Sabtu, 26 Agustus 2017

Tragis! Dirjen Hubla Tonny Terima Suap saat Bidang Pencegahan KPK Dikibarkan

Sabir Laluhu

Sektor perhubungan laut (hubla) bukan ‘barang’ baru bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain penanganan di bidang penindakan, KPK sudah melakukan kajian pada bidang pencegahan tentang sektor hubla sejak 2014.

Sektor hubla masuk dalam bagian besar “Laporan Hasil Kajian Sistem Pengelolaan Ruang Laut dan Sumber Daya Kelautan” yang dilakukan Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) pada Kedeputian Pencegahan KPK 2014. Kajian dilakukan kurun Februari hingga Desember 2014.

Hakikatnya, ada tiga ruang lingkup kajian tersebut yang menjadi fokus KPK. Satu, penetapan batas wilayah laut Indonesia yakni batas teritorial, zona tambahan, zona ekonomi ekslusif (ZEE). Dua, pengelolaan tata ruang laut Indonesia, termasuk pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K). Tiga, pengelolaan sumber daya kelautan Indonesia, khususnya berkaitan dengan sumber daya perikanan.

Dalam hasil kajian tertuang bahwa instansi selain Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan sejumlah unsurnya, instansi yang beririsan juga adalah Direktorat Jenderal (Ditjen) Hubla Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Ada banyak temuan yang disampaikan KPK dengan segala rekomendasi dan perbaikan disertai rencana aksi (renaksi) dengan skema besar “Gerakan Nasional Penyelamatan Sektor Kelautan Indonesia”. Termasuk perbaikan sistem, tata kelola, integrasi sistem perencanaan nasional, pencegahan terjadinya korupsi, penyelamatan keuangan negara, dan mencegah hilangnya kekayaan negara.

Menariknya dalam hasil kajian tersebut, KPK menyinggung tentang ketatalaksanaan pelaksanaan perizinan pelayaran. Perizinan ini salah satunya ada pada kewenangan Ditjen Hubla Kemenhub.

Pada halaman 40 hasil kajian, KPK mencantumkan, adanya pungutan dalam proses pelayanan terkait dengan pemberian izin kapal. Mencakup antara lain, pemberian registrasi kapal, sertifikasi statutory (keselamatan, keamanan, manajemen, perlindungan lingkungan, lambung timbul, surat ukur, dan sebagainya), dan sertifikasi kelas (sertifikat lambung kapal, sertifikat mesin dan listrik, serta sertifikat kelengkapan lainnya).

KPK memaparkan, data dari hasil pengaduan masyarakat yang disampaikan ke Direktorat Pengaduan Masyarat (Dumas) KPK menunjukkan adanya indikasi tindak pidana korupsi (tipikor) dalam pelayanan di bidang hubla.

“Sebagai gambaran, jumlah pengaduan masyarakat yang masuk terkait dengan hubla sebanyak 76 pengaduan sejak 2010 sampai 2014. Dari pengaduan tersebut, 62 di antaranya terindikasi tipikor dan sedang ditindaklanjuti di internal KPK atau disampaikan ke aparat penegak hukum lainnya. Delik yang muncul terkait dengan indikasi tipikor tersebut sebagian besar berupa perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara,” bunyi petikan laporan hasil kajian.

Selain itu pada halaman lain hasil kajian tersebut, KPK juga menyebutkan, laporan pengaduan masyarakat tersebut juga ada yang terkualifikasi terindikasi dalam tiga delik lain.

“Penyuapan, pemerasan, dan benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa,” demikian tercantum dalam hasil kajian.

KPK menguraikan, ada tiga item lain yang juga terindikasi korupsi. Pertama, terkait perubahan data gross tonase (GT) dan ukuran kapal. Hasil observasi di lapangan menunjukkan adanya perubahan data ukuran kapal antara lain untuk menghindari pengurusan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) di KKP, sehingga pengurusan izin cukup di Pemda.

“Sekaligus untuk menghindari adanya pungutan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dalam bentuk PPP dan PHP,” bunyi petikan hasil kajian selanjutnya.

Kedua, terkait penerbitan izin operasional transhipment bongkar muat komoditas. Pada item ini, laporan pengaduan masyarakat menunjukkan indikasi korupsi dimulai dari adanya permohonan persetujuan izin dan penetapan koordinat perairan lokasi transhipment dengan alasan pendangkalan alur pelabuhan. Sehingga harus direlokasi ke alur pelabuhan yang bisa menjadi tempat bersandar kapal berbobot besar. 

“Dalam proses perizinan tersebut, dilaporkan adanya tindak pidana dalam bentuk suap menyuap, dan berpotensi merugikan keuangan negara dalam jumlah yang besar.”

Ketiga, indikasi korupsi dalam bentuk pemerasan dalam jabatan pada saat pengurusan Izin Operasi Kapal Asing/Izin Penggunaan Kapal Asing (IPKA). Masih dari informasi dari pengaduan masyarakat, menunjukkan bahwa ada serangkaian pungutan liar dalam pengurusan IPKA sejak memasukkan dokumen penelitian dokumen, penyusunan draf nota dinas, penelitian nota dinas oleh pejabat yang berwenang, paraf nota dinas oleh pejabat yang berwenang, pemberian nomor nota dinas, draf IPKA, proses penandatanganan IPKA, dan penandatanganan salinan IPKA.

“Besarnya pungutan berkisar Rp100.000 sampai dengan Rp8 juta, yang jika ditotal sejak awal pengurusan hingga dokumen diterima mencapai Rp17,8 juta untuk setiap pengurusan IPKA.”

KPK juga menemukan bahwa terjadi kompleksitas dalam operasional kapal dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS). Ada enam motif pelanggaran atas operasi TUKS. Tiga di antaranya, pertama, terbatasnya pelabuhan umum dalam hal keterbatasan dermaga serta terminal dan peralatan bongkar muat yang didedikasikan untuk kargo curah kering bahan tambang.

Kedua, lemahnya koordinasi antarkementerian. Kelemahannya ini terjadi karena kuatnya egosentris kementerian dalam pemberian Surat Izin Berlayar (SIB) dan izin operasional kapal-kapal pertambangan.

“Lemahnya pengawasan internal Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub: panjangnya rantai pengawasan internal dan lemahnya kapasitas pengawasan unit di daerah,” begitu petikan hasil kajian halaman 41.

Yang cukup mengagetkan juga, belum terdapat sistem informasi berbasis teknologi informasi untuk monitoring arus lalu lintas barang dan kapal. Bahkan informasi manifest kapal yang berlabuh dari satu pelabuhan asal, tidak dapat dimonitoring secara realtime pada pelabuhan tujuan. “Karena sistem pencatatan manifest yang ada masih bersifat manual.”

Ada banyak rekomendasi perbaikan yang sudah disampaikan KPK ke Kementerian Perhubungan termasuk ke Ditjen Hubla. Entahlah, apakah segala rekomendasi perbaikan disertai rencana aksi dilakukan atau tidak.

Untuk realisasi rekomendasi atas hasil kajian KPK tersebut, tim KPK turun ke instansi pusat dan daerah termasuk di antaranya Kemenhub. KPK berupaya memastikan dan mengawasi pelaksanaan rekomendasi dan renaksi ”Gerakan Nasional Penyelamatan Sektor Kelautan Indonesia”. Artinya KPK tidak diam. Tujuannya agar seluruh rekomendasinya tidak sia-sia begitu saja.

Karenanya bendera bidang pencegahan KPK sudah dikibarkan dan berkibar (sejak lama). Silakan tanya Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan serta Dian Patria selaku Ketua Tim Kajian Sumber Daya Alam Litbang KPK merangkap Ketua Tim Koordinasi dan Supervisi Bidang Maritim KPK.

Sebagai catatan, bila melihat pemberitaan media massa pada kurun Maret hingga awal Agustus 2017 atau pada 2016 lalu, Antonius Tonny Kurniawan selaku Dirjen Hubla Kemenhub pernah menyinggung hasil kajian KPK 2014 dan rekomendasi perbaikan yang sudah disodorkan KPK.

Di antaranya, tentang perbaikan dalam verifikasi (pengukuran) ulang puluhan ribu kapal penangkap ikan, penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) atau Surat Izin Berlayar (SIB), pengurusan dokumen, fasilitas pelabuhan, proses pelelangan barang dan jasa, hingga penyelenggaraan angkutan barang Tol Laut pada 13 trayek.

Ditjen Hubla, tutur Tonny, sudah berupaya melakukan peningkatan dalam pemerataan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat dengan segala perbaikan dan pembenahannya. Terutama dalam memanfaatkan dengan sebaik-baiknya anggaran yang bersumber dari uang rakyat.

“Atas dasar itulah, kami berkomitmen dan bertekad melaksanakan kegiatan berbasis anggaran dengan sungguh-sungguh dan terencana melalui pembenahan dan penyempurnaan dalam pengelolaan keuangan serta melakukan evaluasi kinerja agar target penyerapan anggaran di lingkungan Ditjen Hubla dapat tercapai,” ujar Tonny beberapa waktu lalu.

Nyatanya pada Rabu, 23 Agustus 2017 malam, Tonny diciduk KPK dalam operasi tangkap tangan disertai penyitaan uang dengan total mencapai Rp20,074 miliar. Uang terpecah dalam 33 tas ransel Rp18,9 miliar dan ada yang tersimpan di empat ATM dengan nominal Rp1,174 miliar. Yang membuat mata kita terbelalak, 33 tas ransel tersebut disimpan Tonny dalam Mess Perwira Ditjen Hubla, di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Inilah uang hasil tangkap tangan terbesar sepanjang sejarah KPK!

Sehari berselang ditangkap juga beberapa orang termasuk Komisaris PT. Adhiguna Keruktama (AGK) Adiputra Kurniawan. Selepas itu, Tonny ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi, sedangkan Adiputra dijerat sebagai tersangka pemberi suap. Keduanya kini meringkuk di tahanan. Tonny pun dinonaktifkan dari jabatan Dirjen Hubla.

Saat keluar ruang steril KPK, Tonny mengaku sudah menerima uang lebih Rp20 miliar dari beberapa pihak termasuk Adiputra. Tonny mengaku mengenal Adiputra dengan nama Yongky.

“Itu (uang Rp20,074 miliar) untuk operasional saya, tapi melanggar aturan. Atas nama pribadi saya mohon maaf kepada masyarakat. Mudah-mudahan ini tidak terulang lagi,” kata Tonny di depan Gedung Merah Putih KPK, saat digelandang masuk mobil tahanan pada Jumat, 25 Agustus 2017 dini hari.

Antonius Tonny Budiono. Sumber foto: PPID Kemenhub.
Mantan stat ahli Menhub Bidang Logistik, Multimoda, dan Keselamatan Perhubungan ini menuturkan, selain dari Adiputra uang juga diterima dari kontraktor bernama Sena. Menurut Tonny, apa yang dilakukannya adalah kekhilafan dan kesalahan yang tidak perlu diikuti orang lain. Lantas kenapa Tonny menerima uang puluhan miliar tersebut?

“Selama ini kan banyak mafia untuk rekayasa evaluasi, saya jadi dirjen. Jadi kontraktor yang harusnya menang dikalahkan dengan adanya rekayasa ini. Saya jadi dirjen saya hilangkan itu. Namun karena itu melanggar hukum (dengan menerima uang), saya menerima apa yang harus saya terima (diproses hukum),” paparnya.

“(Mafia tadi terkait) harusnya izin-izin dipercepat tapi dipersulit. Harusnya bisa satu hari, dua hari, diperlambat sampai berbulan-bulan,” sambung Tonny.

Di sisi lain, Tonny tampak merasa bersalah saat disinggung apakah dia tidak merasa bersalah karena pada 2016 lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) datang ke kantor Kemenhub ketika ada OTT yang dilakukan Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Presiden mewanti-wanti agar tidak ada pungli. Raut wajah Tonny sedikit memelas.

“Itu tadi saya bilang, saya khilaf. Saya mohon maaf. Mudah-mudahan tidak terulang lagi,” imbuhnya.

Perbuatan Tonny dan Kurniawan diduga terkait dengan izin-izin dan proyek-proyek tahun anggaran 2016-2017 di lingkungan Ditjen Hubla. Salah satunya, Pengerukan Alur Pelayaran Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengutarakan, pihaknya masih terus mengembangkan dugaan penerimaan uang Tonny. Diduga uang setara total Rp20,074 miliar yang disita KPK saat tangkap tangan sebagai hasil terbesar sepanjang OTT KPK tersebut masih bisa bertambah.

“Jumlah ini tentu masih dapat terus bertambah. Sesuai hasil pendalaman informasi yang kita lakukan,” tegas Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada Jumat, 25 Agustus 2017 malam.

Dia menguraikan, potensi bertambahnya nilai suap dan gratifikasi yang diduga diterima Tonny karena sudah ada uang-uang yang ditransaksikan dan dipergunakan yang bersangkutan untuk beberapa kepentingan. Apalagi yang disangkakan terhadap Tonny bukan hanya satu proyek atau izin semata.

Begitulah Tonny. Dia sebenarnya mengetahui bahwa KPK sudah pernah melakukan kajian pencegahan, ada hasil, dan rekomendasinya. KPK bahkan memantau pelaksanaan rekomendasi. Pria kelahiran Pekalongan, 13 Juli 1958, ini pun sempat berkomitmen menjalankan rekomendasi KPK.

Nyatanya, diduga kurun 2016 hingga 2017 Tonny tetap menerima uang dari para kontraktor hingga ditangkap KPK pada Rabu, 23 Agustus 2017. Sungguh tragis nasib Tonny! Mengenaskan!

Belum lagi kalau dilihat perkara sebelumnya yang pernah ditangani KPK sehubungan dengan proyek di Ditjen Hubla. Ada dua dirjen Hubla Kemenhub yang lebih dulu menjadi 'pasien' KPK. Pertama, Djoko Pramono selaku Dirjen Hubla sekaligus Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Laut (PPSDML) Kemenhub. Kedua, Capt. Bobby Reynold Mamahit selaku kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan (BPSDMP).

Saat penetapan tersangka di KPK, Djoko sudah berstatus mantan dirjen, sedangkan Bobby masih menjabat Dirjen Hubla aktif. Kala Bobby ditahan KPK pada Februari 2016, Kemenhub memecat Bobby.

Djoko dan Bobby terhubung pada perkara yang sama. Korupsi proyek  pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Sorong Tahap III pada PPSDML-BPSDM Kemenhub Tahun Anggaran (TA) 2011 dengan kontrak Rp87.962.242.263. Proyek ini dimenangkan oleh PT. Hutama Karya (Persero). Dari korupsi ini negara merugi Rp40.193.589.964,92.

Djoko memperkaya diri sebesar Rp620 juta. Dia divonis penjara 4 tahun, denda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp530 juta (karena sudah kembalikan Rp90 juta sebelum divonis).

Bobby memperkaya diri Rp480 juta. Divonis 5 tahun penjara, denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp180 juta (karena sudah kembalikan Rp300 juta) subsider 9 bulan.

Kini Djoko dan Bobby sudah berstatus terpidana. Dalam perkara korupsi Balai Diklat Pelayaran Sorong tersebut, sudah ada tiga terpidana lainnya.

Ketiganya adalah mantan PPK Satker PPSDM Hubla Sugiarto (divonis 2,5 tahun penjara), mantan Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa PPSDM Hubla Irawan (divonis 2,5 tahun), dan mantan General Manager Divisi Gedung PT. Hutama Karya Budi Rachmat Kurniawan (divonis 5 tahun).[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar