Sabir Laluhu
Terobosan yang
dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon di bawah kepemimpinan Wali Kota
Richard Louhenapessy patut diacungi jempol. Indikator yang bisa
dikedepankan yakni, Pemkot menetapkan tahun 2015 sebagai tahun pelayanan
publik. Pemkot menjadikan semangat dan dinamika baru untuk meningkatkan kinerja
aparaturnya.
Saat
pencanangannya, Wali Kota sadar bahwa pekerjaan yang dilakukan penyelenggara
negara/pegawai negeri sipil (PNS) sangat berat karena pelayanan publik terkait
dengan warga yang dilayani maupun yang melayani. Karena titik tumpu subjeknya
merupakan manusia. Wali Kota meyakini bahwa merubah paradigma masyarakat yang
dilayani dan merubah paradigma penyelenggara yang melayani sangat membutuhkan
waktu.
Sejalan dengan itu,
pada 12 Januari 2015 Pemkot mendapuk Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Yuddi Chrisnandy sebagai pejabat nasional yang
meluncurkan secara resmi tahun 2015 sebagai tahun pelayanan publik di Kota
Ambon. Indikator lain dari terobosan, Pemkot menelurkan layanan pengaduan
publik melalui sms ke 9386 dengan menggandeng provider ternama, Telkomsel. Atas
terobosan itu, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP4) beberapa tahun lalu menjadikan Kota Ambon sebagai pilot project
program Layanan Apirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR).
Berkaitan dengan
layanan pengaduan publik melalui sms ke 9386, Pemkot Ambon dalam hal ini Wali
Kota Richard Louhenapessy pernah ikut andil sebagai pembicara dalam Konferensi
Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) bertema “Peningkatan Transparansi dan
Partisipasi Publik dalam Pencegahan Korupsi” yang diselenggarakan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa, 2 Desember 2014. Dalam kesempatan KNPK
yang dibuka Wakil Presiden RI M. Jusuf Kalla dan dihadiri Ketua MPR Zulkifli
Hasan serta sejumlah kepala daerah itu, penulis yang saat itu berada di lokasi
penyelenggaraan menyaksikan optimisme kemajuan Kota Ambon. Walikota Richard
memaparkan bebeberapa ihwal krusial.
Dua di antaranya,
peningkatan transparansi di Pemkot Ambon dan partisipasi publik dalam
pencegahan korupsi. Partisipasi publik ini berkaitan dengan dua poin, Pemkot
Ambon membuka seluas-luasnya kritik masyarakat terhadap kebijakan pemkot. Ihwal
ini berjalan berkelindan dengan media partisipasi publik lewat layanan
pengaduan publik melalui sms ke 9386.
Tapi patut dicatat,
dua indikator di atas dimaknai dengan melihat keberhasilan terobosan Pemkot
secara makro. Secara mikro, dalam artian untuk pelayanan publik di
masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), contohnya kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), masih perlu dipertanyakan
keberhasilan terobosan Pemkot dan implementasi "instruksi" Wali Kota.
Dukcapil Minim Fasilitas
Rabu, 5 Agustus
2015, selaku warga Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau saya bertandang ke tiga
kantor pelayan publik. Masing-masing, kantor Desa/Negeri Batu Merah, Kecamatan
Sirimau, dan Dinas Dukcapil Kota Ambon. Bila melihat tingkatan, maka tentu
Dinas Dukcapil berada di atas kantor desa dan kecamatan. Persamaan yang hampir
senada di tiga kantor tersebut yakni, tak terdapat alat pengeras suara, yang
seharusnya bisa dipergunakan untuk memanggil warga yang mengurusi administrasi.
Paling tidak dengan keberadaan alat ini akan memudahkan petugas pelayanan
publik yang notabene adalah PNS, tanpa harus berteriak secara terus menerus
guna memanggil nama warga.
Ada minimal lima
catatan paling mencolok dari pelayanan publik di Dinas Dukcapil berkaitan
dengan fasilitas pendukung (selain ketiadaan alat pengeras suara), ketaatan
terhadap aturan, dan etika. Pertama, dari penghilatan dan pengamatan saya
selaku warga, hanya ada dua papan pengumuman. Bagi dinas sekelas Dukcapil yang
menangani lebih dari 1,5 juta jiwa warga Ambon atau lebih 200 orang/hari, tentu
dua alat peraga seperti itu jelas tak cukup.
Kedua, di depan ruangan pengurusan awal/lanjutan administrasi kependudukan setelah dari kecamatan, semisal input data lanjutan dan pengambilan KTP elektronik (KTP-e), hanya satu bangku panjang yang bisa dipergunakan warga untuk menunggu panggilan dan antrian. Akibatnya, banyak warga berjejer ataupun duduk di atas pagar sekeliling ruangan. Ruangan ini berada di gedung bagian kanan bila kita memasuki kantor Dinas Dukcapil.
Ketiga, di gedung kanan ini tak ada petugas front office. Rabu itu, banyak warga kebingungan mau bertanya ke siapa. Di sisi lain, banyak warga menumpuk di depan pintu. Keempat, paling parah mungkin, tak adanya toilet di area pengurusan adminduk. Penulis sempat melakukan kroscek ke seorang pegawai Dukcapil yang hendak pulang sore itu, terkait keberadaan toilet. Jawabannya mencenggangkan. Toilet berada di dalam gedung. Untuk warga yang mengurusi adminduk tak disediakan. Bagaimana mungkin, fasilitas pendukung dan krusial ini tak ada di kantor sekelas Dinas Dukcapil?
Nyatanya, untuk
fasilitas toilet yang bisa dipergunakan adalah milik warga yang bermukim di
belakang kantor Dinas Dukcapil. Guna mencapainya, penerima manfaat pelayanan
publik harus mengitari bagian samping kanan gedung kantor selebar berkisar 50
cm. Berikutnya, belok kiri menuruni anak tangga dan jalan lurus sedikit
sekitar 1 meter kemudian belok kiri dan lurus menapaki pinggiran teras belakang
kantor Dinas Dukcapil. Posisi toilet akan terlihat tepat di samping rumah
warga.
Ketiadaan empat fasilitas pendukung (termasuk alat pengeras suara) di kantor Dinas Dukcapil Ambon jelas menimbulkan pertanyaan, kenapa bisa terjadi? Apakah kepekaan Dinas Dukcapil begitu tumpul? Sebagai wajib pajak (WP) saya turut bertanya, ke mana saja uang masyarakat dipergunakan? Bukankah uang dari APBD/APBN dimaksudkan penggunannya untuk kepentingan masyarakat.
Lorong samping kanan gedung pengurusan adminduk, menuju toilet milik warga yang bermukim di belakang kantor Dinas Dukcapil. Foto diambil pada 5 Agustus 2015. |
Ketiadaan empat fasilitas pendukung (termasuk alat pengeras suara) di kantor Dinas Dukcapil Ambon jelas menimbulkan pertanyaan, kenapa bisa terjadi? Apakah kepekaan Dinas Dukcapil begitu tumpul? Sebagai wajib pajak (WP) saya turut bertanya, ke mana saja uang masyarakat dipergunakan? Bukankah uang dari APBD/APBN dimaksudkan penggunannya untuk kepentingan masyarakat.
Permasalah
pelayanan publik di Dinas Dukcapil, tak sampai di situ saja. Sebagai dinas yang
cukup krusial di pemerintahan, Dukcapil boleh disebut turut serta menyebarkan
semangat antikorupsi, kolusi, dan nepotisme atau semangat pencegahan korupsi.
Di atas satu selebaran/pengumuman yang di tempelkan di kaca ruangan, tertulis
bahwa warga harus mengurusi sendiri adminduk mulai dari akta kelahiran, kartu
keluarga (KK), dan KTP-e, tanpa melalui calo dan RT. Di sinilah titik
permasalahan keempat.
Pada Rabu itu juga,
saya dan seorang teman yang mendampingi melihat dengan mata kepala sendiri dua
peristiwa yang bertolak belakang dengan pengumuman atau maklumat pelayanan di
atas kertas tadi yang tertulis
"tertanda Kadis". Peristiwa pertama, seorang anak yang berumur antara
17-18 tahun datang dengan seorang PNS. Mulanya si anak tak dilayani secara
mulus atau dipimpong pegawai pembuat KTP-e. Setelah si anak itu masuk dengan
keluarganya yang PNS, anehnya, hampir seisi ruangan sibuk mengurusinya.
Peristiwa kedua,
dua orang tua (perempuan) di antar seorang pegawai pembuat KTP-e. Di depan
petugas pengimput data, pegawai tadi memperkenalkan bahwa dua orang yang dibawanya
masih berstatus keluarga. Dua orang ini lebih dulu menabrak antrian yang sudah
menunggu begitu lama. Tak berselang lama, petugas pengimput data tersenyum dan
sempat bercanda dengan dua perempuan itu. Mereka pun dilayani dengan cepat.
Seorang perempuan yang duduk di bangku langsung membuka dompetnya. Apakah benar
ada lembaran rupiah berpindah tangan? Entahlah.
Permasalahan
kelima, seorang petugas pria yang sedang melayani warga malah asik mengisap
rokok. Saya sempat bertanya-tanya, apakah memang dibolehkan PNS yang sedang
melayani warga mengisap rokok di ruangan?
Pegawai Dinas Dukcapil Ambon sedang merokok. Lihat tangan kirinya dan tumpukan puntung rokok. Foto diambil pada 5 Agustus 2015. |
Patut diapresiasi
dari pelayanan publik di tiga kantor di atas adalah keramahan dari para
pegawainya. Keramahan itu juga menjadi kunci keberlangsungan dan keberhasilan
pelayanan publik. Meski begitu, penulis sempat kaget ketika mengambil gambar
komplek kantor Dinas Dukcapil dari luar. Pemandangan tak elok pun terlihat.
Satu kantong kresek tampak tergantung di dua huruf terakhir pada tulisan
"Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil".
Bagian depan kantor Dinas Dukcapil Ambon, 5 Agustus 2015. |
Tak sampai di situ. Kejadian pada Selasa, 11 Agustus 2015 cukup mengagetkan saya. Hari itu, ada pengumuman di atas selembar kertas yang ditempel Dinas Dukcapil di samping kiri pintu gerbang masuk. Di kertas tersebut tertulis maklumat, sistem aplikasi data base Kependudukan Capil sedang mengalami gangguan. Untuk sementara waktu perbitan dokumen kependudukan dan dokumen capil tak bisa berjalan hingga sistem bisa beroperasi lagi. Hanya saja, gangguan sistem ini seolah menjadi alasan para pegawai memilih pulang cepat dari biasanya.
Pada pukul 14.00 WIT, gedung kanan Dukcapil sudah kosong. Hanya seorang pegawai (perempuan) yang berada di ruangan. Pegawai inilah yang memberikan informasi kepada warga yang datang terkait gangguan sistem dan kapan waktu pengambilan dokumen. Pegawai ini bahkan menyampaikan, gangguan sistem aplikasi data mengakibakan lebih 200 KTP-e tak bisa dicetak per hari itu. Pegawai itu meminta warga yang akan mengurus ataupun mengambil dokumen untuk datang selang satu pekan.
Pelayanan Publik Layak Dievaluasi
Pelayanan publik
hakikatnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat atau warga dengan
sepenuh hati. Tanpa pamrih, tanpa menghitung-hitung pengeluaran. Karena
penyelenggara pelayanan publik adalah pengabdi, maka apa yang diperbuatnya
haruslah demi kemaslahatan masyarakat. Pada diri pengabdi terdapat rasa
tanggungjawab yang tulus dari lubuk sanubari paling dalam.
Bersinggungan
dengan itu, patut dikedepankan pandangan Mohammad Hatta (Bung Hatta). Bagi
Proklamator Indonesia ini, rasa tanggung jawab akan hidup dalam dada, jika
masing-masing pemimpin dan aparatur negara sanggup hidup dengan lebih dulu
memikirkan kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa.
Dalam Undang-Undang
(UU) Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan bahwa penyelenggaraan
pelayanan publik dengan baik dan efektif demi memperdalam kepercayaan publik
pada pemerintahan dan administrasi publik. UU itu juga menyebutkan bahwa Negara
berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan
kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik.
Pasal 1 UU ini
tertuang, pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Salah satu
penyelenggarannya yakni institusi penyelenggara negara baik di tingkat pusat
maupun daerah. Pelaksana pelayanan publik pun seharusnya melayani penerima
manfaat pelayanan publik baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
berasaskan, di antaranya, persamaan dalam perlakuan/tak diskriminatif,
keterbukaan, akuntabilitas, dan fasilitas (Pasal 3).
Melihat pelayanan
publik secara regulasi/arahan/instruksi Pemkot, dan makro, tentu boleh saja.
Tapi baiknya perlu juga dipotret dari sisi mikro dan pelaksanaan
regulasi/arahan Pemkot. Pemkot juga tak bisa mendeklarasikan diri sebagai
pelaku pencegahan korupsi apabila masih ada sodoran lembaran rupiah saat
pengurusan adminduk atapun pengurusan administrasi lainnya.
Pejabat tinggi atau
atasan satuan kerja penyelenggara pelayanan publik di setiap instansi Pemkot
Ambon atapun Wali Kota, tak bisa semata-mata menerima laporan secara lisan dan
tulisan di atas mejanya saja. Mereka sebaiknya bisa turun ke lapangan langsung
guna melihat kinerja para pegawai.
Atau, pejabat
pengawas mestinya melakukan pengawasan secara terbuka dan sembunyi-sembunyi.
Pengawasan secara sembunyi-sembunyi dimaksudkan untuk menghilangkan distorsi
informasi atau meminimalisir manipulasi informasi yang disampaikan
penyelenggara pelayanan publik. Tujuannya tentu saja untuk melakukan perbaikan
secara terus menerus.
Demikian juga
keterbukaan atas adanya kritik dan saran. Layanan pengaduan publik di Pemkot
Ambon melalui sms ke 9386 baiknya semakin digalakkan ke semua tingkatan
pendidikan, usia, dan pekerjaan. Pemkot selayaknya kembali memberdayakan ketua
RT, ketua RW, dan kepala desa untuk menyosialisasikan kebijakan Pemkot dan
layanan pengaduan tersebut. Karena kebijakan pelayanan publik tak bisa
seolah-olah berada di menara gading. Atau, merasa berada di atas
"langit". Kebijakan sepatutnya membumi agar masyarakat bisa turut
ikut serta mengkritik, memberi masukan, dan mengutarakan saran.
Dengan keikusertaan
tersebut, secara tak langsung bisa ditarik kesimpulan, masyarakat mendukung
kebijakan Pemkot. Kritik, masukan, dan saran itu juga bisa dipandang sebagai evaluasi
penyelenggaraan pelayanan publik. Karena ujungnya tentu saja sebagai upaya
peningkatan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan
asas-asas umum tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar