Sabir Laluhu
Sektor perhubungan laut (hubla) bukan ‘barang’ baru bagi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain penanganan di bidang penindakan, KPK sudah
melakukan kajian pada bidang pencegahan tentang sektor hubla sejak 2014.
Sektor hubla masuk dalam bagian besar “Laporan Hasil Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut dan Sumber Daya Kelautan” yang dilakukan Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) pada Kedeputian Pencegahan KPK 2014. Kajian dilakukan kurun Februari hingga Desember 2014.
Sektor hubla masuk dalam bagian besar “Laporan Hasil Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut dan Sumber Daya Kelautan” yang dilakukan Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) pada Kedeputian Pencegahan KPK 2014. Kajian dilakukan kurun Februari hingga Desember 2014.
Hakikatnya, ada tiga ruang lingkup kajian tersebut yang menjadi fokus KPK. Satu, penetapan batas wilayah laut Indonesia yakni batas teritorial, zona
tambahan, zona ekonomi ekslusif (ZEE). Dua, pengelolaan tata ruang laut
Indonesia, termasuk pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K).
Tiga, pengelolaan sumber daya kelautan Indonesia, khususnya berkaitan dengan
sumber daya perikanan.
Dalam hasil kajian tertuang bahwa instansi selain Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) dengan sejumlah unsurnya, instansi yang beririsan juga adalah Direktorat
Jenderal (Ditjen) Hubla Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Ada banyak temuan yang disampaikan KPK dengan segala rekomendasi dan
perbaikan disertai rencana aksi (renaksi) dengan skema besar “Gerakan Nasional
Penyelamatan Sektor Kelautan Indonesia”. Termasuk perbaikan sistem, tata
kelola, integrasi sistem perencanaan nasional, pencegahan terjadinya korupsi,
penyelamatan keuangan negara, dan mencegah hilangnya kekayaan negara.
Menariknya dalam hasil kajian tersebut, KPK menyinggung tentang
ketatalaksanaan pelaksanaan perizinan pelayaran. Perizinan ini salah satunya
ada pada kewenangan Ditjen Hubla Kemenhub.
Pada halaman 40 hasil kajian, KPK mencantumkan, adanya pungutan dalam
proses pelayanan terkait dengan pemberian izin kapal. Mencakup antara lain,
pemberian registrasi kapal, sertifikasi statutory (keselamatan, keamanan,
manajemen, perlindungan lingkungan, lambung timbul, surat ukur, dan
sebagainya), dan sertifikasi kelas (sertifikat lambung kapal, sertifikat mesin
dan listrik, serta sertifikat kelengkapan lainnya).
KPK memaparkan, data dari hasil pengaduan masyarakat yang disampaikan ke
Direktorat Pengaduan Masyarat (Dumas) KPK menunjukkan adanya indikasi tindak
pidana korupsi (tipikor) dalam pelayanan di bidang hubla.
“Sebagai gambaran, jumlah pengaduan masyarakat yang masuk terkait dengan
hubla sebanyak 76 pengaduan sejak 2010 sampai 2014. Dari pengaduan tersebut, 62
di antaranya terindikasi tipikor dan sedang ditindaklanjuti di internal KPK
atau disampaikan ke aparat penegak hukum lainnya. Delik yang muncul terkait
dengan indikasi tipikor tersebut sebagian besar berupa perbuatan melawan hukum
atau menyalahgunakan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara,” bunyi
petikan laporan hasil kajian.
Selain itu pada halaman lain hasil kajian tersebut, KPK juga menyebutkan,
laporan pengaduan masyarakat tersebut juga ada yang terkualifikasi terindikasi
dalam tiga delik lain.
“Penyuapan, pemerasan, dan benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan
jasa,” demikian tercantum dalam hasil kajian.
KPK menguraikan, ada tiga item lain yang juga terindikasi korupsi. Pertama,
terkait perubahan data gross tonase (GT) dan ukuran kapal. Hasil observasi di
lapangan menunjukkan adanya perubahan data ukuran kapal antara lain untuk
menghindari pengurusan Surat
Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) di KKP, sehingga pengurusan izin cukup di
Pemda.
“Sekaligus untuk menghindari adanya pungutan PNBP (Penerimaan
Negara Bukan Pajak) dalam bentuk PPP dan PHP,”
bunyi petikan hasil kajian selanjutnya.
Kedua, terkait penerbitan izin operasional transhipment bongkar muat
komoditas. Pada item ini, laporan pengaduan masyarakat menunjukkan indikasi
korupsi dimulai dari adanya permohonan persetujuan izin dan penetapan koordinat
perairan lokasi transhipment dengan alasan pendangkalan alur
pelabuhan. Sehingga harus direlokasi ke alur pelabuhan yang bisa menjadi
tempat bersandar kapal berbobot besar.
“Dalam proses perizinan tersebut, dilaporkan adanya tindak pidana dalam
bentuk suap menyuap, dan berpotensi merugikan keuangan negara dalam jumlah yang
besar.”
Ketiga, indikasi korupsi dalam bentuk pemerasan dalam jabatan pada saat
pengurusan Izin Operasi Kapal Asing/Izin Penggunaan Kapal Asing (IPKA). Masih
dari informasi dari pengaduan masyarakat, menunjukkan bahwa ada serangkaian
pungutan liar dalam pengurusan IPKA sejak memasukkan dokumen penelitian
dokumen, penyusunan draf nota dinas, penelitian nota dinas oleh pejabat yang
berwenang, paraf nota dinas oleh pejabat yang berwenang, pemberian nomor nota
dinas, draf IPKA, proses penandatanganan IPKA, dan penandatanganan salinan
IPKA.
“Besarnya pungutan berkisar Rp100.000 sampai dengan Rp8 juta, yang jika
ditotal sejak awal pengurusan hingga dokumen diterima mencapai Rp17,8 juta
untuk setiap pengurusan IPKA.”
KPK juga menemukan bahwa terjadi kompleksitas dalam operasional kapal dan
Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS). Ada enam motif pelanggaran atas
operasi TUKS. Tiga di antaranya, pertama, terbatasnya pelabuhan umum dalam hal
keterbatasan dermaga serta terminal dan peralatan bongkar muat yang
didedikasikan untuk kargo curah kering bahan tambang.
Kedua, lemahnya koordinasi antarkementerian. Kelemahannya ini terjadi
karena kuatnya egosentris kementerian dalam pemberian Surat Izin Berlayar (SIB)
dan izin operasional kapal-kapal pertambangan.
“Lemahnya pengawasan internal Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
Kemenhub: panjangnya rantai pengawasan internal dan lemahnya kapasitas
pengawasan unit di daerah,” begitu petikan hasil kajian halaman 41.
Yang cukup mengagetkan juga, belum terdapat sistem informasi berbasis
teknologi informasi untuk monitoring arus lalu lintas barang dan kapal. Bahkan
informasi manifest kapal yang berlabuh dari satu pelabuhan asal, tidak
dapat dimonitoring secara realtime pada pelabuhan tujuan. “Karena sistem
pencatatan manifest yang ada masih bersifat manual.”
Ada banyak rekomendasi perbaikan yang sudah disampaikan KPK ke Kementerian
Perhubungan termasuk ke Ditjen Hubla. Entahlah, apakah segala rekomendasi
perbaikan disertai rencana aksi dilakukan atau tidak.
Untuk realisasi rekomendasi atas hasil kajian KPK tersebut, tim KPK turun
ke instansi pusat dan daerah termasuk di antaranya Kemenhub. KPK berupaya
memastikan dan mengawasi pelaksanaan rekomendasi dan renaksi ”Gerakan Nasional Penyelamatan Sektor Kelautan Indonesia”. Artinya KPK tidak diam. Tujuannya agar seluruh rekomendasinya tidak sia-sia
begitu saja.
Karenanya
bendera bidang pencegahan KPK sudah dikibarkan dan berkibar (sejak lama).
Silakan tanya Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan serta Dian Patria selaku
Ketua Tim Kajian Sumber Daya Alam Litbang KPK merangkap Ketua Tim Koordinasi
dan Supervisi Bidang Maritim KPK.
Sebagai catatan, bila melihat pemberitaan media massa pada kurun Maret
hingga awal Agustus 2017 atau pada 2016 lalu, Antonius Tonny Kurniawan selaku
Dirjen Hubla Kemenhub pernah menyinggung hasil kajian KPK 2014 dan rekomendasi
perbaikan yang sudah disodorkan KPK.
Di antaranya, tentang perbaikan dalam verifikasi (pengukuran) ulang puluhan ribu kapal penangkap ikan, penerbitan Surat Persetujuan Berlayar
(SPB) atau Surat Izin Berlayar (SIB), pengurusan dokumen, fasilitas pelabuhan,
proses pelelangan barang dan jasa, hingga penyelenggaraan angkutan barang
Tol Laut pada 13 trayek.
Ditjen Hubla, tutur Tonny, sudah berupaya melakukan peningkatan dalam
pemerataan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat dengan segala
perbaikan dan pembenahannya. Terutama dalam memanfaatkan dengan sebaik-baiknya
anggaran yang bersumber dari uang rakyat.
“Atas dasar itulah, kami berkomitmen dan bertekad melaksanakan kegiatan
berbasis anggaran dengan sungguh-sungguh dan terencana melalui pembenahan dan
penyempurnaan dalam pengelolaan keuangan serta melakukan evaluasi kinerja agar
target penyerapan anggaran di lingkungan Ditjen Hubla dapat tercapai,” ujar
Tonny beberapa waktu lalu.
Nyatanya pada Rabu, 23 Agustus 2017 malam, Tonny diciduk KPK dalam operasi tangkap tangan disertai penyitaan uang dengan total mencapai Rp20,074 miliar. Uang terpecah dalam 33 tas ransel Rp18,9 miliar dan ada yang tersimpan di empat ATM dengan nominal Rp1,174 miliar. Yang membuat mata kita terbelalak, 33 tas ransel tersebut disimpan Tonny dalam Mess Perwira Ditjen Hubla, di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Inilah uang hasil tangkap tangan terbesar sepanjang sejarah KPK!
Sehari berselang ditangkap juga beberapa orang termasuk Komisaris PT.
Adhiguna Keruktama (AGK) Adiputra Kurniawan. Selepas itu, Tonny ditetapkan
sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi, sedangkan Adiputra dijerat
sebagai tersangka pemberi suap. Keduanya kini meringkuk di tahanan. Tonny pun
dinonaktifkan dari jabatan Dirjen Hubla.
Saat keluar ruang steril KPK, Tonny mengaku sudah menerima uang lebih Rp20
miliar dari beberapa pihak termasuk Adiputra. Tonny mengaku mengenal Adiputra
dengan nama Yongky.
“Itu (uang Rp20,074 miliar) untuk operasional saya, tapi melanggar aturan.
Atas nama pribadi saya mohon maaf kepada masyarakat. Mudah-mudahan ini tidak
terulang lagi,” kata Tonny di depan Gedung Merah Putih KPK, saat digelandang
masuk mobil tahanan pada Jumat, 25 Agustus 2017 dini hari.
Antonius Tonny Budiono. Sumber foto: PPID Kemenhub. |
Mantan stat ahli Menhub Bidang Logistik, Multimoda, dan Keselamatan
Perhubungan ini menuturkan, selain dari Adiputra uang juga diterima dari
kontraktor bernama Sena. Menurut Tonny, apa yang dilakukannya adalah kekhilafan
dan kesalahan yang tidak perlu diikuti orang lain. Lantas kenapa Tonny
menerima uang puluhan miliar tersebut?
“Selama ini kan banyak mafia untuk rekayasa evaluasi, saya jadi dirjen.
Jadi kontraktor yang harusnya menang dikalahkan dengan adanya rekayasa ini.
Saya jadi dirjen saya hilangkan itu. Namun karena itu melanggar hukum (dengan
menerima uang), saya menerima apa yang harus saya terima (diproses hukum),”
paparnya.
“(Mafia tadi terkait) harusnya izin-izin dipercepat tapi dipersulit.
Harusnya bisa satu hari, dua hari, diperlambat sampai berbulan-bulan,” sambung
Tonny.
Di sisi lain, Tonny tampak merasa bersalah saat disinggung apakah dia tidak
merasa bersalah karena pada 2016 lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) datang ke
kantor Kemenhub ketika ada OTT yang dilakukan Tim Sapu Bersih Pungutan Liar
(Saber Pungli). Presiden mewanti-wanti agar tidak ada pungli. Raut wajah Tonny
sedikit memelas.
“Itu tadi saya bilang, saya khilaf. Saya mohon maaf. Mudah-mudahan tidak
terulang lagi,” imbuhnya.
Perbuatan Tonny dan Kurniawan diduga terkait dengan izin-izin dan
proyek-proyek tahun anggaran 2016-2017 di lingkungan Ditjen Hubla. Salah
satunya, Pengerukan Alur Pelayaran Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, Jawa
Tengah.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengutarakan, pihaknya masih terus
mengembangkan dugaan penerimaan uang Tonny. Diduga uang setara total Rp20,074
miliar yang disita KPK saat tangkap tangan sebagai hasil terbesar sepanjang OTT
KPK tersebut masih bisa bertambah.
“Jumlah ini tentu masih dapat terus bertambah. Sesuai hasil pendalaman
informasi yang kita lakukan,” tegas Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta
pada Jumat, 25 Agustus 2017 malam.
Dia menguraikan, potensi bertambahnya nilai suap dan gratifikasi yang diduga diterima Tonny karena sudah ada uang-uang yang ditransaksikan dan dipergunakan yang bersangkutan untuk beberapa kepentingan. Apalagi yang disangkakan terhadap Tonny bukan hanya satu proyek atau izin semata.
Dia menguraikan, potensi bertambahnya nilai suap dan gratifikasi yang diduga diterima Tonny karena sudah ada uang-uang yang ditransaksikan dan dipergunakan yang bersangkutan untuk beberapa kepentingan. Apalagi yang disangkakan terhadap Tonny bukan hanya satu proyek atau izin semata.
Begitulah Tonny. Dia sebenarnya mengetahui bahwa KPK sudah pernah melakukan
kajian pencegahan, ada hasil, dan rekomendasinya. KPK bahkan memantau
pelaksanaan rekomendasi. Pria kelahiran Pekalongan, 13 Juli 1958, ini pun
sempat berkomitmen menjalankan rekomendasi KPK.
Nyatanya, diduga kurun 2016 hingga 2017 Tonny tetap menerima uang dari para
kontraktor hingga ditangkap KPK pada Rabu, 23 Agustus 2017. Sungguh tragis
nasib Tonny! Mengenaskan!
Belum lagi kalau dilihat perkara sebelumnya yang pernah ditangani KPK sehubungan dengan proyek di Ditjen Hubla. Ada dua dirjen Hubla Kemenhub yang lebih dulu menjadi 'pasien' KPK. Pertama, Djoko Pramono selaku Dirjen Hubla sekaligus Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Laut (PPSDML) Kemenhub. Kedua, Capt. Bobby Reynold Mamahit selaku kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan (BPSDMP).
Belum lagi kalau dilihat perkara sebelumnya yang pernah ditangani KPK sehubungan dengan proyek di Ditjen Hubla. Ada dua dirjen Hubla Kemenhub yang lebih dulu menjadi 'pasien' KPK. Pertama, Djoko Pramono selaku Dirjen Hubla sekaligus Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Laut (PPSDML) Kemenhub. Kedua, Capt. Bobby Reynold Mamahit selaku kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan (BPSDMP).
Saat penetapan tersangka di KPK, Djoko sudah berstatus mantan dirjen,
sedangkan Bobby masih menjabat Dirjen Hubla aktif. Kala Bobby ditahan KPK pada
Februari 2016, Kemenhub memecat Bobby.
Djoko dan Bobby terhubung pada perkara yang sama. Korupsi proyek
pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Sorong
Tahap III pada PPSDML-BPSDM Kemenhub Tahun Anggaran (TA) 2011 dengan kontrak
Rp87.962.242.263. Proyek ini dimenangkan oleh PT. Hutama Karya
(Persero). Dari korupsi ini negara merugi Rp40.193.589.964,92.
Djoko memperkaya diri sebesar Rp620 juta. Dia divonis penjara 4 tahun,
denda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp530 juta
(karena sudah kembalikan Rp90 juta sebelum divonis).
Bobby memperkaya diri Rp480 juta. Divonis 5 tahun penjara, denda Rp150 juta
subsider 3 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp180 juta (karena sudah
kembalikan Rp300 juta) subsider 9 bulan.
Kini Djoko dan Bobby sudah berstatus terpidana. Dalam perkara korupsi Balai
Diklat Pelayaran Sorong tersebut, sudah ada tiga terpidana lainnya.
Ketiganya adalah mantan PPK Satker PPSDM Hubla Sugiarto (divonis 2,5 tahun
penjara), mantan Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa PPSDM Hubla Irawan
(divonis 2,5 tahun), dan mantan General Manager Divisi Gedung PT. Hutama Karya
Budi Rachmat Kurniawan (divonis 5 tahun).[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar