Sultoni, sang pemalsu vonis terdakwa Sugianto yang terlibat kasus narkoba dari hukuman 10 tahun penjara menjadi 3 tahun penjara. Tatik menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan didenda Rp50 juta subsider kurungan dua bulan kepada Sultoni. Vonis yang dibacakan Kamis, 2 Mei 2013 ini lebih ringan dari tuntutan jaksa, pidana penjara 2 tahun dan denda Rp50 juta subsider dua bulan kurungan.
Publik pun tentu masih ingat sepakterjang Tatik waktu menangani kasus suap pengurusan tender minyak mentah, kondesat, dan gas di SKK Migas. Tatik diamanahkan sebagai Ketua Majelis Hakim untuk perkara Komisaris PT Kernel Oil Private Limited (KOPL) Indonesia Simon Gunawan Tanjaya penyuap Rudi Rubiandini. Patut menjadi catatan adalah, di sidang ini turut bersaksi Rudi dan Deviardi alias Ardi (perantara Rudi). Dengan telaten Tatik bersama majelis hakim lainnya dan JPU mengurai kasus Simon.
Sebagai contoh. Saat Ardi bersaksi, Tatik menanyakan kepada Ardi soal kedekatan Direktur KOPL Singapura Widodo Ratanachaitong (penyuap Rudi) dengan sejumlah pihak termasuk Istana, Edhi Baskoro Yudhoyono alias Ibas, dan Sekretaris Kabinet saat itu Dipo Alam. "Saudara saksi Deviardi, dalam BAP saudara menyebutkan bahwa benar berhubungan dengan Widodo Cumlaude di Australia dan punya tujuh perusahaan itu punya kedekatan dan jaringan ke Istana, Ibas, DPR, dan ke Dipo Alam. Apa benar demikian. Itu disampaikan Widodo kapan dan di mana?," tanya Tatik.
Ardi membenarkan bahwa Widodo pernah menyatakan hal tersebut. Dalam BAP itu Ardi menyebutkan Widodo pernah menelponnya dan menyampaikan soal kedekatan dan jaringannya itu seperti dalam rekaman sadapan KPK tertanggal 24 Juni 2013 pada pukul 21.03 WIB dengan durasi pembicaraan selama sekitar 15 menit. Tapi kata dia bukan hanya saat menghubungi melalui telpon. Widodo bahkan pernah menyampaikan langsung saat pertemuannya di Singapura pada April 2013.
Simon akhirnya divonis 3 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan. Simon terbukti menyuap Rudi Rubiandini sebesar USD700.000 atas perintah Widodo Ratanachaitong, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 19 Desember 2013. Widodo juga disebutkan memberi suap kepada Rudi sebesar SGD200.000 dan USD200.000 tanpa melalui Simon.
Kasus Simon Gunawan Tanjaya menjadi kasus korupsi terakhir yang ditangani Tatik di Pengadilan Tipikor, Jakarta kala berkarir sebagai hakim PN Jakbar. Usai malang melintang di PN Jakbar, nasib mutasi berkata lain. Berdasarkan hasil rapat TPM MA tertanggal 4 Desember 2013, Tatik dipromosikan menjadi Ketua PN Klaten, Jawa Tengah. Belum genap setahun, pada 28 November 2014, Tatik dimutasi lagi menjadi hakim PN Jaksel.
Potret penangan kasus-kasus oleh Tatik tadi perlu diungkapkan kepada publik guna melihat potensi penanganan gugatan praperadilan Suryadharma Ali. Goresan tersebut pada ghalibnya menjadi gambaran bagaimana Tatik menilai penetapan tersangka, proses penyidikan KPK, status seseorang masuk kualifikasi penyelenggara negara atau tidak, subtansi perkara, dan pembuktiannya. Karena sebagian besar kasus korupsi yang ditangani Tatik di Pengadilan Tipikor, Jakarta merupakan hasil pengusutan KPK.
Sebagai seorang hakim kiprah Tatik tak perlu diragukan. Namun pada sisi berbeda, perlu juga menjadi catatan yakni soal penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Tatik ke KPK. Dari lembaran LHKPN yang dilansir KPK dalam Anti Corruption Clearing House (ACCH) KPK http://acch.kpk.go.id/aplikasi-lhkpn, tertuang Tatik dua kali melapor. Penulis mengaksesnya Rabu (11/3/2015).
Terakhir kali laporan disampaikan Tatik kala berstatus sebagai hakim/Wakil Ketua PN Temanggung. Dalam laporan tertanggal 27 Maret 2009, total harta kekayaannya Rp360.490.951. Ini meningkat tiga kali lipat dari laporan enam tahun sebelumnya (2003) sebesar Rp95,6 juta. Dari laporan terakhir tadi bisa disimpulkan, Tatik absen melaporkan LHKPN selama 6 tahun.
Lebih dari itu, penulis tak ingin mendahului pengadilan menyimpulkan bagaimana keberlangsungan persidangan dan putusan praperadilan Suryadharma. Karena, di tangan setiap hakim kebenaran atas keadilan yang diyakini tentu diputus berdasarkan kewenangan dan independensinya. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar