Oleh: Sabir*
Kebudayaan yang merupakan sebuah hasil dari pergulatan pemikiran, kebiasaan dan perbuatan di masa lalu ternyata tidak diam sehingga menjadi jati diri bangsa. Ia bergerak, bergulir dan selalu berkembang sesuai dengan keberadaan aktor pelaksana dari masa lampau hingga masa kini bahkan masa yang akan datang.
Jika kita melihat dalam satu tahun ke belakang beberapa peristiwa yang merongrong kekayaan kebudayaan Indonesia terasa menyesakan dada. Beberapa di antaranya pengakuan Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayange dan penggunaan Tari Pendet pada promosi oleh Malaysia. Padahal keseluruhan kebudayaan tersebut merupakan hasil pergulatan emosional, intelektual dan ideologis yang diciptakan, dibangun dan diperjuangkan bersama bertahun-tahun oleh para leluhur Indonesia. Mengapa ini bisa terjadi?
Pengklaiman yang dilakukan oleh saudara lama Indonesia tersebut tidak bisa disalahkan sepihak. Sebagai warga negara yang arif, hendaknya kita berani mengevaluasi terhadap keadaan/kekurangan bangsa dan apa yang telah dilakukan kemudian memperbaiki kesalahan-kesalahan. Dan pemuda sebagai salah satu komponen masyarakat juga harus mengakuinya sebagai bagian dari kesalahan mereka.
Pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan suatu bangsa tidak akan pernah terlepas dari kontribusi seluruh komponen masyarakat. Salah satu komponen yang tidak dapat dilupakan kontribusinya adalah pemuda. Pemuda merupakan sosok penting yang dinamis dan enerjik, memiliki peluang lebih luas dan merupakan lokomotif masa depan bangsa di seluruh lini kehidupan.
Pada konteks inilah posisi dan peran pemuda sebagai lokomitif masa depan kebudayaan Indonesia setidaknya ada 3 (tiga) faktor utama yang diperlukan guna membangun bangsa sebagaimana yang diutarakan Robert R. Corkhuff dalam metode pertumbuhan pribadi (bagi pemuda) untuk mengembangkan potensi kepemimpinannya, yaitu:
Menyelidiki dimana kedudukan anda dalam dunia anda;
Mengerti dimana kedudukan anda dalam hubungan dengan tujuan yang ingin dicapai; dan
Melangkah dari kedudukan dimana anda ke tujuan yang anda inginkan.
Tiga sifat kepribadian tersebut akan terlaksana jika pemuda mampu membarengi dengan 5 (lima) sikap mendasar:
Empati, pemuda hendaknya memposisikan diri dan merasakan/berempati terhadap segala permasalahan bangsa, khususnya empati dan sesnsivitas kebudayaan;
Otentik atau asli, mengakui kelemahan dalam diri dan bangsanya, tapi berusaha menutupinya dengan skill, intelektual dan potensinya demi pembangunan dan masa depan tanah air;
Respek, merespon secara langsung kondisi negara dan memberikan pemecahan masalah dan kontribusi terbaik dengan kemampuan yang dimilikinya;
Konfrontasi/berhadapan atau bertatapan, berani mengevaluasi terhadap keadaan/kekurangan bangsa dan apa yang telah dilakukan kemudian memperbaiki kesalahan-kesalahan;
Perwujudan diri, sebagai seorang calon pemimpin masa depan hendaknya produktif dan mandiri terlepas dari kepentingan pribadi, golongan dan berbagai macam pihak yang akan merugikan rakyat, negara bahkan agamanya meskipun pada akhirnya pemuda bukanlah pihak yang diuntungkan dengan hal tersebut.
*Artikel pernah terbit di Rubrik SUARA MAHASISWA, Koran SINDO, 30 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar