Oleh: Sabir Laluhu*
Tulisan ini dimuat di Jurnal Populer PLURALITA AVICENNA (HMI CAB. CIPUTAT) Edisi Perdana Volume 1 Nomor 1, Tahun I; November-Desember 2011
Mahasiswa, sebuah komunitas yang hadir menyertai nafas aktivitas setiap kampus baik sekolah tinggi, akademi, institut, maupun universitas. Dus, denyut nadi kampus digerakkan dengan kehadiran mereka. Meski demikian, keberadaan komponen lain seperti para dosen, satpam, pekerja rumah tangga, pekerja kebersihan, dan lain-lainnya tidak bisa dinafikan.
Kehadiran mahasiswa menjadikan kehidupan keluarga besar mahasiswa dan aktivitas kemahasiswaan di dalamnya ibarat rumah yang menaungi mereka. Rumah untuk berteduh, rumah untuk bersenda-gurau, rumah untuk berdialektika, rumah untuk berorganisasi, rumah untuk mengembangkan kreatifitas, rumah untuk menciptakan saling pengertian, dan rumah untuk menjalin cinta, kasih, dan sayang selayaknya sebuah keluarga.
Demikian pula akktifitas kemahasiswaan yang digerakkan oleh mahasiswa/i Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (selanjutnya akan disebut dengan UIN Jakarta). Tapi, UIN Jakarta pernah merasakan sengatan volt listrik tegangan tinggi NKK/BKK lewat senat. Sengatan senat yang berasal dari pemerintah pada masa itu membungkan suara keras mahasiswa/i. Walau demikian, mahasiswa/i di masa itu meninggalkan jejak dan relief sejarah sebagai kaum intelektual yang indah dipandang, dibicarakan, dan dinikmati hingga hari ini.
Namun, bekas luka sengatannya tidak dapat dihilangkan. Garis-garis bekas sengatannya menyayat tubuh kreatifitas, membungkan suara, dan menghilangkan daya kreatifitas dari, oleh, dan untuk mahasiswa. Pemerintahan mahasiswa disusun oleh, dari pemerintah, rektorat, dan dekanat, untuk mahasiswa. Aumannya terhenti bersamaan dengan bergulirnya gerakan reformasi 21 Mei 1998, tapi tidak berhenti hingga hari ini.
Mahasiswa UIN Jakarta melalului aktivis, organisatoris, dan intelektual angkatan 1998 dengan kejernihan hati mendirikan Keluarga Besar Mahasiswa UIN Jakarta pada 29 November 1998 dengan sistem pemerintahan mahasiswa Students Government (SG) dengan keterlibatan partai mahasiswa sebagai fasilitator untuk memilih para wakil di lembaga eksekutif dan legislatif pada pemilihan umum raya kampus (Pemira). Pemilihannya bahkan berbeda dengan sistem senat. Jika senat tanpa kehadiran partai dengan menggunakan hak pemilihan oleh ketua kelas hanya satu suara, maka SG pemilihan dengan satu insan satu suara. Bahkan SG berjalan tanpa surat keterangan untuk pencalonan diri individu dari pemangku kebijakan di setiap jajaran kampus – jurusan, dekanat, dan rektorat - seperti sistem senat.
Ibarat memasuki alur labirin nan panjang dan mesin waktu, sistem senat ingin dihidupkan kembali oleh pemangku kebijakan kampus ‘tertinggi'. Di setiap pertemuan dengan perwakilan-perwakilan mahasiswa dari fakultas, UKM, dan partai, mereka seolah bernostalgia. “Kalau jaman kami dulu kami bisa melaksanakan senat …, cobalah dilaksanakan seperti itu.” Nostalgia ini ingin ditularkan di saat SG telah memasuki usia 11 tahun (1998-2011).
Jika salah satu permasalahannya adalah konflik, maka manusia adalah sumber konflik. Setiap kehadiran dan aktivitas mereka akan selalu terjadi konflik antar satu dengan yang lainnya, bahkan pada sistem yang dijalankan oleh mahasiswa/i; senat dan SG.
Lalu…
Memaksa bukanlah tindakan tepat, saling menyalahkan bukan jalan terbaik. Tetapi dialog dengan inklusif adalah jalan terbaik bagi penyelesaian masalah yang melilit sistem pemerintahan mahasiswa dalam kampus kita tercinta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan melibatkan pemangku kebijakan kampus dan mahasiswa. Karena, setiap masalah pasti bisa dibicarakan.[]
* Pemimpin Redaksi Pluralita Avicenna dan
Ketua Bidang Pemberdayaan Umat HMI Cabang Ciputat
Selasa, 13 Desember 2011
Minggu, 09 Oktober 2011
MENGGUGAT POLITIK DINASTI
Oleh : Sabir Laluhu (Ketua Bidang Pemberdayaan Umat HMI Cabang Ciputat 2011-2012)
Semenjak reformasi 1998 hingga hari ini, ruang publik terbuka untuk siapa saja. Arus dan aliran keterbukaan informasi, komunikasi, dan demokrasi-politik menguntungkan masing-masing warga negara untuk mengekspresikan diri. Reformasi ini terjadi dengan sangat menginginkan terjadinya empat perubahan mendasar yaitu: penyelenggaraan negara lebih demokratis, transparan, akuntabilitas tinggi, dan good governance-clean government; terjadinya perubahan mental bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, dan persaudaraan; penyelenggaraan otonomi daerah; dan penyelenggaraan Pemilu yang lebih baik.
Selain empat perubahan itu, amanah reformasi juga menghendaki tercapainya tujuh tuntutan reformasi: amandemen UUD 1945; penghapusan dwi fungsi ABRI; penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM; pemberantasan KKN; desentralisasi dan hubungan adil pusat-daerah; mewujudkan kebebasan pers; dan mewujudkan kehidupan demokrasi.
Pada tahap inilah ruang demokrasi Indonesia mengakibatkan terjadinya demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan, sehingga melahirkan banyak partai politik yang berjibaku guna mendapatkan simpati, suara, dan massa yang lebih banyak demi mencapai kekuasaan baik dalam tataran legislatif maupun eksekutif. Contoh paling jelas dengan adanya dua kali pemilihan umum (Pemilu), tahun 1999 dan 2004. Keterbukaan akses dan keran demokrasi juga menguntungkan masyarakat baik sebagai individu, kelompok, organisasi, maupun keluarga untuk masuk sebagai anggota atau kader partai politik dan calon eksekutif-legislatif.
Keterlibatan Keluarga dan Politik Dinasti
Tentang keterlibatan masyarakat dalam politik, masyarakat tidak boleh alergi terhadap politik, artinya umat harus paham politik. Tetapi kita juga harus memahami the limit of politics. Dalam politik ada batas-batas yang harus dipahami. Jika pengertian dan batas-batas politik tidak dipahami akan menimbulkan kerugian, pengurangan sumber daya manusia, dan pembiayaan pada bidang-bidang lain yang bersifat nonpolitik dalam kehidupan umat (Azyumardi Azra, 2000).
Keluarga merupakan sebuah awal dari kehidupan dan partisipasi dalam masyarakat. Faktor keluarga adalah sebuah fakta penting yang sangat mempengaruhi keterlibatan dalam ranah politik. Keterlibatan ini bisa dimulai untuk memberikan pengertian dan saran, hingga menjadi keluarga besar sebagai aktor politik. Keterlibatan keluarga besar dalam politik menciptakan iklim politik kerajaan – politik dinasti - dengan memasukan, mengikutsertakan, dan melanggengkan anggota keluarga (murni ataupun besan) sebagai aktor politik, kader, dan pemimpin dari tingkatan RT hingga Presiden.
Secara sepintas hampir tidak ada hubungannya antara politik dan dinasti. Politik terlahir dari sisitem demokrasi dengan kekuasaan di tangan rakyat, sedangkan dinasti lebih banyak disematkan dalam sistem imperial kerajaan/monarki yang kekuasaannya di tangan garis keturunan keluarga. Meski demikian, jika kita bercermin dengan implementasi proses demokratisasi Indonesia, politik dinasti ini sudah terjadi. Tidak heran kita mengenal ‘Dinasti Kayu’, ‘Dinasti Jalan’, ‘Dinasti Kelurahan’, ‘Dinasti Jawara’, hingga ‘Dinasti Pengusaha’ yang berakar hampir di seluruh garis struktur kekuasaan baik partai politik maupun pemerintahan.
Politik dinasti (keluarga) terwujud sebagai akibat dari hadirnya anggota-anggota keluarga dalam ranah politik (dinasti-dinasti politik). Keterlibatana anggota-anggota keluarga dalam politik memang tidak perlu dipersalahkan sepenuhnya. Namun, jika dinasti-dinasti politik ini masuk atau menjadi kader partai dan difasilitasi sebagai pemangku kebijakan dalam struktur kekuasaan-pemerintahan tanpa skil dan kemampuan yang mumpuni atau keilmuan yang sesuai dengan bidangnya, maka hal ini tidaklah dibenarkan. Bukankankah akan hancur suatu urusan (bangsa) jika urusan itu tidak diserahkan kepada ahlinya?.
Menurut Mohammad Hatta, azas liberalisme Barat yang diadopsi - hingga hari ini - dalam pelaksanaan proses demokratisasi di Indonesia membangunkan kapitalisme modern dan imperialisme perekonomian dan politik. Hatta melanjutkan, demokrasi politik bersifat manipulatif atau memutarbalikkan azas yang baik seperti kedaulatan rakyat menjadi alat untuk menindas rakyat (Zulkifli Suleman, 2010). Manipulatisasi demokrasi politik pada prinsipnya akan mengakibatkan no trust society.
Sebagai contoh, menjelang Era Reformasi bergejolak, telah terjadi gelombang no trust society kepada Dinasti Cendana. Seluruh masyarakat Indonesia meyakini bahwa keluarga Cendana telah menciptakan dan menjalankan politik dinasti dengan memasukan anggota keluarga pada struktur kekuasaan dan kepemilikan terhadap aset-aset negara. No trust society akhirnya menggulingkan politik dinasti ini pada gelombang aksi reformasi 21 Mei 1998.
Penyelewengan Orientasi
Meski kepercayaan masyarakat kepada politik dinasti telah berkurang dengan tumbangnya status quo Dinasti Cendana, kelanggengan politik dinasti kembali terjadi mulai Pemilu (1999 dan 2004), pemilihan gubernur, pemilihan bupati/walikota hingga pemilihan ketua rukun tetangga (RT).
Politik dinasti yang mengambil ruang dalam euphoria reformasi lebih mementingkan kepentingan keluarga dan atau kelompok - anggota keluaga, besan, menantu, teman, kolega - kepentingan masyarakat dan bangsa dikesampingkan. Kondisi ini memang sangatlah memprihatinkan, betapa tidak beberapa praktik politik dinasti yang dijalankan oleh dinasti politik saat ini mengakibatkan pengangguran meningkat, perilaku KKN dan penyakit sosial kian marak, eksploitasi sumber daya alam tak terkendali, penyelewengan aset negara-daerah semakin marak, kepatuhan kepada hukum rendah, sendi-sendi demokrasi kurang dihargai, dan pudarnya etika kehidupan berbangsa.
Nilai etis (etnical values) merupakan sebuah nilai yang terkandung dalam perilaku yang didasarkan kepada rasionalitas, nilai kemanusiaan, dan kesadaran moral. Sebagai pemegang amanah rakyat, hakikatnya orientasi kebijakan diarahkan pada pemenuhan hak kesejahteraan rakyat secara menyeluruh tanpa membeda-bedakan nasab kekeluargaan, kolega, dan patronase. Nilai etis politik diharapkan mampu menggabungkan antara teologi rasional dan teologi tradisional dalam tindakan politik. Indikasinya adalah intuisi (intuitif) kepada akhlak, etika, dan moral tanpa menafikan rasionalitas dalam manjalankan perbuatan politik.
Namun pada sisi berbeda, saat ini orientasi kebijakan yang terlahir dari kekuasaan politik dinasti dan dinasti politik menciptakan imperium yang sangat berakar dan menggurita dalam struktur kekuasaan yang susah disentuh oleh hukum apalagi masyarakat awam. Kondisi yang hampir sama seperti sebelum Era Reformasi.
Pada praktiknya politik yang dilakukan oleh para elit politik dan pelaksana kebijakan publik tidak mencerminkan tanggungjawab kepada publik atau masyarakat luas. Kebijakan yang diambil, diputuskan, ditetapkan, dan dijalankan dan atau beberapa kasus yang terjadi segala sesuatu ukuran yang dipakai adalah kebenaran politik berdasarkan penilaian rasionalitas untung rugi di antara kelompok dan keluarga mereka. Sedangkan publik terkadang harus bingung dan tidak mendapatkan efek positif dari kebijakan, kasus yang terselesaikan, dan even demokrasi politik – pusat dan daerah – pada pemilihan eksekutif dan legislatif.
Penyelewengan orientasi oleh pelaksana politik dinasti terlihat jelas pada keinginan – meski terselubung – tercapainya kekuasaan, kekayaan, eksistensi, dan kelanjutan hidup dinasti tersebut. Orientasi keinginan ini menjadikan para aktor politik dinasti sebagai pelacur politik dan kekuasaan.
Sehingga guna menyikapi penyelewengan, setiap anggota masyarakat hendaknya mampu menjadi pengawas, pemantau, dan pengontrol perilaku-perilaku politik dinasti yang menyimpang dari etnical values kesejahteraan rakyat. Pun demikian, jika sebuah pesta demokrasi seperti pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah (gubernur dan walikota/bupati) akan dilaksanakan, maka perlu kiranya masyarakat menjadi pemilih cerdas dan cerdas memilih agar tidak terjadi penyelewengan orientasi.
Semenjak reformasi 1998 hingga hari ini, ruang publik terbuka untuk siapa saja. Arus dan aliran keterbukaan informasi, komunikasi, dan demokrasi-politik menguntungkan masing-masing warga negara untuk mengekspresikan diri. Reformasi ini terjadi dengan sangat menginginkan terjadinya empat perubahan mendasar yaitu: penyelenggaraan negara lebih demokratis, transparan, akuntabilitas tinggi, dan good governance-clean government; terjadinya perubahan mental bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, dan persaudaraan; penyelenggaraan otonomi daerah; dan penyelenggaraan Pemilu yang lebih baik.
Selain empat perubahan itu, amanah reformasi juga menghendaki tercapainya tujuh tuntutan reformasi: amandemen UUD 1945; penghapusan dwi fungsi ABRI; penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM; pemberantasan KKN; desentralisasi dan hubungan adil pusat-daerah; mewujudkan kebebasan pers; dan mewujudkan kehidupan demokrasi.
Pada tahap inilah ruang demokrasi Indonesia mengakibatkan terjadinya demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan, sehingga melahirkan banyak partai politik yang berjibaku guna mendapatkan simpati, suara, dan massa yang lebih banyak demi mencapai kekuasaan baik dalam tataran legislatif maupun eksekutif. Contoh paling jelas dengan adanya dua kali pemilihan umum (Pemilu), tahun 1999 dan 2004. Keterbukaan akses dan keran demokrasi juga menguntungkan masyarakat baik sebagai individu, kelompok, organisasi, maupun keluarga untuk masuk sebagai anggota atau kader partai politik dan calon eksekutif-legislatif.
Keterlibatan Keluarga dan Politik Dinasti
Tentang keterlibatan masyarakat dalam politik, masyarakat tidak boleh alergi terhadap politik, artinya umat harus paham politik. Tetapi kita juga harus memahami the limit of politics. Dalam politik ada batas-batas yang harus dipahami. Jika pengertian dan batas-batas politik tidak dipahami akan menimbulkan kerugian, pengurangan sumber daya manusia, dan pembiayaan pada bidang-bidang lain yang bersifat nonpolitik dalam kehidupan umat (Azyumardi Azra, 2000).
Keluarga merupakan sebuah awal dari kehidupan dan partisipasi dalam masyarakat. Faktor keluarga adalah sebuah fakta penting yang sangat mempengaruhi keterlibatan dalam ranah politik. Keterlibatan ini bisa dimulai untuk memberikan pengertian dan saran, hingga menjadi keluarga besar sebagai aktor politik. Keterlibatan keluarga besar dalam politik menciptakan iklim politik kerajaan – politik dinasti - dengan memasukan, mengikutsertakan, dan melanggengkan anggota keluarga (murni ataupun besan) sebagai aktor politik, kader, dan pemimpin dari tingkatan RT hingga Presiden.
Secara sepintas hampir tidak ada hubungannya antara politik dan dinasti. Politik terlahir dari sisitem demokrasi dengan kekuasaan di tangan rakyat, sedangkan dinasti lebih banyak disematkan dalam sistem imperial kerajaan/monarki yang kekuasaannya di tangan garis keturunan keluarga. Meski demikian, jika kita bercermin dengan implementasi proses demokratisasi Indonesia, politik dinasti ini sudah terjadi. Tidak heran kita mengenal ‘Dinasti Kayu’, ‘Dinasti Jalan’, ‘Dinasti Kelurahan’, ‘Dinasti Jawara’, hingga ‘Dinasti Pengusaha’ yang berakar hampir di seluruh garis struktur kekuasaan baik partai politik maupun pemerintahan.
Politik dinasti (keluarga) terwujud sebagai akibat dari hadirnya anggota-anggota keluarga dalam ranah politik (dinasti-dinasti politik). Keterlibatana anggota-anggota keluarga dalam politik memang tidak perlu dipersalahkan sepenuhnya. Namun, jika dinasti-dinasti politik ini masuk atau menjadi kader partai dan difasilitasi sebagai pemangku kebijakan dalam struktur kekuasaan-pemerintahan tanpa skil dan kemampuan yang mumpuni atau keilmuan yang sesuai dengan bidangnya, maka hal ini tidaklah dibenarkan. Bukankankah akan hancur suatu urusan (bangsa) jika urusan itu tidak diserahkan kepada ahlinya?.
Menurut Mohammad Hatta, azas liberalisme Barat yang diadopsi - hingga hari ini - dalam pelaksanaan proses demokratisasi di Indonesia membangunkan kapitalisme modern dan imperialisme perekonomian dan politik. Hatta melanjutkan, demokrasi politik bersifat manipulatif atau memutarbalikkan azas yang baik seperti kedaulatan rakyat menjadi alat untuk menindas rakyat (Zulkifli Suleman, 2010). Manipulatisasi demokrasi politik pada prinsipnya akan mengakibatkan no trust society.
Sebagai contoh, menjelang Era Reformasi bergejolak, telah terjadi gelombang no trust society kepada Dinasti Cendana. Seluruh masyarakat Indonesia meyakini bahwa keluarga Cendana telah menciptakan dan menjalankan politik dinasti dengan memasukan anggota keluarga pada struktur kekuasaan dan kepemilikan terhadap aset-aset negara. No trust society akhirnya menggulingkan politik dinasti ini pada gelombang aksi reformasi 21 Mei 1998.
Penyelewengan Orientasi
Meski kepercayaan masyarakat kepada politik dinasti telah berkurang dengan tumbangnya status quo Dinasti Cendana, kelanggengan politik dinasti kembali terjadi mulai Pemilu (1999 dan 2004), pemilihan gubernur, pemilihan bupati/walikota hingga pemilihan ketua rukun tetangga (RT).
Politik dinasti yang mengambil ruang dalam euphoria reformasi lebih mementingkan kepentingan keluarga dan atau kelompok - anggota keluaga, besan, menantu, teman, kolega - kepentingan masyarakat dan bangsa dikesampingkan. Kondisi ini memang sangatlah memprihatinkan, betapa tidak beberapa praktik politik dinasti yang dijalankan oleh dinasti politik saat ini mengakibatkan pengangguran meningkat, perilaku KKN dan penyakit sosial kian marak, eksploitasi sumber daya alam tak terkendali, penyelewengan aset negara-daerah semakin marak, kepatuhan kepada hukum rendah, sendi-sendi demokrasi kurang dihargai, dan pudarnya etika kehidupan berbangsa.
Nilai etis (etnical values) merupakan sebuah nilai yang terkandung dalam perilaku yang didasarkan kepada rasionalitas, nilai kemanusiaan, dan kesadaran moral. Sebagai pemegang amanah rakyat, hakikatnya orientasi kebijakan diarahkan pada pemenuhan hak kesejahteraan rakyat secara menyeluruh tanpa membeda-bedakan nasab kekeluargaan, kolega, dan patronase. Nilai etis politik diharapkan mampu menggabungkan antara teologi rasional dan teologi tradisional dalam tindakan politik. Indikasinya adalah intuisi (intuitif) kepada akhlak, etika, dan moral tanpa menafikan rasionalitas dalam manjalankan perbuatan politik.
Namun pada sisi berbeda, saat ini orientasi kebijakan yang terlahir dari kekuasaan politik dinasti dan dinasti politik menciptakan imperium yang sangat berakar dan menggurita dalam struktur kekuasaan yang susah disentuh oleh hukum apalagi masyarakat awam. Kondisi yang hampir sama seperti sebelum Era Reformasi.
Pada praktiknya politik yang dilakukan oleh para elit politik dan pelaksana kebijakan publik tidak mencerminkan tanggungjawab kepada publik atau masyarakat luas. Kebijakan yang diambil, diputuskan, ditetapkan, dan dijalankan dan atau beberapa kasus yang terjadi segala sesuatu ukuran yang dipakai adalah kebenaran politik berdasarkan penilaian rasionalitas untung rugi di antara kelompok dan keluarga mereka. Sedangkan publik terkadang harus bingung dan tidak mendapatkan efek positif dari kebijakan, kasus yang terselesaikan, dan even demokrasi politik – pusat dan daerah – pada pemilihan eksekutif dan legislatif.
Penyelewengan orientasi oleh pelaksana politik dinasti terlihat jelas pada keinginan – meski terselubung – tercapainya kekuasaan, kekayaan, eksistensi, dan kelanjutan hidup dinasti tersebut. Orientasi keinginan ini menjadikan para aktor politik dinasti sebagai pelacur politik dan kekuasaan.
Sehingga guna menyikapi penyelewengan, setiap anggota masyarakat hendaknya mampu menjadi pengawas, pemantau, dan pengontrol perilaku-perilaku politik dinasti yang menyimpang dari etnical values kesejahteraan rakyat. Pun demikian, jika sebuah pesta demokrasi seperti pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah (gubernur dan walikota/bupati) akan dilaksanakan, maka perlu kiranya masyarakat menjadi pemilih cerdas dan cerdas memilih agar tidak terjadi penyelewengan orientasi.
Selasa, 16 Agustus 2011
MENILIK PERJALANAN BANGSA DAN MERAJUT NASIONALISME BARU MENJELANG HUT RI KE-66
Oleh: Sabir
Menilik perjalanan Indonesia memang tidak mudah membalikan telapak tangan. Indonesia sebagai sebuah bangsa telah melalui lika-liku, intrik dan fenomena dalam perjalanannya membangun tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga dapat diakui oleh masyarakat dunia internasional.
Pada 17 Agustus 2011 (besok), terhitung sejak proklamasi kemerdekaan, Bangsa Indonesia telah menginjak usia ke-66. Selama lebih dari setengah abad usianya, bangsa ini telah melalui fase krusial. Pada hari-hari ini, Bangsa Indonesia dihadapkan pada kompleksitas masalah yang membutuhkan penanganan segera, terpadu dan kebijakan yang tepat sasaran dan efektif. Apakah ketika Bangsa Indonesia menginjak satu abad (100 tahun), Indonesia masih mampu menjaga kondisi dan keutuhan seperti sekarang ini?.
Proses Kebangsaan
Mengenai proses kebangsaan Indonesia, kita bisa mengaitkan dengan tiga pendekatan ‘teori klasik’. Pertama, Indonesia ataupun bangsa-bangsa lain di manapun juga hadir dan eksis karena adanya corak atau pengalaman bersama dengan merasakan adanya perasaan senasib sepenanggungan. Bangsa Indonesia memiliki kesamaan sejarah, khususnya mulai ari penjajahan Belanda dan Jepang, kemudian masa-masa awal kemerdekaan dan pembangunan.
Kedua, sebuah bangsa hadir dan eksis bilamana terdapat “common enemies” (musuh bersama), yang pada masa lalu berupa kolonialisme dan imperialisme secara fisik, sehingga lebih kongkrit dan nyata. Pada masa kini, musuh bersama telah demikian kompleks dan abstrak, tidak jelas sosok dan wujudnya. Kita relatif lebih kesulitan untuk menentukan siapa musuh bersama itu. Ironisnya, kerap musuh bersama tersebut hadir di tengah-tengah kita tanpa kita sadari keberadaanya.
Ketiga, eksistensi dan kelangsungan hidup Bangsa Indonesia dapat dilihat dari perspektif “nation state”. Perspektif ini ditandai dengan posisi dan peran pemerintah, yang bertugas memberikan pelayanan bukan beban kepada warga Negara. Disini kita melihat bahwa secara umum penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sejak era kemerdekaan hingga pasca Orde Baru bahkan Reformasi, praktiknya masih jauh dari tujuan bangsa.
Kalau melihat tiga indikator di atas, maka tidak salah jika banyak pihak yang meragukan eksistensi Indonesia yang utuh, damai dan sejahtera di masa depan.
Nasionalisme Baru
Paham kebangsaan yang mendasari pada konsepsi dasar identitas Indonesia, pada setiap zaman memiliki tuntutan dan tantangan tersendiri. Aktualisasi paham kebangsaan terus diuji oleh kompleksitas tantangan zaman. Tatkala Indonesia diyakini tengah dalam kondisi terpuruk akibat krisis multidimensional, paham kebangsaan juga tetap dipercaya sebagai faktor utama yang mempersatukan Indonesia. Dari sinilah diyakini, bahwa paham kebangsaan bukan suatu yang bersifat statis, melainkan senantiasa dinamis dan dialektis.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita dihadapkan pada banyak pilihan. Kenyataannya, sepanjang kehadirannya tidak semua pilihan yang diambil selalu mengalami keberhasilan dan kegagalan. Semua merupakan pengalaman yang tiada nilainya bagi bangsa Indonesia. Paham kebangsaan telah memberikan peluang bagi bangsa Indonesia dalam menentukan pilihan-pilihannya sendiri dalam menggapai cita-cita, keadilan dan kemakmuran.
Pilihan-pilihan yang diambil dalam konteks penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara acapkali tidak mudah untuk dilakukan. Perbedaan kepentingan, orientasi maupun ideologi bisa menjadi faktor yang menyebabkan kesepakatan bersama menjadi sulit untuk dicapai.
Konsepsi dasar Indonesia yang terus berproses dalam pembentukan nation and character building, menegaskan perlunya kontruksi atas visi masa depan, membutuhkan pendekatan-pendekatan yang tepat bagi upaya perwujudannya. Jadi proses “menjadi Indonesia” belumlah selesai dan akan terus berkembang.
Dari sinilah semakin disadari perlunya Nasionalisme Baru: sebuah cara pandang yang lebih komprehensif, bahwa persoalan kebangsaan tidak lepas dari dimensi permasalahan internal dan eksternal. Secara internal, kita dapat memerinci lebih lanjut ke dalam identifikasi permasalahan bangsa. Demikian pula secara eksternal, kita segera mengaitkannya dengan tantangan globalisasi.
Nasionalisme Baru juga bermakna bahwa yang telah terjadi di masa lalu dan sebagai bagian dari sejarah bangsa, merupakan moral yang berharga untuk diambil pelajaran bagi upaya kesinambungan, bangsa hari ini dan masa depan. Sebagai bangsa kita harus menyerap energi kebaikan masa lalu, kemudian menghimpunnya kembali dan dengan strtegi baru yang disemangati oleh nasionalisme baru, maka masa depan bangsa akan ditentukan. Nasionalisme baru, realistis dalam memandang pelbagai persolan, demikian juga kita mampu memunculkan upaya solutif untuk mengatasi persoalan.
Nasionalisme Lama cenderung bercorak emosional, tidak rasional, sloganistik, reaktif dan konfrontatif. Masih melekat dalam ingatan kita era Kepemimpinan Soekarno yang senantiasa menekankan slogan perlawanan atas neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia, maka Soekarno berujar: “Inggris kita linggis, Amerika kita seterika”, “Malaysia bonekanya kaum Imperialis (AS dan Inggris)”. Nasionalisme yang dikemukakan Soekarno adalah bentuk dari nasionalisme lama, yang heroic dan konfrontatif.
Nasionalisme Baru lebih bersifat realistif, mengedepankan pertimbangan rasional, bersifat komprehensif, solutif, menomorsatukan aspek kualitas sumberdaya manusia dan kemampuan untuk berkompetisi, khususnyanya di arena global-di tengah derasnya arus globalisasi dunia.
Nasionalisme Baru, tetap merupakan cerminan dari kebangsaan atas dasar nasionalistis yang didasarkan pada kepentingan bangsa. Nasionalisme Baru lebih menekankan kerja-kerja dan aktivitas yang produktif. Produktivitas dicapai, karena adanya kualitas sumberdaya manusia yang ada, dan itulah yang menjadi modal utama bangsa Indonesia untuk berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain. Secara tidak langsung, dengan demikian nasionalisme Baru memberikan jaminan bagi kesejahteraan bangsa secara luas.
Menilik perjalanan Indonesia memang tidak mudah membalikan telapak tangan. Indonesia sebagai sebuah bangsa telah melalui lika-liku, intrik dan fenomena dalam perjalanannya membangun tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga dapat diakui oleh masyarakat dunia internasional.
Pada 17 Agustus 2011 (besok), terhitung sejak proklamasi kemerdekaan, Bangsa Indonesia telah menginjak usia ke-66. Selama lebih dari setengah abad usianya, bangsa ini telah melalui fase krusial. Pada hari-hari ini, Bangsa Indonesia dihadapkan pada kompleksitas masalah yang membutuhkan penanganan segera, terpadu dan kebijakan yang tepat sasaran dan efektif. Apakah ketika Bangsa Indonesia menginjak satu abad (100 tahun), Indonesia masih mampu menjaga kondisi dan keutuhan seperti sekarang ini?.
Proses Kebangsaan
Mengenai proses kebangsaan Indonesia, kita bisa mengaitkan dengan tiga pendekatan ‘teori klasik’. Pertama, Indonesia ataupun bangsa-bangsa lain di manapun juga hadir dan eksis karena adanya corak atau pengalaman bersama dengan merasakan adanya perasaan senasib sepenanggungan. Bangsa Indonesia memiliki kesamaan sejarah, khususnya mulai ari penjajahan Belanda dan Jepang, kemudian masa-masa awal kemerdekaan dan pembangunan.
Kedua, sebuah bangsa hadir dan eksis bilamana terdapat “common enemies” (musuh bersama), yang pada masa lalu berupa kolonialisme dan imperialisme secara fisik, sehingga lebih kongkrit dan nyata. Pada masa kini, musuh bersama telah demikian kompleks dan abstrak, tidak jelas sosok dan wujudnya. Kita relatif lebih kesulitan untuk menentukan siapa musuh bersama itu. Ironisnya, kerap musuh bersama tersebut hadir di tengah-tengah kita tanpa kita sadari keberadaanya.
Ketiga, eksistensi dan kelangsungan hidup Bangsa Indonesia dapat dilihat dari perspektif “nation state”. Perspektif ini ditandai dengan posisi dan peran pemerintah, yang bertugas memberikan pelayanan bukan beban kepada warga Negara. Disini kita melihat bahwa secara umum penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sejak era kemerdekaan hingga pasca Orde Baru bahkan Reformasi, praktiknya masih jauh dari tujuan bangsa.
Kalau melihat tiga indikator di atas, maka tidak salah jika banyak pihak yang meragukan eksistensi Indonesia yang utuh, damai dan sejahtera di masa depan.
Nasionalisme Baru
Paham kebangsaan yang mendasari pada konsepsi dasar identitas Indonesia, pada setiap zaman memiliki tuntutan dan tantangan tersendiri. Aktualisasi paham kebangsaan terus diuji oleh kompleksitas tantangan zaman. Tatkala Indonesia diyakini tengah dalam kondisi terpuruk akibat krisis multidimensional, paham kebangsaan juga tetap dipercaya sebagai faktor utama yang mempersatukan Indonesia. Dari sinilah diyakini, bahwa paham kebangsaan bukan suatu yang bersifat statis, melainkan senantiasa dinamis dan dialektis.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita dihadapkan pada banyak pilihan. Kenyataannya, sepanjang kehadirannya tidak semua pilihan yang diambil selalu mengalami keberhasilan dan kegagalan. Semua merupakan pengalaman yang tiada nilainya bagi bangsa Indonesia. Paham kebangsaan telah memberikan peluang bagi bangsa Indonesia dalam menentukan pilihan-pilihannya sendiri dalam menggapai cita-cita, keadilan dan kemakmuran.
Pilihan-pilihan yang diambil dalam konteks penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara acapkali tidak mudah untuk dilakukan. Perbedaan kepentingan, orientasi maupun ideologi bisa menjadi faktor yang menyebabkan kesepakatan bersama menjadi sulit untuk dicapai.
Konsepsi dasar Indonesia yang terus berproses dalam pembentukan nation and character building, menegaskan perlunya kontruksi atas visi masa depan, membutuhkan pendekatan-pendekatan yang tepat bagi upaya perwujudannya. Jadi proses “menjadi Indonesia” belumlah selesai dan akan terus berkembang.
Dari sinilah semakin disadari perlunya Nasionalisme Baru: sebuah cara pandang yang lebih komprehensif, bahwa persoalan kebangsaan tidak lepas dari dimensi permasalahan internal dan eksternal. Secara internal, kita dapat memerinci lebih lanjut ke dalam identifikasi permasalahan bangsa. Demikian pula secara eksternal, kita segera mengaitkannya dengan tantangan globalisasi.
Nasionalisme Baru juga bermakna bahwa yang telah terjadi di masa lalu dan sebagai bagian dari sejarah bangsa, merupakan moral yang berharga untuk diambil pelajaran bagi upaya kesinambungan, bangsa hari ini dan masa depan. Sebagai bangsa kita harus menyerap energi kebaikan masa lalu, kemudian menghimpunnya kembali dan dengan strtegi baru yang disemangati oleh nasionalisme baru, maka masa depan bangsa akan ditentukan. Nasionalisme baru, realistis dalam memandang pelbagai persolan, demikian juga kita mampu memunculkan upaya solutif untuk mengatasi persoalan.
Nasionalisme Lama cenderung bercorak emosional, tidak rasional, sloganistik, reaktif dan konfrontatif. Masih melekat dalam ingatan kita era Kepemimpinan Soekarno yang senantiasa menekankan slogan perlawanan atas neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia, maka Soekarno berujar: “Inggris kita linggis, Amerika kita seterika”, “Malaysia bonekanya kaum Imperialis (AS dan Inggris)”. Nasionalisme yang dikemukakan Soekarno adalah bentuk dari nasionalisme lama, yang heroic dan konfrontatif.
Nasionalisme Baru lebih bersifat realistif, mengedepankan pertimbangan rasional, bersifat komprehensif, solutif, menomorsatukan aspek kualitas sumberdaya manusia dan kemampuan untuk berkompetisi, khususnyanya di arena global-di tengah derasnya arus globalisasi dunia.
Nasionalisme Baru, tetap merupakan cerminan dari kebangsaan atas dasar nasionalistis yang didasarkan pada kepentingan bangsa. Nasionalisme Baru lebih menekankan kerja-kerja dan aktivitas yang produktif. Produktivitas dicapai, karena adanya kualitas sumberdaya manusia yang ada, dan itulah yang menjadi modal utama bangsa Indonesia untuk berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain. Secara tidak langsung, dengan demikian nasionalisme Baru memberikan jaminan bagi kesejahteraan bangsa secara luas.
Senin, 15 Agustus 2011
KEMENANGAN IGO, KEMENANGAN NEGERI RAJA-RAJA
Oleh: SABIR LALUHU*
Semua berawal enam minggu lalu (sebelum Agustus 2010) di ruang tamu kos-kosan saya di Ciputat Tangerang Selatan Banten. Pada saat itu setelah penat beraktifitas dengan aktifitas kampus, bersama teman-teman, saya menyaksikan acara di layar kaca. Teman saya menggantikan chanel siaran ke RCTI. Mata ini tidak memperdulikan seluruh kontestan yang tampil di panggung Indonesian Idol.
Saya menganggap seluruh kontestan yang tampil dan pagelaran Indonesian Idol 2010 biasa-biasa saja, mungkin karena diri ini belum mengetahui, satu kontestan dari tanah Ambon. Saya tidak tertarik menyaksikannya. Di lain sisi, bagi saya nama-nama para juara Indonesian Idol di setiap tahunnya selalu tenggelam beberapa bulan atau beberapa tahun setelah meraih juara.
Usai menyaksikan pagelaran itu salah satu teman mengatakan, bahwa satu dari lima kontestan lima besar tersebut berasal dari Ambon dan memiliki kulitas suara yang lumayan bagus. Saya tidak mempercayai ucapannya. Tapi didorong rasa penasaran untuk membuktikannya, diri ini berguman 'minggu depan saya harus menonton lagi pertunjukan tersebut.
Satu minggu setelahnya, saya menyaksikan tahap empat besar. Salah satu kontestan yaitu Igo (Elicohen Christellgo Pentury) ternayata membawakan lagu Enggo Lari, lagu yang dipopulerkan oleh Yopie Latu, penyayi nasional yang berasal dari tanah Ambon. Lagu Enggo Lari sudah saya dengar sejak kecil di ambon. Hati ini berguman 'ini pasti nyong ambon'. Meski sedikit lupa, akhirnya diri ini bernyanyi mengikuti kemerduan suara Igo.
Apa yang saya perkirakan tidak meleset sedikitpun. Comment dari agnes monica 'kamu hebat memilih lagu dari daerah kamu yang orang kebanyakan tidak tahu' dan pernyataan Erwin Gutawa yang menyebutkan penyanyi-penyanyi asal Maluku/Ambon yang berkibar di blantika musik nasional, seperti Melly Goeslow, Harvey Malaiholo, Yopie Latu dan Glenn Fredly memperkuat perkiraan ini.
Mulai saat itu saya memutuskan untuk terus menyaksikan penampilan Igo di panggung Indonesian Idol 2010 melalui layar kaca. Memberi dukungan dan do'a untuk kemenangannya.
Dua tahun lalu, pada pagelaran Indonesian Idol 2008, Ambon pernah menempatkan salah satu putra terbaiknya dalam bidang tarik suara, Wilson, yg lolos ke grand final. Sayang, perjuangannya kandas oleh Rini sebagai Juara Indonesian Idol 2008.
Pada tahun itu Igo mencoba peruntungannya pula, namun segudang harapannya kandas di tahap eliminasi. Tahun 2008, seolah kelam bagi keduanya untuk melambungkan nama negeri raja-raja ini dalam kontes Indonesian Idol. Sebuah kegagalan yang menyisakan duka bagi masyarakat Maluku secara umum, dan masyarakat Ambon secara khusus.
Belajar dari kegagalan
Perlu ditekankan bahwa, jika ditempatkan dalam komunikasi antarpribadi, menyanyi atau melantunkan suara yang berirama merupakan sebuah upaya penyampaian pesan dengan menggunakan variasi vokal kepada komunikan (pendengar atau pemirsa) sehingga mereka terhibur. Beberapa ahli paralinguistik berpendapat, variasi vokal akan sangat dinikmati oleh telinga dan terasa nyaman didengar oleh orang lain tergantung pada kualitas suara, ciri vokal, pembatasan vokal dan pemisahan vokal.
Menurut Trager, seorang pakar paralinguistik, mengklasifikasikan paralinguistik menjadi dua bagian besar, pertama kualitas suara dan kedua vokalisasi. Aspek pertama, kualitas suara seseorang ditentukan oleh rentang titi nada (pembesaran dan pengecilan suara), kontrol vokal melalui bibir, kontrol suara melalui celah bibir, kontrol titi nada, kontrol artikulasi, kontrol irama, gaungan dan memiliki tempo atau waktu jeda. Aspek kedua, vokalisasi ditentukan oleh karakteristik vokal, jenis vokal dan pemisahan vokal atau suara (Dr. Alo Liliweri, M.S., 2007).
Selain itu menurut hemat penulis, faktor pengalaman, usia, pengendalian emosi dan kemampuan mengontrol suasana adalah penentu kematangan vokalisasi, kematangan kualitas suara dan menghibur komunikan (pendengar, audiens atau pemirsa).
Kegagalan Igo pada eliminasi tahun 2008, memberikan kesempatan baginya untuk mendirikan grup band bersama teman sejawatnya guna menambah jam terbang, mengasah pengalaman, mematangkan variasi vokal, mematangkan kualitas suara dan memperkaya upaya penguasaan suasana baik ruang maupun kontak diri dengan komunikan.
Dari segi pengendalian emosi, usia yang semakin bertambah memberikan motivasi terhadap pengendalian emosinya. Namun yang paling penting adalah nilai keluruhan tradisi lokal dan kebudayaan lokal Maluku yang memberikan kontribusi terpenting terhadap pengendalian emosinya. Hal ini dipelajari dari keluarga, teman sejawat, sekolah, lingkungan sekitar dan masyarakat.
Satu ungkapan dari film 'Batman Begin' coba penulis kutip, Mengapa kita (manusia) terjatuh? Supaya kita belajar untuk bangkit. Igo 'terjatuh' saat tahap eliminasi Indonesian Idol 2008, supaya Igo bangkit menjadi superstar.
2010 sebagai Tahun Maluku
Tahun 2010 pagelaran Indonesian Idol kembali dilaksanakan, Igo yang kembali mengikuti audisi akhirnya lolos sebagai utusan Ambon Manise. Olehnya, Ia berhak untuk menginjakkan kaki di panggung gemerlap Indonesian Idol 2010 di Jakarta dan berkompetisi dengan 18 orang utusan dari daerah lainnya. Perjalanan di panggung tersebut bukan tanpa hambatan. Tawa, tangis, haru dan sedih adalah perasaan yang menyertai perjalanannya. Berbagai kritikan dari dewan juri tak bisa disebutkan satu persatu.
Hal itu tidak menggoyahkan usaha, harapan, cita dan niat yang telah ditanamkan dalam dirinya. Menjelang empat besar hingga babak grand final Indonesian Idol 2010, kemampuan mengontrol suasana, performance, kualitas suara dan vokalisasi Igo mendapat apresiasi positif dari seluruh warga Indonesia dan dewan juri. Charly vokalis ST12 yang menjadi juri tamu pada saat 'ST12 Edition' berlinangan air mata dan terkesima saat Igo melantunkan dua lagu, Saat Terakhir dan Putri Iklan.
Akhirnya bersama tiga juri lainnya Erwin Gutawa, Agnes Monica dan Anang Hermansyah dengan kompak mengatakan 'Igo, malam ini milik kamu'.
Tidak sampai disitu, pada edisi 3 besar menuju grand final seluruh juri selalu mengatakan kepadanya, 'Igo, malam ini milik kamu'. Bahkan hingga sebelum pengumuman pemenang, dari empat juri tetap mengakui kualitas Igo. Tapi, dua diantaranya, Agnes Monica-Erwin Gutawa memilih Igo dan Rossa-Anang Hermansyah memilih Citra sebagai pemenang. Saat itu, untaian do'a terus berkumandang dari lubuk hati pendukung keduanya. Termasuk untaian do'a tiada henti dari sanubari penulis.
Namun, tepat Minggu 8 Agustus pukul 00.00 WIB atau pukul 02.00 WIT, panggung Indonesian Idol bergetar, Central Park Jakarta bergemuruh, tanah Ambon bersuka cita saat Daniel selaku Master Ceremony (MC) mengumumkan, 'Indonesian Idol 2010 adalah IGO'. Kemenangan Igo seolah menjadi sebuah puncak selebrasi umumnya masyarakat Maluku dan khususnya masyarakat Ambon. Karena pada saat bersamaan, sebuah even internasional yaitu Sail Banda 2010 sedang digelar di negeri raja-raja ini.
Kemenangan Igo seolah mentahbiskan, ini adalah kemenangan Maluku, ini adalah kemenangan Ambon. Ambon bukan lagi spesialis runner up, tapi Ambon adalah juara.
Semoga putra Ambon ini tetap eksis di blantika musik Indonesia mengikuti beberapa penyanyi-penyanyi sukses asal Ambon/Maluku. Membawa harum nama daerah dan masyarakat negeri raja-raja. Tiga kata khusus untuk Igo. "Ale memang batu".
*Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Semua berawal enam minggu lalu (sebelum Agustus 2010) di ruang tamu kos-kosan saya di Ciputat Tangerang Selatan Banten. Pada saat itu setelah penat beraktifitas dengan aktifitas kampus, bersama teman-teman, saya menyaksikan acara di layar kaca. Teman saya menggantikan chanel siaran ke RCTI. Mata ini tidak memperdulikan seluruh kontestan yang tampil di panggung Indonesian Idol.
Saya menganggap seluruh kontestan yang tampil dan pagelaran Indonesian Idol 2010 biasa-biasa saja, mungkin karena diri ini belum mengetahui, satu kontestan dari tanah Ambon. Saya tidak tertarik menyaksikannya. Di lain sisi, bagi saya nama-nama para juara Indonesian Idol di setiap tahunnya selalu tenggelam beberapa bulan atau beberapa tahun setelah meraih juara.
Usai menyaksikan pagelaran itu salah satu teman mengatakan, bahwa satu dari lima kontestan lima besar tersebut berasal dari Ambon dan memiliki kulitas suara yang lumayan bagus. Saya tidak mempercayai ucapannya. Tapi didorong rasa penasaran untuk membuktikannya, diri ini berguman 'minggu depan saya harus menonton lagi pertunjukan tersebut.
Satu minggu setelahnya, saya menyaksikan tahap empat besar. Salah satu kontestan yaitu Igo (Elicohen Christellgo Pentury) ternayata membawakan lagu Enggo Lari, lagu yang dipopulerkan oleh Yopie Latu, penyayi nasional yang berasal dari tanah Ambon. Lagu Enggo Lari sudah saya dengar sejak kecil di ambon. Hati ini berguman 'ini pasti nyong ambon'. Meski sedikit lupa, akhirnya diri ini bernyanyi mengikuti kemerduan suara Igo.
Apa yang saya perkirakan tidak meleset sedikitpun. Comment dari agnes monica 'kamu hebat memilih lagu dari daerah kamu yang orang kebanyakan tidak tahu' dan pernyataan Erwin Gutawa yang menyebutkan penyanyi-penyanyi asal Maluku/Ambon yang berkibar di blantika musik nasional, seperti Melly Goeslow, Harvey Malaiholo, Yopie Latu dan Glenn Fredly memperkuat perkiraan ini.
Mulai saat itu saya memutuskan untuk terus menyaksikan penampilan Igo di panggung Indonesian Idol 2010 melalui layar kaca. Memberi dukungan dan do'a untuk kemenangannya.
Dua tahun lalu, pada pagelaran Indonesian Idol 2008, Ambon pernah menempatkan salah satu putra terbaiknya dalam bidang tarik suara, Wilson, yg lolos ke grand final. Sayang, perjuangannya kandas oleh Rini sebagai Juara Indonesian Idol 2008.
Pada tahun itu Igo mencoba peruntungannya pula, namun segudang harapannya kandas di tahap eliminasi. Tahun 2008, seolah kelam bagi keduanya untuk melambungkan nama negeri raja-raja ini dalam kontes Indonesian Idol. Sebuah kegagalan yang menyisakan duka bagi masyarakat Maluku secara umum, dan masyarakat Ambon secara khusus.
Belajar dari kegagalan
Perlu ditekankan bahwa, jika ditempatkan dalam komunikasi antarpribadi, menyanyi atau melantunkan suara yang berirama merupakan sebuah upaya penyampaian pesan dengan menggunakan variasi vokal kepada komunikan (pendengar atau pemirsa) sehingga mereka terhibur. Beberapa ahli paralinguistik berpendapat, variasi vokal akan sangat dinikmati oleh telinga dan terasa nyaman didengar oleh orang lain tergantung pada kualitas suara, ciri vokal, pembatasan vokal dan pemisahan vokal.
Menurut Trager, seorang pakar paralinguistik, mengklasifikasikan paralinguistik menjadi dua bagian besar, pertama kualitas suara dan kedua vokalisasi. Aspek pertama, kualitas suara seseorang ditentukan oleh rentang titi nada (pembesaran dan pengecilan suara), kontrol vokal melalui bibir, kontrol suara melalui celah bibir, kontrol titi nada, kontrol artikulasi, kontrol irama, gaungan dan memiliki tempo atau waktu jeda. Aspek kedua, vokalisasi ditentukan oleh karakteristik vokal, jenis vokal dan pemisahan vokal atau suara (Dr. Alo Liliweri, M.S., 2007).
Selain itu menurut hemat penulis, faktor pengalaman, usia, pengendalian emosi dan kemampuan mengontrol suasana adalah penentu kematangan vokalisasi, kematangan kualitas suara dan menghibur komunikan (pendengar, audiens atau pemirsa).
Kegagalan Igo pada eliminasi tahun 2008, memberikan kesempatan baginya untuk mendirikan grup band bersama teman sejawatnya guna menambah jam terbang, mengasah pengalaman, mematangkan variasi vokal, mematangkan kualitas suara dan memperkaya upaya penguasaan suasana baik ruang maupun kontak diri dengan komunikan.
Dari segi pengendalian emosi, usia yang semakin bertambah memberikan motivasi terhadap pengendalian emosinya. Namun yang paling penting adalah nilai keluruhan tradisi lokal dan kebudayaan lokal Maluku yang memberikan kontribusi terpenting terhadap pengendalian emosinya. Hal ini dipelajari dari keluarga, teman sejawat, sekolah, lingkungan sekitar dan masyarakat.
Satu ungkapan dari film 'Batman Begin' coba penulis kutip, Mengapa kita (manusia) terjatuh? Supaya kita belajar untuk bangkit. Igo 'terjatuh' saat tahap eliminasi Indonesian Idol 2008, supaya Igo bangkit menjadi superstar.
2010 sebagai Tahun Maluku
Tahun 2010 pagelaran Indonesian Idol kembali dilaksanakan, Igo yang kembali mengikuti audisi akhirnya lolos sebagai utusan Ambon Manise. Olehnya, Ia berhak untuk menginjakkan kaki di panggung gemerlap Indonesian Idol 2010 di Jakarta dan berkompetisi dengan 18 orang utusan dari daerah lainnya. Perjalanan di panggung tersebut bukan tanpa hambatan. Tawa, tangis, haru dan sedih adalah perasaan yang menyertai perjalanannya. Berbagai kritikan dari dewan juri tak bisa disebutkan satu persatu.
Hal itu tidak menggoyahkan usaha, harapan, cita dan niat yang telah ditanamkan dalam dirinya. Menjelang empat besar hingga babak grand final Indonesian Idol 2010, kemampuan mengontrol suasana, performance, kualitas suara dan vokalisasi Igo mendapat apresiasi positif dari seluruh warga Indonesia dan dewan juri. Charly vokalis ST12 yang menjadi juri tamu pada saat 'ST12 Edition' berlinangan air mata dan terkesima saat Igo melantunkan dua lagu, Saat Terakhir dan Putri Iklan.
Akhirnya bersama tiga juri lainnya Erwin Gutawa, Agnes Monica dan Anang Hermansyah dengan kompak mengatakan 'Igo, malam ini milik kamu'.
Tidak sampai disitu, pada edisi 3 besar menuju grand final seluruh juri selalu mengatakan kepadanya, 'Igo, malam ini milik kamu'. Bahkan hingga sebelum pengumuman pemenang, dari empat juri tetap mengakui kualitas Igo. Tapi, dua diantaranya, Agnes Monica-Erwin Gutawa memilih Igo dan Rossa-Anang Hermansyah memilih Citra sebagai pemenang. Saat itu, untaian do'a terus berkumandang dari lubuk hati pendukung keduanya. Termasuk untaian do'a tiada henti dari sanubari penulis.
Namun, tepat Minggu 8 Agustus pukul 00.00 WIB atau pukul 02.00 WIT, panggung Indonesian Idol bergetar, Central Park Jakarta bergemuruh, tanah Ambon bersuka cita saat Daniel selaku Master Ceremony (MC) mengumumkan, 'Indonesian Idol 2010 adalah IGO'. Kemenangan Igo seolah menjadi sebuah puncak selebrasi umumnya masyarakat Maluku dan khususnya masyarakat Ambon. Karena pada saat bersamaan, sebuah even internasional yaitu Sail Banda 2010 sedang digelar di negeri raja-raja ini.
Kemenangan Igo seolah mentahbiskan, ini adalah kemenangan Maluku, ini adalah kemenangan Ambon. Ambon bukan lagi spesialis runner up, tapi Ambon adalah juara.
Semoga putra Ambon ini tetap eksis di blantika musik Indonesia mengikuti beberapa penyanyi-penyanyi sukses asal Ambon/Maluku. Membawa harum nama daerah dan masyarakat negeri raja-raja. Tiga kata khusus untuk Igo. "Ale memang batu".
*Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
MALUKU; SEBUAH REALITAS YANG (HAMPIR) TERLUPAKAN
Oleh: SABIR LALUHU*
“Indonesia Tanpa Maluku Bukanlah Indonesia.” (Bung Karno)
Merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak bahwa Indonesia sebagai sebuah nation-state (negara-bangsa), terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain. Sehingga secara sederhana negara-bangsa Indonesia dapat disebut sebagai masyarakat multikultural.
Namun dipihak lain, realitas multikultural yang bersumber dari daerah-daerah yang mengintegrasikan diri kedalam negara-bangsa ini terkadang seolah terlupakan oleh pemerintah pusat. Dan salah satu daerah penyusun Indonesia yang hampir terlupakan adalah Maluku.
Bagi orang Maluku, hampir keseluruhan, pasti sudah mengenal tarian Bambu Gila, Tari Lenso, Keindahan Pantai Natsepa-Liang, Batu Capeo hingga makanan khas Maluku; Papeda. Mungkin hanya cengkeh dan pala yang sudah ‘terakreditasi’ sebagai hasil alam Maluku nomor satu di Dunia. Tetapi realitas hasil kebudayaan, keragaman pariwisata dan kekayaan alam tersebut hanya dikenal oleh warga Maluku semata bukan dikenal secara nasional. Tidak satupun dikenal secara nasional atau internasional. Bahkan hasil kebudayaan Maluku belum diakui sebagai kekayaan budaya Indonesia secara nasional.
Gaung tarian Bambu Gila dan Tari Lenso dikalahkan oleh Tari Jaipong, Tari Pendet atau Batik yang kini jadi seragam nasional para pegawai pemerintahan. Keindahan alam Maluku dikalahkan gaung perkenalan dan promosinya secara nasional dan internasional oleh Pulau Bali. Dari segi makanan, gaung Papeda pun tak terdengar ke seantaro Nusantara.
Sail Banda 2010 dan Upaya Permohonan Maaf Pemerintah Pusat
Sebagai sebuah realitas, Maluku dalam buku ‘Sejarah Indonesia Modern 1200-2008’ karya M.C. Ricklefs digambarkan bahwa semenjak tahun 1630 M, Maluku adalah bagian integral Indonesia yang sangat diperhitungkan baik dari sisi kebudayaan, keindahan alam dan kekayaan sumber daya alam (pala dan cengkeh). Bukan hanya itu, Maluku merupakan penyumbang cita rasa Indonesia yang tidak dapat dilupakan oleh para penjajah baik Belanda maupun Jepang.
Pra kemerdekaan, Maluku menempatkan duo pahlawannya Kapitan Pattimura dan Cristina Martatiahahu beserta rakyat Maluku pada zaman mereka sebagai pejuang kemerdekaan yang terus berusaha bersatu dalam satu kesatuan negara-bangsa Indonesia. Maka jelas ungkapan Bung Karno dipermulaan tulisan ini tidaklah perlu diragukan lagi keabsahannya. Maluku adalah bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari Indonesia.
Sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya – yang kemudian diikuti era reformasi – kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Krisis moneter, ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997 mengakibatkan terjadinya krisis kultural dan nilai-nilai keluhuran tradisi daerah di dalam kehidupan bangsa dan negara hingga ke dalam tatanan daerah Maluku.
Pasca konfilk tahun 1999, Maluku dan seluruh kepulauan di sekitarnya mulai bersolek dan mempercantik diri hingga hari ini. Hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa Maluku adalah sebuah komunitas yang ramah, memiliki budaya multietnis-multikultural, daerah yang aman, tenteram dan damai.
Pelaksanaan even internasional Sail Banda 2010 yang berlangsung satu bulan penuh sejak 12 Juli hingga 17 Agustus, merupakan satu inisiatif positif pemerintah yang memang tidak bisa dipandang sebelah mata dan perlu diapresiasi, terutama kepada pemerintah pusat.
Menurut Dr. Aji Sularso, MMA Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti yang pernah ditulis oleh salah satu koran nasional, bahwa pelaksanaan even Sail Banda 2010 bertujuan mempercepat pembangunan kawasan Maluku.
Mengapa baru sekarang pemerintah pusat menyadari tentang penting membangun Maluku?
Sail Banda 2010 yang terdiri dari tujuh kegiatan utama dan sepuluh kegiatan pendukung yang memiliki visi-misi: Making Maluku As East Gate Indonesia, Creating The Best Sailing Passage, Developing Potential of Marine and Fisheries of Maluku for People's Welfare, dan Promotion World Class Tourism Destination, merupakan sebuah ajang atau cara permohonan maaf secara halus pemerintah pusat kepada seluruh masyarakat Maluku yang hampir terlupakan selama beberapa dasawarsa.
Komunikasi antar Semua Elemen
Komunikasi merupakan setiap proses pertuakaran informasi, gagasan dan perasaan. Proses itu meliputi informasi yang disampaikan tidak hanya secara lisan dan tulisan, tetapi juga dengan bahasa tubuh, gaya maupun penampilan diri, atau menggunakan alat bantu di sekeliling kita untuk memperkaya pesan (Hybels dan Weafer II, 1992).
Jika ditempatkan dalam pelaksanaan komunikasi, Maluku adalah sebuah pesan komunikasi yang sangat indah dan harus disampaikan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia, baik daerah dan paling penting yaitu pemerintah pusat. Hal itu dilakukan dengan tetap berpegang teguh bahwa proses penyampaian Maluku sebagai pesan diintegrasikan ke dalam satu kesatuan. Sebagai sebuah pesan, Maluku harus dan tetap mendapat porsi yang sama dengan daerah-daerah lainnya. Apalagi, khususnya dalam bidang kebudayaan.
Kebudayaan Maluku jangan sampai ditempatkan lebih rendah dan mendapatkan sedikit porsi dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam penyampaiannya kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia Internasional.
Perlu ditekankan bahwa sesungguhnya tradisi lokal dan kebudayaan lokal Maluku sarat akan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Oleh karena itu, berbagai upaya komunikasi perlu dan terus dilakukan oleh masyarakat Maluku, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hal itu dilakukan agar Maluku sebagai sebuah realitas integral Indonesia tidak terlupakan.
Sehingga, proses penyampaian informasi dan gagasan tentang Maluku sebagai sebuah pesan komunikasi merupakan sebuah langkah tepat untuk memahami dan menganalisis seberapa jauh keterlibatan kita dalam membangung Maluku. Pun demikian, proses penyampaian Maluku sebagai sebuah pesan jangan terhenti hanya pada satu metode, cara, media atau satu even; Sail Banda 2010. Akan tetapi proses tersebut dilakukan terus menerus dan berkesinambungan.
Artikel ini pernah terbit di Koran Ambon Ekspres, Jum'at 6 Agustus 2011
*Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
“Indonesia Tanpa Maluku Bukanlah Indonesia.” (Bung Karno)
Merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak bahwa Indonesia sebagai sebuah nation-state (negara-bangsa), terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain. Sehingga secara sederhana negara-bangsa Indonesia dapat disebut sebagai masyarakat multikultural.
Namun dipihak lain, realitas multikultural yang bersumber dari daerah-daerah yang mengintegrasikan diri kedalam negara-bangsa ini terkadang seolah terlupakan oleh pemerintah pusat. Dan salah satu daerah penyusun Indonesia yang hampir terlupakan adalah Maluku.
Bagi orang Maluku, hampir keseluruhan, pasti sudah mengenal tarian Bambu Gila, Tari Lenso, Keindahan Pantai Natsepa-Liang, Batu Capeo hingga makanan khas Maluku; Papeda. Mungkin hanya cengkeh dan pala yang sudah ‘terakreditasi’ sebagai hasil alam Maluku nomor satu di Dunia. Tetapi realitas hasil kebudayaan, keragaman pariwisata dan kekayaan alam tersebut hanya dikenal oleh warga Maluku semata bukan dikenal secara nasional. Tidak satupun dikenal secara nasional atau internasional. Bahkan hasil kebudayaan Maluku belum diakui sebagai kekayaan budaya Indonesia secara nasional.
Gaung tarian Bambu Gila dan Tari Lenso dikalahkan oleh Tari Jaipong, Tari Pendet atau Batik yang kini jadi seragam nasional para pegawai pemerintahan. Keindahan alam Maluku dikalahkan gaung perkenalan dan promosinya secara nasional dan internasional oleh Pulau Bali. Dari segi makanan, gaung Papeda pun tak terdengar ke seantaro Nusantara.
Sail Banda 2010 dan Upaya Permohonan Maaf Pemerintah Pusat
Sebagai sebuah realitas, Maluku dalam buku ‘Sejarah Indonesia Modern 1200-2008’ karya M.C. Ricklefs digambarkan bahwa semenjak tahun 1630 M, Maluku adalah bagian integral Indonesia yang sangat diperhitungkan baik dari sisi kebudayaan, keindahan alam dan kekayaan sumber daya alam (pala dan cengkeh). Bukan hanya itu, Maluku merupakan penyumbang cita rasa Indonesia yang tidak dapat dilupakan oleh para penjajah baik Belanda maupun Jepang.
Pra kemerdekaan, Maluku menempatkan duo pahlawannya Kapitan Pattimura dan Cristina Martatiahahu beserta rakyat Maluku pada zaman mereka sebagai pejuang kemerdekaan yang terus berusaha bersatu dalam satu kesatuan negara-bangsa Indonesia. Maka jelas ungkapan Bung Karno dipermulaan tulisan ini tidaklah perlu diragukan lagi keabsahannya. Maluku adalah bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari Indonesia.
Sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya – yang kemudian diikuti era reformasi – kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Krisis moneter, ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997 mengakibatkan terjadinya krisis kultural dan nilai-nilai keluhuran tradisi daerah di dalam kehidupan bangsa dan negara hingga ke dalam tatanan daerah Maluku.
Pasca konfilk tahun 1999, Maluku dan seluruh kepulauan di sekitarnya mulai bersolek dan mempercantik diri hingga hari ini. Hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa Maluku adalah sebuah komunitas yang ramah, memiliki budaya multietnis-multikultural, daerah yang aman, tenteram dan damai.
Pelaksanaan even internasional Sail Banda 2010 yang berlangsung satu bulan penuh sejak 12 Juli hingga 17 Agustus, merupakan satu inisiatif positif pemerintah yang memang tidak bisa dipandang sebelah mata dan perlu diapresiasi, terutama kepada pemerintah pusat.
Menurut Dr. Aji Sularso, MMA Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti yang pernah ditulis oleh salah satu koran nasional, bahwa pelaksanaan even Sail Banda 2010 bertujuan mempercepat pembangunan kawasan Maluku.
Mengapa baru sekarang pemerintah pusat menyadari tentang penting membangun Maluku?
Sail Banda 2010 yang terdiri dari tujuh kegiatan utama dan sepuluh kegiatan pendukung yang memiliki visi-misi: Making Maluku As East Gate Indonesia, Creating The Best Sailing Passage, Developing Potential of Marine and Fisheries of Maluku for People's Welfare, dan Promotion World Class Tourism Destination, merupakan sebuah ajang atau cara permohonan maaf secara halus pemerintah pusat kepada seluruh masyarakat Maluku yang hampir terlupakan selama beberapa dasawarsa.
Komunikasi antar Semua Elemen
Komunikasi merupakan setiap proses pertuakaran informasi, gagasan dan perasaan. Proses itu meliputi informasi yang disampaikan tidak hanya secara lisan dan tulisan, tetapi juga dengan bahasa tubuh, gaya maupun penampilan diri, atau menggunakan alat bantu di sekeliling kita untuk memperkaya pesan (Hybels dan Weafer II, 1992).
Jika ditempatkan dalam pelaksanaan komunikasi, Maluku adalah sebuah pesan komunikasi yang sangat indah dan harus disampaikan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia, baik daerah dan paling penting yaitu pemerintah pusat. Hal itu dilakukan dengan tetap berpegang teguh bahwa proses penyampaian Maluku sebagai pesan diintegrasikan ke dalam satu kesatuan. Sebagai sebuah pesan, Maluku harus dan tetap mendapat porsi yang sama dengan daerah-daerah lainnya. Apalagi, khususnya dalam bidang kebudayaan.
Kebudayaan Maluku jangan sampai ditempatkan lebih rendah dan mendapatkan sedikit porsi dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam penyampaiannya kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia Internasional.
Perlu ditekankan bahwa sesungguhnya tradisi lokal dan kebudayaan lokal Maluku sarat akan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Oleh karena itu, berbagai upaya komunikasi perlu dan terus dilakukan oleh masyarakat Maluku, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hal itu dilakukan agar Maluku sebagai sebuah realitas integral Indonesia tidak terlupakan.
Sehingga, proses penyampaian informasi dan gagasan tentang Maluku sebagai sebuah pesan komunikasi merupakan sebuah langkah tepat untuk memahami dan menganalisis seberapa jauh keterlibatan kita dalam membangung Maluku. Pun demikian, proses penyampaian Maluku sebagai sebuah pesan jangan terhenti hanya pada satu metode, cara, media atau satu even; Sail Banda 2010. Akan tetapi proses tersebut dilakukan terus menerus dan berkesinambungan.
Artikel ini pernah terbit di Koran Ambon Ekspres, Jum'at 6 Agustus 2011
*Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sabtu, 13 Agustus 2011
LOKOMOTIF MASA DEPAN KEBUDAYAAN
Oleh: Sabir*
Kebudayaan yang merupakan sebuah hasil dari pergulatan pemikiran, kebiasaan dan perbuatan di masa lalu ternyata tidak diam sehingga menjadi jati diri bangsa. Ia bergerak, bergulir dan selalu berkembang sesuai dengan keberadaan aktor pelaksana dari masa lampau hingga masa kini bahkan masa yang akan datang.
Jika kita melihat dalam satu tahun ke belakang beberapa peristiwa yang merongrong kekayaan kebudayaan Indonesia terasa menyesakan dada. Beberapa di antaranya pengakuan Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayange dan penggunaan Tari Pendet pada promosi oleh Malaysia. Padahal keseluruhan kebudayaan tersebut merupakan hasil pergulatan emosional, intelektual dan ideologis yang diciptakan, dibangun dan diperjuangkan bersama bertahun-tahun oleh para leluhur Indonesia. Mengapa ini bisa terjadi?
Pengklaiman yang dilakukan oleh saudara lama Indonesia tersebut tidak bisa disalahkan sepihak. Sebagai warga negara yang arif, hendaknya kita berani mengevaluasi terhadap keadaan/kekurangan bangsa dan apa yang telah dilakukan kemudian memperbaiki kesalahan-kesalahan. Dan pemuda sebagai salah satu komponen masyarakat juga harus mengakuinya sebagai bagian dari kesalahan mereka.
Pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan suatu bangsa tidak akan pernah terlepas dari kontribusi seluruh komponen masyarakat. Salah satu komponen yang tidak dapat dilupakan kontribusinya adalah pemuda. Pemuda merupakan sosok penting yang dinamis dan enerjik, memiliki peluang lebih luas dan merupakan lokomotif masa depan bangsa di seluruh lini kehidupan.
Pada konteks inilah posisi dan peran pemuda sebagai lokomitif masa depan kebudayaan Indonesia setidaknya ada 3 (tiga) faktor utama yang diperlukan guna membangun bangsa sebagaimana yang diutarakan Robert R. Corkhuff dalam metode pertumbuhan pribadi (bagi pemuda) untuk mengembangkan potensi kepemimpinannya, yaitu:
Menyelidiki dimana kedudukan anda dalam dunia anda;
Mengerti dimana kedudukan anda dalam hubungan dengan tujuan yang ingin dicapai; dan
Melangkah dari kedudukan dimana anda ke tujuan yang anda inginkan.
Tiga sifat kepribadian tersebut akan terlaksana jika pemuda mampu membarengi dengan 5 (lima) sikap mendasar:
Empati, pemuda hendaknya memposisikan diri dan merasakan/berempati terhadap segala permasalahan bangsa, khususnya empati dan sesnsivitas kebudayaan;
Otentik atau asli, mengakui kelemahan dalam diri dan bangsanya, tapi berusaha menutupinya dengan skill, intelektual dan potensinya demi pembangunan dan masa depan tanah air;
Respek, merespon secara langsung kondisi negara dan memberikan pemecahan masalah dan kontribusi terbaik dengan kemampuan yang dimilikinya;
Konfrontasi/berhadapan atau bertatapan, berani mengevaluasi terhadap keadaan/kekurangan bangsa dan apa yang telah dilakukan kemudian memperbaiki kesalahan-kesalahan;
Perwujudan diri, sebagai seorang calon pemimpin masa depan hendaknya produktif dan mandiri terlepas dari kepentingan pribadi, golongan dan berbagai macam pihak yang akan merugikan rakyat, negara bahkan agamanya meskipun pada akhirnya pemuda bukanlah pihak yang diuntungkan dengan hal tersebut.
*Artikel pernah terbit di Rubrik SUARA MAHASISWA, Koran SINDO, 30 Oktober 2009
Kebudayaan yang merupakan sebuah hasil dari pergulatan pemikiran, kebiasaan dan perbuatan di masa lalu ternyata tidak diam sehingga menjadi jati diri bangsa. Ia bergerak, bergulir dan selalu berkembang sesuai dengan keberadaan aktor pelaksana dari masa lampau hingga masa kini bahkan masa yang akan datang.
Jika kita melihat dalam satu tahun ke belakang beberapa peristiwa yang merongrong kekayaan kebudayaan Indonesia terasa menyesakan dada. Beberapa di antaranya pengakuan Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayange dan penggunaan Tari Pendet pada promosi oleh Malaysia. Padahal keseluruhan kebudayaan tersebut merupakan hasil pergulatan emosional, intelektual dan ideologis yang diciptakan, dibangun dan diperjuangkan bersama bertahun-tahun oleh para leluhur Indonesia. Mengapa ini bisa terjadi?
Pengklaiman yang dilakukan oleh saudara lama Indonesia tersebut tidak bisa disalahkan sepihak. Sebagai warga negara yang arif, hendaknya kita berani mengevaluasi terhadap keadaan/kekurangan bangsa dan apa yang telah dilakukan kemudian memperbaiki kesalahan-kesalahan. Dan pemuda sebagai salah satu komponen masyarakat juga harus mengakuinya sebagai bagian dari kesalahan mereka.
Pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan suatu bangsa tidak akan pernah terlepas dari kontribusi seluruh komponen masyarakat. Salah satu komponen yang tidak dapat dilupakan kontribusinya adalah pemuda. Pemuda merupakan sosok penting yang dinamis dan enerjik, memiliki peluang lebih luas dan merupakan lokomotif masa depan bangsa di seluruh lini kehidupan.
Pada konteks inilah posisi dan peran pemuda sebagai lokomitif masa depan kebudayaan Indonesia setidaknya ada 3 (tiga) faktor utama yang diperlukan guna membangun bangsa sebagaimana yang diutarakan Robert R. Corkhuff dalam metode pertumbuhan pribadi (bagi pemuda) untuk mengembangkan potensi kepemimpinannya, yaitu:
Menyelidiki dimana kedudukan anda dalam dunia anda;
Mengerti dimana kedudukan anda dalam hubungan dengan tujuan yang ingin dicapai; dan
Melangkah dari kedudukan dimana anda ke tujuan yang anda inginkan.
Tiga sifat kepribadian tersebut akan terlaksana jika pemuda mampu membarengi dengan 5 (lima) sikap mendasar:
Empati, pemuda hendaknya memposisikan diri dan merasakan/berempati terhadap segala permasalahan bangsa, khususnya empati dan sesnsivitas kebudayaan;
Otentik atau asli, mengakui kelemahan dalam diri dan bangsanya, tapi berusaha menutupinya dengan skill, intelektual dan potensinya demi pembangunan dan masa depan tanah air;
Respek, merespon secara langsung kondisi negara dan memberikan pemecahan masalah dan kontribusi terbaik dengan kemampuan yang dimilikinya;
Konfrontasi/berhadapan atau bertatapan, berani mengevaluasi terhadap keadaan/kekurangan bangsa dan apa yang telah dilakukan kemudian memperbaiki kesalahan-kesalahan;
Perwujudan diri, sebagai seorang calon pemimpin masa depan hendaknya produktif dan mandiri terlepas dari kepentingan pribadi, golongan dan berbagai macam pihak yang akan merugikan rakyat, negara bahkan agamanya meskipun pada akhirnya pemuda bukanlah pihak yang diuntungkan dengan hal tersebut.
*Artikel pernah terbit di Rubrik SUARA MAHASISWA, Koran SINDO, 30 Oktober 2009
GOOD GOVERNANCE DALAM HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)
Oleh: Sabir*
A. Pengertian Good Governance (GG)
Meskipun kata Good Governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasial masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang sustanaibilitas demokrasi itu sendiri.
Pembicaraan tentang GG tidak bisa lepas dari isu transformasi government, karena dulu yang lebih populer adalah government, bukan governance. Dulu negara (pemerintah) dianggap maha kuat (omnipotent) dan juga dipraktikkan di muka bumi ini. Ilmu politik juga punya dua perspektif utama yang menganggap penting pemerintah. Yang satu adalah perspektif institusional yang mengkaji tentang lembaga-lembaga negara termasuk pemerintah sebagai lembaga (bukan proses dan interaksi), yang lainnya adalah perspektif sistem yang berbicara tentang proses politik yang melibatkan pemerintah secara seimbang dan harmoni.
Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.
B. Prinsip-prinsip Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
1. Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2. Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
4. Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
5. Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8. Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
9. Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
C. HMI Sebagai Organisasi
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yaitu organisasi mahasiswa yang diprakarsai berdirinya oleh Lafran Pane dan didukung 14 orang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam) lainnya, didirikan di Yogyakarta 14 Rabiulawal 1366 H/ 5 Februari 1947, yang kedudukan pengurus besarnya di Jl. Diponegoro 16 Jakarta Pusat.
Sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan terbesar sekaligus tertua di Indonesia, HMI senantiasa bergelut dengan dinamika kesejarahan bangsa ini. Karena memiliki kuantitas anggota dengan mekanisme kaderisasi tersendiri, HMI niscaya melahirkan banyak kader yang memiliki kualitas yang tidak bisa dianggap sepele. Dalam kancah kebangsaan, kader-kader HMI senantiasa mewarnai. Begitu pun di banyak bidang kebangsaan lainnya.
Sebagai sebuah organisasi mahasiswa, HMI memiliki tujuan, pemikiran, misi dan karakteristik, yaitu:
1)Tujuan: ketika pertama kali didirikan tanggal 5 februari 1947, tujuannya adalah:
"Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.
Dan, Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam."
2)Pemikiran HMI: teritegrasinya antara pemikiran keislaman dan keindonesiaan di atas titik temu Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis.
3)Karakteristik HMI: yang dimaksud dengan karakteristik HMI adalah sesuatu yang sejak awal kelahirannya sudah melekat pada dirinya dan selalu menyertai perjalanan hidup HMI sehingga mampu membiaskan nuansa-nuansa yang actual. Karakteristik inilah yang membedakan HMI dengan organisasi lainnya.
Dari berbagai dokumen organisasi seperti anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART), nilai-nilai dasar perjuangan (NDP), Tafsir Asas, Tafsir Tujuan, Tafsir Independensi, maka karakteristik HMI mengandung prinsip-prinsip:
Berasaskan Islam, dan bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunah.
Berwawasan keindonesiaan atau kebangsaan.
Bertujuan, terbinanya lima kualitas insane cita di dalam pribadi seorang mahasiswa yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kemanusiaan (Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam, dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT).
Bersifat Independen.
Berstatus sebagai organisasi mahasiswa.
Berfungsi sebagai organisasi kader.
Berperan sebagai organisasi perjuangan.
Bertugas sebagai sumber insani pembangunan bangsa.
Berkedudukan sebagai organisasi modernis.
D. Pelaksanaan Good Governance dalam HMI
Governance tidak sama dengan government (pemerintah) dalam arti sebagai lembaga, tetapi governance adalah proses kepemerintahan dalam arti yang luas. Jon Pierre dan Guy Peters, misalnya, memahami governance sebagai sebuah konsep yang berada dalam konteks hubungan antara sistem politik dengan lingkungannya, dan mungkin melengkapi sebuah proyek yang membuat ilmu politik mempunyai relevansi dengan kebijakan publik. Berpikir tentang governance, demikian Jon Pierre dan Guy Peters, berarti berpikir tentang bagaimana mengendalikan ekonomi dan masyarakat, serta bagaimana mencapai tujuan-tujuan bersama.
Dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik (Good Govermance) menuntut setiap pejabat publik baik politis maupun birokrasi, wajib bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan kepada publik segala sikap, perilaku, dan kebijakannya dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan kewenangan yang diberikan kepadanya. Agar pata pejabat publik dapat melaksanakan akuntabilitas kinerja mereka dalam memberikan layanan pub;lik sesuai dengan apa yang menjadi keinginan dan harapan publik, kontrol efektif terhadap mereka merupakan suatu keharusan. Kontrol yang bersifat internal maupun eksternal harus dikelola dengan baik dan profesional, agar tindakan yang menyimpang dari etika administrasi negara (Mal-administrasi) dan peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dan dilakukan tindakan koreksi secepatnya.
Sehingga akuntabilitas kinerja mereka dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan kewenangan yang diberikan kepadanya dapat memenuhi tuntutan dan harapan publik. Hal yang lebih penting adalah penyelenggaraan "“Good Governance"”dapat segera bisa diwujudkan (Joko Widodo, 2001 : iv).
Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan (dalam organisasi yang lebih kecil dari pemerintahan negara, seperti HMI) bahwa good governance sebagai proses kepemerintahan, memiliki relevansi dengan kepentingan dan kebijakan public (anggota organisasi) agar mampu mencapai tujuan bersama.
Dalam melihat pelaksanan good governance dalam HMI, perlu adanya analisis dengan menggunakan prinsip-prinsip good governance yang telah disebutkan di atas:
1. Partisipasi Anggota HMI
Semua anggota yang telah sah menjadi kader dalam tubuh HMI mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Perlu dipahami lagi bahwa dalam HMI terdapat tingktan anggota, Anggota Muda, Anggota Biasa, Anggota Kehormatan. Kesemuanya memiliki partisipasi dan aspirasi yang menyeluruh berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara utuh. Baik dalam kegiatan ataupun pengambilan keputusan organisasi.
2. Tegaknya Supremasi Hukum
Mengenai penegakkan hukum, dalam ART HMI pasal 10 dijelaskan tentang skorsing dan pemecatan. Pada pasal 10 (a) anggota dapat diskors/dipecat jika: (2) bertindak merugikan atau mencemarkan nama baik HMI.
3. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas.
Proses organisasi dan informasi ke-HMI-an dapat diakses oleh seluruh kader HMI. Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan Rapat Harian, Rapat Bidang, Rapat Anggota Komisariat, Konferensi Cabang, dan lain sebagainya. Semua proses organisasi tersebut juga disertai dengan pertanggungjawaban kegiatan organisasi (laporan pertanggungjawaban) yang memungkinkan transparansi dari pelaksanaan kegiatan.
4. Peduli pada Stakeholder
HMI memiliki struktu pimpinan Pengurus Besar (PB), Pengurus Badan Koordinasi (Badko) Pengurus Cabang, Koordinator Komisariat dan Pengurus Komisariat. Selain itu juga terdapat Majelis Konsultasi di semua tingkatan. Seluruh Lembaga tersebut melayani semua pihak yang berkepentingan dalam arti seluruh kader HMI di seluruh Indonesia.
5. Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang menjembatani kepentingan-kepentingan kader yang berbeda-beda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi seluruh kader HMI. Konsensus tersbut tertuang dalam AD/ART HMI yang menjadi panduan hukum seluruh kader HMI.
6. Kesetaraan
Semua kader HMI mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses organisasi dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. Hal ini terbukti dengan adanya lembaga-lembaga profesi seperti: Korps HMIwati (KOHATI) yang bergerak dalam bidang perempuan, Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapemi), Lembaga Pendidikan Islam (Lapenmi), Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam, Lembaga Seni Islam, di HMI Cabang Ciputat terdapat Teater Tonggak.
8. Akuntabilitas
Pertanggungjawaban para pengurus dilakukan sesua dengan tingkatannya. Jika PB HMI, maka pertanggungjawaban kepengurusan disampaikan pada Kongres. Jika Pengurus Cabang pertanggungjawabannya dilakukan dalam Konferensi Cabang. Jika Pengurus Komisariat pertanggungjawabannya disampaikan pada Rapat Anggota Komisariat. Selain itu terdapat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) pada masing-masing kegiatan, baik pada Rapat Harian, Rapat Bidang maupun lainnya.
9. Visi Strategis
Visi strategis HMI tertuang dalam pasal 4 Anggaran Dasar (AD) HMI yaitu: Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam, dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
HMI Cabang Ciputat, Modul Latihan Kader (LK) 1, (Jakarta: 2006)
Pierre, Jon dan Peters, Guy, Governance, Politics and the State (London: MacMillan Press, 2000)
Sitompul, Agussalim, Prof. DR. H., Sejarah Perjuangan HMI, dipresentasikan dalam LK I HMI Komfakda Cabang Ciputat, Jumat 09 Mei 2008
http://astaqauliyah.com/2007/02/04/indonesia-hmi-dan-krisis-kepemimpinan-kita/
http://ranahdamai.org/content/view/45/29/
http://wijiwintarsihh.wordpress.com/2008/10/30/good-government/
http://www.ireyogya.org/sutoro/mengkaji_ulang_gg.pdf
A. Pengertian Good Governance (GG)
Meskipun kata Good Governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasial masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang sustanaibilitas demokrasi itu sendiri.
Pembicaraan tentang GG tidak bisa lepas dari isu transformasi government, karena dulu yang lebih populer adalah government, bukan governance. Dulu negara (pemerintah) dianggap maha kuat (omnipotent) dan juga dipraktikkan di muka bumi ini. Ilmu politik juga punya dua perspektif utama yang menganggap penting pemerintah. Yang satu adalah perspektif institusional yang mengkaji tentang lembaga-lembaga negara termasuk pemerintah sebagai lembaga (bukan proses dan interaksi), yang lainnya adalah perspektif sistem yang berbicara tentang proses politik yang melibatkan pemerintah secara seimbang dan harmoni.
Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.
B. Prinsip-prinsip Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
1. Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2. Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
4. Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
5. Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8. Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
9. Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
C. HMI Sebagai Organisasi
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yaitu organisasi mahasiswa yang diprakarsai berdirinya oleh Lafran Pane dan didukung 14 orang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam) lainnya, didirikan di Yogyakarta 14 Rabiulawal 1366 H/ 5 Februari 1947, yang kedudukan pengurus besarnya di Jl. Diponegoro 16 Jakarta Pusat.
Sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan terbesar sekaligus tertua di Indonesia, HMI senantiasa bergelut dengan dinamika kesejarahan bangsa ini. Karena memiliki kuantitas anggota dengan mekanisme kaderisasi tersendiri, HMI niscaya melahirkan banyak kader yang memiliki kualitas yang tidak bisa dianggap sepele. Dalam kancah kebangsaan, kader-kader HMI senantiasa mewarnai. Begitu pun di banyak bidang kebangsaan lainnya.
Sebagai sebuah organisasi mahasiswa, HMI memiliki tujuan, pemikiran, misi dan karakteristik, yaitu:
1)Tujuan: ketika pertama kali didirikan tanggal 5 februari 1947, tujuannya adalah:
"Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.
Dan, Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam."
2)Pemikiran HMI: teritegrasinya antara pemikiran keislaman dan keindonesiaan di atas titik temu Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis.
3)Karakteristik HMI: yang dimaksud dengan karakteristik HMI adalah sesuatu yang sejak awal kelahirannya sudah melekat pada dirinya dan selalu menyertai perjalanan hidup HMI sehingga mampu membiaskan nuansa-nuansa yang actual. Karakteristik inilah yang membedakan HMI dengan organisasi lainnya.
Dari berbagai dokumen organisasi seperti anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART), nilai-nilai dasar perjuangan (NDP), Tafsir Asas, Tafsir Tujuan, Tafsir Independensi, maka karakteristik HMI mengandung prinsip-prinsip:
Berasaskan Islam, dan bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunah.
Berwawasan keindonesiaan atau kebangsaan.
Bertujuan, terbinanya lima kualitas insane cita di dalam pribadi seorang mahasiswa yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kemanusiaan (Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam, dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT).
Bersifat Independen.
Berstatus sebagai organisasi mahasiswa.
Berfungsi sebagai organisasi kader.
Berperan sebagai organisasi perjuangan.
Bertugas sebagai sumber insani pembangunan bangsa.
Berkedudukan sebagai organisasi modernis.
D. Pelaksanaan Good Governance dalam HMI
Governance tidak sama dengan government (pemerintah) dalam arti sebagai lembaga, tetapi governance adalah proses kepemerintahan dalam arti yang luas. Jon Pierre dan Guy Peters, misalnya, memahami governance sebagai sebuah konsep yang berada dalam konteks hubungan antara sistem politik dengan lingkungannya, dan mungkin melengkapi sebuah proyek yang membuat ilmu politik mempunyai relevansi dengan kebijakan publik. Berpikir tentang governance, demikian Jon Pierre dan Guy Peters, berarti berpikir tentang bagaimana mengendalikan ekonomi dan masyarakat, serta bagaimana mencapai tujuan-tujuan bersama.
Dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik (Good Govermance) menuntut setiap pejabat publik baik politis maupun birokrasi, wajib bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan kepada publik segala sikap, perilaku, dan kebijakannya dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan kewenangan yang diberikan kepadanya. Agar pata pejabat publik dapat melaksanakan akuntabilitas kinerja mereka dalam memberikan layanan pub;lik sesuai dengan apa yang menjadi keinginan dan harapan publik, kontrol efektif terhadap mereka merupakan suatu keharusan. Kontrol yang bersifat internal maupun eksternal harus dikelola dengan baik dan profesional, agar tindakan yang menyimpang dari etika administrasi negara (Mal-administrasi) dan peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dan dilakukan tindakan koreksi secepatnya.
Sehingga akuntabilitas kinerja mereka dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan kewenangan yang diberikan kepadanya dapat memenuhi tuntutan dan harapan publik. Hal yang lebih penting adalah penyelenggaraan "“Good Governance"”dapat segera bisa diwujudkan (Joko Widodo, 2001 : iv).
Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan (dalam organisasi yang lebih kecil dari pemerintahan negara, seperti HMI) bahwa good governance sebagai proses kepemerintahan, memiliki relevansi dengan kepentingan dan kebijakan public (anggota organisasi) agar mampu mencapai tujuan bersama.
Dalam melihat pelaksanan good governance dalam HMI, perlu adanya analisis dengan menggunakan prinsip-prinsip good governance yang telah disebutkan di atas:
1. Partisipasi Anggota HMI
Semua anggota yang telah sah menjadi kader dalam tubuh HMI mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Perlu dipahami lagi bahwa dalam HMI terdapat tingktan anggota, Anggota Muda, Anggota Biasa, Anggota Kehormatan. Kesemuanya memiliki partisipasi dan aspirasi yang menyeluruh berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara utuh. Baik dalam kegiatan ataupun pengambilan keputusan organisasi.
2. Tegaknya Supremasi Hukum
Mengenai penegakkan hukum, dalam ART HMI pasal 10 dijelaskan tentang skorsing dan pemecatan. Pada pasal 10 (a) anggota dapat diskors/dipecat jika: (2) bertindak merugikan atau mencemarkan nama baik HMI.
3. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas.
Proses organisasi dan informasi ke-HMI-an dapat diakses oleh seluruh kader HMI. Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan Rapat Harian, Rapat Bidang, Rapat Anggota Komisariat, Konferensi Cabang, dan lain sebagainya. Semua proses organisasi tersebut juga disertai dengan pertanggungjawaban kegiatan organisasi (laporan pertanggungjawaban) yang memungkinkan transparansi dari pelaksanaan kegiatan.
4. Peduli pada Stakeholder
HMI memiliki struktu pimpinan Pengurus Besar (PB), Pengurus Badan Koordinasi (Badko) Pengurus Cabang, Koordinator Komisariat dan Pengurus Komisariat. Selain itu juga terdapat Majelis Konsultasi di semua tingkatan. Seluruh Lembaga tersebut melayani semua pihak yang berkepentingan dalam arti seluruh kader HMI di seluruh Indonesia.
5. Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang menjembatani kepentingan-kepentingan kader yang berbeda-beda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi seluruh kader HMI. Konsensus tersbut tertuang dalam AD/ART HMI yang menjadi panduan hukum seluruh kader HMI.
6. Kesetaraan
Semua kader HMI mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses organisasi dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. Hal ini terbukti dengan adanya lembaga-lembaga profesi seperti: Korps HMIwati (KOHATI) yang bergerak dalam bidang perempuan, Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapemi), Lembaga Pendidikan Islam (Lapenmi), Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam, Lembaga Seni Islam, di HMI Cabang Ciputat terdapat Teater Tonggak.
8. Akuntabilitas
Pertanggungjawaban para pengurus dilakukan sesua dengan tingkatannya. Jika PB HMI, maka pertanggungjawaban kepengurusan disampaikan pada Kongres. Jika Pengurus Cabang pertanggungjawabannya dilakukan dalam Konferensi Cabang. Jika Pengurus Komisariat pertanggungjawabannya disampaikan pada Rapat Anggota Komisariat. Selain itu terdapat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) pada masing-masing kegiatan, baik pada Rapat Harian, Rapat Bidang maupun lainnya.
9. Visi Strategis
Visi strategis HMI tertuang dalam pasal 4 Anggaran Dasar (AD) HMI yaitu: Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam, dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
HMI Cabang Ciputat, Modul Latihan Kader (LK) 1, (Jakarta: 2006)
Pierre, Jon dan Peters, Guy, Governance, Politics and the State (London: MacMillan Press, 2000)
Sitompul, Agussalim, Prof. DR. H., Sejarah Perjuangan HMI, dipresentasikan dalam LK I HMI Komfakda Cabang Ciputat, Jumat 09 Mei 2008
http://astaqauliyah.com/2007/02/04/indonesia-hmi-dan-krisis-kepemimpinan-kita/
http://ranahdamai.org/content/view/45/29/
http://wijiwintarsihh.wordpress.com/2008/10/30/good-government/
http://www.ireyogya.org/sutoro/mengkaji_ulang_gg.pdf
MENTERJEMAHKAN MOTIVASI DASAR PENDIRIAN HMI DALAM DUNIA NYATA
Oleh: Sabir Laluhu
A. Pendahuluan
Dalam konteks keindonesiaan, perubahan yang dilakukan oleh oganisasi pemuda ke arah yang lebih baik pernah dan terus dirintis berkesinambung oleh Himpunan Mahasiswa Islam. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan di Yogyakarta pada 5 Februari 1947, dimasa revolusi kemerdekaan yang penuh dengan gejolak, idealisme dan heroisme HMI merupakan organisasi mahasiswa tertua di Indonesia, sejak awal berdirinya HMI telah menggariskan tekadnya untuk independen, tidak terikat secara struktural atau aspiratif dengan organisasi manapun.
Oleh para pendirinya yaitu: Lafran Pane, Kartono Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainah, M. Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi dab Bidron Hadi, memiliki motivasi dasar melalui nilai perjuangan dan pemikiran HMI semenjak didirikan adalah ikut mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam (Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, HMI Mengayuh Di Antara Cita dan Kritik, 1998, h. 12).
Pada setiap momen yang menentukan dalam perjalanan pertumbuhan dan perkembangan umat Islam dan bangsa Indonesia, HMI tidak pernah melewatkannya tanpa partisipasi yang aktif, kreatif dan korektif. Kiprah HMI yang demikian itu disebabkan oleh kesadaran kuat setiap insan HMI bahwa iman yang diyakini, Ilmu yang dimiliki senantiasa menghendaki perwujudan dalam amal nyata demi mencari ridho Allah SWT. Karena sesejatinya manusia adalah yang berguna bagi bangsa Negara dan agamanya.
B. Realitas Kader HMI Masa Kini
Dalam perjalanan menorehkan tinta emas kepada ibu pertiwi Indonesia, HMI berusaha mengembangkan dan mentransorfatifkan nilai-nilai keislaman yang dibarengi dengan semangat nasionalisme keindonesiaan. HMI memiliki tiga perumusan dalam posisi di tengah-tengah masyarakakat, bangsa, negara dan agama: Pertama, sebagai organisasi pemuda Islam, memiliki tanggungjawab sebagai agent of change bangsa dan negara.
Kedua, sebagai organisasi mahasiswa, memiliki tanggungjawab dalam persoalan kemahasiswaan khususnya perguruan tinggi umumnya. Ketiga, sebagai pendukung dasar Islam, bertanggungjawab terhadap penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Namum, realitas keislaman, kebangsaan dan keindonesiaan semenjak tahun 1980 hingga detik ini arah perjuangan dan pemikiran kader HMI lebih bersifat pragmatis. …karena sampai tahun 1979 HMI kiprahnya masih menonjol, namun memasuki tahun 1980, mengalami degradasi baik secara organisatoris, aktivitas dan pemikiran Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, 2008, h. 51).
Perlu dipahami bahwa HMI adalah hanya sebuah benda mati yang tidak bernafas, bergerak, beraktivitas dan berkembang biak seperti manusia. Penyampaian Kanda Agussalim Sitompul tersebut perlu ditelaah dan dimengerti secara eksplisit atau kontekstual. Bukan hanya HMI yang mengalami degradasi secara organisatoris, aktivitas dan pemikiran saja, akan tetapi para kadernya telah terperosok dalam degradasi secara perilaku organisasi, aktivitas, pemikiran dan moral.
Sifat pragmatisme yang dilakukan kader HMI dalam menjalankan roda organisasi HMI dapat dicerminkan dalam setiap aktivitasnya yang bisa jadi keseluruhannya berorientasi pada kekuasaan, politik, keuntungan dan mementingkan kebenaran individu (kader dan HMI tanpa melihat kebenaran orang/organisasi sekitarnya).
Orintasi pada kekuasaan, politik, keuntungan dan kebenaran individu tersebut mengakibatkan HMI dan para kadernya lupa akan nilai kesalehan sosial yaitu berbuat bagi bagi seluruh masyarakat di sekitarnya (kampus, kosan, rumah, dan paling besar adalah rakyat Indonesia).
Selain melupakan kesalehan sosial, kader HMI lupa akan peningkatan secara akademis dan intelektual sebagai perwujudan menterjemahkan lima kualitas insane cita Kualitas Insan Akademis; Kualitas Insan Pencipta; Kualitas Insan Pengabdi; Kualitas Insan yang Bernafaskan Islam dan Kualitas Insan Yang Bertanggungjawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur Diridhoi Allah SWT.
C. Menterjemahkan Nilai Perjuangan dan Pemikiran HMI Pada Masa Kini dan Masa Depan
Pada setiap momen yang menentukan dalam perjalanan pertumbuhan dan perkembangan umat Islam dan bangsa Indonesia. HMI melalui seluruh kadernya hendaknya menampilkan diri sebagai organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan tidak pernah melewatkannya tanpa partisipasi yang aktif, kreatif dan korektif. Kiprah HMI yang demikian itu disebabkan oleh kesadaran kuat setiap insan HMI bahwa iman yang diyakini, Ilmu yang dimiliki senantiasa menghendaki perwujudan dalam amal nyata demi mencari ridho Allah SWT. Karena sesejatinya manusia adalah yang berguna bagi bangsa Negara dan agamanya.
Kehadiran HMI juga harus bersikap dengan benar-benar independent, tanpa kompromi dan tidak tersubordinasi oleh oleh pihak manapun dengan didasari independensi etis dan organisatoris. Independensi etis berarti HMI hanya berpihak pada hakikat kemanusiaan yang selalu komit terhadap kebenaran. Independensi organistoris berarti secara organisatoris HMI akan selalu aktif berkiprah dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara, tanpa harus berafiliasi pada organisasi manapun.
Sebagai pewaris masa depan bangsa, nilai dan peran seluruh kader HMI sangat dinanti bangsa yang sedang sakit dan krisis akan sosok pemimpin ideal, dengan menterjemahkan nilai perjuangan dan pemikiran HMI semenjak didirikan: ikut mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam ke dalam langkah kongkrit dalam dunia nyata sehingga mampu menjawab tantangan serta hambatan globalisasi
Abdul Irsan, seorang Diplomat Indonesia dalam bukunya Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi mengatakan bahwa hubungan antar bangsa akan terus mengalami perkembangan secara berkesinambungan dengan munculnya berbagai isu politik baru. Bahkan menurutnya, dunia telah mengalami perkembangan positif setelah periode 1989 karena dengan kemajuan dan kecanggihan tekhnologi informasi dan komunikasi, telah terjadi hubungan, kontak dan interaksi yang lebih intensif antar kawasan di dunia.
Kesemuanya itu terlaksana dalam waktu yang relatif singkat (Abdul Irsan: 2007).
Jika dahulu ‘Mempertahankan Negara Republik Indonesia’ oleh para pendiri HMI diterjemahkan dengan melawan penjajah Belanda dan Jepang, saat ini ‘Mempertahankan Negara Republik Indonesia’ bisa dimulai dari hal yang sederhana dengan mengakui diri sebagai orang daerah dari berbagai macam suku (Batak, Sunda, Dayak, Betawi, Buton, Ambon, Makassar, Bugis, Padang, Palembang, Lombok, Bali), melestarikan bahasa dan kebudayaan daerah. Selain itu juga terus berusaha melakukan bakti sosial atau kerja nyata di pelosok-pelosok daerah dan perbatasan NKRI dengan negara lainnya.
Mempertinggi derajat Rakyat Indonesia, dahulu kala jika kita bertemu dan bersilaturahmi dengan para senior atau kahmi-kahmi kita, mereka selalu menceritakan: ”Kalau zaman abang dulu, atau Kalau Zaman Yunda dulu kita sering menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran kepada masyarakat disekitar cabang atau komisariat kita.” Kenapa kita tidak menterjemahkan semangat para senior kita?
Mempertinggi derajat Rakyat Indonesia merupakan out put (hasil) dari sesuatu yang telah dilakukan. Perlu ditegaskan bahwa out put yang baik tergantung dari in put yang dilakukan seseorang atau organisasi ke dalam dirinya. Jika dikaitkan dengan kader HMI, maka kader HMI memproyeksikan dirinya agar berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas, memiliki intelektualitas sesuai keilmuannya, berpikir rasional-transformatif.
Hal itu semua didapatkan karena in put yang baik, bagus dan benar dari aktivitas membaca teks, konteks dan sosial kemasyarakatan. Karena apa yang kita lihat, apa yang kita dengar dan apa yang kita rasakan semuanya adalah pendidikan. Pendidikan bagi diri sendiri, organisasi dan seluruh masyarakat guna mempertinggi derajat Rakyat Indonesia.
Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam, ketika pertama kali berdiri nilai perjuangan dan pemikiran HMI ini merupakan hal yang impossible but possible, namun dalam perjalanannya possible but impossible.
Saat ini dan untuk masa depan hendaknya nilai perjuangan itu kembali dibuat menjadi impossible but possible. Mungkin kita pernah mendengar Lembaga Dakwah Kampus (LDK), sebuah lembaga yang mungkin bagi kader HMI merupakan organisasi pesaing ketat HMI dalam meneruskan perjuangan eksistensi dirinya. Ternyata jika kita menelaah lebih jauh ternyata metode perekrutan anggota dan halaqoh yang dilakukan oleh mereka dengan sistem murobbi pernah dilakukan oleh HMI melalui Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) yang salah satu tokoh LDMI-nya adalah Amin Rais.
Kenyataan kalau umat masih banyak yang mengalami kerusakan moral, berarti dakwah itu sendiri belum mengenai sasaran. Secara garis besar dakwah menurut Toha Yahya Umar, dilakukan dengan tiga cara. Yaitu, dakwah bil lisan (dakwah ucapan), dakwah bil kalam (dengan tulisan) dan dakwah bil hal (dengan perbuatan nyata) … cara penyampaian dakwah itu pun sangat mempengaruhi baik buruknya moral umat (Drs. Hamdan Dly., M.Si, Membangun Kerukunan Berpolitik dan Beragama di Indonesia, 2002), h. 191).
Jika melihat tiga kategori dakwah dan fenomena globalisasi di atas, maka kader HMI seharusnya mampu menjadi pelopor dakwah dengan perbuatan nyata dengan menyelaraskan perkataan dan perbuatan dalam semua akses kehidupan. Selain itu kader HMI juga hendaknya mampu mengoptimalkan penguasaan dan pemanfaatan tekhnologi komunikasi dan informasi khususnya internet (dakwah bil kalam) guna penyebaran nilai-nilai luhur agama serta menjaga keutuhan NKRI. Penguasaan dan pemanfaatan tekhnologi tersebut dapat diakses oleh seluruh masyarakat dunia.
Selain itu, kader HMI juga dapat melakukan dialog keagamaan. Sudah saatnya kita bangsa Indonesia sama-sama menyadari bahwa dewasa ini kita sangat membutuhkan iklim wacana terbuka tentang agama sehingga para penganut ummat beragama mempunyai wawasan yang luas dan luwes untuk menghilangkan rasa fanatisme sempit. Salah satu wacana intelektual yang sangat penting dilakukan bahkan sudah menjadi suatu kebutuhan bersama di abad ke 21 ini adalah pentingnya kita membangun dialog keagamaan. Dialog tersebut dapat dilakukan internal pemeluk agama yang sama dan dapat pula antar pemeluk agama yang berbeda (Muhammad M. Basyuni, Esai-Esai Keagamaan, 2008, h. 3).
Dialog keagamaan perlu dilakukan karena ada kebenaran lain di luar kebenaran kita. Umat Islam memiliki kebenaran dalam ajarannya, umat kristiani memiliki kebenaran dalam ajarannya, umat hindu memiliki kebenaran dalam ajarannya atau umat agama lainnya. Sehingga jika dialog keagamaan akan menghasilkan kalimatunsawa’ dalam ajaran antar seluruh pemeluk agama, namun bukan membenarkan seluruh agama.
Hal tersebut dimaksudkan agar tidak lagi terjadi seorang beragama atas dasar klaim kebenaran agamanya, membenarkan konflik dengan agama lain, baik itu pemurtadhan, pemboman di daerah-daerah atas nama agama, atau kerusuhan seperti kasus Ambon. Jika tidak demikian, maka HMI dapat melakukan kegiatan seperti pesantren kilat baik di tingkatan sekolah-sekolah, universitas, desa, kelurahan atau tingkat provinsi guna memberikan pemahaman keagamaan secara komprehensif.
Dalam konteks keumatan, keislaman dan keindonesiaan, maju atau mundurnya bangsa ini tentunya akan mempunyai dampak positif atau negatif kepada Islam dan umat Islam. Kemajuan Indonesia akan berdampak ‘kredit’ kepada umat Islam Indonesia … dan kemunduran bangsa Indonesia akan berdampak ‘diskredit’ bagi umat Islam … (Budhy Munawar Rahman, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, 2007, h. 182).
Sebagai penutup, adalah kontribusi terpenting seluruh kader HMI yaitu dengan pengamalan ilmu yang telah diperolehnya, dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai mujahid pembela agama dan bangsa, pembimbing umat ke jalan yang diridhoi-Nya, dan dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia-akhirat sebagai perwujudan Menterjemahkan Motivasi Dasar Pendirian HMI dalam Dunia Nyata.
Namun, upaya penterjemahan tersebut semua diserahkan kepada keputusan individu kader HMI dalam mengambil sikap dalam menyatu dengan umat, menyatu dengan bangsa.
* Makalah ini disampaikan pada Diskusi Yang diadakan Bidang PA HMI KOMFAKDA Cabang Ciputat, Rabu 30 Juni 2010
* Sabir adalah Wasekum PA HMI KOMFAKDA 2008-2009, Peserta Terbaik LK 2 HMI Cabang Persiapan Sumbawa Barat 2009 dan Presiden BEM FIDKOM 2010-2011.
DAFTAR PUSTAKA
Basyuni, Muhammad M., Esai-Esai Keagamaan. Jakarta: FDK Press, 2008.
Dly., Hamdan, Drs. M.Si, Membangun Kerukunan Berpolitik dan Beragama di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Agama & Diklat Keagamaan Depag RI, 2002.
Irsan, Abdul, Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi. Jakarta: Grafindo Khazah Ilmu, 2007
Rahman, Budhy Munawar, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid,. Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007.
Sitompul, Agussalim, Prof. Dr. H., 44 Indikator Kemunduran HMI, Cet.III. Jakarta: Misaka Galiza, 2008.
------------------------------------------, HMI Mengayuh Di Antara Cita dan Kritik, Cet. Kedua. Jakarta: Misaka Galiza, 1998.
A. Pendahuluan
Dalam konteks keindonesiaan, perubahan yang dilakukan oleh oganisasi pemuda ke arah yang lebih baik pernah dan terus dirintis berkesinambung oleh Himpunan Mahasiswa Islam. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan di Yogyakarta pada 5 Februari 1947, dimasa revolusi kemerdekaan yang penuh dengan gejolak, idealisme dan heroisme HMI merupakan organisasi mahasiswa tertua di Indonesia, sejak awal berdirinya HMI telah menggariskan tekadnya untuk independen, tidak terikat secara struktural atau aspiratif dengan organisasi manapun.
Oleh para pendirinya yaitu: Lafran Pane, Kartono Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainah, M. Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi dab Bidron Hadi, memiliki motivasi dasar melalui nilai perjuangan dan pemikiran HMI semenjak didirikan adalah ikut mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam (Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, HMI Mengayuh Di Antara Cita dan Kritik, 1998, h. 12).
Pada setiap momen yang menentukan dalam perjalanan pertumbuhan dan perkembangan umat Islam dan bangsa Indonesia, HMI tidak pernah melewatkannya tanpa partisipasi yang aktif, kreatif dan korektif. Kiprah HMI yang demikian itu disebabkan oleh kesadaran kuat setiap insan HMI bahwa iman yang diyakini, Ilmu yang dimiliki senantiasa menghendaki perwujudan dalam amal nyata demi mencari ridho Allah SWT. Karena sesejatinya manusia adalah yang berguna bagi bangsa Negara dan agamanya.
B. Realitas Kader HMI Masa Kini
Dalam perjalanan menorehkan tinta emas kepada ibu pertiwi Indonesia, HMI berusaha mengembangkan dan mentransorfatifkan nilai-nilai keislaman yang dibarengi dengan semangat nasionalisme keindonesiaan. HMI memiliki tiga perumusan dalam posisi di tengah-tengah masyarakakat, bangsa, negara dan agama: Pertama, sebagai organisasi pemuda Islam, memiliki tanggungjawab sebagai agent of change bangsa dan negara.
Kedua, sebagai organisasi mahasiswa, memiliki tanggungjawab dalam persoalan kemahasiswaan khususnya perguruan tinggi umumnya. Ketiga, sebagai pendukung dasar Islam, bertanggungjawab terhadap penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Namum, realitas keislaman, kebangsaan dan keindonesiaan semenjak tahun 1980 hingga detik ini arah perjuangan dan pemikiran kader HMI lebih bersifat pragmatis. …karena sampai tahun 1979 HMI kiprahnya masih menonjol, namun memasuki tahun 1980, mengalami degradasi baik secara organisatoris, aktivitas dan pemikiran Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, 2008, h. 51).
Perlu dipahami bahwa HMI adalah hanya sebuah benda mati yang tidak bernafas, bergerak, beraktivitas dan berkembang biak seperti manusia. Penyampaian Kanda Agussalim Sitompul tersebut perlu ditelaah dan dimengerti secara eksplisit atau kontekstual. Bukan hanya HMI yang mengalami degradasi secara organisatoris, aktivitas dan pemikiran saja, akan tetapi para kadernya telah terperosok dalam degradasi secara perilaku organisasi, aktivitas, pemikiran dan moral.
Sifat pragmatisme yang dilakukan kader HMI dalam menjalankan roda organisasi HMI dapat dicerminkan dalam setiap aktivitasnya yang bisa jadi keseluruhannya berorientasi pada kekuasaan, politik, keuntungan dan mementingkan kebenaran individu (kader dan HMI tanpa melihat kebenaran orang/organisasi sekitarnya).
Orintasi pada kekuasaan, politik, keuntungan dan kebenaran individu tersebut mengakibatkan HMI dan para kadernya lupa akan nilai kesalehan sosial yaitu berbuat bagi bagi seluruh masyarakat di sekitarnya (kampus, kosan, rumah, dan paling besar adalah rakyat Indonesia).
Selain melupakan kesalehan sosial, kader HMI lupa akan peningkatan secara akademis dan intelektual sebagai perwujudan menterjemahkan lima kualitas insane cita Kualitas Insan Akademis; Kualitas Insan Pencipta; Kualitas Insan Pengabdi; Kualitas Insan yang Bernafaskan Islam dan Kualitas Insan Yang Bertanggungjawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur Diridhoi Allah SWT.
C. Menterjemahkan Nilai Perjuangan dan Pemikiran HMI Pada Masa Kini dan Masa Depan
Pada setiap momen yang menentukan dalam perjalanan pertumbuhan dan perkembangan umat Islam dan bangsa Indonesia. HMI melalui seluruh kadernya hendaknya menampilkan diri sebagai organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan tidak pernah melewatkannya tanpa partisipasi yang aktif, kreatif dan korektif. Kiprah HMI yang demikian itu disebabkan oleh kesadaran kuat setiap insan HMI bahwa iman yang diyakini, Ilmu yang dimiliki senantiasa menghendaki perwujudan dalam amal nyata demi mencari ridho Allah SWT. Karena sesejatinya manusia adalah yang berguna bagi bangsa Negara dan agamanya.
Kehadiran HMI juga harus bersikap dengan benar-benar independent, tanpa kompromi dan tidak tersubordinasi oleh oleh pihak manapun dengan didasari independensi etis dan organisatoris. Independensi etis berarti HMI hanya berpihak pada hakikat kemanusiaan yang selalu komit terhadap kebenaran. Independensi organistoris berarti secara organisatoris HMI akan selalu aktif berkiprah dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara, tanpa harus berafiliasi pada organisasi manapun.
Sebagai pewaris masa depan bangsa, nilai dan peran seluruh kader HMI sangat dinanti bangsa yang sedang sakit dan krisis akan sosok pemimpin ideal, dengan menterjemahkan nilai perjuangan dan pemikiran HMI semenjak didirikan: ikut mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam ke dalam langkah kongkrit dalam dunia nyata sehingga mampu menjawab tantangan serta hambatan globalisasi
Abdul Irsan, seorang Diplomat Indonesia dalam bukunya Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi mengatakan bahwa hubungan antar bangsa akan terus mengalami perkembangan secara berkesinambungan dengan munculnya berbagai isu politik baru. Bahkan menurutnya, dunia telah mengalami perkembangan positif setelah periode 1989 karena dengan kemajuan dan kecanggihan tekhnologi informasi dan komunikasi, telah terjadi hubungan, kontak dan interaksi yang lebih intensif antar kawasan di dunia.
Kesemuanya itu terlaksana dalam waktu yang relatif singkat (Abdul Irsan: 2007).
Jika dahulu ‘Mempertahankan Negara Republik Indonesia’ oleh para pendiri HMI diterjemahkan dengan melawan penjajah Belanda dan Jepang, saat ini ‘Mempertahankan Negara Republik Indonesia’ bisa dimulai dari hal yang sederhana dengan mengakui diri sebagai orang daerah dari berbagai macam suku (Batak, Sunda, Dayak, Betawi, Buton, Ambon, Makassar, Bugis, Padang, Palembang, Lombok, Bali), melestarikan bahasa dan kebudayaan daerah. Selain itu juga terus berusaha melakukan bakti sosial atau kerja nyata di pelosok-pelosok daerah dan perbatasan NKRI dengan negara lainnya.
Mempertinggi derajat Rakyat Indonesia, dahulu kala jika kita bertemu dan bersilaturahmi dengan para senior atau kahmi-kahmi kita, mereka selalu menceritakan: ”Kalau zaman abang dulu, atau Kalau Zaman Yunda dulu kita sering menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran kepada masyarakat disekitar cabang atau komisariat kita.” Kenapa kita tidak menterjemahkan semangat para senior kita?
Mempertinggi derajat Rakyat Indonesia merupakan out put (hasil) dari sesuatu yang telah dilakukan. Perlu ditegaskan bahwa out put yang baik tergantung dari in put yang dilakukan seseorang atau organisasi ke dalam dirinya. Jika dikaitkan dengan kader HMI, maka kader HMI memproyeksikan dirinya agar berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas, memiliki intelektualitas sesuai keilmuannya, berpikir rasional-transformatif.
Hal itu semua didapatkan karena in put yang baik, bagus dan benar dari aktivitas membaca teks, konteks dan sosial kemasyarakatan. Karena apa yang kita lihat, apa yang kita dengar dan apa yang kita rasakan semuanya adalah pendidikan. Pendidikan bagi diri sendiri, organisasi dan seluruh masyarakat guna mempertinggi derajat Rakyat Indonesia.
Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam, ketika pertama kali berdiri nilai perjuangan dan pemikiran HMI ini merupakan hal yang impossible but possible, namun dalam perjalanannya possible but impossible.
Saat ini dan untuk masa depan hendaknya nilai perjuangan itu kembali dibuat menjadi impossible but possible. Mungkin kita pernah mendengar Lembaga Dakwah Kampus (LDK), sebuah lembaga yang mungkin bagi kader HMI merupakan organisasi pesaing ketat HMI dalam meneruskan perjuangan eksistensi dirinya. Ternyata jika kita menelaah lebih jauh ternyata metode perekrutan anggota dan halaqoh yang dilakukan oleh mereka dengan sistem murobbi pernah dilakukan oleh HMI melalui Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) yang salah satu tokoh LDMI-nya adalah Amin Rais.
Kenyataan kalau umat masih banyak yang mengalami kerusakan moral, berarti dakwah itu sendiri belum mengenai sasaran. Secara garis besar dakwah menurut Toha Yahya Umar, dilakukan dengan tiga cara. Yaitu, dakwah bil lisan (dakwah ucapan), dakwah bil kalam (dengan tulisan) dan dakwah bil hal (dengan perbuatan nyata) … cara penyampaian dakwah itu pun sangat mempengaruhi baik buruknya moral umat (Drs. Hamdan Dly., M.Si, Membangun Kerukunan Berpolitik dan Beragama di Indonesia, 2002), h. 191).
Jika melihat tiga kategori dakwah dan fenomena globalisasi di atas, maka kader HMI seharusnya mampu menjadi pelopor dakwah dengan perbuatan nyata dengan menyelaraskan perkataan dan perbuatan dalam semua akses kehidupan. Selain itu kader HMI juga hendaknya mampu mengoptimalkan penguasaan dan pemanfaatan tekhnologi komunikasi dan informasi khususnya internet (dakwah bil kalam) guna penyebaran nilai-nilai luhur agama serta menjaga keutuhan NKRI. Penguasaan dan pemanfaatan tekhnologi tersebut dapat diakses oleh seluruh masyarakat dunia.
Selain itu, kader HMI juga dapat melakukan dialog keagamaan. Sudah saatnya kita bangsa Indonesia sama-sama menyadari bahwa dewasa ini kita sangat membutuhkan iklim wacana terbuka tentang agama sehingga para penganut ummat beragama mempunyai wawasan yang luas dan luwes untuk menghilangkan rasa fanatisme sempit. Salah satu wacana intelektual yang sangat penting dilakukan bahkan sudah menjadi suatu kebutuhan bersama di abad ke 21 ini adalah pentingnya kita membangun dialog keagamaan. Dialog tersebut dapat dilakukan internal pemeluk agama yang sama dan dapat pula antar pemeluk agama yang berbeda (Muhammad M. Basyuni, Esai-Esai Keagamaan, 2008, h. 3).
Dialog keagamaan perlu dilakukan karena ada kebenaran lain di luar kebenaran kita. Umat Islam memiliki kebenaran dalam ajarannya, umat kristiani memiliki kebenaran dalam ajarannya, umat hindu memiliki kebenaran dalam ajarannya atau umat agama lainnya. Sehingga jika dialog keagamaan akan menghasilkan kalimatunsawa’ dalam ajaran antar seluruh pemeluk agama, namun bukan membenarkan seluruh agama.
Hal tersebut dimaksudkan agar tidak lagi terjadi seorang beragama atas dasar klaim kebenaran agamanya, membenarkan konflik dengan agama lain, baik itu pemurtadhan, pemboman di daerah-daerah atas nama agama, atau kerusuhan seperti kasus Ambon. Jika tidak demikian, maka HMI dapat melakukan kegiatan seperti pesantren kilat baik di tingkatan sekolah-sekolah, universitas, desa, kelurahan atau tingkat provinsi guna memberikan pemahaman keagamaan secara komprehensif.
Dalam konteks keumatan, keislaman dan keindonesiaan, maju atau mundurnya bangsa ini tentunya akan mempunyai dampak positif atau negatif kepada Islam dan umat Islam. Kemajuan Indonesia akan berdampak ‘kredit’ kepada umat Islam Indonesia … dan kemunduran bangsa Indonesia akan berdampak ‘diskredit’ bagi umat Islam … (Budhy Munawar Rahman, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, 2007, h. 182).
Sebagai penutup, adalah kontribusi terpenting seluruh kader HMI yaitu dengan pengamalan ilmu yang telah diperolehnya, dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai mujahid pembela agama dan bangsa, pembimbing umat ke jalan yang diridhoi-Nya, dan dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia-akhirat sebagai perwujudan Menterjemahkan Motivasi Dasar Pendirian HMI dalam Dunia Nyata.
Namun, upaya penterjemahan tersebut semua diserahkan kepada keputusan individu kader HMI dalam mengambil sikap dalam menyatu dengan umat, menyatu dengan bangsa.
* Makalah ini disampaikan pada Diskusi Yang diadakan Bidang PA HMI KOMFAKDA Cabang Ciputat, Rabu 30 Juni 2010
* Sabir adalah Wasekum PA HMI KOMFAKDA 2008-2009, Peserta Terbaik LK 2 HMI Cabang Persiapan Sumbawa Barat 2009 dan Presiden BEM FIDKOM 2010-2011.
DAFTAR PUSTAKA
Basyuni, Muhammad M., Esai-Esai Keagamaan. Jakarta: FDK Press, 2008.
Dly., Hamdan, Drs. M.Si, Membangun Kerukunan Berpolitik dan Beragama di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Agama & Diklat Keagamaan Depag RI, 2002.
Irsan, Abdul, Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi. Jakarta: Grafindo Khazah Ilmu, 2007
Rahman, Budhy Munawar, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid,. Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007.
Sitompul, Agussalim, Prof. Dr. H., 44 Indikator Kemunduran HMI, Cet.III. Jakarta: Misaka Galiza, 2008.
------------------------------------------, HMI Mengayuh Di Antara Cita dan Kritik, Cet. Kedua. Jakarta: Misaka Galiza, 1998.
Benteng Kesultanan Buton Benteng Terluas di Dunia, Menanti Pengakuan Dunia Internasional*
Oleh:
Sabir*
Menelusuri Kawasan Timur Indonesia (KTI) bagi sebagian orang khusunya turis asing yang berkunjung ke Indonesia sangatlah mengasikan dan penuh tantangan. Keunikan seni, budaya, pariwisata dan kehidupan masyarakatnya yang sangat jauh berbeda dengan masyarakat Jawa, Sumatera dan Kalimantan adalah nilai lebih kawasan tersebut. Sebut saja Toraja (Sulawesi Selatan), Manado dengan keindahan Bunaken (Sulawesi Tengah), Maluku dengan keindahan Laut Banda dan limpahan rempah-rempah, dan Pulau Papua yang dengan kehidupan suku Asmat serta ‘tarian’ Burung Cendrawasih.
Namun ada fakta menarik di sela-sela perjalanan menelusuri KTI tersebut. Jika kita menuju Maluku dan Papua dengan jasa kapal motor PT Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia), misal KM Lambelu, KM Kerinci, KM Sinabung atau KM Siguntang, maka kapal-kapal tersebut akan singgah terlebih dahulu di Pelabuhan Murhum Kota Bau-bau Sulawesi Tenggara. Sebelum tiba di pelabuhan terlihat dari jauh sebuah benteng seluas 22,8 Ha berdiri dengan kokoh, seraya tersenyum manis sambil mengucapkan ‘Selamat datang di kota dengan benteng terluas di Dunia’.
Benteng yang berukuran keliling dengan panjang 2.740 meter dengan tinggi 2-3 meter dan ketebalan dinding 1,5 meter hingga 2 meter ini memiliki 12 pintu (lawa) dengan tambahan na (nya) yang diberi nama sesuai dengan nama atau gelar pengawas pintu-pintu tersebut, antara lain Lawana Rakia, Lawana Lanto, Lawana Labunta, Lawana Kampebuni, Lawana Wabarobo, Lawana Dete, Lawana Kalau, Lawana Bajo/Bariya, Lawana Burukene/Tanailandu, Lawana Melai/Baau, Lawana Lantongau, dan Lawana Gundu-gundu, yang berfungsi sebagai penghubung keraton dengan kampung-kampung di sekitarnya.
Pada awal September 2006, MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) dan Guiness Book Record, lembaga rekor Indonesia dan dunia, yang mencatat Benteng Keraton Buton tersebut sebagai benteng terluas dan terunik di dunia. Kedua lembaga itu mencatat luas benteng 23,375 hektare, sementara benteng lain di belahan bumi ini paling luas hanya 18 hektare lebih.
Pintu-pintu yang dibangun tersebut merupakan perwujudan dari jumlah lubang dalam tubuh manusia yang juga terdiri dari 12 lubang. Kedua belas lubang pada tubuh manusia tersebut adalah lubang pori-pori kulit, mulut, dua lubang telinga, dua lubang mata, dua lubang hidung, satu lubang anus, satu lubang saluran kencing, satu lubang saluran sperma, dan satu lubang pusat.
Lubang saluran sperma diidentikkan dengan pintu rahasia benteng yang menjadi jalan keluar bagi petinggi-petinggi Kesultanan atau tempat persembunyian, jika ada serangan musuh yang mengancam dan membahayakan keselamatan keluarga Istana Keraton. Lawana Kampebuni (pintu tersembunyi) itu pulalah yang digunakan oleh Aru Palaka ketika hendak bersembunyi di sebuah gua di sekitar benteng dari kejaran raja Gowa.
Aktifitas dan Kehidupan Masyarakat
Ada satu hal menarik yang patut diketahui dan menjadi perhatian penduduk Nusantara terhadap keberadaan benteng Keraton Buton. Jika beberapa benteng yang masih berdiri kokoh atau sudah tidak diperdulikan oleh masyarakat lagi, maka benteng Kesultanan Buton tidak hanya berdiri dan diam membisu. Namun, di dalam kawasan benteng keraton terdapat aktivitas masyarakat yang tetap melakukan berbagai macam ritual layaknya yang terjadi pada masa kesultanan berabad-abad lalu.
Di dalam kawasan benteng terdapat pemukiman penduduk yang merupakan pewaris keturunan dari para keluarga bangsawan Keraton Buton masa lalu. Di tempat ini juga terdapat situs peninggalan sejarah masa lalu yang masih tetap terpelihara dengan baik.
Di tengah benteng terdapat sebuah mesjid tua yang oleh masyarakat disebut dengan Mesjid Keraton, Kasulana Tombi (tiang bendera) tempat berkibarnya Longa-longa (Bendera Kesultanan Buton) yang usianya seumur mesjid, dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton III La sangaji Sultan Kaimuddin atau dikenal dengan julukan ‘Sangia Makengkuna’ yang memegang tahta antara tahun 1591–1597 M.
Selain itu terdapat Batu Popaua (batu pelantikan Sultan Buton terpilih), Makam Sultan Murhum (Sultan I), Istana Baadia yang sekarang menjadi Pusat Kebudayaan Wolio, Aula Pertemuan antara Sultan dan masyarakat luas yang terdapat di depan Mesjid Keraton serta beberapa situs lainnya.
Tasawuf, Sufisme dan Kontruksi Benteng
Masyarakat Buton merupakan penganut sufisme dan tasawuf yang amat kental. Sehingga dalam konstruksi pembangunan bentengpun nuansa islami ditunjukkan oleh bentuk benteng yang berbentuk huruf ‘dal’ pada aksara arab. Bahkan bahasa resmi pemerintahan yakni bahasa Wolio yang tertulis dengan aksara Wolio yang menggunakan huruf Hijahiyah Arab.
Bagi seluruh masyarakat Buton, gotong royong dalam pembangunan benteng tersebut merupakan perwujudan dari ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu bahkan mungkin hingga saat ini yakni: 1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri) 2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri) 3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah) 4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama).
Awalnya Benteng Keraton Buton hanyalah tumpukan batu yang mengelilingi pusat kerajaan. Tumpukan tersebut berfungsi sebagai pembatas pusat lingkungan keraton, tumpukan batu tersebut berfungsi sebagai perlindungan dari serangan musuh. Pada masa pemerintahan sultan Buton IV, La Elangi (Sultan Dayanu Ikhsanuddin), tumpukan batu tersebut dibangun menjadi sebuah benteng.
Benteng tersebut dikerjakan oleh seluruh penduduk kesultanan Buton, laki-laki dan perempuan. Para laki-laki mengumpulkan batu-batuan gunung dan menyusunnya. Sementara pasir dikumpulkan oleh kaum perempuannya. Mengenai pendirian benteng, cerita turun temurun para leluhur di tengah masyarakat hamper sama dengan kisah pendirian Candi Borobudur. Tumpukan batu itu direkatkan dengan menggunakan putih telur. Namun menurut beberapa Tetua Keraton, adonan tersebut juga dicampur dengan adonan agar-agar/rumput laut dan kapur yang banyak tersebar di pulau Buton.
Menanti Pengakuan Dunia Internasional
Benteng Keraton Buton adalah sebuah warisan leluhur yang tak terbantahkan. Sayang, keberadaan benteng Keraton serta berbagai keragam dan kekayaan budayanya seolah terlupakan oleh pandangan sejarah Nasional. Keunikan yang dimilikinya nyaris tak pernah mendapat pengakuan di mata dunia.
Letaknya yang strategis berada pada dataran tinggi menandakan bahwa para pendiri negeri ini dahulu kala memiliki peradaban. Konstruksi benteng yang berbentuk ‘dal’ sulit dipecahkan oleh kecanggihan teknologi modern patut menjadi bahan renungan bahwa kreativitas para leluhur Buton di masa lalu tak bisa dianggap remeh.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah daerah (pemda) dalam perjuangan memperkenalkan dan mempertahankan eksistensi keunikan budaya Buton dengan segala bentuk peninggalan sejarahnya. Bulan Agustus 2005, kegiatan Simposium Internasional pernaskahan Nusantara diselenggarakan pemerintah daerah sebagai perwujuan awal bahwa sejarah Kesultanan Buton merupakan sejarah dunia yang tidak bisa dilupakan. Kegiatan ini diikuti oleh utusan dari para pakar budaya dari dalam dan luar negeri diantaranya: Singapura, Malaysia, Jepang, China, Jerman, Belanda, Rusia dan beberapa negara lain di dunia.
Keinginan kuat pemda untuk sebuah benteng terluas dengan berbagai macam keunikannya yang kini berada di tengah-tengah wilayah eks kesultanan Buton yakni di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara hendaknya patut mendapat apresiasi besar dari pemerintah pusat. Sebagai ‘anak pulau’ Buton, sangat mengharapkan Pemkot Bau-Bau mampu bekerjasama dengan Departemen Luar Negeri, Depatemen Budaya dan Pariwisata, MURI, elemen-elemen mahasiswa dan beberapa instansi terkait sehingga mampu mewujudkan keinginan Negeri Butuuni demi meraih pengakuan dunia dari badan PBB yaitu Unesco sebagai benteng terluas di dunia.
* Artikel pernah terbit di Koran Radar Buton, Sabtu 18 Oktober 2008
* Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008 & Ketua Pengembangan Minat dan Bakat Himpunan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Indonesia Buton (HIPPMIB)-Bersatu Jakarta 2006-2008 M
Sabir*
Menelusuri Kawasan Timur Indonesia (KTI) bagi sebagian orang khusunya turis asing yang berkunjung ke Indonesia sangatlah mengasikan dan penuh tantangan. Keunikan seni, budaya, pariwisata dan kehidupan masyarakatnya yang sangat jauh berbeda dengan masyarakat Jawa, Sumatera dan Kalimantan adalah nilai lebih kawasan tersebut. Sebut saja Toraja (Sulawesi Selatan), Manado dengan keindahan Bunaken (Sulawesi Tengah), Maluku dengan keindahan Laut Banda dan limpahan rempah-rempah, dan Pulau Papua yang dengan kehidupan suku Asmat serta ‘tarian’ Burung Cendrawasih.
Namun ada fakta menarik di sela-sela perjalanan menelusuri KTI tersebut. Jika kita menuju Maluku dan Papua dengan jasa kapal motor PT Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia), misal KM Lambelu, KM Kerinci, KM Sinabung atau KM Siguntang, maka kapal-kapal tersebut akan singgah terlebih dahulu di Pelabuhan Murhum Kota Bau-bau Sulawesi Tenggara. Sebelum tiba di pelabuhan terlihat dari jauh sebuah benteng seluas 22,8 Ha berdiri dengan kokoh, seraya tersenyum manis sambil mengucapkan ‘Selamat datang di kota dengan benteng terluas di Dunia’.
Benteng yang berukuran keliling dengan panjang 2.740 meter dengan tinggi 2-3 meter dan ketebalan dinding 1,5 meter hingga 2 meter ini memiliki 12 pintu (lawa) dengan tambahan na (nya) yang diberi nama sesuai dengan nama atau gelar pengawas pintu-pintu tersebut, antara lain Lawana Rakia, Lawana Lanto, Lawana Labunta, Lawana Kampebuni, Lawana Wabarobo, Lawana Dete, Lawana Kalau, Lawana Bajo/Bariya, Lawana Burukene/Tanailandu, Lawana Melai/Baau, Lawana Lantongau, dan Lawana Gundu-gundu, yang berfungsi sebagai penghubung keraton dengan kampung-kampung di sekitarnya.
Pada awal September 2006, MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) dan Guiness Book Record, lembaga rekor Indonesia dan dunia, yang mencatat Benteng Keraton Buton tersebut sebagai benteng terluas dan terunik di dunia. Kedua lembaga itu mencatat luas benteng 23,375 hektare, sementara benteng lain di belahan bumi ini paling luas hanya 18 hektare lebih.
Pintu-pintu yang dibangun tersebut merupakan perwujudan dari jumlah lubang dalam tubuh manusia yang juga terdiri dari 12 lubang. Kedua belas lubang pada tubuh manusia tersebut adalah lubang pori-pori kulit, mulut, dua lubang telinga, dua lubang mata, dua lubang hidung, satu lubang anus, satu lubang saluran kencing, satu lubang saluran sperma, dan satu lubang pusat.
Lubang saluran sperma diidentikkan dengan pintu rahasia benteng yang menjadi jalan keluar bagi petinggi-petinggi Kesultanan atau tempat persembunyian, jika ada serangan musuh yang mengancam dan membahayakan keselamatan keluarga Istana Keraton. Lawana Kampebuni (pintu tersembunyi) itu pulalah yang digunakan oleh Aru Palaka ketika hendak bersembunyi di sebuah gua di sekitar benteng dari kejaran raja Gowa.
Aktifitas dan Kehidupan Masyarakat
Ada satu hal menarik yang patut diketahui dan menjadi perhatian penduduk Nusantara terhadap keberadaan benteng Keraton Buton. Jika beberapa benteng yang masih berdiri kokoh atau sudah tidak diperdulikan oleh masyarakat lagi, maka benteng Kesultanan Buton tidak hanya berdiri dan diam membisu. Namun, di dalam kawasan benteng keraton terdapat aktivitas masyarakat yang tetap melakukan berbagai macam ritual layaknya yang terjadi pada masa kesultanan berabad-abad lalu.
Di dalam kawasan benteng terdapat pemukiman penduduk yang merupakan pewaris keturunan dari para keluarga bangsawan Keraton Buton masa lalu. Di tempat ini juga terdapat situs peninggalan sejarah masa lalu yang masih tetap terpelihara dengan baik.
Di tengah benteng terdapat sebuah mesjid tua yang oleh masyarakat disebut dengan Mesjid Keraton, Kasulana Tombi (tiang bendera) tempat berkibarnya Longa-longa (Bendera Kesultanan Buton) yang usianya seumur mesjid, dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton III La sangaji Sultan Kaimuddin atau dikenal dengan julukan ‘Sangia Makengkuna’ yang memegang tahta antara tahun 1591–1597 M.
Selain itu terdapat Batu Popaua (batu pelantikan Sultan Buton terpilih), Makam Sultan Murhum (Sultan I), Istana Baadia yang sekarang menjadi Pusat Kebudayaan Wolio, Aula Pertemuan antara Sultan dan masyarakat luas yang terdapat di depan Mesjid Keraton serta beberapa situs lainnya.
Tasawuf, Sufisme dan Kontruksi Benteng
Masyarakat Buton merupakan penganut sufisme dan tasawuf yang amat kental. Sehingga dalam konstruksi pembangunan bentengpun nuansa islami ditunjukkan oleh bentuk benteng yang berbentuk huruf ‘dal’ pada aksara arab. Bahkan bahasa resmi pemerintahan yakni bahasa Wolio yang tertulis dengan aksara Wolio yang menggunakan huruf Hijahiyah Arab.
Bagi seluruh masyarakat Buton, gotong royong dalam pembangunan benteng tersebut merupakan perwujudan dari ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu bahkan mungkin hingga saat ini yakni: 1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri) 2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri) 3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah) 4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama).
Awalnya Benteng Keraton Buton hanyalah tumpukan batu yang mengelilingi pusat kerajaan. Tumpukan tersebut berfungsi sebagai pembatas pusat lingkungan keraton, tumpukan batu tersebut berfungsi sebagai perlindungan dari serangan musuh. Pada masa pemerintahan sultan Buton IV, La Elangi (Sultan Dayanu Ikhsanuddin), tumpukan batu tersebut dibangun menjadi sebuah benteng.
Benteng tersebut dikerjakan oleh seluruh penduduk kesultanan Buton, laki-laki dan perempuan. Para laki-laki mengumpulkan batu-batuan gunung dan menyusunnya. Sementara pasir dikumpulkan oleh kaum perempuannya. Mengenai pendirian benteng, cerita turun temurun para leluhur di tengah masyarakat hamper sama dengan kisah pendirian Candi Borobudur. Tumpukan batu itu direkatkan dengan menggunakan putih telur. Namun menurut beberapa Tetua Keraton, adonan tersebut juga dicampur dengan adonan agar-agar/rumput laut dan kapur yang banyak tersebar di pulau Buton.
Menanti Pengakuan Dunia Internasional
Benteng Keraton Buton adalah sebuah warisan leluhur yang tak terbantahkan. Sayang, keberadaan benteng Keraton serta berbagai keragam dan kekayaan budayanya seolah terlupakan oleh pandangan sejarah Nasional. Keunikan yang dimilikinya nyaris tak pernah mendapat pengakuan di mata dunia.
Letaknya yang strategis berada pada dataran tinggi menandakan bahwa para pendiri negeri ini dahulu kala memiliki peradaban. Konstruksi benteng yang berbentuk ‘dal’ sulit dipecahkan oleh kecanggihan teknologi modern patut menjadi bahan renungan bahwa kreativitas para leluhur Buton di masa lalu tak bisa dianggap remeh.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah daerah (pemda) dalam perjuangan memperkenalkan dan mempertahankan eksistensi keunikan budaya Buton dengan segala bentuk peninggalan sejarahnya. Bulan Agustus 2005, kegiatan Simposium Internasional pernaskahan Nusantara diselenggarakan pemerintah daerah sebagai perwujuan awal bahwa sejarah Kesultanan Buton merupakan sejarah dunia yang tidak bisa dilupakan. Kegiatan ini diikuti oleh utusan dari para pakar budaya dari dalam dan luar negeri diantaranya: Singapura, Malaysia, Jepang, China, Jerman, Belanda, Rusia dan beberapa negara lain di dunia.
Keinginan kuat pemda untuk sebuah benteng terluas dengan berbagai macam keunikannya yang kini berada di tengah-tengah wilayah eks kesultanan Buton yakni di Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara hendaknya patut mendapat apresiasi besar dari pemerintah pusat. Sebagai ‘anak pulau’ Buton, sangat mengharapkan Pemkot Bau-Bau mampu bekerjasama dengan Departemen Luar Negeri, Depatemen Budaya dan Pariwisata, MURI, elemen-elemen mahasiswa dan beberapa instansi terkait sehingga mampu mewujudkan keinginan Negeri Butuuni demi meraih pengakuan dunia dari badan PBB yaitu Unesco sebagai benteng terluas di dunia.
* Artikel pernah terbit di Koran Radar Buton, Sabtu 18 Oktober 2008
* Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008 & Ketua Pengembangan Minat dan Bakat Himpunan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Indonesia Buton (HIPPMIB)-Bersatu Jakarta 2006-2008 M
Jumat, 08 Juli 2011
POTRET REALITAS PERS DI MALUKU
RESENSI
Judul Buku : Mozaik Pers di Negeri Raja Raja
Penulis : M. Azis Tunny, dkk
Editor : M. Azis Tunny & Almudatsir Z. Sangadji
Penerbit : Maluku Media Centre dan Total Media (Anggota IKAPI)
Tahun : Maret 2010
Tebal : xx + 314 halaman
Oleh: Sabir Laluhu*
Apa yang ada di benak kita ketika mendengar nama Maluku disebutkan? Seketika pikiran kita akan menghubungkan alur memori yang terputus dan menyambungnya satu demi satu. Bisa jadi, salah satu peristiwa akan mencuat dalam pikiran kita, konflik komunal/SARA yang pecah tahun 1999. Tapi jika kita menggunakan proses ideasi dengan peristiwa terbaru, maka 'pengambilan secara paksa' nyawa Ridwan Salamun Wartawan Sun TV ketika meliput di Tual Maluku Sabtu (21/08/2010) lalu adalah peristiwa yang menyisakan duka yang amat mendalam.
Dua kasus di atas, memang tidak dipungkiri - oleh seluruh insan pers nasional dan lokal - berjalan bergelindang menyertai hidup matinya pers di Jazirah Maluku. Betapa tidak, konflik Maluku tahun 1999 turut disulut, dikobarkan, diredakan dan didamaikan hingga tahap rekonsiliasi (perjanjian perdamaian Malino) oleh pers di jazirah ini. Harus diakui bahwa konflik 1999 telah menjadikan para pelaku 'kuli tinta' terpolarisasi berdasarkan solidaritas komunitas dan kelompoknya. Singkatnya, untuk bersikap independen dan menjalankan sembilan elemen jurnalisme yang disarankan Bill Kovach sangat sulit terrealisasi.
Kasus pengeroyokan massa terhadap Ridwan Salamun hingga merenggut nyawanya menjadi perkara 'baru' tapi 'lama'. Intimidasi, kekerasan fisik, teror, hingga pembunuhan adalah realitas yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan pers di Maluku bahkan Indonesia. Fenomena-fenomena itu tumbuh dan berreproduksi bersamaan dengan kehadiran pers itu sendiri.
Buku yang ditulis M. Azis Tunny, dkk ini seolah menjadi oase di tengah gersangnya keilmuan jurnalistik mengenai pers di Maluku. Sebagai pelaku 'dunia tanpa koma' di negeri raja raja ini, M.Azis Tunny, dkk secara komprehensif memotret pergulatan pers Maluku mulai dari zaman pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, orde lama, orde baru dan era reformasi.
M. Azis Tunny, dkk secara lugas menuturkan hembusan nafas tiada henti yang dipotret melalui sejarah, profesionalisme, etika, kesejahteraan jurnalis, normalisasi-kekerasan kepada pers serta penyalahgunaan profesi sebagai 'broker' menjadi mozaik pers Maluku, mozaik pers Indonesia. Ibarat 'ironi tanpa koma', pers di jazirah ini akan terus berkembang mempertahankan eksistensinya demi membangun Maluku ke arah yang lebih baik.
Bagian paling menarik dari buku ini ada dua aspek. Pertama, Eksistensi-Kompetisi Media, M. Azis Tunny menggambarkan Maluku ibarat lahan subur bagi tempat tumbuh kembangnya media massa. Banyak media lahir dalam seratus tahun terakhir. Mereka lahir, tumbuh dan mencoba berkembang. Tapi berbarengan dengan itu, iklim Maluku yang serba keras membuat media-media itu kemudian timbul-tenggelam, mati-bangkit, bahkan mati untuk selamanya.
Apa yang dikatan Azis Tunny tidak dapat dielakkan. Beberapa media yang pernah eksis seperti Ambon TV (launching Maret 2006) harus 'tutup buku' pada Februari 2010. Kesejahteraan jurnalis yang tak diberikan, kurangnya modal dan susahnya mencari pemodal yang bersedia memasang iklan di media merupakan faktor hidup matinya media massa di Maluku. Selain itu, eksistensi-kompetisi media juga sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang sangat rendah terhadap koran harian. Hal ini berbanding terbalik dengan daya baca masyarakat yang sangat tinggi. Meski daya beli masyarakat Maluku rendah, pada akhirnya koran harian yang berjumlah 11 media di Ambon mampu bertahan hingga detik ini. Meski untung tak dapat diraih, rugi tak dapat ditolak.
Dari sisi kesejahteraan, jurnalis Maluku menerima gaji jauh di bawah upah minimum regional (UMR) dan upah minimum provinsi (UMP). Bila UMP Maluku untuk jurnalis adalah Rp.800.000,- maka reporter di Ambon tidak menerima gaji sebesar itu, karena uang sebanyak itu adalah gaji redaktur. Tidak sampai di situ, sebagai pegawai perusahaan media mereka tidak diikat dengan kontrak ‘hitam di atas putih’ dan kebanyakan tidak diikutsertakan dalam jaminan social tenaga kerja (Jamsostek) sebagai jaminan perlindungan ketika mereka meliput di lapangan. Makin jauh mereka dari sejahtera.
Kedua, jurnalisme damai, adalah perspektif yang sangat prestisius yang coba ditawarkan M. Azis Tunny, dkk sebagai upaya resolusi dan pencipta jalan damai setiap konflik baik di zona perang maupun zona aman. Hal ini diakui, perlu untuk dijalankan oleh para jurnalis khususnya Maluku yang terdiri dari masyarakat multikultural, multi etnis dan multiagama. Olehnya, sedikit banyaknya tugas jurnalis akan dipengaruhi pengalaman nilai pluralitas dalam diri insan pers di daerah ini.
Perlu ditegaskan, dalam masyarakat multikultural (multietnis-multiagama) pemahaman dan penerimaan akan pluralitas masyarakat adalah keniscayaan. Jika awak media mampu memahami dan menerimnya, mereka akan mengetahui bahwa ada kebenaran di luar kebenaran yang mereka anut. Artinya, kebenaran dalam perspektif individu jurnalis hendaknya dikorelasikan dengan kebenaran di luar dirinya. Kebenaran yang dihasilkan nantinya menjadi konsensus kebenaran bersama dalam menyajikan berita kepada publik.
Jurnalisme damai (peace journalism) hanya sekedar opsi. Jurnalisme damai bisa diadopsi atau malah diabaikan. Namun harus diingat, kebebasan pers dan kemerdekaan pers bukanlah sekedar mirror of reality, tetapi juga molder of reality (pembentuk rupa) masyarakat. Jika keberadaan jurnalisme dalam rangka menjalankan fungsi pembentuk rupa masyarakat, maka sepantasnya jurnalisme damai menjadi opsi yang tak terelakkan.
Buku ini menjadi referensi dan bukti otentik yang sangat berguna bagi para akademisi, profesional, pengamat dan pemerhati dunia jurnalistik. Bahkan boleh jadi bisa menjadi referensi awal bagi para pelaku bisnis media yang ingin mendirikan perusahaan media atau sekedar menanam sedikit sahamnya di tanah Maluku.
Selain itu, buku ini juga adalah perwujudan wajah pers di Maluku yang mengalami gelombang pasang surut, korban konflik, upaya survival of life dan menemukan rumah bersama yaitu Maluku Media Centre sebagai wadah pemersatu untuk tetap bertahan dan pengembangan jurnalisme damai di seluruh wilayah nusantara.
Semoga buku yang terdiri dari delapan bagin: Sejarah dan Eksistensi Pers di Maluku; Jurnalisme Damai Meretas Jalan Damai; Etika dan Kosmologi Pers; Potret Kesejateraan Jurnalis Maluku; Belenggu Hukum, Kekerasan dan Intimidasi; Seputar Jurnalisme Broadcasting; Ragam Jurnalisme; dan Profil Media di Ambon, menjadi pelepas dahaga keilmuan dan referensi kita mengenai dunia pers di negeri raja-raja; Maluku.
*Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Periode 2010-2011 dan Putera Daerah yang terlahir di Tanah Ambon
Judul Buku : Mozaik Pers di Negeri Raja Raja
Penulis : M. Azis Tunny, dkk
Editor : M. Azis Tunny & Almudatsir Z. Sangadji
Penerbit : Maluku Media Centre dan Total Media (Anggota IKAPI)
Tahun : Maret 2010
Tebal : xx + 314 halaman
Oleh: Sabir Laluhu*
Apa yang ada di benak kita ketika mendengar nama Maluku disebutkan? Seketika pikiran kita akan menghubungkan alur memori yang terputus dan menyambungnya satu demi satu. Bisa jadi, salah satu peristiwa akan mencuat dalam pikiran kita, konflik komunal/SARA yang pecah tahun 1999. Tapi jika kita menggunakan proses ideasi dengan peristiwa terbaru, maka 'pengambilan secara paksa' nyawa Ridwan Salamun Wartawan Sun TV ketika meliput di Tual Maluku Sabtu (21/08/2010) lalu adalah peristiwa yang menyisakan duka yang amat mendalam.
Dua kasus di atas, memang tidak dipungkiri - oleh seluruh insan pers nasional dan lokal - berjalan bergelindang menyertai hidup matinya pers di Jazirah Maluku. Betapa tidak, konflik Maluku tahun 1999 turut disulut, dikobarkan, diredakan dan didamaikan hingga tahap rekonsiliasi (perjanjian perdamaian Malino) oleh pers di jazirah ini. Harus diakui bahwa konflik 1999 telah menjadikan para pelaku 'kuli tinta' terpolarisasi berdasarkan solidaritas komunitas dan kelompoknya. Singkatnya, untuk bersikap independen dan menjalankan sembilan elemen jurnalisme yang disarankan Bill Kovach sangat sulit terrealisasi.
Kasus pengeroyokan massa terhadap Ridwan Salamun hingga merenggut nyawanya menjadi perkara 'baru' tapi 'lama'. Intimidasi, kekerasan fisik, teror, hingga pembunuhan adalah realitas yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan pers di Maluku bahkan Indonesia. Fenomena-fenomena itu tumbuh dan berreproduksi bersamaan dengan kehadiran pers itu sendiri.
Buku yang ditulis M. Azis Tunny, dkk ini seolah menjadi oase di tengah gersangnya keilmuan jurnalistik mengenai pers di Maluku. Sebagai pelaku 'dunia tanpa koma' di negeri raja raja ini, M.Azis Tunny, dkk secara komprehensif memotret pergulatan pers Maluku mulai dari zaman pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, orde lama, orde baru dan era reformasi.
M. Azis Tunny, dkk secara lugas menuturkan hembusan nafas tiada henti yang dipotret melalui sejarah, profesionalisme, etika, kesejahteraan jurnalis, normalisasi-kekerasan kepada pers serta penyalahgunaan profesi sebagai 'broker' menjadi mozaik pers Maluku, mozaik pers Indonesia. Ibarat 'ironi tanpa koma', pers di jazirah ini akan terus berkembang mempertahankan eksistensinya demi membangun Maluku ke arah yang lebih baik.
Bagian paling menarik dari buku ini ada dua aspek. Pertama, Eksistensi-Kompetisi Media, M. Azis Tunny menggambarkan Maluku ibarat lahan subur bagi tempat tumbuh kembangnya media massa. Banyak media lahir dalam seratus tahun terakhir. Mereka lahir, tumbuh dan mencoba berkembang. Tapi berbarengan dengan itu, iklim Maluku yang serba keras membuat media-media itu kemudian timbul-tenggelam, mati-bangkit, bahkan mati untuk selamanya.
Apa yang dikatan Azis Tunny tidak dapat dielakkan. Beberapa media yang pernah eksis seperti Ambon TV (launching Maret 2006) harus 'tutup buku' pada Februari 2010. Kesejahteraan jurnalis yang tak diberikan, kurangnya modal dan susahnya mencari pemodal yang bersedia memasang iklan di media merupakan faktor hidup matinya media massa di Maluku. Selain itu, eksistensi-kompetisi media juga sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang sangat rendah terhadap koran harian. Hal ini berbanding terbalik dengan daya baca masyarakat yang sangat tinggi. Meski daya beli masyarakat Maluku rendah, pada akhirnya koran harian yang berjumlah 11 media di Ambon mampu bertahan hingga detik ini. Meski untung tak dapat diraih, rugi tak dapat ditolak.
Dari sisi kesejahteraan, jurnalis Maluku menerima gaji jauh di bawah upah minimum regional (UMR) dan upah minimum provinsi (UMP). Bila UMP Maluku untuk jurnalis adalah Rp.800.000,- maka reporter di Ambon tidak menerima gaji sebesar itu, karena uang sebanyak itu adalah gaji redaktur. Tidak sampai di situ, sebagai pegawai perusahaan media mereka tidak diikat dengan kontrak ‘hitam di atas putih’ dan kebanyakan tidak diikutsertakan dalam jaminan social tenaga kerja (Jamsostek) sebagai jaminan perlindungan ketika mereka meliput di lapangan. Makin jauh mereka dari sejahtera.
Kedua, jurnalisme damai, adalah perspektif yang sangat prestisius yang coba ditawarkan M. Azis Tunny, dkk sebagai upaya resolusi dan pencipta jalan damai setiap konflik baik di zona perang maupun zona aman. Hal ini diakui, perlu untuk dijalankan oleh para jurnalis khususnya Maluku yang terdiri dari masyarakat multikultural, multi etnis dan multiagama. Olehnya, sedikit banyaknya tugas jurnalis akan dipengaruhi pengalaman nilai pluralitas dalam diri insan pers di daerah ini.
Perlu ditegaskan, dalam masyarakat multikultural (multietnis-multiagama) pemahaman dan penerimaan akan pluralitas masyarakat adalah keniscayaan. Jika awak media mampu memahami dan menerimnya, mereka akan mengetahui bahwa ada kebenaran di luar kebenaran yang mereka anut. Artinya, kebenaran dalam perspektif individu jurnalis hendaknya dikorelasikan dengan kebenaran di luar dirinya. Kebenaran yang dihasilkan nantinya menjadi konsensus kebenaran bersama dalam menyajikan berita kepada publik.
Jurnalisme damai (peace journalism) hanya sekedar opsi. Jurnalisme damai bisa diadopsi atau malah diabaikan. Namun harus diingat, kebebasan pers dan kemerdekaan pers bukanlah sekedar mirror of reality, tetapi juga molder of reality (pembentuk rupa) masyarakat. Jika keberadaan jurnalisme dalam rangka menjalankan fungsi pembentuk rupa masyarakat, maka sepantasnya jurnalisme damai menjadi opsi yang tak terelakkan.
Buku ini menjadi referensi dan bukti otentik yang sangat berguna bagi para akademisi, profesional, pengamat dan pemerhati dunia jurnalistik. Bahkan boleh jadi bisa menjadi referensi awal bagi para pelaku bisnis media yang ingin mendirikan perusahaan media atau sekedar menanam sedikit sahamnya di tanah Maluku.
Selain itu, buku ini juga adalah perwujudan wajah pers di Maluku yang mengalami gelombang pasang surut, korban konflik, upaya survival of life dan menemukan rumah bersama yaitu Maluku Media Centre sebagai wadah pemersatu untuk tetap bertahan dan pengembangan jurnalisme damai di seluruh wilayah nusantara.
Semoga buku yang terdiri dari delapan bagin: Sejarah dan Eksistensi Pers di Maluku; Jurnalisme Damai Meretas Jalan Damai; Etika dan Kosmologi Pers; Potret Kesejateraan Jurnalis Maluku; Belenggu Hukum, Kekerasan dan Intimidasi; Seputar Jurnalisme Broadcasting; Ragam Jurnalisme; dan Profil Media di Ambon, menjadi pelepas dahaga keilmuan dan referensi kita mengenai dunia pers di negeri raja-raja; Maluku.
*Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Periode 2010-2011 dan Putera Daerah yang terlahir di Tanah Ambon
PASTI ADA MASA DEPAN
Setiap kali berpikir seolah semua hanya mimpi
Keinginan untuk berubah tak mungkin tercapai
Seolah mendengar alam selalu bernyanyi
Ada ruang yang membatasi
Setiap kali melangkah
Ada kemauan yang tak dapat dikalahkan
Berlari tanpa henti mengejar janji Tuhan Maha Kasih
Meski harapan itu terhalang berjuta rintangan
Mengingat masa lalu memperbaiki tindakan
Bertindak masa kini sebagai sebuh bekal
Berharap untuk masa depan
Tanpa pernah menyesali kehidupan yang tak kekal
Meski diri tak berdiri pada ruang yang mendukung
Tapi jiwa ini yakin pasti ada aufklarung
Meski keadaan tak pernah berpihak
Tapi diri ini yakin masih bisa kokoh berpijak
Mimpi memang hanya mimpi
Tapi ia adalah harapan
Cita-cita akan terus membayangi
Karena Aku yakin pasti ada masa depan
[Sabir Laluhu, Ambon 03 Sept 2010]
@ Rumah tempatku bernaung, terus bermimpi dengan sejuta harapan mencapai cita-cita.
Keinginan untuk berubah tak mungkin tercapai
Seolah mendengar alam selalu bernyanyi
Ada ruang yang membatasi
Setiap kali melangkah
Ada kemauan yang tak dapat dikalahkan
Berlari tanpa henti mengejar janji Tuhan Maha Kasih
Meski harapan itu terhalang berjuta rintangan
Mengingat masa lalu memperbaiki tindakan
Bertindak masa kini sebagai sebuh bekal
Berharap untuk masa depan
Tanpa pernah menyesali kehidupan yang tak kekal
Meski diri tak berdiri pada ruang yang mendukung
Tapi jiwa ini yakin pasti ada aufklarung
Meski keadaan tak pernah berpihak
Tapi diri ini yakin masih bisa kokoh berpijak
Mimpi memang hanya mimpi
Tapi ia adalah harapan
Cita-cita akan terus membayangi
Karena Aku yakin pasti ada masa depan
[Sabir Laluhu, Ambon 03 Sept 2010]
@ Rumah tempatku bernaung, terus bermimpi dengan sejuta harapan mencapai cita-cita.
Langganan:
Postingan (Atom)