Oleh: SABIR LALUHU*
“Indonesia Tanpa Maluku Bukanlah Indonesia.” (Bung Karno)
Merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak bahwa Indonesia sebagai sebuah nation-state (negara-bangsa), terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain. Sehingga secara sederhana negara-bangsa Indonesia dapat disebut sebagai masyarakat multikultural.
Namun dipihak lain, realitas multikultural yang bersumber dari daerah-daerah yang mengintegrasikan diri kedalam negara-bangsa ini terkadang seolah terlupakan oleh pemerintah pusat. Dan salah satu daerah penyusun Indonesia yang hampir terlupakan adalah Maluku.
Bagi orang Maluku, hampir keseluruhan, pasti sudah mengenal tarian Bambu Gila, Tari Lenso, Keindahan Pantai Natsepa-Liang, Batu Capeo hingga makanan khas Maluku; Papeda. Mungkin hanya cengkeh dan pala yang sudah ‘terakreditasi’ sebagai hasil alam Maluku nomor satu di Dunia. Tetapi realitas hasil kebudayaan, keragaman pariwisata dan kekayaan alam tersebut hanya dikenal oleh warga Maluku semata bukan dikenal secara nasional. Tidak satupun dikenal secara nasional atau internasional. Bahkan hasil kebudayaan Maluku belum diakui sebagai kekayaan budaya Indonesia secara nasional.
Gaung tarian Bambu Gila dan Tari Lenso dikalahkan oleh Tari Jaipong, Tari Pendet atau Batik yang kini jadi seragam nasional para pegawai pemerintahan. Keindahan alam Maluku dikalahkan gaung perkenalan dan promosinya secara nasional dan internasional oleh Pulau Bali. Dari segi makanan, gaung Papeda pun tak terdengar ke seantaro Nusantara.
Sail Banda 2010 dan Upaya Permohonan Maaf Pemerintah Pusat
Sebagai sebuah realitas, Maluku dalam buku ‘Sejarah Indonesia Modern 1200-2008’ karya M.C. Ricklefs digambarkan bahwa semenjak tahun 1630 M, Maluku adalah bagian integral Indonesia yang sangat diperhitungkan baik dari sisi kebudayaan, keindahan alam dan kekayaan sumber daya alam (pala dan cengkeh). Bukan hanya itu, Maluku merupakan penyumbang cita rasa Indonesia yang tidak dapat dilupakan oleh para penjajah baik Belanda maupun Jepang.
Pra kemerdekaan, Maluku menempatkan duo pahlawannya Kapitan Pattimura dan Cristina Martatiahahu beserta rakyat Maluku pada zaman mereka sebagai pejuang kemerdekaan yang terus berusaha bersatu dalam satu kesatuan negara-bangsa Indonesia. Maka jelas ungkapan Bung Karno dipermulaan tulisan ini tidaklah perlu diragukan lagi keabsahannya. Maluku adalah bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari Indonesia.
Sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya – yang kemudian diikuti era reformasi – kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Krisis moneter, ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997 mengakibatkan terjadinya krisis kultural dan nilai-nilai keluhuran tradisi daerah di dalam kehidupan bangsa dan negara hingga ke dalam tatanan daerah Maluku.
Pasca konfilk tahun 1999, Maluku dan seluruh kepulauan di sekitarnya mulai bersolek dan mempercantik diri hingga hari ini. Hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa Maluku adalah sebuah komunitas yang ramah, memiliki budaya multietnis-multikultural, daerah yang aman, tenteram dan damai.
Pelaksanaan even internasional Sail Banda 2010 yang berlangsung satu bulan penuh sejak 12 Juli hingga 17 Agustus, merupakan satu inisiatif positif pemerintah yang memang tidak bisa dipandang sebelah mata dan perlu diapresiasi, terutama kepada pemerintah pusat.
Menurut Dr. Aji Sularso, MMA Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti yang pernah ditulis oleh salah satu koran nasional, bahwa pelaksanaan even Sail Banda 2010 bertujuan mempercepat pembangunan kawasan Maluku.
Mengapa baru sekarang pemerintah pusat menyadari tentang penting membangun Maluku?
Sail Banda 2010 yang terdiri dari tujuh kegiatan utama dan sepuluh kegiatan pendukung yang memiliki visi-misi: Making Maluku As East Gate Indonesia, Creating The Best Sailing Passage, Developing Potential of Marine and Fisheries of Maluku for People's Welfare, dan Promotion World Class Tourism Destination, merupakan sebuah ajang atau cara permohonan maaf secara halus pemerintah pusat kepada seluruh masyarakat Maluku yang hampir terlupakan selama beberapa dasawarsa.
Komunikasi antar Semua Elemen
Komunikasi merupakan setiap proses pertuakaran informasi, gagasan dan perasaan. Proses itu meliputi informasi yang disampaikan tidak hanya secara lisan dan tulisan, tetapi juga dengan bahasa tubuh, gaya maupun penampilan diri, atau menggunakan alat bantu di sekeliling kita untuk memperkaya pesan (Hybels dan Weafer II, 1992).
Jika ditempatkan dalam pelaksanaan komunikasi, Maluku adalah sebuah pesan komunikasi yang sangat indah dan harus disampaikan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia, baik daerah dan paling penting yaitu pemerintah pusat. Hal itu dilakukan dengan tetap berpegang teguh bahwa proses penyampaian Maluku sebagai pesan diintegrasikan ke dalam satu kesatuan. Sebagai sebuah pesan, Maluku harus dan tetap mendapat porsi yang sama dengan daerah-daerah lainnya. Apalagi, khususnya dalam bidang kebudayaan.
Kebudayaan Maluku jangan sampai ditempatkan lebih rendah dan mendapatkan sedikit porsi dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam penyampaiannya kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia Internasional.
Perlu ditekankan bahwa sesungguhnya tradisi lokal dan kebudayaan lokal Maluku sarat akan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Oleh karena itu, berbagai upaya komunikasi perlu dan terus dilakukan oleh masyarakat Maluku, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hal itu dilakukan agar Maluku sebagai sebuah realitas integral Indonesia tidak terlupakan.
Sehingga, proses penyampaian informasi dan gagasan tentang Maluku sebagai sebuah pesan komunikasi merupakan sebuah langkah tepat untuk memahami dan menganalisis seberapa jauh keterlibatan kita dalam membangung Maluku. Pun demikian, proses penyampaian Maluku sebagai sebuah pesan jangan terhenti hanya pada satu metode, cara, media atau satu even; Sail Banda 2010. Akan tetapi proses tersebut dilakukan terus menerus dan berkesinambungan.
Artikel ini pernah terbit di Koran Ambon Ekspres, Jum'at 6 Agustus 2011
*Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar