Sabtu, 03 Maret 2012

Moralitas Korup Turut Mempengaruhi Korupsi di DPR

JAKARTA - Persoalan korupsi yang dilakukan beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bukan hanya sistem yang dipersalahkan, sebagaimana disebutkan Ketua DPR Marzuki Alie minggu lalu. Moralitas dan budaya korup anggota dewan turut mempengaruhi praktik korupsi di DPR.

Ukuran transparansi dan akuntabilitas perencanaan, pembahasan, dan pelaksanaan sistem di DPR masih relatif rendah. Aturan baku dan detail penganggaran tidak pernah dijalankan di gedung dewan, bahkan semua penyelenggara pemerintahan. "Tidak ada sistem reward dan punishment serta keteladanan," ujar Wakil Ketua Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar Harry Azhar Azis ketika dihubungi kemarin.

Kurangnya keteladanan lajut Harry termasuk fasilitas mewah yang digunakan menjadi persoalan timbulnya perilaku korupsi angggota dewan. Kemewahan fasilitas pejabat negara termasuk anggota dewan di tengah kemiskinan masyarakat, seolah memberikan indikasi maraknya korupsi tersebut.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (FITRA) Yuna Farhan mengakui dalam pantauan FITRA masih ada banyak permasalahan dalam mekanisme penganggaran di DPR. Meski demikian, Yuna menuturkan ada faktor pendorong beberapa anggota dewan melakukan korupsi. "Banggar dan anggota dewan kan bisa menjadi mesin uang parpolnya. Ini menunjukkan demokrasi yang diciptakan oleh mereka dengan biaya tinggi. Ada tekanan dari parpol, mau tidak mau anggota dewan korupsi," tutur Yuna.

Ia melanjutkan, lobi politik yang terjadi di luar gedung dewan guna menggolkan anggaran kepada perusahaan atau kontaktor tertentu untuk menangani proyek-proyek DPR dan pemerintahan turut memperparah korupsi di gedung wakil rakyat. "Kan sering setelah paripurna bulan Agustus, mereka masih lanjut September bahkan dibahas lagi di luar. Proses di dewan juga kalau kita cermati, selama ini masih tertutup walaupun secara formal terbuka. Jadi tingkah seperti ini yang harus ditinggalkan," katanya.

Anggota Komisi III dari Fraksi PAN Yahdil Abdi Harahap menilai, persoalan korupsi anggota dewan tidak bisa disalahkan sistem secara menyeluruh, meski sistem penganggaran belum sempurna. Pun demikian, anggota dewan yang ditempatkan pada posisi di beberapa komisi juga tidak melalui seleksi secara integritas dan kredibilitas. Letak permasalahan penting adalah pada mentalitas anggota dewan. "Porsi mentalitas ini sangat luar biasa mempengaruhi perilaku korupsi di semua sektor dan intitusi (apalagi di DPR)," tutur Yahdil.

Yahdil menambahkan, sistem yang dijalankan selama ini juga mampu mengetahui adanya tindak pidana korupsi. Yahdil menghimbau, setiap anggota dewan hendaknya membangun komunikasi efektif dan berkualitas kepada daerah dan konstituen pemilihannya ketimbang memperkaya diri lewat korupsi. "Saya kira tidak salah sistem sekarang. Buktinya alarm korupsi berbunyi ko di sistem sekarang," ujarnya

Peneliti the Political Literacy Institute Dirga Maulana melihat korupsi yang terjadi di Senayan menunjukkan perilaku politik anggota dewan hampir sampai titik nadir. Sistem yang dindikasikan korup, diperparah dengan budaya politik kekanak-kanakan. Kedewasaan politik dengan sikap keterbukaan dan mementingkan masyarakat jauh ditinggalkan. "Kekanak-kanakan itu karena mentalitas mereka rusak dan sifat individualisme. Budaya politiknya juga korup. Kalau mau diperbaiki, perbaikilah mentalitas dan budaya para anggota dewan. Bukan sistemnya yang disalahkan. Kalau mereka paham betul dengan esensi demokrasi, biayanya pasti tidak mahal. Penguatan Demokrasi itu bukan melalui uang, tapi ada pada civil society," tegas Dirga.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menuturkan, selain mentalitas yang menjadi titik persoalan terjadinya korupsi di DPR, pengawasan dan penegakkan hukum tidak berjalan dengan maksimal. Keberadaan sistem pemilu yang terjadi selama ini dengan menggunakan uang untuk membeli suara partai dan masyarakat juga menjadi jalan perilaku korup anggota dewan. "Belum jelas itu sistem yang mana. Bisa jadi kalau mereka sebut sistem, bisa saja sistem pemilu yang menghalalkan money politic. Mereka jor-joran di Pemilu, pas jadi anggota dewan uang mereka yang dulu sudah dikeluarkan, diambil lagi dengan jalan korupsi itu. Ditambah lagi mereka harus setor uang ke parpol," ucap Ray.

Ray melanjutkan, perubahan sistem penganggaran di DPR tidak akan bisa mencegah perilaku korupsi anggota dewan. Pasalnya, sistem penganggaran dan politik tertutup dan terbuka tetap akan mengakibatkan peluang korupsi. "Tetap saja mereka akan korupsi dengan sistem terbuka atau tertutup," tambah Ray.

Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif bahkan menekankan perpaduan sistem dan orang tidak bisa dinafikan. Rendahnya integritas dan kualitas menimbulkan postur dan figur anggota dewan yang tidak memadai secara moral dan tanggungajawab kepada publik. "Orang seperi itu rentan melakukan korupsi ketika memasuki sistem, apalagi sistemnya juga korup. Kalau hanya mengandalkan gaji yang ada tidak bisa kalau untuk setor ke partai. Sistem dan orangnya saling melengkapi, bahkan saling menjerat, " kata Yudi. .sabir

Liputan 27 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar