Oleh: Sabir Laluhu
A. Pendahuluan
Dalam konteks keindonesiaan, perubahan yang dilakukan oleh oganisasi pemuda ke arah yang lebih baik pernah dan terus dirintis berkesinambung oleh Himpunan Mahasiswa Islam. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan di Yogyakarta pada 5 Februari 1947, dimasa revolusi kemerdekaan yang penuh dengan gejolak, idealisme dan heroisme HMI merupakan organisasi mahasiswa tertua di Indonesia, sejak awal berdirinya HMI telah menggariskan tekadnya untuk independen, tidak terikat secara struktural atau aspiratif dengan organisasi manapun.
Oleh para pendirinya yaitu: Lafran Pane, Kartono Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainah, M. Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi dab Bidron Hadi, memiliki motivasi dasar melalui nilai perjuangan dan pemikiran HMI semenjak didirikan adalah ikut mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam (Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, HMI Mengayuh Di Antara Cita dan Kritik, 1998, h. 12).
Pada setiap momen yang menentukan dalam perjalanan pertumbuhan dan perkembangan umat Islam dan bangsa Indonesia, HMI tidak pernah melewatkannya tanpa partisipasi yang aktif, kreatif dan korektif. Kiprah HMI yang demikian itu disebabkan oleh kesadaran kuat setiap insan HMI bahwa iman yang diyakini, Ilmu yang dimiliki senantiasa menghendaki perwujudan dalam amal nyata demi mencari ridho Allah SWT. Karena sesejatinya manusia adalah yang berguna bagi bangsa Negara dan agamanya.
B. Realitas Kader HMI Masa Kini
Dalam perjalanan menorehkan tinta emas kepada ibu pertiwi Indonesia, HMI berusaha mengembangkan dan mentransorfatifkan nilai-nilai keislaman yang dibarengi dengan semangat nasionalisme keindonesiaan. HMI memiliki tiga perumusan dalam posisi di tengah-tengah masyarakakat, bangsa, negara dan agama: Pertama, sebagai organisasi pemuda Islam, memiliki tanggungjawab sebagai agent of change bangsa dan negara.
Kedua, sebagai organisasi mahasiswa, memiliki tanggungjawab dalam persoalan kemahasiswaan khususnya perguruan tinggi umumnya. Ketiga, sebagai pendukung dasar Islam, bertanggungjawab terhadap penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Namum, realitas keislaman, kebangsaan dan keindonesiaan semenjak tahun 1980 hingga detik ini arah perjuangan dan pemikiran kader HMI lebih bersifat pragmatis. …karena sampai tahun 1979 HMI kiprahnya masih menonjol, namun memasuki tahun 1980, mengalami degradasi baik secara organisatoris, aktivitas dan pemikiran Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, 2008, h. 51).
Perlu dipahami bahwa HMI adalah hanya sebuah benda mati yang tidak bernafas, bergerak, beraktivitas dan berkembang biak seperti manusia. Penyampaian Kanda Agussalim Sitompul tersebut perlu ditelaah dan dimengerti secara eksplisit atau kontekstual. Bukan hanya HMI yang mengalami degradasi secara organisatoris, aktivitas dan pemikiran saja, akan tetapi para kadernya telah terperosok dalam degradasi secara perilaku organisasi, aktivitas, pemikiran dan moral.
Sifat pragmatisme yang dilakukan kader HMI dalam menjalankan roda organisasi HMI dapat dicerminkan dalam setiap aktivitasnya yang bisa jadi keseluruhannya berorientasi pada kekuasaan, politik, keuntungan dan mementingkan kebenaran individu (kader dan HMI tanpa melihat kebenaran orang/organisasi sekitarnya).
Orintasi pada kekuasaan, politik, keuntungan dan kebenaran individu tersebut mengakibatkan HMI dan para kadernya lupa akan nilai kesalehan sosial yaitu berbuat bagi bagi seluruh masyarakat di sekitarnya (kampus, kosan, rumah, dan paling besar adalah rakyat Indonesia).
Selain melupakan kesalehan sosial, kader HMI lupa akan peningkatan secara akademis dan intelektual sebagai perwujudan menterjemahkan lima kualitas insane cita Kualitas Insan Akademis; Kualitas Insan Pencipta; Kualitas Insan Pengabdi; Kualitas Insan yang Bernafaskan Islam dan Kualitas Insan Yang Bertanggungjawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur Diridhoi Allah SWT.
C. Menterjemahkan Nilai Perjuangan dan Pemikiran HMI Pada Masa Kini dan Masa Depan
Pada setiap momen yang menentukan dalam perjalanan pertumbuhan dan perkembangan umat Islam dan bangsa Indonesia. HMI melalui seluruh kadernya hendaknya menampilkan diri sebagai organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan tidak pernah melewatkannya tanpa partisipasi yang aktif, kreatif dan korektif. Kiprah HMI yang demikian itu disebabkan oleh kesadaran kuat setiap insan HMI bahwa iman yang diyakini, Ilmu yang dimiliki senantiasa menghendaki perwujudan dalam amal nyata demi mencari ridho Allah SWT. Karena sesejatinya manusia adalah yang berguna bagi bangsa Negara dan agamanya.
Kehadiran HMI juga harus bersikap dengan benar-benar independent, tanpa kompromi dan tidak tersubordinasi oleh oleh pihak manapun dengan didasari independensi etis dan organisatoris. Independensi etis berarti HMI hanya berpihak pada hakikat kemanusiaan yang selalu komit terhadap kebenaran. Independensi organistoris berarti secara organisatoris HMI akan selalu aktif berkiprah dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara, tanpa harus berafiliasi pada organisasi manapun.
Sebagai pewaris masa depan bangsa, nilai dan peran seluruh kader HMI sangat dinanti bangsa yang sedang sakit dan krisis akan sosok pemimpin ideal, dengan menterjemahkan nilai perjuangan dan pemikiran HMI semenjak didirikan: ikut mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam ke dalam langkah kongkrit dalam dunia nyata sehingga mampu menjawab tantangan serta hambatan globalisasi
Abdul Irsan, seorang Diplomat Indonesia dalam bukunya Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi mengatakan bahwa hubungan antar bangsa akan terus mengalami perkembangan secara berkesinambungan dengan munculnya berbagai isu politik baru. Bahkan menurutnya, dunia telah mengalami perkembangan positif setelah periode 1989 karena dengan kemajuan dan kecanggihan tekhnologi informasi dan komunikasi, telah terjadi hubungan, kontak dan interaksi yang lebih intensif antar kawasan di dunia.
Kesemuanya itu terlaksana dalam waktu yang relatif singkat (Abdul Irsan: 2007).
Jika dahulu ‘Mempertahankan Negara Republik Indonesia’ oleh para pendiri HMI diterjemahkan dengan melawan penjajah Belanda dan Jepang, saat ini ‘Mempertahankan Negara Republik Indonesia’ bisa dimulai dari hal yang sederhana dengan mengakui diri sebagai orang daerah dari berbagai macam suku (Batak, Sunda, Dayak, Betawi, Buton, Ambon, Makassar, Bugis, Padang, Palembang, Lombok, Bali), melestarikan bahasa dan kebudayaan daerah. Selain itu juga terus berusaha melakukan bakti sosial atau kerja nyata di pelosok-pelosok daerah dan perbatasan NKRI dengan negara lainnya.
Mempertinggi derajat Rakyat Indonesia, dahulu kala jika kita bertemu dan bersilaturahmi dengan para senior atau kahmi-kahmi kita, mereka selalu menceritakan: ”Kalau zaman abang dulu, atau Kalau Zaman Yunda dulu kita sering menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran kepada masyarakat disekitar cabang atau komisariat kita.” Kenapa kita tidak menterjemahkan semangat para senior kita?
Mempertinggi derajat Rakyat Indonesia merupakan out put (hasil) dari sesuatu yang telah dilakukan. Perlu ditegaskan bahwa out put yang baik tergantung dari in put yang dilakukan seseorang atau organisasi ke dalam dirinya. Jika dikaitkan dengan kader HMI, maka kader HMI memproyeksikan dirinya agar berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas, memiliki intelektualitas sesuai keilmuannya, berpikir rasional-transformatif.
Hal itu semua didapatkan karena in put yang baik, bagus dan benar dari aktivitas membaca teks, konteks dan sosial kemasyarakatan. Karena apa yang kita lihat, apa yang kita dengar dan apa yang kita rasakan semuanya adalah pendidikan. Pendidikan bagi diri sendiri, organisasi dan seluruh masyarakat guna mempertinggi derajat Rakyat Indonesia.
Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam, ketika pertama kali berdiri nilai perjuangan dan pemikiran HMI ini merupakan hal yang impossible but possible, namun dalam perjalanannya possible but impossible.
Saat ini dan untuk masa depan hendaknya nilai perjuangan itu kembali dibuat menjadi impossible but possible. Mungkin kita pernah mendengar Lembaga Dakwah Kampus (LDK), sebuah lembaga yang mungkin bagi kader HMI merupakan organisasi pesaing ketat HMI dalam meneruskan perjuangan eksistensi dirinya. Ternyata jika kita menelaah lebih jauh ternyata metode perekrutan anggota dan halaqoh yang dilakukan oleh mereka dengan sistem murobbi pernah dilakukan oleh HMI melalui Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) yang salah satu tokoh LDMI-nya adalah Amin Rais.
Kenyataan kalau umat masih banyak yang mengalami kerusakan moral, berarti dakwah itu sendiri belum mengenai sasaran. Secara garis besar dakwah menurut Toha Yahya Umar, dilakukan dengan tiga cara. Yaitu, dakwah bil lisan (dakwah ucapan), dakwah bil kalam (dengan tulisan) dan dakwah bil hal (dengan perbuatan nyata) … cara penyampaian dakwah itu pun sangat mempengaruhi baik buruknya moral umat (Drs. Hamdan Dly., M.Si, Membangun Kerukunan Berpolitik dan Beragama di Indonesia, 2002), h. 191).
Jika melihat tiga kategori dakwah dan fenomena globalisasi di atas, maka kader HMI seharusnya mampu menjadi pelopor dakwah dengan perbuatan nyata dengan menyelaraskan perkataan dan perbuatan dalam semua akses kehidupan. Selain itu kader HMI juga hendaknya mampu mengoptimalkan penguasaan dan pemanfaatan tekhnologi komunikasi dan informasi khususnya internet (dakwah bil kalam) guna penyebaran nilai-nilai luhur agama serta menjaga keutuhan NKRI. Penguasaan dan pemanfaatan tekhnologi tersebut dapat diakses oleh seluruh masyarakat dunia.
Selain itu, kader HMI juga dapat melakukan dialog keagamaan. Sudah saatnya kita bangsa Indonesia sama-sama menyadari bahwa dewasa ini kita sangat membutuhkan iklim wacana terbuka tentang agama sehingga para penganut ummat beragama mempunyai wawasan yang luas dan luwes untuk menghilangkan rasa fanatisme sempit. Salah satu wacana intelektual yang sangat penting dilakukan bahkan sudah menjadi suatu kebutuhan bersama di abad ke 21 ini adalah pentingnya kita membangun dialog keagamaan. Dialog tersebut dapat dilakukan internal pemeluk agama yang sama dan dapat pula antar pemeluk agama yang berbeda (Muhammad M. Basyuni, Esai-Esai Keagamaan, 2008, h. 3).
Dialog keagamaan perlu dilakukan karena ada kebenaran lain di luar kebenaran kita. Umat Islam memiliki kebenaran dalam ajarannya, umat kristiani memiliki kebenaran dalam ajarannya, umat hindu memiliki kebenaran dalam ajarannya atau umat agama lainnya. Sehingga jika dialog keagamaan akan menghasilkan kalimatunsawa’ dalam ajaran antar seluruh pemeluk agama, namun bukan membenarkan seluruh agama.
Hal tersebut dimaksudkan agar tidak lagi terjadi seorang beragama atas dasar klaim kebenaran agamanya, membenarkan konflik dengan agama lain, baik itu pemurtadhan, pemboman di daerah-daerah atas nama agama, atau kerusuhan seperti kasus Ambon. Jika tidak demikian, maka HMI dapat melakukan kegiatan seperti pesantren kilat baik di tingkatan sekolah-sekolah, universitas, desa, kelurahan atau tingkat provinsi guna memberikan pemahaman keagamaan secara komprehensif.
Dalam konteks keumatan, keislaman dan keindonesiaan, maju atau mundurnya bangsa ini tentunya akan mempunyai dampak positif atau negatif kepada Islam dan umat Islam. Kemajuan Indonesia akan berdampak ‘kredit’ kepada umat Islam Indonesia … dan kemunduran bangsa Indonesia akan berdampak ‘diskredit’ bagi umat Islam … (Budhy Munawar Rahman, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, 2007, h. 182).
Sebagai penutup, adalah kontribusi terpenting seluruh kader HMI yaitu dengan pengamalan ilmu yang telah diperolehnya, dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai mujahid pembela agama dan bangsa, pembimbing umat ke jalan yang diridhoi-Nya, dan dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia-akhirat sebagai perwujudan Menterjemahkan Motivasi Dasar Pendirian HMI dalam Dunia Nyata.
Namun, upaya penterjemahan tersebut semua diserahkan kepada keputusan individu kader HMI dalam mengambil sikap dalam menyatu dengan umat, menyatu dengan bangsa.
* Makalah ini disampaikan pada Diskusi Yang diadakan Bidang PA HMI KOMFAKDA Cabang Ciputat, Rabu 30 Juni 2010
* Sabir adalah Wasekum PA HMI KOMFAKDA 2008-2009, Peserta Terbaik LK 2 HMI Cabang Persiapan Sumbawa Barat 2009 dan Presiden BEM FIDKOM 2010-2011.
DAFTAR PUSTAKA
Basyuni, Muhammad M., Esai-Esai Keagamaan. Jakarta: FDK Press, 2008.
Dly., Hamdan, Drs. M.Si, Membangun Kerukunan Berpolitik dan Beragama di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Agama & Diklat Keagamaan Depag RI, 2002.
Irsan, Abdul, Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi. Jakarta: Grafindo Khazah Ilmu, 2007
Rahman, Budhy Munawar, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid,. Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007.
Sitompul, Agussalim, Prof. Dr. H., 44 Indikator Kemunduran HMI, Cet.III. Jakarta: Misaka Galiza, 2008.
------------------------------------------, HMI Mengayuh Di Antara Cita dan Kritik, Cet. Kedua. Jakarta: Misaka Galiza, 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar